NovelToon NovelToon

Liz Nadiah

Jejak Masa Lalu

Ayunan tungkai kakinya semakin melambat. Mata yang sepanjang perjalanan tadi diselimuti binar, kini meredup.

Dipandanginya, bangunan yang berjarak sekitar 10 meter di hadapannya itu tanpa kedip.

Lalu saat pandangnya mulai mengedar, gelenyar kerinduan mulai menjalar menyusup ke dalam setiap bagian dari jiwanya. Sepuluh tahun ditnggalkannya tempat itu. Kini ia kembali. Mengais sisa-sisa kenangan yang tercecer di antara getir yang lama menyelubung setengah dari dirinya.

Liz Nadiah!

Dengan gemetar, ia memaksakan kakinya melangkah. Menapak altar kepahitan di antara selaksa kenangan yang pernah terukir di tempat itu. Tempat kelahirannya.

Sebuah desa kecil yang terselip di antara hutan karet dan kebun kelapa, juga pantai yang berjarak sekitar satu kilometer daripadanya.

Koper medium berisi baju-baju dan barang lain miliknya, masih setia dalam tarikan telapak tangannya.

Kini langkahnya terhenti di teras kayu rumah itu.

Kreeeetttt ....

Pintu yang tak kalah usang itu didorongnya perlahan. Tak ada gemeletak logam beradu dari suara kunci dan lubangnya. Hampir setiap bagian sudah dalam keadaan rusak.

Bau-bau apek dan sejenisnya mulai menyerang penciumannya. Ia sudah memutuskan, maka apa pun keadaannya, harus diterimanya dengan lapang tanpa beban.

Pandangannya kini menyapu setiap sudut rumah yang terlihat lapuk, dipenuhi jaring lengkap dengan laba-labanya. Beberapa bahkan terlihat rapuh.

Disusurnya rumah yang memiliki luas sekitar 50 meter persegi itu. Sesekali jemari lentiknya menyentuh benda-benda tua yang masih terdiam tak berubah dari tempatnya.

Lagi-lagi hatinya berdesir. Mulai terngiang suara-suara riang kala dulu ia dan keluarganya masih berkumpul lengkap di rumah itu.

Kecupan sang ayah di keningnya, saat hendak pergi melaut, juga usapan lembut sang ibu saat ia beranjak tidur. Semua bergerak terus menerus menjadi roll kenangan yang indah, sekaligus menyakitkan.

Diusapnya pipinya yang kini basah, lantas tersenyum. Menarik nafas dalam, lalu dihembuskannya kembali perlahan, seolah membangun kembali harapan baru.

Baiklah!

Setelah menaruh kopernya di satu sisi, Liz Nadiah mulai menggulung lengan baju panjangnya hingga ke sikut. Menarik sedikit hijab yang menjuntai di depan dadanya kebelakang pundaknya.

Dengan langkah pasti, ia berjalan menuju arah sebuah ruangan, yang dilihat dari bentuk dan kondisinya, ruangan tersebut adalah sebuah kamar mandi.

Tak ada saklar listrik yang terhubung pada mesin pemompa air, yang terlihat hanyalah sebuah sumur tua yang bagian atasnya hanya ditutupi kayu yang dibentuk melingkar mengikuti bentuk mulut sumur itu sendiri.

Sepertinya aliran listrik di rumah itu juga telah lama diputus. Mungkin esok akan diurusnya. Untuk malam ini, biarlah flash light dari ponselnya yang akan ia gunakan sebagai penerangan, begitu pikir Liz Nadiah.

"Alhamdulillah, airnya masih banyak dan jernih." Ia bergumam penuh syukur. Meskipun nampak kaku, telapak tangannya mulai terjulur meraih erekan timbaan yang tergantung di bagian atas sumur.

Setelah berhasil menampung dua ember air, ia mulai mencari kain bekas untuk membersihkan beberapa bagian yang memang dibutuhkannya terlebih dahulu.

Yang mula dipilihnya adalah kamar tidur. Terdapat di dalamnya sebuah ranjang kayu yang masih nampak kokoh. Hanya kasurnya saja yang sudah terlihat usang, namun masih layak pakai.

"Huh, cape juga," ucap Liz Nadiah seraya mengusap keningnya yang bercucur butiran peluh.

Sangat sulit membenahi seluruh bagian rumah itu seorang diri. Namun itu tak menyurutkan semangatnya untuk terus berusaha, sampai bangunan itu benar-benar layak ditempatinya kembali. Mungkin membutuhkan tiga hari lamanya untuk membuat rumah itu bersih sempurna.

"Besok aku harus ke pasar. Membeli sprai baru dan beberapa lainnya." Telapak tangan Liz Nadiah bertepuk membersihkan butiran debu yang menempel nakal di kedua telapak tangannya.

Sebuah kain tipis bercorak songket melayu, ia keluarkan dari dalam koper, yang lantas dibalutkannya ke atas kasur yang telah dipukulinya menggunakan sapu lidi ... menghilangkan debu. Mungkin sebentar lagi akan dijadikannya tempat merebahkan diri, karena saat ini alam mulai disapa indahnya jingga di langit sore.

Beberapa waktu kemudian ....

Tubuh lengketnya telah ia bersihkan.

Kewajiban maghrib telah ia tunaikan.

Berlanjut pada isya satu jam setelahnya.

Rasa lelah cukup menguasainya saat ini. Akhirnya ... ia putuskan untuk merebahkan tubuh, tanpa perduli dengan sekitar yang sebenarnya cukup membuatnya tak nyaman.

Misteri Penduduk Yang Hilang

Ini hari kedua Liz Nadiah membenahi rumah peninggalan orang tuanya itu. Hampir tujuh puluh persen bagian rumah sudah berhasil dibersihkannya. Kasur busa usang yang semalam ditidurinya, ia jemur di atas sebuah bangku kayu di depan halaman rumah, sesaat setelah sang surya menyembul dari balik persembunyiannya.

Tak ada satu pun tetangga yang datang membantunya. Karena memang posisi rumah itu cukup terpencil ... sedikit jauh dari penduduk lainnya.

Setelan celana panjang hitam dipadukan tunik jumbo yang panjangnya hampir menyentuh mata kaki, menjadi busana Liz Nadiah hari ini. Tak lupa, pashmina coksu bercorak zigzag, menutup apik bagian rambutnya. Kaki mungilnya hanya beralas sandal jepit. Sangat sederhana.

Selepas dzuhur, ia memutuskan untuk pergi menuju pasar yang letaknya cukup jauh. Melewati setidaknya satu desa lainnya yang dibatasi dua petak sawah. Sesuai niat awalnya, membeli beberapa barang yang diperlukannya.

Seharusnya perjalanan itu ditempuh menggunakan sepeda motor atau serendahnya sepeda kayuh, tapi apalah daya ... Liz Nadiah tak memiliki keduanya.

Mata gadis hijab itu tak henti menyapu deretan rumah-rumah penduduk yang berjejer memadati tepi jalanan beraspal yang kini ditapakinya. Rumah-rumah sudah terlihat lebih bagus dari yang dilihatnya terakhir kali, sebelum ia meninggalkan desa itu beberapa tahun silam. Mungkin ekonomi di desa itu, kini lebih maju, begitu pikir Liz Nadiah.

Namun yang membuatnya terheran ... kenapa tak ada satu pun penduduk yang dikenalinya? Apakah mereka semua orang baru? Lalu kemana penduduk lama yang dulu menempati desa itu?

Cukup aneh!

Ketika masih larut dalam berbagai asumsi di kepalanya dengan kening berkerut-kerut, semilir suara berhasil memecah gelembung tanya dalam kepala Liz Nadiah.

"Kamu orang baru di desa ini, Nak?"

Liz Nadiah menoleh ke arah suara itu berasal.

Seorang kakek bertubuh kurus ... kurus sekali. Mungkin siapa pun yang melihatnya pasti tak yakin, jika kakek itu masih memiliki daging dalam tubuhnya. Perkiraan usianya mungkin setara 60 tahunan atau mungkin ... lebih. Ia muncul dari belakang sebuah pohon dengan beberapa batang kayu kering dalam pikulnya.

"Umm ... saya--"

"Kamu membeli rumah yang mana?" Kakek itu memungkas kalimat yang baru saja hendak dilontarkan Liz Nadiah.

Kening gadis itu mengkerut dalam. "Maksud Kakek?"

"Iya. Rumah mana yang kamu tempati saat ini?" Suara seraknya terdengar tak bertenaga.

"Umm ... aku menempati rumahku sendiri, Kek," jawab Liz Nadiah masih dengan kernyitan tak mengerti.

"Tapi Kakek baru melihatmu di sini."

Wajah heran Liz Nadiah belumlah pudar. Ia masih berusaha mencerna kalimat si kakek, tentang 'menempati rumah yang mana'.

Belum habis rasa herannya, kini mata dan pikirnya, mulai dipaksanya bekerja untuk mencerna bagian lainnya.

Belum menyahut kalimat akhir si kakek, Liz Nadiah terus mencoba menggali kebenaran dari apa yang ada dalam kepalanya saat ini.

Sepertinya aku mengenali kakek ini?

"Kamu kenapa melihat Kakek seperti itu, Nak?"

Hingga menit menyeretnya untuk mengingat. "Kakek Panca?" Paras Liz Nadiah berubah menjadi kejut.

Si kakek turut terperanjat. "Kamu tahu nama Kakek?"

Kedua tangan Liz Nadiah kini terangkat, memegang pundak sosok kakek tersebut. "Jadi benar ini Kakek Panca?!"

Kakek mengangguk, yang berarti membenarkan terkaan Liz Nadiah. "Iya, Nak. Tapi dari mana kamu tahu nama Kakek?"

Tanpa menjawab, Liz Nadiah merebut kayu bakar yang dipikul Kakek bernama Panca itu, lalu dicampakannya begitu saja ke tanah. Lantas tak serta merta, dipeluknya tubuh renta itu erat. Air mata telah luruh menghiasi pipi halusnya. "Ini aku Nadiah, Kek. Liz Nadiah."

"Liz Nadiah?" Kakek bergumam dalam irama berpikir. "Liz putrinya Galuh Aisyah dan Shada Yasin?" tanyanya setelah berhasil mengingat dua bait nama itu.

Liz Nadiah mengangguk cepat. "Iya." Pelukan itu terlepas. "Aku putri mereka."

"Ya, Tuhan. Kau masih hidup, Nak?!"

"Iya, Kek."

Dan pada akhirnya, pasar tak jadi dikunjungi Liz Nadiah hari ini. Ia memutuskan untuk ikut bersama Kakek Panca ke kediamannya.

"Kakek kenapa jadi sekurus ini?" Terduduk di atas sebuah bale bambu di dalam rumah ... ahh tidak, bahkan hunian itu tak layak disebut sebuah rumah. Sangat memprihatinkan. Bilik-bilik kayu yang menutupi seluruh bagiannya, sudah terlihat reot, nyaris rubuh. Bahkan cahaya matahari dengan leluasa menembus ke dalamnya, karena beberapa bagian dalam keadaan bolong.

Dengan cangkir stainless loreng bercorak putih hijau, berisi teh hangat di tangannya, Kakek Panca duduk di samping Liz Nadiah. "Kakek kehilangan semuanya, Nak." Tatapannya seolah menerawang pada masa-masa tersulitnya.

Didampingi ekspresi dalam perasaan terluka, Kakek Panca mulai menceritakan segalanya. Tentang dirinya, tentang sebagian besar penduduk yang tiba-tiba menghilang ... berkedok penyaluran tenaga kerja oleh suatu pihak. Namun hingga kini tak ada kabar dan berita. Yang kemudian juga menelan istri dan anak lelakinya.

Yang paling membuat terlihat heran, ialah tentang orang-orang baru dengan berbagai ras, yang selalu berdatangan setiap tahunnya, menggantikan penduduk yang tak pernah kembali.

Dari awal hingga akhir, tak satu hal pun bisa diterima nalar Liz Nadiah. Terlalu aneh.

"Mungkinkah mereka benar-benar bekerja di Luar Negeri, Kek?"

Kakek Panca menggeleng. "Tidak! Itu hanya manipulasi."

"Lantas?!"

"Kakek juga tidak tahu, Liz. Terlalu banyak teka-teki yang terjadi di desa ini." Kakek Panca menjeda sesaat kalimatnya. Disesapnya teh yang mungkin tak lagi hangat itu, perlahan. Lalu kembali pada ceritanya. "Tapi satu yang Kakek yakini ...." Mata Kakek Panca terlihat menerawang. "Mereka semua tak lagi hidup."

Liz Nadiah terlonjak. "Maksud Kakek?"

Atap langit-langit rumah dengan genteng tak beraturan itu, ditatap Kakek Panca dengah siraman kepahitan.

"Kakek pernah menemukan segunduk tanah merah di tengah hutan, di bukit sana." Lantas diam beberapa jenak.

"Lalu?" Liz Nadiah sedikit tak sabar karena terlalu penasaran.

"Hutan itu selalu alami dengan hamparan rumput liar di bawah pohon-pohon besar, yang merambat hampir memenuhi seluruh bagiannya. Tapi gundukan tanah itu ... membuat Kakek penasaran. Kakek menggalinya, hanya menggunakan sebatang kayu yang ujungnya Kakek buat meruncing."

Liz Nadiah masih menunggu.

Sejenak mengambil nafas, Kakek Panca lalu melanjutkan kembali ceritanya.

....

Tak sampai satu meter kedalamannya, tanah gembur yang digali Kakek Panca, sudah mencapai dasar yang tak mungkin lagi digalinya. Bukan berupa batu besar, cadas apalagi harta karun, tanah yang telah membentuk lombang itu ... berisi dua onggok mayat laki-laki dewasa yang dikuburkan serampangan. Bahkan darah segar masih mengalir manis dari bagian tubuh mayat-mayat itu. Terlihat jelas, jika kedua laki-laki naas itu, belum lama dikuburkan.

Kakek Panca yang dulu masih gagah itu, jelas terkejut, seluruh tubuhnya bergetar. Ia mengenali kedua mayat itu. Mereka adalah Rosman dan Hidayat. Dua penduduk desa yang dikabarkan hilang tiga hari sebelumnya.

Bukan karena ia tega, atau pun sama hinanya dengan orang yang telah menimbun tak layak mayat-mayat itu, tapi rasa takut yang teramat sangat, membuatnya mengambil keputusan menimbunkan kembali tanah-tanah itu ke asalnya. Lantas berlari meninggalkan tempat itu sebelum ada yang melihat.

Begitulah ringkasan isi penjelasan Kakek Panca, yang jelas membuat Liz Nadiah terperangah bukan kepalang.

Menutup mulutnya tak percaya, tak satu pun kata terlontar sebagai komentar dari bibir Liz Nadiah.

Dan kenyataan itu membuatnya tak lagi yakin ... jika ibunya masih dalam keadaan hidup.

...••••...

Cinta - Luka

Di sebuah resto yang terselip di antara bangunan-bangunan megah di pusat sebuah kota besar, seorang lelaki berusia 29 tahun, duduk mengisi selingkar kursi rotan, dengan tiga kursi lainnya ... nampak kosong melompong.

"Kamu kemana, Nad?" Ia bergumam muram, seraya terus mengocek segelas jangkung jus alpukat yang sama sekali belum dicicipinya. "Kenapa pergi tanpa memberitahuku? Aku rindu, Nad ... sangat rindu kamu."

Masih dalam mode suara pelan, bibir lelaki itu terus menggumamkan kesenduannya. Ia baru saja kehilangan. Kehilangan yang dirasakannya entah sebagai apa dan siapa.

Kakak yang kehilangan adiknya?

Seorang sahabat?

Atau seorang pria atas wanita yang dicintainya?

Entahlah!

Ia bahkan tak bisa menelaah perasaannya sendiri. Satu kata yang jelas dalam hatinya yang kini terasa kosong ... kehilangan!

Kenan Lingga!

Seorang Ahli Patologi Forensik. Pekerjaannya selalu berkaitan dengan orang mati dan juga hukum. Sederhananya ... dia adalah seorang 'dokter bedah mayat'. Ia bertugas di sebuah rumah sakit besar, tak jauh dari posisinya saat ini.

....

Tiga hari sudah pencariannya atas Liz Nadiah. Wanita ceria yang hampir tak pernah absen menemani kesehariannya selama berada di kota itu.

Liz Nadiah menghilang dari pandangan Kenan Lingga dari empat hari yang lalu, tanpa kabar dan berita. Rumah kontrakan yang ditempati gadis itu sebelumnya, telah kosong. Lengkap dengan barang-barangnya yang juga turut bersih tak bersisa. Tidak ada aktifitas media sosial, bahkan nomor ponsel yang biasa digunakannya pun, kini tak lagi aktif.

Wajah frustasi Kenan Lingga semakin kentara. Rambut gondrong yang biasa disisirnya rapi, kini nampak berantakan. Lingkaran hitam di sekitar matanya, juga ikut mensponsori.

Liz Nadiah adalah satu-satunya wanita yang paling dekat dengannya. Sosok ceria yang selalu berdiri di sampingnya memberi semangat.

"Harus kemana lagi aku mencari kamu, Nad?" Seraya menengadah, kedua telapak tangannya kini beralih menyapu kasar rambut yang panjangnya masih melewati pundaknya.

Sampai sebuah suara mengusik tatanan sendunya itu. "Kenan!"

Kenan Lingga mengerjap, lantas menegakkan tubuhnya usai dilihatnya, si mpunya suara. "Lea."

"Dokter Glen mencari kamu dari tadi." Malea Lupi memberitahu, sembari bertekuk tubuh mengisi kursi kosong di samping Kenan Lingga. Jas putih kebanggan berpadu span hitam masih nampak melekat di tubuh jenjangnya. Ia jelas cantik.

"Untuk apa dia mencariku?"

Malea menggedik bahu. "Aku tidak tahu. Mungkin mengajakmu makan siang."

"Oh, hanya itu." Terdengar hembusan kasar dari nafas Kenan Lingga, lantas kembali mengacak minuman kental miliknya itu dengan sedotan hitam yang mungkin telah lelah karena tak juga digunakan seharusnya. Sepertinya kehadiran wanita itu sama sekali tak membuat perhatiannya teralih.

"Masih tak ada kabar dari Nadiah?" Malea Lupi bertanya coba-coba. Tak sesaat pun matanya beranjak dari wajah pria itu.

Kini paras tegas Kenan Lingga bergeser menatap wanita yang duduk di sampingnya itu. Hanya menatap. Semburat muram terhubung resah, mulai kembali melukis kental di wajahnya. Lalu menyusul sebuah gelengan yang berarti; "Tidak ada. Nadiah benar-benar telah menghilang, Lea. Aku tidak tau harus kemana lagi mencarinya."

Ada sekilat getir yang menyusup ke dalam rongga hati Malea Lupi. Pasalnya, gadis itu dengan besarnya memendam cinta pada Kenan Lingga. Namun terhalang perhatian penuh pria itu pada gadis lainnya ... Liz Nadiah. Seorang wanita yang bahkan hanya ... katakan saja orang baru di hidup Kenan Lingga.

Awalnya Malea Lupi senang dan merasa menang, karena tak lagi ada duri di antara cintanya. Namun telak, tak akan mudah untuk menggeser sebuah posisi di mana ada ketangguhan yang bahkan ia pun tak bisa menyentuh apalagi menghancurkannya. Kenan Lingga, separuh jiwanya ... adalah milik seorang Liz Nadiah. Gadis sederhana yang bahkan tak lebih cantik darinya.

Namun ada satu hal yang membuatnya terheran.

Mengapa Kenan Lingga dan Liz Nadiah tak pernah mengesahkan kedekatan mereka dalam sebentuk pertalian yang lebih intim?

Menjadi sepasang kekasih--setidaknya seperti itu.

Karena jelas, chemistry pekat antar kedua manusia itu, sangat mencolok. Tak dipungkir oleh pandangan atau pun waktu.

Sedangkan antara Kenan Lingga dan dirinya ... mungkin hanya sebatas roman sepihak, yang tentu saja Malea Lupi sendiri yang mengisi singgasana cinta itu, tanpa balasan dari sang dinanti.

Nyaris sampai detik ini, perasaannya masih kuat tersembunyi di balik kepura-puraannya.

Getir telak ditelan, hanya harap yang terkais dalam sebaris angan di sisa penantian.

Tapi tidak untuk kali ini!

Ia harus mencobanya. Mencoba berperang menghantam ketidakberdayaannya sendiri, yang sudah jelas tak akan menjadi apa pun, kecuali luka, luka dan luka.

"Kenan." Memecah kesunyian di antaranya, Malea Lupi memulai sesuatu yang tak pernah ia mulai sebelumnya. Ada ketegangan di sekitar dirinya yang berusaha ia bungkus dalam paras biasa saja.

Hanya sekilas Kenan Lingga menatapnya, lalu kembali acuh dan memusat pada minuman yang sedari tadi hanya dijadikannya mainan. "Ada apa?"

Nada datar itu sedikit membuat nyali Malea Lupi mengecil. "Umm ..." Kesepuluh jari tangannya saling meremas, hingga berkeringat.

Teruskan atau tidak?

Begitu kira-kira yang ada dalam pikirnya.

Memejamkan sejenak matanya untuk sekedar menepis ragu. Menarik napas dalam diam, berusaha agar pria itu tak menyadarinya. "Apa sebegitu besarnya kamu menyukai Nadiah?" Akhirnya, pertanyaan itu lolos dari tenggorokannya yang tercekat. Menerobos beban, menanti jawaban dalam harap dan juga cemas--Malea Lupi.

Dan sejurus pertanyaan itu berhasil mengusik kediaman Kenan Lingga. Wajahnya kembali bergeser menatap wanita itu. "Maksudmu?" Ia bertanya dengan kening berkerut dalam. Cukup terdengar janggal di telinganya.

Menundukan kepalanya, menatap kedua tangan yang semakin basah oleh keringat di atas lahunannya, cukup tegang Malea Lupi menghadapi situasi tak biasa yang baru saja diciptakannya itu. "Kulihat kamu begitu frustasi." Kini wajahnya mulai terangkat meskipun tak tegak. "Semenjak Nadiah menghilang, banyak waktu penting yang kamu abaikan hanya untuk mencari Nadiah."

Pertanyaan dan pernyataan itu cukup menghentak perasaan Kenan Lingga. Kini perhatiannya tak lagi pada pada gelas jus, yang isinya mungkin telah hambar, seiring es batu yang mulai mencair. Tubuhnya telah tegak menghadap Malea Lupi. Tatapannya jelas tak lagi bersahabat.

"Sebanyak waktu yang aku miliki, sebanyak itu pula Nadiah menjadi isi di dalamnya," ucap Kenan Lingga tegas dan menekankan.

Ia bengkit berdiri. Merogoh isi dompetnya, lalu diletakannya selembar uang yang nominalnya jauh berkali lipat melebihi harga minuman yang bahkan tak sedikit pun disesapnya. "Aku permisi."

Ada pukulan luar biasa menghantam ulu hati Malea Lupi. Jelas lebih dari sekedar sakit. Niat hati menjolkan diri mengganti peran utama, apa daya ... figuran pun telak tak lagi punya tempat.

Kaca-kaca bening di bola matanya, telah pecah. Ditatapnya punggung tegap Kenan Lingga yang kini mulai menjauh dari pandangannya. "Aku benar-benar tak akan pernah punya kesempatan."

...••••...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!