NovelToon NovelToon

My Sugar Daddy

Prolog

Hai Semuanya!!

Aku Author Bemine_97..

Di sini aku mau mengucapkan terima kasih buat sobat-sobatku yang sudah bersedia mampir di sini.

Maaf sebelumnya, bukannya Author anti kritik, sebelum semuanya bertambah bingung..

author pengen menjelaskan, alur ceritanya maju mundur.

Ini juga kisah Om dan Sugar Baby-nya, dalam sudut pandang yang berbeda yang Author gores di setiap babnya.

Untuk tahu alur kisah ini, harus dibaca sepanjang jalan kenangan... eh.. 😅

ga bisa hanya satu dua bab dan langsung mengambil kesimpulan.

Author yakin novel lainnya juga begitu, mari saling mendukung dan meninggalkan komentar yang bijak. Selamat menikmati, jangan lupa sapa author di GC yak?

Dukung novel ini agar levelnya naik dengan meninggalkan like dan komentar di setiap babnya🥺

Bantuin Author ya..

Author sayang semuanya. 🥰

**********************************************

Sugar Daddy?

“Gadis macam apa yang menjadikan dirinya kekasih dari pria hidung belang? Mengizinkan pria yang pantas disebut Paman membawanya kesana kemari, hingga menghabiskan malam bersama dengannya. Mengabaikan tatakrama dan menutup telinga dari cibiran orang-orang tentang jeleknya pandangan masyarakat mengenai dirinya. Gadis macam apa itu?” teriakku pada Moly yang berdiri di sebelahku. Ia menutup telinganya dan mengabaikan ocehanku.

“Kau, gadis gila. Diamlah! Bagaimana jika gadis kasar tadi itu mendengarnya? Apa menurutmu semua gadis muda yang bersama lelaki paruh baya pasti Sugar Daddy-nya? Bagaimana jika itu ternyata Papanya? Kamu bisa dianggap pencemaran nama baik, loh!” Moly mengingatkanku, ia menyikut lenganku dan menyadarkan bahayanya omonganku tadi.

“Moly, buka mata dan telingamu, mana ada gadis jaman sekarang yang ke Mall sama Bapaknya? Stress kali lu ah!” decakku kesal. Kulihat dari jauh siluet gadis kasar tadi, yang memaki-makiku hanya karena aku tidak bisa memahami maksudnya. Padahal aku sudah susah payah membantunya memilih-milih pakaian seperti keinginannya.

Gadis-gadis sepertinya, yang bersembunyi dibalik dompet suami orang lain. Menjadikan kecantikan sebagai alat hipnotisnya hingga menjual tubuhnya demi hidup glamour  itu menjijikkan. Setidaknya itulah yang selalu aku pikirkan sampai saat ini, hingga suatu hari aku dipermainkan takdir dan harus menjilat ludahku sendiri.

**Selamat menikmati.

Find me on

IG: Bemine_3897**

Bab 1: Perkenalan

Perkenalkan, namaku You Are Queen. Itu benar-benar namaku, Almarhum Ayah yang memberikannya saat aku dilahirkan pada 03 Agustus 1997. Menurut kalian itu aneh? Tenang saja, kalian tidak sendirian, sejak aku dilahirkan hingga hari ini, setiap orang yang mendengar namaku akan bertanya-tanya dengan tatapan heran. Beberapa bahkan tidak sungkan untuk tertawa dan bertanya ketus,

“Kok bisa sih namanya begitu? Padahal bukan Queen beneran deh!”

“Lucu ya namanya, tapi sayang kondisinya ga mendukung nama semegah itu.”

Atau yang paling kasar,

“Orangtuanya, mikir apa sih pas kasih nama dulu? Masa anak miskin kaya kamu namanya semegah itu?” Serta kalimat-kalimat menyakitkan lainnya yang jika kutulis satu-persatu hanya memenuhi lembar kertas.

Saat ini aku baru berusia 22 tahun, bukan baru sih ya? OTW 30 soalnya. Aku baru menyelesaikan pendidikan Sarjana Akuntansiku tahun lalu dan sedang menempuh Magister Akuntansi tahun ini. Aku anak miskin? Sangat miskin malahan. Tapi impianku menjadi doktoral di usia muda yang membuatku berjuang hingga titik darah penghabisan.

Setiap Rupiah yang aku keluarkan untuk hidupku kuhasilkan dengan memeras keringatku sendiri setiap harinya. Aku melakukan 3 pekerjaan paruh waktu setiap hari, pagi aku akan membantu di kafe dekat kampus jika tak punya jadwal kuliah. Siang bekerja di salah satu butik di Mall dan malamnya menerima ketik-print tugas-tugas dari teman-teman kampusku. Mereka sangat antusias saat aku membuka jasa ini, karena biaya yang kupatok lebih murah dibanding toko fotokopi lainnya.

Jadilah aku dengan segala upayaku, saat ini menginjak semester pertama Magister Akuntansi di salah satu kampus ternama di Bandung. Namun ternyata perhitunganku salah, biaya kuliah untuk magister jauh lebih banyak dari yang kubayangkan, baru semester pertama aku sudah kelabakan menutup biaya sana-sini. Semua tabungan yang aku kumpulkan saat sarjana ludes untuk membayar SPP dan biaya masuk kampus ini.

Kalian pasti bertanya-tanya bukan? Kenapa aku tidak mengajukan beasiswa? Aku sudah berulangkali mengajukan beasiswa dari lembaga-lembaga berbeda, namun hingga saat ini belum satu lembagapun yang bersedia menampungku.

Aku paham, IPK-ku tak setinggi anak-anak lain, aku harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja dibandingkan belajar, itulah yang menyebabkan IPK-ku bagai Rollercoster. Apalagi aku menempuh pendidikan Akuntansi yang sangat sulit, walau begitu ambisiku mencapai gelar doktoral jauh lebih kuat daripada kesulitanku bekerja dan belajar setiap harinya.

“Aku mampu menyelesaikan Sarjanaku tepat waktu, aku juga yakin bisa menyelesaikan pendidikan Magisterku yang hanya dua tahun.” Begitulah bisikku dalam hati setiap saat aku merasa lelah mengejar Rupiah dan kuliah.

“Kenapa aku tidak meminta bantuan dari Ibu?”

Setelah Ayah meninggal, Ibu menikah lagi dan mengabaikan kami. Menurut penjelasannya, suami barunya tidak bersedia membiayaiku dan adik lelakiku. Kami juga tidak bisa menuntut lebih banyak bukan? Ibu tidak bekerja dan selalu tinggal di rumah, tentunya ia membutuhkan dukungan dari seseorang yang bisa ia andalkan. Sedangkan aku dan adikku tentu saja bisa mengandalkan diri kami sendiri.

Adikku memutuskan ikut Paman Jun ke negeri seberang untuk bekerja. Sedangkan aku memutuskan mengejar impianku ke kota Kembang. Alasan kuat lainnya kami keluar dari sana? Aku lebih memilih kelaparan di kota orang dibandingkan kenyang dari uang milik Ayah tiriku.

Kuberikan sedikit gambaran bagaimana penampilanku. Aku dan adikku sangat rupawan. Turunan dari Ibu kalau kata orang-orang. Hidungku mancung, mataku bulat besar dengan iris coklat terang, bibirku tebal dan merah bahkan tanpa gincu sekalipun. Rambutku panjang hingga sepinggang. Tubuhku proporsional sempurna dengan tinggi 170 cm dan berat badan 53 kg. Kulitku putih bersih dan jari tanganku lentik panjang.

“Kenapa aku tidak mencoba peruntungan sebagai model?”

Aku sudah mencobanya juga, karena mencoba pekerjaan konyol itulah aku hampir kehilangan keperawanku pada lelaki bejat yang mengaku-ngaku sebagai investor. Aku juga sudah mencoba menjadi pramusaji, pramuniaga dan pra-pra lainnya.

Semua pekerjaan itu tidak ada yang kulakukan lebih dari satu bulan. Aku dipecat karena alasan sepele seperti, menghina kostumer, menjatuhkan piring hingga berdebat dengan pembeli yang menurutku salah.

Aku terlalu sering berganti pekerjaan hingga tidak sanggup lagi menghitung berapa banyak pekerjaan yang sudah kulakukan. Sejak awal kedatanganku ke kota ini hingga sekarang.

Namun, tak masalah. Berkat pekerjaan itulah aku menguasai banyak hal dalam hidupku. Bekerja di kafe, aku belajar cara menyeduh kopi dengan benar. Bekerja di butik, membuatku mengenali barang-barang branded dengan sekali tatap.

Kemampuan itulah yang membuatku memandang tak suka pada gadis-gadis muda tanpa pekerjaan layak sepertiku, namun bergonta-ganti barang mewah. Memamerkan koleksi sepatu hingga tasnya pada teman-teman, meski ia dihujani tatapan tak suka.

Tak jarang, aku melihat mahasiwi di kampusku yang didatangi wanita cantik dan diseret paksa masuk ke mobil. Besoknya, berita tentang ia sebagai simpanan pria kaya merebak di setiap sudut kampus. Tak lama setelahnya, surat peringatan dikeluarkan.

Penampilan adikku satu-satunya juga tak kalah dariku. Tubuhnya tinggi besar dengan bahu yang lebar seperti jalan tol. Matanya bulat persis diriku dengan hidung yang berkali-kali lipat lebih mancung dariku bahkan bibirnya jauh lebih seksi dari bibirku. Bedanya, kulitnya kuning langsat khas orang Asia, kuyakin itu turunan dari Ayah, hanya saja kulit Ayah menghitam legam karena bekerja di bawah terik matahari selama hidupnya.

Ia sedikit lebih beruntung dariku. Kemampuan akademiknya jauh di atasku meski ia sendiri jarang menyentuh buku. Adikku tergolong sangat mudah bergaul, ia punya banyak teman dari berbagai kalangan. Semakin lama, semakin terkenal saja dia.

Adikku itu juga playboy, ia terlalu sering bergonta-ganti pacar dan memanfaatkan pacar-pacarnya untuk membelikannya barang-barang yang ia inginkan. Hal itulah yang menyebabkan ia berpenampilan jauh lebih baik dariku.

Jika ponselku tak pernah kuganti, maka adikku sudah berganti ponsel hingga tak terhitung jari. Jika dompetku kering, maka dompetnya selalu basah. Gadis-gadis cantik nan kaya itulah yang memupuk adikku dengan lembaran merah dari ATM mereka.

Pernah satu ketika, aku menemukan kartu debit tergeletak di atas meja belajar adikku. Kupandangi lama-lama kartu berwarna abu-abu itu. Setahuku, di rumah ini hanya Ayah yang memiliki kartu seperti ini.

"Kak!" bentaknya. Tangannya merebut kartu debit dariku. Ia menatapku dengan tatapan penuh kebencian. Aku meneguk ludahku susah payah, jika ia marah, akan sangat sulit untuk dibujuk.

Tak lama setelahnya, aku baru tahu jika kartu abu-abu itu milik salah satu gadis cantik di sekolah untuk digunakan adikku sesukanya dan semaunya

Darinya kupelajari satu hal, berhati-hatilah pada pria kaya atau pria tampan. Jika kedua kombinasi itu menyatu, maka menjauhlah, mereka mematikan.

.

.

.

To Be Continued,,

S**ampai jumpa di bab selanjutnya**

love, bemine_97

ig: Bemine_3897

Bab 2: Soal Pacar

Setelah menyelesaikan pekerjaanku di Kafe, aku berlari menyeberangi jalan raya yang sedang dilanda lampu merah. Sepatuku belum sempat kupakai sempurna dan rambutku yang sepinggang itu melambai-lambai di udara. Aku masih berlari, jarak dari gerbang menuju kelas cukup jauh, karena fakultas ekonomi berada di bagian belakang kampus dan punya parkiran sendiri.

Beberapa mahasiswa laki-laki bersiul-siul menggodaku, namun aku tidak sempat mengubris mereka. Prof Lina pasti sudah masuk ke kelas dan memulai pelajarannya. Aku berhenti berlari tepat di depan kelas, mengintip dari jendela kecil memastikan keadaan. Tak kudapati Prof Lina di sana, aku menghela nafas lega. Langsung kubuka pintu kelas dengan perasaan senang.

“Hai kawan, syukurlah aku tidak terlambat,” sapaku pada teman-teman yang sudah memenuhi ruangan. Mereka terdiam dan tidak membalas sapaanku.

“Queeennnnnnn....” Sebuah teriakan mengangetkanku. Aku berbalik dan mendapati Prof. Lina dibalik pintu.

“Prof, sedang apa di sana?” tanyaku dengan wajah polos tak berdosa.

“Keluar kamu, mahasiswa kurang ajar, berani-beraninya kamu mendorong saya,” tuduhnya padaku. Aku membatu, berusaha mencerna perkataan Prof. Lina barusan.

“Saya, saya tidak mendorong Prof, saya hanya masuk melalui pintu dan...” Aku tidak berani melanjutkan perkataanku, wajah Prof Lina sudah seperti kepiting rebus. Kulangkahkan kakiku pelan keluar dari ruangan. Lalu terdengar suara berdentum pintu yang ditutup dengan keras.

Selama perjalanan menyusuri koridor kampus, aku membayangkan apa yang baru saja kualami. Apa yang menyebabkan Prof. Lina sangat marah dan menuduhku mendorongnya?

Seingatku aku tidak melihat Prof Lina sejauh mata memandang di dalam kelas. Bagaimana bisa aku yang mendorongnya? Ahhh, aku menjambak rambutku sendiri dan menyadari bahwa aku belum mengikat rambutku.

Aku berjalan cepat menuju toilet wanita, berdiri di depan cermin selebar 3 meter itu dan mematut diriku di sana. Aku cantik, tapi tidak menarik. Sempat-sempatnya aku menilai penampilanku setelah diusir Prof. Lina dari kelas.

Kuikat tinggi-tinggi rambutku dengan gaya Pony Tail, aku menggunakan dua ikat rambut untuk menopang rambut panjang dan lebatku itu, kukeluarkan sisir dan menyisir rambutku. Mematut diriku kembali di cermin lalu tersenyum puas. Sepercaya diri itu diriku. Ga tahu malu memang!

Aku mencoba menghubungi Moly setelah mendapat posisi yang nyaman di bangku taman kampus. Memberitahunya agar datang kesini setelah jam Prof. Lina selesai. Benar saja, gadis itu langsung membalas pesanku cepat,

Ho-oh.

Hanya 4 huruf itu yang kubaca dari balasan pesannya. Aku menggeleng, sohibku yang satu itu memang pelit, pelit uang, pelit ilmu bahkan sekarang ia pelit huruf. Pandanganku memendar ke seluruh arah, mencari-cari tontonan menarik sambil menunggu Moly datang.

Lalu mata suciku itu tak sengaja menangkap sosok paling kukenal dari kejauhan, sosok itu berjalan beriringan dengan seorang gadis yang berpenampilan bak model dan saling bergandengan. Aku memicingkan mataku, memastikan penglihatanku tidak salah.

Tanganku mengepal kuat dan amarahku meluap, bagaimana bisa ia begitu tidak tahu malu menggandeng gadis lain seenak jidatnya sendiri di depanku. Kurasa juniornya minta dipotong.

Aku memencak beberapa kali, kedua makhluk gaib itu berjalan mendekatiku walau arah tujuannya berbeda, sepertinya mereka belum menyadari kehadiran kedua bola mataku yang mengikuti mereka sedari tadi.

Sudah cukup, aku juga sudah muak dengan lelaki sok kegantengan itu. Aku bangkit dari dudukku dan menghampiri keduanya, lelaki tak tahu malu itu nampak kaget dan segera melepaskan genggamannya pada gadis sok polos di sebelahnya.

“Hai!” sapaku dengan suara manis yang dibuat-buat.

“Queen, apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah sekarang kamu ada kelas?” tanya lelaki tak tahu malu itu, suaranya bergetar dan keringatnya mengalir deras.

“Siapa dia, Sayang?” tanya gadis mungil di sebelahnya. Aku memutar bola mataku malas, gadis itu kini menggelayut manja dan melirikku tajam.

“Berapa usiamu, Nak?” sindirku pada gadis itu.

“19 tahun, Mba ini siapa sih?” Masih dengan sikap sok polosnya itu. Mau muntah rasanya.

“Kamu! Benar-benar kamu, Vino,” tunjukku pada wajahnya dengan suara yang kutekan. Aku sadar benar, kami mulai menjadi pusat perhatian. Tapi aku tidak ingin menjadi tersangka disini, kedua makhluk sok suci ini harus menjadi pelakunya.

“Queen, aku bisa jelaskan semuanya padamu, aku dan dia...” Kalimatnya tertahan, tangannya menggaruk kepalanya. Dari sikapnya aku paham, ia mencoba mencari alasan yang tepat menghadapi keadaan ini.

“Kamu sendiri yang bilang akan selalu bersamaku, kamu sendiri yang bilang akan selalu mencintaiku Vino, kamu sendiri yang bilang tidak akan mempermasalahkan perbedaan usia kita. Lalu apa ini, Vino? Kamu menggandeng wanita lain yang lebih muda dariku, kamu jahat Vino. Jahat sekali kamu, Vino,” teriakku, aku merengek dan menangis.

“Wah, jahat sekali ya gadis itu? Merebut pacar orang lain, padahal ia cantik loh,” bisik mahasiswa yang melihat pertengkaran kami.

“Yes, aku berhasil. Tahu rasa kalian berdua,” teriakku dalam hati.

“Hei, kalian berdua memang pantas bersama, pengkhianat dan penggoda memang harusnya bersama,” teriak salah seorang mahasiswa yang ikut menonton.

Gadis itu menutup wajahnya rapat-rapat, ia menarik-narik tangan Vino berusaha menjauh dari keramaian. Vino yang menyadari situasi itu, melepas tangan gadis cantiknya dan berlari lebih dulu, lelaki tak tahu malu itu pergi meninggalkan gadis kecilnya sendirian di sana. Gentleman sekali dia!

Setelah kepergian kedua makhluk itu, beberapa mahasiswi mendatangiku dan mengungkapkan rasa prihatinnya padaku, bahkan beberapa memberiku semangat dan mendoakanku agar aku bisa bertemu dengan lelaki yang lebih baik. Mendapat perlakuan tulus seperti itu, hatiku sedikit menyesal karena dengan sengaja menarik perhatian mereka agar ikut-ikutan menyalahkan Vino dan gadis kecilnya.

“Akhirnya jomblo lagi deh,” seruku. Walau wajah dan tubuhku cantik, tetap saja aku kesulitan mendapat pacar. Aku tidak punya uang, penampilanku pas-pasan dan bahkan aku tidak punya motor untuk berpergian.

“Jaman sekarang, cantik saja tidak cukup,” gumamku lagi sambil berlalu meninggalkan tempat kejadian perkara.

Aku menendang-nendang batu-batu kecil di jalanan kampus, ingatanku kembali ke masa 6 bulan lalu saat aku pertama kali menerima ajakan kencan dari Vino, juniorku dari jurusan Ilmu Ekonomi. Saat itu aku sedang sibuk-sibuknya dengan tugas akhirku, sedang Vino baru mendarat di semester keduanya, itu artinya usia kami terpaut 3 tahun jaraknya. Walau begitu, aku menerima permintaannya, kapan lagi aku bisa punya pacar? Hanya itu saja pertimbanganku saat itu.

“Hei, Queenn....” Aku menoleh mencari sumber suara. Hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilku dengan gaya sok imut itu. Kulihat Moly berlari kecil dari kejauhan.

“Kamu, mendorong Prof Lina, beliau terjatuh ke pelukan Marwan,” Moly tak sempat menarik nafas panjang dan langsung menerorku dengan kalimat tak masuk akal.

“Apa maksudmu?”

“Kamu mendorong pintu kelas, Prof Lina berdiri di sisi belakang pintu, ia sedang mengajari Marwan dan terjatuh ke pelukan Marwan. Kamu tahu bagaimana marahnya ia?” jelas Moly. Sekarang aku paham musibah apa yang baru saja terjadi.

“Lalu, aku harus bagaimana?” aku mulai risau, jika Prof Lina marah dan mengeluarkanku dari kelasnya, aku tidak akan lulus semester ini.

“Prof Lina memintamu menemuinya di ruangannya, sepertinya hukumanmu tak akan ringan kawan,” Moly menepuk pundakku menguatkan.

.

.

.

.

To Be Continued,

terima kasih sudah baca ya 🤗

sampai jumpa di bab selanjutnya,

love,

Bemine_97

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!