NovelToon NovelToon

Housemate

Sebuah Pernyataan

Goretan pensil mengasir menciptakan bentuk wajah yang hampir sempurna. Tangan gemulai itu perlahan memperlihatkan wujud dari sosok yang selama ini dirahasiakan.

Senyum dari gadis rembulan ini memberi isyarat bahwa tidak lama lagi kebahagian akan tercipta dari sebuah lukisannya.

“Wah, sudah ada wajahnya!” ujar seseorang dari belakang yang terpukau dengan lukisan dari sebuah buku gambar.

Perempuan yang sedang serius pada kegiatannya itu menoleh ke belakang.

“Bagaimana, Lin? Bagus nggak?” tanya gadis itu dengan muka berseri-seri.

Teman yang dimintai pendapatnya ini menaikan kacamata bulat yang dia pakai ke posisinya semula, “Bagus, tapi kalau dilihat-lihat mirip seseorang. Hm, kok mirip Brian?”

Gadis itu tersenyum lebar, “Ini memang Brian.”

Ia mengangkat buku gambar itu tinggi-tinggi.

“Gue sudah putuskan kalau pangeran impian gue selama ini adalah Brian. Gue akan kasih gambar ini dan tembak Brian lagi.”

Gadis itu memandangi buku gambarnya tanpa senyum yang memudar.

“Lo sehat ‘kan, Lun?” Gadis yang rambutnya dikepang dua itu menyentuh dahi gadis yang dipanggilnya, Lun.

“Elina Safitri temanmu yang bernama Luna Almeyda ini sehat walafiat seratus persen nggak kurang nggak lebih.” Luna menyingkirkan tangan sahabatnya itu.

“Abis omongan lo kayak orang kesambet.” Elin menarik salah satu kursi yang ada di dekat Luna duduk dan ia ikut duduk di situ, “lo yakin mau nembak cowok itu lagi? Ini sudah yang kedua kalinya, Lun.”

Luna mengangguk dengan penuh semangat, “Yakin, memangnya ada yang salah?”

“Salah karena lo nembak duluan. Terus sudah ditolak masih aja ngotot.”

Elina memang terlihat seperti gadis cupu dengan kacamata bulat dan rambut kepang duanya. Namun, dengan Luna, dia suka bicara semaunya dan tegas. Karena teman satu-satunya yang ia punya di kampus ini cukup keras kepala.

Masih memandangi gambarnya Luna menjawab, “Ini sudah era emansipasi wanita kali, Lin. Lo hidup kayak di zaman Indonesia belum merdeka saja.”

“Tiap gue nasihatin pasti jawabnya udah emansipasi wanita, emansipasi wanita.” Elin menirukan cara bicara Luna. Sedangkan gadis yang dibicarakan itu hanya tertawa, “terus bagaimana sama ditolak? Lo nggak takut ditolak lagi?”

Luna menyimpan buku gambarnya di atas paha.

“Mungkin waktu itu gue kurang niat nembaknya maka dari itu ditolak sama Brian. Kali ini gue yakin nggak akan ditolak lagi.” Luna tersenyum menatap lukisan sang pangeran berwujud Brian.

Sebenernya Elina kurang yakin soal yang satu ini. Karena jabatan Brian sebagai playboy di kampus itu sudah terkenal. Cowok itu hanya sukanya memainkan wanita terus meninggalkan tanpa kepastian.

Namun, sangat disayangkan Luna masuk juga diperangkapnya. Mau melarang lagi itu pun percuma pada seseorang yang sedang kasmaran. Luna pasti tidak mendengarkan. Yang bisa Elina lakukan sekarang berdoa agar penolakan Brian tidak membuat Luna sakit hati.

“Ya sudah, ayo kita pindah kelas!" Elin berdiri lebih dulu, “ini kelas mau dipakai kelas lain.”

Luna memperhatikan sekelilingnya yang sudah sepi.

“Sampai nggak sadar udah ganti kelas.” Luna berdiri dan menyimpan buku gambar serta alat tulis ke dalam tas.

Setelah itu Luna merangkul Elin berjalan keluar dari kelas sambil berbincang.

“Sekarang jamnya bapak yang kepalanya botak di bagian depan itu doang ‘kan?” tanya Luna.

“Namanya Bapak Samsul.”

“Oh iya lupa.”

“Sudah dua tahun kuliah masih belum hafal saja sama dosen sendiri.”

Luna menanggapi hanya dengan cengengesan.

•••

Parkiran fakultas psikologi ramai sekali padahal baru pukul tujuh pagi. Dylan yang menghentikan motor maticnya tidak jauh dari sana jadi penasaran.

“Ada apa sih itu?” tanya cowok yang sedang melepas helm, lalu meletakkan di spion motor.

Teman yang memarkirkan motor di sampingnya ikut menoleh dan melihat ke arah keramaian.

“Nggak tahu juga.” Kendro mengedikkan kedua bahunya, “ada yang sakit kali atau ulang tahun?”

Dylan masih melihat ke arah keramaian sambil mencopot kunci motor dari motornya.

“Ulang tahun masa dikerjain pagi-pagi?” tanya Dylan lagi berdiri di samping motor.

“Berarti sakit. Udah, ayo kita foto copy dulu materi ini. Jangan ngurusin orang!” Kendro mengibaskan tangannya.

Dylan menggelengkan kepala dan memutuskan untuk menyusul Kendro yang sudah ada di depan.

Sedangkan di tempat keramaian Luna menunjukan lukisan yang kemarin ia buat. Ia tersenyum lebar menatap Brian yang ada di depannya. Cowok di hadapan Luna itu terlihat santai dan menikmati apa yang Luna sampaikan.

“Brian, tahu nggak kenapa Luna gambar ini?” tanya Luna.

Cowok itu menggeleng, “Nggak, memang kenapa, Lun?”

“Luna gambar pangeran berwajah Brian karena Brian pangeran yang Luna dambakan selama ini. Luna suka Brian. Brian mau jadi pacar Luna?”

Selesai Luna bertanya itu. Mahasiswa dan mahasiswi yang berkumpul bersorak. Elina meremas tote bag-nya dengan raut wajah cemas.

Cowok tinggi, berpenampilan cool, dan rambut cepak itu mengangkat tangannya tinggi. Apa yang dia lakukan berhasil membuat diam teman-temannya itu.

“Gede juga ya nyali lo nembak gue lagi. Bukannya sudah pernah gue tolak?”

“Ditolak sekali saja nggak bikin Luna mundur. Luna sudah satu semester ini suka sama Brian. Mau ‘kan jadi pacar Luna?”

“Nggak!”

“Kenapa? Padahal Luna sudah bikin gambar ini buat Brian.” Luna mengulurkan tangannya bermaksud memberikan buku gambar itu pada cowok di depannya ini.

“Gue nggak butuh ini.” Brian mengambil buku itu, lalu melemparnya ke bawah.

Luna tersentak, “Kok dibuang?”

Elina menggigit bibir bawahnya. Ia memperhatikan orang sekeliling yang memvideokan kejadian itu.

“Masih mending gue buang nggak gue injek-injek kayak gini.” Brian menginjak-injak gambar itu hingga gambar hancur dan buku gambar robek.

Bahu Luna bergetar, matanya terasa panas, wajahnya berubah murung. Brian yang melakukan itu malah tersenyum dan tertawa pelan menatap Luna.

“Brian kenapa jahat sama Luna? Padahal biasanya perhatian.”

“Perasaan lo aja kali. Inget ya jangan pernah nyatain perasaan lo lagi di depan gue. Gue itu nggak suka sama lo. Kecuali lo Alexandra anak hukum yang cantik itu.”

Air bening menetes di salah satu mata Luna. Perlakuan Brian kelewatan. Harusnya tidak perlu sampai menghancurkan pemberian gadis itu.

“Jadi selama ini perhatian Brian itu palsu?”

“Eh, culun. Gue sama semua cewek memang baik kali. Lo saja bodoh. Gitu doang baper.” Brian melipat kedua tangannya di dada.

Pipi Luna sudah basah kuyup. Orang-orang menyorakinya.

“Muka nggak seberapa berani-beraninya nembak Brian. Nggak tahu malu lo!” teriak salah satu mahasiswi yang ada di kerumunan itu.

Elina sudah tidak tega melihat sahabatnya ini dipermalukan. Ia lekas mengambil buku gambar yang sudah rusak dan menarik lengan Luna untuk meninggalkan tempat itu.

•••

.

Gimana-gimana sama cerita baru ini? semoga suka ya. JANGAN LUPA TERUS DI SUPPORT! LIKE, KOMEN DAN VOTE ^^

Fovoritkan jangan lupa biar selalu ada notip dan nggak ketinggalan.

Pelampiasan Amarah

“Aaaaaaa! Kesal-kesal!”

Luna mencabik-cabik buku gambar miliknya yang memang sudah rusak. Sedangkan Elina hanya memperhatikan sambil sesekali bergidik.

“Gue benci sama Brian!” ujarnya membuang begitu saja buku gambar.

“Eh, jangan buang sembarangan nanti dimarahin OB!” Elina turun dari tribun tempatnya duduk dan memungut buku gambar milik Luna.

Luna meletakkan tasnya, lalu turun dari tribun yang dia duduki. Elina yang kembali duduk menautkan alis saat melihat Luna yang malah pergi.

“Lo mau ke mana?”

“Lari! Gue kesal banget.”

“Terus nggak masuk kelas?”

Luna yang sedang berancang-ancang akan mengerakkan kedua kakinya ini menoleh pada sahabatnya yang ada di atas tribun.

“Nggak deh, gue nggak akan konsentrasi kalau dipaksain belajar. Kalau lo tetap mau masuk. Masuk saja, sekalian izinin gue.”

“Kalau gitu gue temenin lo aja deh. Sekali-kali bolos.”

Luna menggelengkan kepalanya pelan dan melihat ke depan. Ia mulai berlari mengitari lapangan basket yang saat itu sepi. Karena sebagian mahasiswa sibuk di kelasnya masing-masing.

Selain menggambar kelebihan Luna yang kedua adalah berlari. Walau kakinya tidak panjang Luna larinya cukup cepat.

Sudah setengah jam Elina duduk menunggu Luna yang masih memutari lapangan. Gadis itu tidak ada capeknya padahal keringat sudah bercucuran. Kekesalannya pada Brian membuat dia enggan menyudahi larinya. Rasa marah, kesal, dan emosi masih meletup-letup. Ia tidak ingin berhenti sampai itu hilang.

Elina berdiri di atas tribun dan berteriak, “Luna sudah cukup, hentikan! Lo sudah lari dari tadi. Jangan dipaksain!”

Luna berhenti dan memegang kedua lututnya. Ia mencoba mengatur napas. Dia mengelap peluh yang ada di pelipis, lalu berdiri tegak lagi.

“Gue masih kuat. Lo jangan khawatir!” balas Luna berteriak.

Elina menghela napas. Luna begitu susah untuk dinasihati.

Gadis dengan rambut panjang sebahu itu kembali berlari. Kedua kaki itu melangkah tidak secepat tadi. Mungkin ini efek dari tenaga yang berkurang. Wajah Luna juga mulai terlihat memucat.

Luna tiba-tiba jatuh tersungkur. Ia meringis. Elina terkejut melihat itu. Namun, saat Elina ingin turun dari tribun dan akan menghampiri Sahabatnya, gadis itu sedang mencoba berdiri lagi. Elina mengurungkan niatnya. Ia memperhatikan saja dari jauh.

“Lun, lo nggak apa-apa?” teriak Elina dan menaikan kacamatanya yang turun.

Luna mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi. Ia memberi isyarat tanpa menoleh pada Elina. Gadis itu kembali berlari. Namun, baru beberapa langkah dia jatuh lagi.

“Luna!” pekik Elina yang kini berlari menghampiri.

Luna mengubah posisinya menjadi duduk di pinggir lapangan. Ia memeriksa sikunya. Ada darah dan goresan di situ. Dia meniup-niupnya dan meringis kesakitan.

“Lun, lo baik-baik aja ‘kan?” tanya Elina yang nampak khawatir.

Luna merengek dan mendongak, “berdarah.” Ia menunjukkan luka di sikunya.

“Lo juga sih ah!” dengan kesal Elina duduk di depan Luna. Gadis itu memeriksa tangan sahabatnya, “cuma lecet sedikit. Kita ke UKK saja minta obatin.”

Gadis yang memakai setelan kaus lengan pendek dan celana panjang itu menggelengkan kepala, “Nggak mau nanti perih.”

“Lo mau ini infeksi terus tambah parah? Nanti tangan lo bisa diamputasi.” Elina sedikit melebai-lebaikan ceritanya.

“Hah, memang bisa begitu?”

Elina mengangguk, “Kata abang gue begitu. Masa lo nggak percaya sama abang gue yang dokter?”

Luna nggak pernah merasa ragu sama pendapat kakak dari sahabatnya. Secara kakak Elina itu Dokter. Yang pasti akurat. Namun, ucapan Elina yang telah membohonginya.

“Ya sudah ayo kita ke UKK! Lo harus temenin gue!”

Elina menautkan jari telunjuk dan ibu jari hingga menjadi bentuk oke.

“Siap bosku!” Elina segera bangkit dan menarik kedua tangan Luna yang terulur, membantu gadis itu untuk berdiri.

“Gue ambil tas kita dulu.” Elina cepat-cepat berlari kembali ke tribun.

Setelah mengambil tas gadis itu mendatangi Luna kembali. Ia memapah sahabatnya itu menuju UKK yang ada di dekat fakultas kedokteran.

•••

Kelas cukup berisik karena dosen yang mengajar di jam itu belum kelihatan batang hidungnya. Dua mahasiswa masuk dengan membawa foto copy materi yang disuruh dosennya kemarin.

“Ini pada ambil sendiri ya!” suruh Dylan saat meletakkan tumpukan kertas ke meja pengajar.

Teman-temannya segera berdiri dan berjalan ke depan. Ia mengambil dua materi, lalu melangkah mendekati kursinya.

“Ini punya lo.” Ia memberikan satu kertas materi pada mahasiswa yang sibuk dengan ponsel ini.

“Ini Pak Junet ke mana?” tanya Kendro yang duduk di kursi depan. Namun, menghadap ke belakang menatap temannya.

Cowok yang sedari tadi memainkan handphone itu menjawab, “katanya nggak masuk. Kucingnya melahirkan.”

Kendro tertawa, “Serius lo, vier?”

“Dosen ajaib.” Dylan ikut tertawa pelan.

Javier mengalihkan perhatiannya dari ponsel, “Seriuslah, ndro. Kata Fatur, kucingnya Pak Junet harus disesar karena bayinya sungsang.”

Kendro tertawa terbahak-bahak mendengar cerita sahabatnya itu. Sedangkan Dylan yang ikut tertawa jadi bergidik ngeri melihat temannya ini seperti kesurupan.

“Eh-eh liat ini dah lo pada!” Javier mengulurkan tangan. Menunjukan sesuatu yang ada di ponselnya.

Dylan yang duduk berseberangan dengan Javier itu menarik kursinya mendekat.

“Ada apa?” tanyanya yang penasaran.

Kendro berhenti tertawa dan memanjangkan lehernya ke depan agar dapat melihat yang ingin Javier tunjukkan.

“Ini mahasiswi psikologi. Katanya, dia nembak cowok yang sama dua kali, tapi tetap di tolak,” jelas cowok yang rambutnya kepirang-pirangan itu.

“Oh ini yang tadi pagi di parkiran itu.” Dylan teringat kerumunan yang sempat dia saksikan.

“Lo liat kejadiannya, Dy?” tanya Javier dengan membenarkan letak tangannya yang terus digeser Kendro.

“Liat dari jauh doang. Lagi pula nggak kelihatan siapa yang nembak dan ditembak.”

“Ini mah si Brian.” Tunjuk Kendro pada video rekaman yang berlangsung, “nggak habis pikir dari balita sampai nenek-nenek pasti naksir dia.”

“Lo kenal?” tanya Dylan yang diangguki Javier.

“Dia ini teman satu SMA gue dulu. Masa kalian nggak tahu sih kalau dia dijuluki playboy kampus di universitas kita ini?”

“Gue nggak ngurusin itu.” Javier menarik benda pipih yang ia pegang mendekat.

“Dia ya gitu suka mainin perasaan cewek. Nggak ada satu pun cewek yang deket sama dia dijadiin pacar betulan. Sok cakep banget emang.” Kendro merapikan rambutnya, “cakepan juga gue.”

“Najis!” umpat Dylan ketika mengeser kursinya kembali.

Kendro memajukan bibirnya. Merajuk pada Dylan.

“Aduh!"

Ringisan dari Javier membuat Dylan dan Kendro menoleh bersamaan. Cowok itu memegang perutnya.

“Kenapa lo?” tanya Kendro.

“Kayaknya maag gue kambuh.” Javier masih menahan rasa sakit di perutnya.

“Gue beliin obat maag dulu.” Dylan berdiri.

“Nggak usah beli ambil di UKK saja sana!” usul Kendro, “lumayan hemat uang jajan.”

“Di kantin aja sekalian cari makan dan minum untuk Vier.”

“Gue saja yang nyari itu. Lo ke UKK saja. Lagian nggak jauh gini,” ucap Kendro yang ikut berdiri.

“Pinter banget lo. Yang enak lo pilih. Awas lo makan dulu di kantin! Itu usus dua belas jari lo, gue jadiin sembilan,” ancam Dylan yang perlahan keluar dari kelas.

“Serem banget si Dylan kalau sewot begitu.” Kendro bergidik, lalu pergi meninggalkan Javier yang masih merintih.

•••

Salah Orang

Sepanjang perjalanan menuju UKK beberapa pasang mata memperhatikan Luna yang digandeng Elina.

Ada pula mahasiswi yang bergerombol berbisik-bisik sambil melihat ke arah Luna.

“Ada apaan sih, Lin? Kayaknya semua orang liatin kita?” tanya Luna pada teman yang ada di sampingnya.

Elina mengedikkan kedua bahu, “Gue juga nggak tahu. Sudah cuekin aja! Kita obatin dulu luka lo.”

Mereka terus melangkah masuk ke UKK. Mata Elina menyapu ruangan itu, “Sepi banget nggak ada orang apa ini?”

“Nah, ini dia akhirnya ketemu juga.” Dylan menutup lemari kecil tempat di mana biasanya obat-obatan disimpan.

“Eh!”

Kedua gadis yang masih linglung mencari sosok manusia yang menunggu ruangan kesehatan itu hampir bertabrakan dengan Dylan yang ingin keluar.

“Kak penjaga UKK ya?” pertanyaan Elina membuat dahi Dylan berkerut, “tolongin dong, Kak! Teman saya tangannya luka. Takutnya infeksi.”

Mata laki-laki itu mengarah pada siku Luna yang ditunjuk oleh Elina.

“Tapi gue...”

“Jangan kebanyakan tapi-tapian, Kak. Teman saya sudah kesakitan nih.”

Dengan memapah Luna menuju brankar Elina juga menarik lengan baju yang Dylan pakai. Akhirnya cowok itu tidak bisa berkutik.

“Tapi gue ini...”

“Ayo Kak cepat ambil obat-obatannya! Masih saja tapi-tapian liat ini teman saya kesakitan,” ujar Elina yang menggebu-gebu.

Dylan melihat ke arah Luna. Gadis itu meringis sambil sesekali meniup lukanya.

“Baiklah saya obati.” Dylan menyimpan obat yang ia cari tadi ke saku, lalu beralih menyiapkan keperluan untuk Luna.

“Aaaa!” jeritan Luna membuat Elin dan Dylan terkejut. Kedua orang itu menatap Luna.

“Belum kena ya,” ucap Dylan memegang kapas yang sudah diberi obat.

Luna yang menyadari itu tertawa pelan, “Gue kira udah kesentuh.”

Elina memutar bola matanya.

“Tahan, ini mungkin memang sedikit perih.” Dengan telaten Dylan mengobati luka milik gadis di depannya. Luna meringis-ringis sambil memperhatikan cowok di hadapannya itu.

Saat Dylan mendongak pandangan mata mereka saling bertemu hingga Elina berdeham, cowok ini kembali menunduk.

“Ini kenapa bisa luka?” tanya Dylan berusaha menormalkan suasana.

“Jatuh abis lari,” jawab Luna seadanya.

“Kayak anak kecil saja main lari-larian.”

Mendengar perkataan cowok itu bibir Luna berkerut. Ia tidak suka disebut anak kecil. Dia sudah dewasa, sudah mengenal jatuh cinta.

“Tahu nih, Kak. Nakal, nggak mau dinasihatin,” timpal Elina yang juga menyimpan unek-unek rupanya.

Luna menatap sinis ke arah sahabatnya itu.

Dylan mengakhiri pertolongannya pada luka itu dengan plester. Kemudian ia kembali berdiri dengan tegak.

“Sudah, ini nggak ada luka yang serius. Paling besok plesternya sudah bisa dilepas.”

“Terima kasih, Kak,” kata Elina tersenyum manis.

“Sama-sama,” balas Dylan dengan senyum tipisnya. Karena ia masih kesal disangka penjaga UKK.

Dylan memperhatikan Luna terus. Bukan karena ia mulai tertarik. Namun, ia tidak asing dengan wajahnya.

“Sepertinya gue kenal lo.”

Luna yang sedang ingin turun dari brankar dibantu Elina menghentikan pergerakannya.

Ia menatap Dylan, “Gue aja nggak kenal sama lo.”

“Oh, gue baru ingat.” Dylan menunjuk-nunjuk gadis di depannya ini, “lo yang tadi nembak cowok di fakultas psikologi ‘kan? Terus ditolak.”

“Enak aja!” ujar Luna sewot. Sebenarnya ia malu sekali masalah itu diketahui oleh orang banyak.

“Nggak usah malu gitu. Videonya sudah viral. Siapa coba mahasiswa kampus ini yang nggak tahu?”

Luna terkejut mendengar penuturan Dylan. Elina cepat-cepat mengeluarkan ponselnya kemudian membuka sosial media. Benar saja video Luna sudah ada di grup kampus.

“Benaran, Lun.” Kedua gadis itu saling tatap. Luna merebut handphone milik Elina. Melihat penampakan mukanya di video itu dengan jelas. Gadis ini tersungut-sungut, orang-orang niat sekali mempermalukannya.

“Gue nggak bohong ‘kan?” cowok ini tertawa pelan, lalu berkata dengan tenang, “nyali lo besar juga. Walau ditolak tetap gas full.”

Luna kesal dengan ejekan cowok di depannya ini. Ia turun dan sengaja menginjak kaki cowok itu.

Dylan meringis kesakitan. Elina terkejut atas tindakan sahabatnya.

“Luna! Jangan sakitin kakak itu. Dia ‘kan sudah tolong lo.”

“Bodo! Dia ngeselin. Ayo kita pergi dari sini!” Luna menarik lengan Elina untuk mengikutinya keluar dari ruangan itu.

Elina masih menoleh ke belakang, “Maafkan teman saya Kak!” teriaknya.

Lelaki itu tidak menjawabnya. Ia menahan rasa sakit di ujung kakinya.

“Nih!” Dylan meletakkan obat di atas meja Javier, lalu ia lekas duduk.

Javier yang sedang makan menghentikan aktifitasnya, “Makasih.”

“Lo ke mana dulu, Dy? Tadi bilangin gue jangan makan di Kantin. Ternyata lo yang lama di UKK. Jangan bilang lo tidur dulu?” Kendro memberikan banyak pertanyaan.

“Gue ya ke UKK.”

“Kok lama?”

“Gara-gara cewek yang videonya lagi viral itu.”

Javier yang sedang meminum obatnya hampir saja tersedak mendengar cerita Dylan.

“Maksud lo, cewek yang nembak Brian itu?”

Dylan mengangguk, “Masa gue dikira penjaga UKK. Harus ngobatin luka dia dulu. Terus bukannya terima kasih sudah ditolong malah nginjek kaki gue.”

Kendro serta Javier tertawa mendengar cerita malang temannya ini.

“Nggak lucu ya!”

“Ini lucu banget.” Kendro memegang perutnya dan masih tertawa geli, “sial banget lo.”

Dylan menopang dagu, “Apes bener gue ketemu orang itu. Jangan sampai tampangnya yang nggak seberapa itu nongol lagi di depan gue.”

Javier yang melanjutkan makannya berkata, “Jangan terlalu benci sama orang. Nanti jadinya apa, ndro?”

“Benar-benar cinta,” lalu kedua lelaki itu tertawa.

•••

Ketiga cowok yang mengendarai motornya menghentikan laju kendaraan mereka saat sebuah mobil sedan memblokir jalannya.

“Hai, Dylan, Ken, Vier! kalian mau pulang?” sapa gadis yang ada di dalam mobil itu.

“Hai Alexa! iya nih,” jawab Kendro dan Javier bersamaan. Sedangkan Dylan hanya tersenyum.

"Sama dong seperti aku," kata Alexa lembut.

“Sa, jangan panggil Kendro dengan sebutan Ken.”

Alis Alexa tertaut mendengar ucapan si bule sunda itu, “Kenapa, Vier?”

“Kebagusan, kebanting sama mukanya. Panggil Ndro aja!”

Gadis yang terkenal dengan kecantikannya seantero kampus itu tertawa.

“Sialan lo!” Kendro menempeleng kepala Javier dari luar helm, “ndro-ndro emangnya gue Indro.”

Javier tidak marah. Cowok itu malah ikut tertawa dengan Dylan.

“Aku senang tiap kali liat kamu tertawa seperti itu," ucapan Alexa membuat ketiga cowok yang duduk di atas jok motor itu menatapnya.

Dylan merapatkan mulutnya kembali. Ia membuang muka.

Ternyata Alexandra memperhatikan Dylan. Kendro dan Javier sudah senyum-senyum mengejek.

“Cieee, tahulah kalau orang kasmaran dunia serasa milik berdua yang lain ngontrak,” ujar Kendro dengan semangatnya yang selalu menggebu.

“Tai kucing rasa coklat!” seru Javier menambahkan.

Kedua lelaki itu tertawa terbahak-bahak dibalik kekesalan Dylan dengan tingkah lakunya. Mereka memang suka jadi tukang kompor.

Dylan tersenyum kaku pada Alexa. Gadis itu tampaknya tidak memasukan ke hati kata-kata Kendro dan Javier. Ia juga tertawa mendengar kelakar itu. Namun, Dylan merasa tidak enak.

•••

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!