MANTAN NYEBELIN
Bagian 1 : Sekelas Sama Mantan
“Aline, udah siap belum? Bang Aldi udah nungguin tuh,” teriak Kak Andine dari depan pintu kamarku.
“Bentar lagi, Kak .... “ jawabku dengan berteriak pula sambil membenarkan make-up tipis di wajah ini.
“Buruan, Line! Entar ditinggal loh, Bang Aldi udah di mobil tuh.” Suara Kak Andine terdengar kesal.
“Iya, iya. Aline udah selesai kok,” ucapku sambil menuju pintu.
Ketika membuka pintu kamar, Kak Andine sudah tak ada lagi, mungkin ia sudah bersiap – siap mau berangkat kuliah. Aku berlari menuruni anak tangga, kala terdengar bunyi klakson mobil dari arah depan rumah.
‘Ah, Bang Aldi ngamuk dah tu, mati gue!’ Aku berlari menuju teras dan tersenyum pada Kak Andine yamg sedang menyapu lantai.
“Astaga, Aline! Mau sekolah apa kondangan lo?!” sergahnya sambil geleng – geleng kepala menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Aku mengerucutkan bibir sambil memutar bola mata. “Ya, sekolah dong, Kak.”
“Kok pakai lipstik segala, terus di bawah matanya kenapa merah – merah begini? Kayak habis dipukuli saja,” cibirnya lagi.
Bang Aldi membunyikan klakson mobilnya. “Buruan lo, Line! Gue tinggal nih,” ancamnya sambil menghidupkan mesin mobil.
“Ya udah, Aline berangkat dulu,” ujarku sambil meraih tangan Kak Andine. “Assalammualaikum.” Aku segera masuk ke mobil Bang Aldi.
“Waalaikumsalam. Hati – hati!” Kak Andine melambaikan tangan pada kami.
Bang Aldi menyambutku dengan tampang dongkol, lalu melajukan mobilnya. Kukeluarkan kaca kecil dari tas, kemudian menatap wajah cantik yang menurutku dan menghapus sedikit lipstik yang dikomentari Kak Andine tadi. Dia memang norak, masa dandanan ala Korea begini dibilang kayak habis dipukuli, gak gaul amat sih!
“Besok – besok, kalau masih mau nebeng Abang, jam 06.30 lo harus udah siap! Kalau nggak, siap – siap aja pergi ke sekolah jalan kaki!” ucap pria berjas hitam itu sambil melirikku dengan mata tajamnya.
Aku hanya meliriknya sekilas, dia memang Abang yang kejam. Gini deh nasib anak yatim piatu, punya abang sangar, kakak juga galak. Nasib, nasib. ‘Semoga saja pacar gue nanti orang baik dan penyayang.’
“Oke, Bang,” jawabku pelan soalnya malas berdebat dengan pria yang selalu mau menang sendiri itu, apalah dayaku yang hanya seorang adik bungsu dan masih mengharap penghidupan yang cukup darinya.
“Nanti pulang sekolah telepon aja, kalau Abang gak sempat jemput, nanti akan ada orang yang Abang suruh buat jemput lo.”
“Aline bisa naik taxi, Bang,” jawabku malas sambil meliriknya lagi.
“Gak boleh naik taxi, harus tunggu jemputan!”
‘Astaga, Bang Aldi, gue udah gede kali, bukan anak SMP lagi.’ Aku menghela napas dengan hati yang dongkol. ‘Apa – apaan ini, aku seperti tawanan saja.’
Taklama kemudian, mobil Bang Aldi telah berhenti di depan sekolahku. Iya, SMA 1 Ketapang, salah satu sekolah favorit di kota ini. Setelah salim kepada pria berusia tiga puluh tahun itu, aku keluar dari mobil. Kutunggu mobil hitam itu pergi, barulah aku melangkah memasuki gerbang sekolah. Hem, tak terasa akhirnya masa OSPEC lewat sudah dan hari ini sudah aktif belajar. Akhirnya bisa memakai seragam abu – abu ini dan menjadi siswi SMA. Kata orang, masa SMA ini adalah masa yang paling indah dibanding masa sekolah lainnya. Masa di mana bisa menebar pesona kepada lawan jenis, yang pastinya para cowok – cowok ganteng di sekolah ini. Aku harus bisa menggaet salah satu makhluk tampan itu buat dijadikan pacar tentunya, pacar seorang Aline Frisillia.
Setelah melihat pengumuman pembagian kelas di papan pengumuman, aku berjalan menuju kelas. Dengan gaya anggun, aku berjalan melewati koridor. Beberapa pasang mata terlihat memandangku dengan takjub, bisa dibilang terpesona. Ya, wajar saja. Aku cewek bertubuh ideal, dengan tinggi badan 165 cm. Berkulit putih dengan rambut lurus panjang.
“Aline!” Sebuah tangan mendarat di pundakku. “Lo kelas mana?”
Aku menoleh padanya, seorang cewek berkulit kuning lansat berambut ikal sebahu menatapku sambil tersenyum. Dia Amelia, teman SMPku.
“Oh lo, Mel. Gue kelas X IPA 2, lo?” Aku membalas senyumnya sambil membenarkan rambut.
“Sama dong kalau gitu,” jawabnya senang.
Yes, akhirnya ada juga teman yang kukenal dan sekelas. Lumayanlah, Amelia lumayan cantik kok, bisa dijadikan teman di sekolah ini walau waktu SMP kami tak begitu dekat, hanya sebatas kenal saja. Kami telah sampai di kelas dan memilih bangku urutan nomor tiga dari depan.
“Kita sebangku aja ya, abisnya gak ada yang kenal lagi sih. Anak anak dari SMP kita banyak yang gak diterima di sekolah ini,” ucap Amelia sambil mendudukkan pantat di kursi.
“Boleh,” jawabku senang sambil mengedarkan pandangan ke teman – teman sekelas.
Taklama kemudian, pelajaran hari pertama dimulai setelah pemilihan pengurus kelas tentunya. Aku terpilih menjadi sekretaris di kelas ini, walau pura – pura menolak, akhirnya kuterima juga soalnya hasil voting suara aku urutan nomor 4. Yeah, lumayanlah, agar bisa dikenal, aku memang harus melibatkan diri dalam kepengurusan kelas.
Jam istirahat tiba, aku beranjak dari kursi dan berjalan beriringan dengan Amelia, kami akan ke kantin. Tiba – tiba, ketika hendak keluar dari pintu, seorang cowok mendahuluiku dan membuat bahu kami beradu.
“Aduh .... “ ucapku kesal karena bahu ini terasa sakit.
Cowok itu menoleh ke arahku, kami saling pandang beberapa detik. Dia menyunggingkan senyum kepadaku. ‘Astaga, dia si cowok nyebelin yang telah membuatku bersumpah akan merubah bentuk tubuh seperti sekarang ini. Dunia kok sempit amat, kok malah sekelas sama dia sih?’ Jantungku berpacu cepat mendapati dia yang dari masa lalu muncul di depan mata.
“Lo benaran Aline Frisillia?” tanyanya sok cool dengan nada ragu.
“Iya, emangnya kenapa, Allan Dirga?” Aku mengangkat alis menatapnya.
“Kok bisa kurus begini, makan apa lo?” ejeknya dengan sambil mengulum senyum.
Aku menghela napas, berusah menahan diri untuk tidak mengeluarkan jurus ‘cakaran setan’ yang sudah kupersiapkan kalau ketemu cowok kurang ajar yang menyakitkan hati. Sambil memutar bola mata, kulirik tajam dia lalu menggandeng tangan Amelia menjauh cowok sok ganteng itu.
“Dia siapa, Line?” tanya Amelia ketika kami sudah duduk di kantin sambil menikmati semangkok bakso.
“Mantan gue waktu SMP,” jawabku sambil mengigit pentol bakso.
“Ya ampun, jadi sekelas sama mantan? Aduh, senangnya .... “ Amelia bertepuk tangan, lalu tersenyum menggoda. “Bakal CLBK nih kayaknya!” Dia mengedipkan sebelah mata.
“Amit – amit deh, gue benci ama dia. Ya udah, jangan bahas dia lagi! Jadi hilang selera makan gue.” Kudorong mangkok bakso yang baru kumakan setengah porsi.
“Kok gak diabisin?”
“Gue jadi hilang selera kalau ingat si mantan nyebelin itu. Jadi, lo jangan sebut nama dia lagi di depan gue!”
“Oke, oke. Sorry. Tapi, kok bisa benci sih? Emang dulu siapa yang mutusin dan masalahnya apa?” Amelia masih terlihat penasaran.
“Udah deh, jangan bahas dia lagi. Cabut yuk ah!” ujarku sambil mendatangi ibu kantin dan membayar makanan kami.
Amelia mengekor di belakangku, sebab aku berjalan setengah berlari. Moodku jadi tidak baik setelah bertemu Allan, rasanya jadi ingin pindah sekolah saat ini juga. Tapi, baru juga masuk, masa udah mau pindah. Bisa dicincang Bang Aldi ama Kak Andine aku.
Aku duduk di kursi taman sambil memikirkan masalah ini, apa aku minta pindah kelas aja agar gak ketemu Allan lagi? Aku gak bisa leluasa kalau sekelas ama mantan nyebelin itu. Aku benci dia, benci sebenci – bencinya.
Dia seorang cinta pertama yang mutusin aku di hari ke-30 hubungan pacaran kami hanya karena aku gendut. Iya, selama sebulan itu kami hanya pacaran lewat ponsel saja. Aku selalu menolak jika diajak video call sebab tak ingin dia tahu bentuk tubuh semokku terdahulu. Namun, karena tak kuasa diajak ketemu terus, aku mengabulkan juga keinginannya dengan perjanjian ia akan tetap menerima apa adanya diriku.
Setelah bertemu, ia tak menampakkan ketaksukaannya. Namun, baru saja pulang dari bertemu dengannya, ia langsung memutuskan hubungan lewat pesan.
[Kita putus saja. Gue gak nyangka lo segendut itu, gue kira lo cuma montok. Sorry, gue gak suka ama cewek gendut.] Begitulah isi pesan darinya yang membuatku menangis tiga hari tiga malam dan bolos sekolah seminggu.
Sejak saat itu, aku bersumpah akan kurus. Dengan diet ketat dan olahraga teratur selama setahun terakhir ini, akhirnya aku kurus juga. Dari berat badan 75 kilo, kini menjadi 50 kilo. Yeah, aku berhasil membuang 25 kilo daging sial itu, yang telah membuat cinta pertamaku pergi. Walau waktu itu aku baru kelas VIII SMP, tapi tekad karena sakit hati bisa membuatku menjadi seperti sekarang ini. Impianku terkabul, bisa kurus pas masuk SMA.
Bersambung ....
MANTAN NYEBELIN
Bagian 2 : Calon Suami
Aku jadi tak bersemangat kembali ke kelas. Apalagi setelah tahu meja Allan tepat berada di belakangku. Pokoknya aku harus bisa pindah kelas, bisa mati secara perlahan kalau berada sedekat ini dengannya. Ini bukan karena rasa cinta yang masih ada, namun karena dendam atas penghinaannya setahun yang lalu masih membatu di hati ini.
Bel pulang sekolah berbunyi, aku bernapas lega dan langsung mengemasi buku pelajaran. Aku berjalan bersama Amelia melewati koridor, ia memisahkan diri ketika melewati halaman parkiran sebab ia sekolah bawa motor sendiri.
Setelah menelepon Bang Aldi, aku berdiri di depan pintu gerbang menunggu jemputan. Sebuah motor ninja merah berhenti di sampingku.
“Hai, Line, lagi nunggu jemputan, ya?” sapa cowok di atas motor ninja itu sambil menaikkan kaca helmnya.
‘Astaga, dia Allan. Aku merengut menatapnya. Dasar cowok sok ramah, sok baik, sok deh pokoknya. Aku benci!’ Aku sedikit terkejut melihat sikap sok ramahnya.
"Iya," jawabku dengan suara datar.
"Mau gue antar pulang?" tawarnya dengan menyunggingkan senyum maut, hati ini jadi deg-deg'an.
“Makasih, gak usah repot – repot!” jawabku pura-pura acuh sambil mengontrol perasaan aneh yang mulai menjalar ke seluruh tubuh.
Taklama setelah itu, mobil Bang Aldi berhenti di hadapan kami. Seorang pria muda dengan setelan jas abu-abu keluar dari mobil. Hem, dia pasti staf kantornya abangku. Aku sediikit lega dan tersenyum kecil.
“Jadi, gak mau diantar pulang nih?” tanya Allan lagi sambil melepas helm, aura ketampanannya semakin terpancar. Sumpah, dia keren.
Hatiku makin dag – dig – dug melihat tatapan matanya, namun segera kutepis perasaan aneh yang semakin muncul tanpa komando itu.
“Benar. Itu, calon suami gue udah jemput. Gue duluan, ya!” ucapku sambil berlari masuk ke mobil dan melambaikan tangan pada Allan. Cowok berkulit putih itu tampak terkejut dan melongo. Aku yakin, ia pasti spot jantung. Aku menahan tawa.
Astaga, aku ngomong apa tadi? Kok kubilang staf Bang Aldi ini suami sih? Kulirik pria di depan setir itu. Dari tampang, ia lumayan ganteng dan penampilannya juga oke, ya ... gak malu – maluin juga kalau diakui sebagai calon suami. Biar Allan tahu rasa dan gigit jari. Aku tersenyum puas.
Mobil melaju membelah jalanan. Tanpa bercakap sepatah kata pun, kini kami telah sampai di depan rumah.
"Terima kasih, Mas," ujarku sambil keluar dari mobil.
"Iya, sama-sama. Saya permisi," jawabnya pria rambut belah samping itu.
Aku tersenyum padanya, mobil pun melaju kembali. Aku masuk ke rumah dengan sambil tersenyum mengingat ekspresi Allan tadi. 'Tahu rasa lo, Nyesel-nyesel deh dah mutusin gue.'
Keinginan buat pindah kelas kukubur sudah. Setelah kupikirkan semalaman, tak ada salahnya sekelas sama mantan nyebelin itu. Mungkin inilah saatnya menunjukkan sisi-sisi positif dalam diriku dan berharap ia menyesali penghinaannya setahun yang lalu. Bukan berarti juga aku berharap bisa balikan lagi sama dia, nggak sama sekali! Aku hanya ingin membuat die menyesali sikapnya dahulu.
**********
Pagi ini, aku sudah bersiap dengan seragam sekolah. Sesuai ultimatum dari Bang Aldi, pukul 06.30 aku sudah menantinya di teras.
"Gak sarapan dulu, Line?" Kak Andine menghampiriku yang sedang membenarkan dandanan di depan ponsel dengan kamera depan.
"Entar sarapan di sekolah aja," jawabku sambil memoles lipglos di bibir. "Takut ditinggal Bang Aldi, Kak." Aku melirik wanita berjilbab itu.
Kak Andine masuk ke dalam dan kembali lagi sambil membawa kotak makan.
"Sarapan di mobil aja, entar penyakit mag lo kambuh. Kakak tak kuasa menunggui kamu kalau masuk rumah sakit nanti. Ingat, jangan sok-sok mau diet lagi, tubuh lo dah ideal. Oke?!" ucapnya sambil menyodorkan kotak makan berwarna biru itu.
Aku menghela napas dan menerimanya dengan manyun. Gitu deh Kakakku yang semok ini, kata-katanya memang tanpa basa-basi.
Beberapa detik kemudian, Bang Aldi keluar dari rumah dan berjalan menuju mobilnya. Aku mengekor dari belakang dan mengikutinya masuk ke dalam kendaraan berwarna hitam itu.
"Nah, besok-besok harus seperti ini." Bang Aldi menyunggingkan senyumnya.
Tanpa menjawab pujian atau olokan pria yang hoby berpakaian serba hitam itu, aku masih sibuk mengamati wajah di depan kamera ponsel. Aku harus selalu tampil memesona dan harus bisa bersikap santai di depan mantan nyebelin yang sok ganteng itu. Kuhembuskan napas dengan anggun.
********
"Jangan ke mana-mana sebelum jemputan datang!" tegas Bang Aldi sebelum mobilnya melaju.
Aku hanya mengangguk dan mengacungkan jempol. Ucapan Bang Aldi memang selalu bernada perintah, aku malas membantah.
Dengan gaya anggun, aku melenggang di koridor menuju kelas. Saat melewati kelas XI IPA 1, Kak Raka terlihat menyungingkan senyum padaku. Dia Kakak kelas anggota OSIS yang waktu OSPEC begitu perhatian padaku. Cowok bermata sipit itu menghampiriku.
"Hay, Line," sapanya.
"Hay juga, Kak Raka," jawabku sambil membalas senyumannya.
"Udah sarapan belum? Ke kantin, yuk!" ajaknya.
"Belum, Kak. Aline simpan tas dulu tapi, ya .... " jawabku.
"Ayo!" ujarnya sambil berjalan di sebelahku.
Hatiku bersorak girang, pagi-pagi dah diajak sarapan ama Kakak kelas seganteng Raka. Yuhuuu, gak lama lagi mungkin dia bakal diminta jadi pacarnya. Yes, itulah jawabanku nanti.
Setelah menyimpan tas, aku menghampiri Kak Raka yang menunggu di depan kelas. Namun, ketika aku melewati pintu, Allan juga masuk ke kelas. Dia menatapku sinis. Tak kugubris dia, Kak Raka sudah menggandeng tanganku menuju kantin. Ya ampun, telapak tangannya lembut banget. Aku cekikikan dalam hati. Ini perdananya tanganku di gandeng seorang cowok.
Sarapan pagi ini terasa sangat nikmat, bubur ayam dengan bumbu senyum manis Kak Raka. Ya tuhan, aku gak nyangka bakalan secepat ini ketemu calon pacar. Setelah selesai sarapan, Kak Raka mengantarku sampai di depan kelas dan kami janjian bakalan ketemu lagi pas jam istirahat.
Bel tanda masuk telah berbunyi, dengan senyum bahagia, aku duduk di kursi dengan memalingkan pandangan dari cowok sok cool yang duduk tepat di belakangku.
"Lo selingkuh, ya, Ndut? Gue laporin calon suami lo!" bisiknya dari belakang.
Astaga, ngoceh apalagi nih cowok sok ganteng? Aku menolehnya sekilas dengan dongkol.
"Hahaa, dasar cewek gendut tukang selingkuh!" ejeknya lagi.
Aku memutar bola mata dan seketika ingatan peristiwa kemarin siang berputar lagi di kepalaku. Astaga, aku baru ingat mengenai pengakuan kalau sudah punya 'calon suami'.
"Jangan ikut campur urusan gue!" ujarku dongkol sambil menoleh sekilas.
"Hahaa, takut, ya? Sorry, gue gak bisa membiarkan perselingkuhan di depan mata," bisiknya lagi.
Tak kuhiraukan ocehan si mantan nyebelin itu, heran ... kok dia makin nyebelin aja. Pelajaran pertama dimulai, Bu Tika guru Biologi sudah memasuki kelas. Pelajaran pun dimulai.
"Oke, semua. Sekarang saya mau kalian buat makalah tentang lima materi yang sudah saya jelaskan tadi. Sekarang saya kasih kesempatan kalian membentuk kelompok belajar sendiri. Lima menit lagi kumpulkan nama-nama kelompok ke atas meja saya," ujar Bu Tika sambil berjalan mengitari kelas."Satu kelompok terdiri dari 4-5 siswa," sambungnya lagi.
"Bu, kami kelompok 1," ujar Allan sambil mengangkat tangan dan mengulurkan secarik kertas kepada Bu Tika.
"Oke, Allan. Anggota kelompok kamu : Allan Dirga, Farhan Nikolas, Aline Frisillia, dan Amelia Sasmita," ujar Bu Tika sambil membaca kertas dari Allan.
Oh, my god. Kok main tulis namaku tanpa konfirmasi dulu? Aku melotot pada cowok yang sekarang sedang menyunggingkan senyum jahil.
"Allan, kapan gue minta sekelompok sama lo?" ujarku.
"Emang kenapa? Lo gak kuat sekelompok sama mantan? Takut baper, ya?" ejeknya dengan terus tersenyum.
"Ih, kok nyebelin banget sih!" lirihku dengan menghembuskan napas jengkel.
"Udah, Line! Gak ada salahnya kok kalau kita satu kelompok, 'kan bangkunya dekatan." Amelia mencoba menengahi.
Aku membalikkan tubuh dan menghadap ke depan. Oke, terserah sajalah. Aku harus bisa bersikap santai. Tarik napas dan hembuskan perlahan. Marah-marah gak jelas hanya akan bikin wajah cantikku berkerut saja. Hem, aku harus selalu tampil fresh, apalagi jam istirahat udah janjian ama Kak Raka. Duh, jadi gak sabar buat ketemu dia.
Bersambung ....
Mantan Nyebelin
Bagian 3 : Tugas Kelompok
Ketika bel pulang berbunyi, aku langsung mengemasi tas. Setelah selesai berdoa dan salim kepada guru, aku bergegas keluar dari kelas. Amelia, Farhan dan Allan mengikutiku dari belakang.
"Line, cepat ama jalannya?" Allan mencolek pundak dan berjalan tepat di sampingku.
"Apa sih?" Aku menatap jengah cowok dengan rambut acak-acakan itu.
"Kapan nih mau ngerjain makalah biologi?" tanyanya lagi.
"Nanti-nanti aja deh, gue mau pulang." Aku menghela napas.
"Lo bisanya kapan, Lin?" Amelia juga turut bicara.
Aku mengembungkan pipi dan membalik tubuh lalu berkata, "Besok-besok deh, yang jelas jangan hari ini."
"Oke, di rumah lo ya kita ngerjainnya?" Allan menaikkan sebelah alis.
"Terserah aja deh di mana juga, ya udah gue duluan." Aku memutar haluan dan menghampiri Kak Raka yang berdiri menantiku di depan kelasnya.
Allan melirikku dengan tampang sebal lalu melangkah meninggalkanku, Amelia dan Farhan mengikutinya menuju parkiran.
"Ayo, Line!" ujar Kak Raka sambil menggandeng tanganku.
Kamu berjalan bergandengan tangan menuju pintu gerbang sekolah.
"Ayo, Line! Kak Raka temani kamu nunggu jemputan," ujarnya sambil tersenyum.
Astaga, tangan Kak Raka hangat banget. Pelukannya juga tak kalah hangat nih, aku menahan senyum membayangkan dekapan cowok bertubuh atletis itu.
Di sebelah kanan pintu gerbang, sebuah mobil hitam milik Bang Aldi sudah bertengger. Melihat kedatanganku, seorang pria berjas abu-abu keluar dari mobil. Hmm, dia staf kantor abangku lagi yang jemput.
"Kak, mobil jemputan gue udah datang. Duluan, ya," ucapku sambil menatapnya.
"Iya, hati-hati. Kalau udah sampai rumah, chat Kak Raka, ya!" ucapnya lembut.
"Kak Raka pulangnya pakai apa?"
"Itu, mobil Kak Raka ada di parkiran," jawabnya lagi.
"Ya udah, sampai ketemu besok, ya!" Aku melambaikan tangan kepadanya dan berjalan menuju mobil.
Belum sempat masuk ke mobil, sebuah motor ninja merah berhenti tepat di sampingku.
"Gila lo, ya! Di depan calon suami saja masih bisa selingkuh," ujar cowok di atas motor itu, dia adalah Allan si mantan nyebelin. Dia gak bisa apa kalau gak gangguin aku? Aku meliriknya kesal lalu masuk ke mobil.
"Ayo, Mas!" ucapku sambil memasang sabuk pengaman.
"Oke," jawab pria yang namanya saja tak kutahu itu.
*********
Malamnya, setelah menikmati salad buah, aku berjalan menuju tangga. Aku sengaja gak makan nasi kalau malam begini, demi tubuh ideal ini. Makan buah-buahan saja sudah cukup. Bang Aldi berjalan dari arah pintu, ia pasti baru pulang dari kantor. Sedang Kak Andine, ia menonton televisi di ruang tengah sambil membaca buku.
"Line, ikut ke ruang tengah dulu yuk! Bang Aldi mau kasih tahu sesuatu," ujarnya sambil memikul jas.
Aku mengekor dengan mata tak lepas dari ponsel, soalnya lagi chat sama Kak Raka.
"Besok malam, kalian berdua temani Bang Aldi makan malam dengan seseorang," ucap Bang Aldi sambil mengendorkan dasinya
"Hmm, calon istri Bang Aldi, ya?" Kak Andine tersenyum menggoda pria berkulit kuning langsat dengan rambut klimis itu.
"Gak juga, belum pasti. Tergantung restu dari kalian berdua lagi," jawab Bang Aldi sambil mengangkat bahu dengan gaya sok coolnya.
"Andine sih, kalau Abang dah 'Yes', ya ... ikutan 'Yes' juga. Iya gak, Line?" Kak Andine mencolek pundakku.
"Ah, iya. Yes!" jawabku sambil nyengir.
"Ah, kalian ini ada-ada saja." Bang Aldi beranjak dari meraih jasnya lalu meninggalkan aku dan Kak Andine.
Kak Andine masih fokus pada film Korea-nya, aku kurang suka drama melow. Lalu beranjak menuju kamar dan merebahkan diri.
[Ya udah, bobok sana!] Kak Raka chat lagi.
[Belum ngantuk, Kak. Kak Raka aja yang bobok duluan.] Balasku.
[Hemm, sampai ketemu besok sweety 😘]
Aku tersenyum senang mendapat emot kiss love darinya, girang bukan main hati ini. Mungkin gak lama lagi dia bakal nembak. Aku mendekap ponsel sambil membayangkan wajah tampannya.
Tak lama berselang, ada tanpa pesan masuk lagi. Langsung kubuka, pasti Kak Raka lagi deh. Mungkin mau ngajak video call.
[Ndut, gue udah sepakat ama Amel dan Farhan, besok pulang sekolah kita ngerjain tugas biologi di rumah lo.]
Ah, itu whatsApp dari nomor baru dan aku langsung tahu si pengirim pesan. Tak lain dan tak bukan, si mantan nyebelin. Dasar pek'ak, gue udah kurus begini malah dipanggil 'Ndut.' Benar-benar menyebalkan!
[Kok di rumah gue?] Kubalas pesan Allan.
[Terus lo maunya di rumah siapa? Rumah gue, mau lo? Emang calon suami lo bolehin?]
Astaga, Allan ... lagi-lagi dia nyebut 'calon suami'. Aduh, bisa berabe juga sih kalo dia sampai ngasih tahu Kak Raka tentang itu. Bisa putus hubungan sebelum jadian gue. Aku menepuk jidat kesal.
[Ya udah, kita bicarakan besok lagi. Gue mau tidur, ngantuk.]
Kutunggu balasan pesan dari Allan, namun ia sudah offline. Ah, dia kok bikin hidup gue gak tenang begini.
*********
Pagi ini, Bang Aldi sudah tak terlihat lagi dirumah. Aku jadi kasak-kusuk, pakai apa nih ke sekolah Aku menggerutu sebal.
"Kenapa, Line?" Kak Andine menyambutku di meja makan.
"Bang Aldi kok ninggalin gue sih, Kak? Baru juga pukul 06.25."
"Bang Aldi buru-buru tadi, jam 05.45 dia dah berangkat ke bandara mau ke Pontianak. Ada rapat dadakan ama klien penting."
"Terus gue ke sekolah gimana?"
"Oh, staf kantornya Bang Aldi dah nungguin lo kok di depan."
Aku mengerutkan dahi dan tersenyum senang. "Ya udah, gue berangkat dulu Kak," ujarku sambil salim kepadanya. "Oh ya, entar pulang sekolah gue mau ngerjain tugas kelompok, Kak. Jadi pulangnya mungkin sore."
"Hmmm, ngerjain tugasnya di sini aja! Jangan kelayapan, entar Bang Aldi marah."
"Dia 'kan lagi gak ada, Kak."
"Nanti sore dia udah pulang."
Aku mengerucutkan bibir dan meninggalkan Kak Andine. Ya elah, mau jalan-jalan keluar aja susahnya minta ampun. Gagal deh rencana ngedate gue ama Kak Raka. Aku berjalan dengan gontai dan mendapati pria sisir belah samping itu sudah berdiri di depan mobil. Aku masuk ke mobil, dia pun tancap gas. Seperti biasa, kami tak saling bicara.
"Mas, namanya siapa sih?" tanyaku mencoba beramah tamah dengan pria di sampingku yang hari ini dengan setelan jas cokelat.
"Nama saya Muhammad Faiz," jawabnya dengan suara datar
"Oh .... " Aku manggut-manggut. "Apa gak merepotkan tiap hari antar jemput gue?"
Dia menggeleng. "Tidak, ini sudah tugas saya."
Ya ampun, ngomongnya formal banget. Aku memutar bola mata.
"Emang di kantor Bang Aldi, Mas Faiz bekerja sebagai apa sih?" Aku masih saja kepo.
"Saya mengerjakan semua yang disuruh Pak Aldi."
Aku memiringkan bibir lalu mengeluarkan ponsel. Dia orangnya serius sekali, ngomongnya saja tanpa ekspresi begitu.
********
Sesampainya di sekolah, aku langsung pamit pada Mas Faiz, calon suami gadungan. Aku menahan senyum teringat pengakuanku pada Allan.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!