NovelToon NovelToon

Nindy (Hijabers Norak Penakluk Hati)

01. Awal Pertemuan

Jemari itu saling terpaut, menempel di dinding. Kedua tangan sudah tidak bisa digerakkan, melawan juga percuma.

Tenaganya sebagai seorang wanita tak akan bisa mengimbangi tenaga lelaki itu.

Dia menengadah, menatap lelaki yang sudah mengimpitnya. Dan secara bersamaan, tatapan lelaki itu juga mengarah kepadanya.

"Kau ingin tahu, bagaimana rasanya berciuman?"

Dia menggeleng, menunjukkan raut memohon kepada lelaki itu. Namun, seringai licik menghiasi wajah mesumnya, membuat gadis itu ingin segera terbebas dari kungkungannya.

Lelaki itu, dengan kemahirannya, dia menundukkan wajah, mencekal dagu gadis itu lalu membenamkan bibirnya di sana.

Mulai dari gerakan perlahan hingga terasa semakin menggebu, Nindy merasakan bibir atas dan bawahnya dilum*** habis-habisan oleh lelaki itu secara bergantian.

Sampailah pada saat lidah tajam lelaki itu menerobos masuk di antara sela-sela bibir dan membuat gerakan menggoda di sana, membelai lembut permukaan bibir Nindy dan masuk lebih dalam, menjelajah secara liar dan tak terkendali di dalam rongga mulutnya.

Sensasi liar yang Nindy rasakan dengan getaran di dada bersamaan gejolak rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, membuat dia tidak sanggup hanya untuk menopang tubuhnya sendiri. Lelaki itu bahkan tidak mengampuninya, kendati tubuh Nindy sudah melemas akibat ciuman erotis yang dia lakukan.

"Yang ...." Hanya itu yang mampu terucap, ketika pagutan bibir itu terlepas.

"Ini adalah hukumanmu. Jika kau melanggar perkataanku lagi. Maka, kau akan mendapatkan lebih dari ini," ucap lelaki itu seraya pergi begitu saja meninggalkan Nindy.

***

The Miracle Ocean Garden, begitulah yang tertulis di papan besar yang membentang di atas pintu masuk..

Sebuah tempat wisata taman air bawah laut yang baru saja melakukan Grand Opening telah ramai dipadati pengunjung. Penuh sesak antrian di loket pembelian tiket, membuat semua orang yang sudah penasaran akan keindahan taman laut buatan itu, rela menahan panas terik matahari demi mendapatkan sebuah tiket masuk.

Harga yang dibanderol cukup fantastis, tetapi untuk tiga hari ke depan taman laut yang mengusung tema diving ini memberikan potongan harga hingga lima puluh persen.

Cara ampuh untuk berpromosi dengan menurunkan harga tiket yang terbilang selangit, membuat banyak wisatawan berbondong-bondong berebut tiket dengan mengantri sejak pagi. Antrian yang mengular, membuktikan bahwa antusias wisatawan begitu besar terhadap tempat wisata baru yang sudah sangat viral keberadaannya.

Bagaimana tidak? Sebelum tempat wisata itu selesai dibangun, banyak sekali media yang menyorot akan keindahannya. Sehingga, ketika mendapat kabar pembukaan pertama, tanpa menunggu lama dan promosi besar-besaran, wisatawan sudah menunjukkan antusias yang luar biasa.

"Maaf, Pak. Kami akan menyelesaikannya dengan segera." Lelaki berseragam abu-abu tampak ketakutan dengan menundukkan wajahnya ke dalam.

Seseorang yang dipanggil dengan sebutan 'Pak' itu menunjukkan keberangannya. Wajah tampannya diterpa terik matahari yang menyengat kulit, membuat wajah itu lebih memerah.

"Lalu, kenapa kau masih di sini. Cepat pergi!" hardik pria itu sembari menunjukkan wajah dinginnya.

Hari ini adalah hari penting bagi The Miracle Ocean Garden yang melakukan Grand Opening besar-besaran. Taman air bawah laut telah resmi dibuka dengan banyaknya wahana-wahana seru yang menarik untuk dicoba.

Seharusnya semua berjalan dengan baik, tetapi ada masalah kecil di bagian pengaturan stand penjual makanan. Stand-stand itu diatur berderet memanjang yang nanti akan digunakan oleh para wisatawan untuk menghabiskan waktu beristirahat mereka dengan mengenyangkan perut. Kendati hari masih belum terlalu siang dan tampaknya pengunjung belum ada yang berniat untuk datang ke area, tetapi tetap saja harus segera diselesaikan.

Lelaki bermata sipit itu, yang merupakan pemilik serta presdir dari perusahaan utama, yang membangun tempat wisata taman air bawah laut itu merasa tidak puas dengan kinerja anak buahnya. Sehingga, ia harus datang mengecek semuanya yang juga dibantu oleh Asisten setianya, yaitu Asisten Lie Am.

"Tuan Yang, semuanya sudah siap. Apakah Anda ingin memeriksanya terlebih dulu atau kembali ke perusahaan?" tanya Asisten Lie Am kepada lelaki itu.

Dia bernama Yang Pou Han. Lelaki berdarah Chinese yang merupakan pemilik saham terbesar dari perusahaan YP Group dan saat ini sedang melebarkan sayap ke dunia pariwisata.

Lelaki itu mengangguk, "Aku akan melihatnya nanti. Kau boleh pergi," ucapnya seraya mengambil ponsel yang berbunyi di salah satu saku jas.

Asisten Lie Am bergegas pergi setelah mendengar jawaban dari atasannya itu. Banyak hal yang harus ia kerjakan dan periksa, karena grand opening yang mereka lakukan kali ini harus terlihat sempurna dan tanpa cacat di mata para pengunjung.

Yang Pou Ha menerima panggilan telepon dari seseorang rekannya yang juga teman masa kecilnya. Seseorang yang memiliki saham empat puluh persen dari perusahaan utama YP Group, dan tentunya adalah orang penting di jajaran komisaris pemegang saham.

"Halo," jawab Yang sesaat setelah menerima panggilan itu.

"Baiklah, aku mengerti. Sebaiknya kau urus saja istrimu. Bukankah dia sedang hamil muda?" ucap Yang dengan wajah sedikit kesal.

Bagaimana tidak kesal, rekannya satu ini selalu memprovokasi, seolah sedang mengejek kesendirian Yang Pou Han yang masih belum juga mendapatkan pasangan. Apalagi istri rekannya yang sedang hamil itu pernah singgah di hati Yang Pou Han. Dan sampai saat ini, Yang belum bisa menemukan perempuan lain yang benar-benar bisa menggetarkan hatinya lagi.

Pernah sekali mengalami kegagalan dalam rumah tangga karena sebuah pengkhianatan, membuat Yang menjadi pria yang sulit untuk jatuh cinta. Dia merasa kesulitan untuk menemukan seorang wanita yang baik dan tidak memandang hartanya.

Dia hampir pernah menemukan wanita yang tepat, tetapi temannya itu bergerak lebih gesit hingga berhasil mendapatkan wanita yang disukai oleh Yang sebelum lelaki itu memperjuangkan cintanya. Sungguh miris nasib percintaan Yang, sangat berbeda dengan kesuksesan yang dengan mudahnya dia raih.

Yang mengakhiri panggilannya ketika pembahasan mereka telah usai. Namun, ketika ia akan memasukkan ponselnya ke dalam saku jas, pandangannya tergerak ke atas yaitu di mana dinding penghalang antara batas dalam dan luar The Miracle Ocean Garden berada.

Betapa terkejutnya lelaki itu, melihat seseorang yang sedang berada di atas dinding mengambil ancang-ancang lalu melompat turun dari ketinggian ke bawah begitu saja.

"Aaaahhhhh," pekik suara seorang perempuan yang meluncur dari atas dinding menurun hingga terjatuh tepat mengenai tubuh Yang Pou Han.

Yang terjerembab dengan posisi berbaring di tanah, sementara perempuan yang tidak tahu diri itu tengkurap di atasnya. Mata keduanya menutup seolah takut dengan apa saja yang baru saja terjadi dan kemudian membuka secara bersamaan.

Tatapan mereka bersirobok dengan mulut yang saling menganga karena terkejut.

"Kau lagi!" geram Yang Pou Han dengan wajah berang melihat siapa yang telah membuat kerusuhan, terjun dari atas ketinggian dan mendarat tepat di atas tubuhnya.

"Tuan Pe ... marah," ucap perempuan itu terbata.

Perempuan itu membulatkan mata, melihat siapa yang sedang terlentang di bawahnya dengan wajah dingin dan sorot mata tajam. Gegas ia berpindah tempat dengan berguling ke kiri agar menjauh dari tubuh pria asing yang sepertinya pernah ia temui dulu.

Kedua orang itu berusaha berdiri sambil mengibas-ngibaskan pakaian mereka yang kotor dengan tanah. Wajah perempuan itu nampak sedikit ketakutan melihat wajah Yang Pou Han yang menatapnya tajam.

"Tuan, maaf aku tidak sengaja. Kau tidak apa, 'kan?" tanya perempuan itu, berusaha tidak membuat keributan dengan apa yang baru saja ia lakukan.

Yang menatap kesal ke arah perempuan berhijab itu, lalu pandangannya beralih ke arah dinding yang tingginya sekitar tiga meter lebih menjulang di depannya. Dinding itu dilengkapi kawat berduri, tetapi ada bagian yang terlewat yang hanya bersisa jarak dua puluh senti meter saja tanpa kawat berduri. Yang menyipitkan matanya yang sudah sipit itu, memindai keseluruhan gadis yang pernah ia jumpai sebelumnya.

"Kau menaiki pagar pembatas setinggi itu? Apakah kau sudah gila?" bentak Yang melihat tingkah aneh gadis itu.

Gadis itu hanya meringis sedikit malu, padahal sebelumnya ia sudah merasa bahwa tempat yang akan menjadi pendaratannya itu kosong, sehingga tidak ada yang menyadari keberadaannya. Namun, diluar dugaan ternyata ada lelaki pemarah yang kini sedang bersitegang dengannya. Ah, mungkin lain kali ia harus lebih berhati-hati dalam menyelinap ke sebuah tempat rekreasi agar bisa masuk tanpa harus membayar tiket.

"Tuan, kau tidak terluka, 'kan? Jadi sebaiknya aku pergi," ucapnya kemudian.

"Tunggu! Kau sudah memasuki area ini tanpa membayar tiket masuk. Jadi aku harus melaporkanmu kepada petugas keamanan." Yang menarik lengan gadis itu yang berbalut dengan pakaian panjang. Tak mengindahkan tatapan ketakutan gadis itu kepadanya.

"Jangan, kumohon lepaskan aku! Bukannya kau tidak terluka, sebaiknya kita berdamai. Ya, ya!" Perempuan itu sedikit memelas mencoba mengiba, tetapi Yang tidak ambil peduli sehingga tetap menarik lengan gadis itu tanpa ingin mendengar alasannya.

Gadis itu meronta agar tangannya dilepaskan. Namun, sepertinya usaha dia sia-sia melihat cengkraman Yang begitu kuat di lengannya. Ah, sungguh ceroboh dia kali ini, padahal dia sudah melakukan trik seperti itu berulang kali, dan baru kali ini ia bisa ketahuan oleh orang lain dan membuatnya harus mebghadapi masalah.

Ketika tangan Yang masih menarik lengannya, gadis itu tiba-tiba bersembunyi di belakang tubuh Yang, seolah sedang berusaha menghindari seseorang yang sangat ditakuti.

"Tuan, jangan bergerak! Kumohon! Jika tidak, dia akan menangkapku." ucapnya pelan berusaha mengambil simpati Yang.

Yang melihat siapa yang membuat gadis itu ketakutan hingga bersembunyi di belakang tubuhnya. Yang mengulas senyum menertawai tingkah bodoh gadis itu. Ternyata seorang petugas yang merazia gelang tangan yang menjadi bukti tiket masuk ke tempat wisata taman air tersebutlah yang membuat gadis itu ketakutan dengan bersembunyi di belakangnya.

Petugas itu menghampiri Yang dengan menyapa sambil menunduk hormat. Namun, ada sesuatu yang membuat perhatian petugas itu terfokus di balik tubuh Yang Pou Han, sehingga kepalanya sedikit mengintip ke belakang demi memeriksa apa yang telah terjadi.

"Apa yang sedang kau lihat!"

Yang membentak petugas itu yang berusaha mengintip dari balik tubuhnya, membuat petugas razia itu terkesiap dan akhirnya meminta maaf.

"Maafkan saya, Tuan Yang. Saya tidak sengaja," ucapnya ketakutan dengan menunduk, menghindari tatapan tajam Yang Pou Han.

"Pergi sana, kerjakan tugasmu. Jangan sampai ada pengunjung yang masuk tanpa membayar tiket. Kau tahu 'kan, apa hukuman bagi penyusup seperti itu?"

"Dia akan berurusan dengan polisi," jawab petugas itu dengan cepat dengan tetap menunduk.

Perkataan petugas itu membuat perempuan yang sedang bersembunyi di belakang Yang membeliakkan matanya.

"Bagus, aku tidak akan mengampuni seseorang yang seenaknya memasuki area ini tanpa memberikan kontribusi apapun dengan tidak membayar tiket. Jadi pergilah, kerjakan tugasmu dengan baik!"

Petugas itu mengangguk, lalu berangsur pergi meninggalkan Yang Pou Han yang sebelumnya sudah berpamitan terlebih dahulu.

"Keluarlah!" perintah Yang kepada gadis itu yang langsung segera berdiri menjauhi tubuh Yang Pou Han.

"Kau pemilik tempat ini?" tanya gadis itu dengan ragu-ragu. Nampak raut muka pasi dari wajah gadis berhijab itu.

Bagaimana ini? Dia menghindari petugas razia tiket, malah bersembunyi di balik tubuh pemilik tempat wisata. Itu sama saja keluar dari kandang singa dan masuk ke dalam lubang buaya.

"Menurutmu? Apa sekarang kita bisa ke kantor polisi?"

Gadis itu ternganga. Ucapan Yang Pou Han di luar perkiraannya, hingga ia harus memutar otak untuk bisa segera keluar dari masalah itu.

"Tuan, jangan lakukan itu! Aku memang tidak membayar tiket, tetapi aku akan memberikan kontribusiku untuk tempat ini dengan cara lain."

Yang tersenyum mengejek, menaikkan sebelah alisnya menanggapi perkataan konyol gadis di depannya itu. "Cara lain, apa maksudmu?"

Gadis itu tersenyum, sepertinya permasalahnnya akan sirna dengan upayanya membujuk si tuan pemarah itu.

"Aku akan me-riview keindahan taman laut ini, lalu akan memasangnya di chanel videoku. Bukannya kau akan mendapatkan banyak pengunjung dari hasil ulasanku." Gadis itu tampak berusaha membujuk Yang Pou Han agar masalah ini tidak diperbesar.

Mengernyitkan dahi, Yang menertawai gadis itu. "Aku tidak membutuhkan ulasanmu. Jika aku mau, aku akan membayar artis papan atas untuk mengiklankan tempat ini."

Yang melangkah mendekat, memerhatikan sesuatu yang berada di belakang punggung gadis itu. "Lalu apa ini? Kau mau mengambil video sebagai konten chanel-mu sambil berjualan snack kepada para pengunjung. Kau sama sekali tidak tahu malu."

Yang menarik ransel gadis itu yang ternyata berisi banyak makanan dan minuman kemasan, yang sudah pastinya akan dijual secara ilegal di tempat rekreasi kepada para pengunjung dengan cara sembunyi-sembunyi.

"Tuan, kau salah paham. Aku hanya ...." Belum sempat gadis itu membela diri, tetapi Yang segera menyelanya.

"Apa?" bentak Yang dan berhasil membuat nyali gadis itu menciut.

Yang mendekati gadis itu yang tidak bisa mencari alasan lagi, lalu ia tersenyum mengejek.

"Kau tidak bisa menyembunyikan rahasia dariku, Pencuri kecil." Yang menekankan kata pencuri untuk mengingatkan gadis itu tentang peristiwa di mana Yang memberinya tumpangan untuk menyelamatkannya dari kejaran preman sewaan mantan majikannya, karena ia telah menghilangkan baju-baju di toko pakaian tempatnya bekerja.

"Tuan, aku ...."

Dia kelabakan, berusaha mencari alasan. Kendati tuan pemarah itu menghinanya, ia harus tetap membuat alasan yang bisa diterima akal sehat.

"Kau tahu aku harus membayar hutang-hutangku kepada mantan atasanku karena telah menghilangkan pakaian termahal yang ada di etalase toko itu. Lalu aku juga harus membiayai kehidupanku di sini yang belum juga mendapat pekerjaan. Jadi aku membuat konten video untuk mengulas tempat-tempat indah di negara ini, dan berkat kepandaianku berbicara dan memberikan ulasan yang baik aku mempunyai banyak follower dan subcriber di chanel-ku. Kau tahu penggemarku sudah ratusan ribu, loh! Jadi aku memanfaatkan keberadaanku di sini untuk menjelajah semua tempat wisata yang ada di negara ini." Gadis itu bertutur dengan panjang dengan mata berbinar dipenuhi rasa takjub luar biasa atas pencapaiannya.

"Lantas, kau merasa bangga akan hal itu, dengan menyusup masuk seperti pencuri kecil?"

Wajah yang tadinya cerah mendadak muram seketika, "Tentu saja tidak," ucapnya dengan lemas.

"Jadi, ayo ikut aku sekarang!"

"Apa...!"

02. Hukuman

Yang masih menarik lengan gadis itu, mengabaikan sikap melawan dari tangan yang sedari tadi meronta menuntut untuk segera dilepaskan.

"Tuan, sedikit kasihanlah kepadaku." Wajah memelas masih ditampilkannya, berusaha mencari simpati Yang agar terbebas dari hukuman yang mungkin sangat mengerikan.

"Masuk!" perintah Yang tegas.

Gadis itu menghela napas berat. Kendati ingin menolak, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain menurut perintah lelaki pemarah itu.

Seseorang berseragam dengan logo "The Miracle Ocean Garden" menempel di bagian dada, datang menghampiri sembari mengangguk hormat ke arah Yang Pou Han.

"Dia pengunjung ilegal. Sebaiknya kau urus dia."

Nampaklah raut ketakutan di wajah gadis itu, menatap Yang Pou Han dengan wajah memohon. Berharap rasa iba hadir dalam hati tuan pemarah itu.

Yang menghempaskan bokongnya di atas kursi sofa, menyandarkan punggung dengan satu kaki ditekuk ke atas lutut kaki yang lain. Tangannya bersedekap sembari menatap lurus ke arah gadis berhijab itu. Pandangan yang ditunjukkannya begitu sulit diartikan.

Gadis itu menelan ludah. Gugup dengan situasi yang sedang terjadi. Apa yang akan dilakukan si tuan pemarah kepadanya?

"Siapa namamu, Nona?"

Seketika pandangan gadis itu teralihkan, menatap petugas yang duduk di balik meja kerja dengan pakaian seragamnya.

Bibir gadis itu bergetar, ragu, tetapi tak ayal dia katakan juga. "Nindy."

"Nama lengkap." Suara dingin dari tuan pemarah itu menyela.

"Anindia Safitri."

Nampaklah petugas itu mencatat nama gadis itu di sebuah kertas dengan menggoreskan pena hitamnya dengan lincah.

"Usia?"

"Dua puluh empat tahun." Sedikit melirik ke arah tuan pemarah, gadis bernama Nindy itu menjawabnya.

"Mengapa Anda tidak membeli tiket masuk?"

Dia terdiam, ingin mencari alasan pun percuma. Karena ia tahu bahwa si pemilik tempat wisata itu tak sebaik penampilannya.

Petugas itu setia menunggu jawaban dari Nindy. Namun, yang ditunggu sepertinya tak ada niatan untuk membuka suara.

Cukup lama kebisuan itu terjadi, hingga pada akhirnya Yang Pou Han angkat bicara.

"Keluarlah! Aku akan mengurusnya."

Lelaki berseragam itu mengangguk patuh. Berdiri dari tempat duduk, melangkah keluar dari ruangannya bekerja, membiarkan tuannya berdua dengan si pembuat masalah.

Nindy bertambah gugup. Matanya tak lepas dari sosok yang sekarang sudah berdiri di depan mata. Alih-alih menghindar, dia justru memperhatikan pergerakan Yang Pou Han dengan was-was.

"Ke kantor polisi, atau bekerja selama satu bulan tanpa dibayar."

Dia ternganga. Pilihan macam apa itu? Tidak ada satu pun yang menguntungkannya.

Memang dia bersalah, tetapi mempekerjakan seseorang selama satu bulan penuh tanpa digaji adalah hal yang sudah sangat keterlaluan, bukan?

Dia butuh makan, juga membayar sewa tempat tinggal. Jika dia bekerja tanpa di bayar, lantas bagaimana cara Nindy mencukupi kebutuhannya setiap hari?

"Janganlah terlalu jahat, Tuan! Kau sudah kaya. Seharusnya sedikit berbaik hati kepada rakyat jelata seperti saya."

Lelaki itu hanya menatap dengan wajah datar. Tidak memedulikan Nindy yang masih mengiba kepadanya.

"Bekerja atau penjara?"

Nindy mendesah kasar. Sungguh dia sangat membenci pria angkuh dan sombong di depannya itu. Tak ayal, akhirnya anggukan ia lakukan demi segera menyelesaikan permasalahan itu agar tidak berlarut-larut.

"Baiklah, aku akan bekerja di sini selama satu bulan penuh."

"Bagus. Pilihan yang bijak. Kau bisa mulai bekerja sekarang, Nona."

Kembali mulutnya ternganga. Tidak menyangka jika hukuman itu diberlakukan mulai sekarang.

"Tidak perlu membuka mulut lebar-lebar. Apakah kau ingin bersaing dengan kuda nil?"

Hinaan macam apa itu? Nindy tidak terima jika wajah cantiknya disamakan dengan kuda nil. Gadis itu ingin membalas perkataan Yang, tetapi pergerakan lelaki itu yang membanting sebuah pakaian yang masih terbungkus plastik di atas meja mengurungkan niatnya.

"Gunakan seragam itu! Setidaknya seragam itu lebih bersih dan harganya lebih mahal daripada pakaian lusuh yang kau kenakan. Waktumu tidak banyak, jadi berhenti berpikir membalas perkataanku dan segera bersiap diri."

Pintu ruangan itu tertutup dengan Yang Pou Han sudah keluar dari ruang pengaduan.

Nindy berdecak kesal. Meskipun begitu, ia segera bersiap diri sebelum mulut pedas Yang kembali mengucapkan kata-kata yang bisa melukai harga dirinya lagi.

***********

Jus jeruk itu berputar-putar bersamaan butiran es kristal dengan pergerakan searah sesuai dengan pipa bambu itu digerakkan. Yang Pou Han duduk di salah satu rumah makan yang berada di lokasi "The Miracle Ocean Garden". Tangannya masih setia mengaduk jus jeruk itu dengan pandangan mengarah keluar, di mana si gadis unik yang baru saja mendapatkan hukuman darinya itu bekerja.

Sedikit senyuman terbit di bibirnya. Yang masih sangat mengingat dengan kejadian saat itu. Tepatnya sekitar satu tahun yang lalu, ketika awal seorang Yang Pou Han resmi berstatus sebagai duda karena kegagalannya dalam membina rumah tangga.

Malam itu, pikiran Yang Pou Han sedang kalut dengan banyak beban yang membebat di kepalanya. Lelaki itu memerintahkan sopir pribadinya untuk segera menepikan mobil. Sepertinya, sedikit menghirup udara malam di luar ruangan bisa membantu menenangkan otak serta pikiran.

Mobil terhenti tepat di atas jembatan. Tampaklah asisten Lie Am yang duduk di samping kursi kemudi masih berkutat dengan berkas-berkas yang dibawanya dari perusahaan dengan beberapa kali menguap sembari menutup mulut yang terbuka menggunakan telapak tangan. Lelaki yang sangat setia dengan Yang Pou Han itu nampak letih dengan banyaknya pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktunya.

Yang meraih tuas pintu, bergegegas membuka pintu seraya menyeret pantatnya ke tepian. Namun, ketika kakinya hendak turun dari mobil, seseorang perempuan yang tak dikenal mendorong tubuh Yang hingga lelaki itu yang hampir keluar dari mobil terpaksa masuk lagi ke dalam mobil itu bersamaan perempuan yang mendorong tubuhnya.

Lelaki itu merasa kesal, ingin memarahinya. Bagaimana ada seseorang yang tidak sopan memasuki mobil pribadinya dan berani mendorong Yang seperti itu.

Namun, ketika mulut Yang akan terbuka, matanya teralihkan kepada beberapa sosok laki-laki bertubuh kekar sedang berlari ke arah mobilnya. Sementara ia melihat perempuan tak dikenal itu sedang menunduk, menyembunyikan tubuh di bawah kursi dengan kepala menyentuh lutut Yang.

"Jalan!" Yang Pou Han memerintahkan sopir untuk menjalankan mobilnya.

Seketika mobil itu melaju, meninggalkan beberapa orang laki-laki berparas preman yang nampak mencari-cari perempuan yang kini bersembunyi di dalam mobilnya.

Yang mengamati perempuan itu yang masih setia membenamkan diri di bawah kakinya. Senyuman tipis terbit di bibir, menertawai tingkah bodoh sosok yang sedang mencari perlindungan di bawahnya.

Perempuan itu berlari dan bersembunyi dari kejaran preman, tetapi justru masuk ke dalam mobil seseorang yang berbahaya sepertinya.

"Kau tidak perlu bersembunyi lagi, Nona."

Perempuan itu nampak terkesiap mendengar perkataan Yang Pou Han. Dia bahkan terlupa jika sedari tadi ada seseorang yang duduk di sebelahnya, karena terlalu fokus bersembunyi dari kejaran preman jalanan yang tengah mengejarnya.

Menegakkan punggungnya, gadis itu tersenyum dengan memasang wajah sungkan sembari menujukkan deretan gigi putihnya kepada si pemilik mobil.

Pandangannya menyapu ke arah luar mobil dan dia baru menyadari bahwa mobil itu sudah dalam posisi melaju.

Dengan mempertahankan senyumnya, dia akhirnya meminta maaf.

"Maaf, Tuan," ucapnya dengan menjauhkan tubuhnya hingga menghimpit pintu mobil.

Yang memperhatikan penampilan perempuan di depannya itu. Dia berpakaian cukup tertutup. Mengenakan blouse panjang dipadukan dengan celana jeans dan sepatu kets putih. Tak lupa juga kerudung yang membalut kepalanya sebatas dada.

Penampilan gadis itu mengingatkan Yang akan seseorang yang sempat singgah di hatinya, tetapi kini sudah hidup berbahagia dengan pria lain.

Mungkin, bermain-main sebentar dengan sosok di depannya itu bisa membuat hati Yang terhibur.

Perempuan itu menoleh ke arah Yang, setelah puas mengedarkan pandangannya ke arah luar jendela.

"Bisakah Tuan menurunkanku di sana?" Tangannya menunjuk ujung jalan yang nampak ramai sembari menatap Yang dengan penuh permohonan.

"Apakah kau pikir ini taxi, Nona?" Ekspresi Yang masih dingin dan datar. Tanpa menatap sosok di sampingnya, lelaki itu berbicara.

Perempuan itu menggaruk belakang kepalanya yang tiba-tiba merasa gatal tanpa sebab. Merasa tidak enak dengan sikapnya yang menerobos masuk ke dalam mobil orang, lalu meminta untuk diturunkan ke suatu tempat sesuai keinginannya.

"Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud untuk menumpang secara gratis kepada Tuan. Hanya saja, saya ingin menghindar dari kejaran pria-pria tadi. Mohon maafkan saya." Perempuan itu menunduk malu sembari terus berbicara, menyampaikan rasa bersalahnya kepada Yang Pou Han.

Yang terdengar mendesah. Napasnya menghembus berat, mengalihkan pandangan dari gawainya ke arah wanita itu. "Apakah kau seorang pencuri, Nona? Sehingga dikejar oleh orang bayaran seperti mereka."

Perkataan Yang membuat harga diri gadis itu meronta. Ditegakkannya kepala itu, menatap Yang dengan kesal. Dia tidak suka dihina.

"Maaf, Tuan. Saya bukan pencuri. Itu adalah perbuatan yang sangat menjijikkan. Anda jangan sembarangan menuduh, ya."

Yang menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum. Menunjukkan wajah mengejek ke arah sosok gadis di sampingnya itu. "Lantas, apa yang membuatmu ketakutan seperti itu?"

Dia nampak kesal, merasa Yang tidak juga memercayainya. Meskipun begitu, tetap saja hal yang tidak benar harus segera diluruskan. Nama baiknya dipertaruhkan di sini.

"Saya bukan pencuri. Hanya saja ... saya telah menghilangkan pakaian termahal yang terpajang di etalase toko di mana tempat saya bekerja. Dan preman-preman tadi adalah suruhan atasan saya. Bukan saya berniat kabur dan tidak mau bertanggung jawab, tetapi saya tidak mau dibawa ke kantor polisi. Saya berjanji akan melunasinya segera, jika saya sudah memiliki uang."

Yang menipiskan bibirnya, menyandarkan kepala di sandaran kursi mobil. "Sebaiknya aku harus mengantarkanmu kembali kepada atasanmu. Aku tidak ingin dianggap bersekongkol dengan seorang pencuri. Itu akan sangat melukai martabatku."

Wajah perempuan itu nampak pias. Dibungkukkannya tubuhnya dengan kening menyentuh lutut Yang, sementara kedua tangannya tanpa sadar memegang paha lelaki itu sembari mengguncangnya.

"Jangan, Tuan! Saya mohon. Saya akan menggantinya lain waktu. Saya hanya tidak ingin bernasib mengenaskan dengan berada di tahanan."

"Apakah Anda tahu, majikan saya begitu menyeramkan. Dia lebih menakutkan dari vampir. Lebih galak dari seekor singa dan lebih berbahaya dari seekor ular berbisa. Apakah Tuan tega mengirimkan saya kembali kepada orang seperti itu?"

Tubuh Yang seketika menengang. Sembari menggertakkan giginya dia nampak menahan napas. Bagaimana perempuan biasa seperti itu, berani memegang area sensitifnya sembari mengguncangnya. Yang termasuk salah satu pria yang memiliki gairah yang tinggi. Sedikit rangsangan bisa saja membangkitkan hasratnya.

Dengan wajah yang mulai memanas, Yang akhirnya bersuara. "Di mana rumahmu?"

"Tuan, kau tidak berniat melaporkanku ke polisi, 'kan? Dia masih mempertahankan posisi tangannya di sana. Membuat tubuh Yang semakin gelisah saja.

"Katakan saja! Aku ingin kau segera menyingkir dari hadapanku." Sepertinya Yang melakukan kesalahan dengan bermain-main dengan wanita aneh itu.

Perempuan itu ternganga. Menegakkan punggung, membenarkan posisi duduknya yang baru ia sadari jika posisinya saat ini benar-benar kurang sopan.

Tangannya menuding ke depan. Menunjuk kelokan jalan yang ada di ujung sana.

"Di sana. Di ujung jalan itu. Tuan bisa menurunkanku di sana. Tempat tinggal saya tidak bisa dilalui oleh mobil, sehingga harus berjalan kaki untuk masuk ke dalam gang sempit di dekat kelokan itu. Pernah ada seseorang yang nekat membawa mobilnya masuk, tetapi justru terjebak di dalam gang itu." Tanpa mengalihkan perhatian dari jalan, gadis itu mengucapkannya.

"Cukup! Kau tidak perlu menjelaskan semuanya. Suaramu membuat gendang telingaku sakit saja." Yang mendengkus kasar. Bagaiaman dia bisa bertemu dengan gadis aneh, dengan mulut yang tidak bisa diam itu. Sungguh gadis yang menyebalkan.

Gadis itu terdiam, menampilkan senyum kecut mendengar bentakan dari Yang Pou Han. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia menatap kembali jalan yang akan membawanya kembali pulang.

Mobil berhenti tepat di mana gadis itu menunjukkan jalan. Yang memainkan jemari di atas lututnya yang berbalut celana bahan formal, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kabin penumpang.

"Silakan keluar, Nona! Aku harap tidak akan bertemu denganmu lagi."

Gadis itu tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih atas tumpangannya, Tuan. Tuan tidak perlu khawatir, karena kita tidak akan pernah bertemu lagi setelah ini." Gadis itu gegas keluar dari mobil lalu menutupnya kembali. Berbalik ke arah mobil, gadis itu membungkuk sopan sebagai ucapan terima kasih kepada si pemberi tumpangan.

Dari kejauhan, nampaklah seseorang berwajah oriental berlari mendekat ke arah gadis itu dengan berteriak memanggilnya. "Nindy, Nindy. Kau tidak apa?"

Gadis berhijab itu seketika melangkah, menemui teman wanitanya yang terlihat mencemaskan dirinya.

"Jalan!" perintah Yang Pou Han kepada sopir untuk segera melanjutkan perjalanannya.

Dari balik kaca spion, Yang masih bisa menangkap sosok gadis unik itu yang kini tersenyum sambil mengucapkan sesuatu kepada temannya yang entah apa itu.

"Nindy, Nindy, Nindy." Yang merapalkan nama itu, seolah ingin mencatatnya di memori otaknya. Mobil Yang mulai berjalan, menerobos jalan raya hingga kedua sosok gadis itu sudah tidak terlihat lagi dari balik kaca spion mobilnya.

Yang tidak menyangka jika takdir mempertemukan mereka kembali. Dan situasinya tak jauh berbeda dengan sebelumnya, yaitu di mana gadis berhijab itu sedang berada dalam masalah dan Yang datang untuk menyelesaikan masalah itu.

Dan mungkin, saat ini bagi Nindy, Yang bukanlah seseorang yang membantu menyelesaikan masalah, tetapi justru seseorang yang telah menyeretnya dalam masalah.

03. Menahan Lapar

Nindy mendesah kesal melihat tas ransel yang sebelumnya penuh dengan makanan ringan juga softdrink telah habis tak bersisa. Bukan karena telah laku terjual, melainkan tuan pemarah itu telah menyitanya tanpa sedikit pun menyisahkan untuknya.

Suara perut Nindy mulai keroncongan dengan rasa perih mulai terasa menyiksa. Dielusnya perut yang kempis itu, menahan rasa tidak nyaman di perutnya.

Seharusnya hari ini dia mendapat untung banyak dengan berjualan makanan ringan di tempat rekreasi itu, tetapi tuan pemarah itu malah mengacaukan segalanya.

Kembali terdengar desahan lesu dari bibir gadis itu. Tangannya membuka dompet lusuh yang setia menemani hari-harinya yang suram. Hanya tersisa tiga lembar uang puluhan dollar Hong Kong. Bibirnya mengerucut mengingat uang yang sebelumnya ia jadikan modal membeli makanan ringan dan minuman untuk dijualnya itu raib begitu saja.

Dia merobohkan tubuhnya di atas kasur busa yang sudah penyet tak berbentuk lagi. Tangannya merentang dengan mata menatap langit-langit kamar kontrakannya.

Ahh, sakit sekali.

Rasa perih di perut kembali menyiksa. Ia ingin segera makan, tetapi tidak ada satu pun makanan yang ia temukan. Mulutnya beberapa kali menelan ludah, berharap rasa kenyang itu menghampiri lambungnya.

Nindy menatap tiga lembar uang puluhan dollar itu yang berada di genggamannya. Dia hanya bisa membeli nasi putih saja untuk beberapa hari ke depan dengan menggunakan uang itu. Untuk lauk, sepertinya dia hanya bisa membayangkannya saja.

Setidaknya rasa perih di perut itu harus segera sirna dari tubuhnya. Bagaimanapun caranya, malam ini dia harus segera makan sebelum rasa tidak nyaman itu akan beralih menjadi penyakit yang lebih serius.

Dengan sekuat tenaga, Nindy akhirnya beranjak dari tidurnya, melangkah keluar dari kamar kontrakannya.

Dilihatnya tetangga kontrakan sedang menikmati makan malam dengan lahapnya. Ayam goreng tepung yang digigit dengan beberapa serpihan crunchy terjatuh berserak di lantai membuat Nindy menelan air liurnya lagi.

Mereka hanya tersenyum melihat Nindy lewat sembari tetap menyantap hidangan makan malam mereka.

Sial! Tidak adakah yang berniat menawarinya makanan?

Dengan raut muka yang nampak kesal, Nindy segera berlalu dari hadapan tetangga yang tidak punya perasaan itu.

Dia terus berjalan, melangkah dengan sedikit cepat menggunakan tenaga yang masih tersisa. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Biasanya ada penjual makanan keliling di area kontrakan sempit itu. Meskipun mereka tinggal di negara metropolitan tak menjadikan mereka hidup enak dengan fasilitas terjamin.

Bisa tidur dengan ruang sepetak, lemari pakaian kecil yang berhimpit dengan kasur busa lusuh itu sudah patut disyukuri.

Ah, dia sepertinya sudah tidak tahan lagi. Kakinya melangkah lebih lebar dengan sedikit berlari. Rumah makan cepat saji ada tak jauh dari sini. Bukan rumah makan cepat saji yang terkenal itu, melainkan rumah makan rumahan dengan menu yang hampir sama meskipun rasanya jauh berbeda.

Tekstur yang lebih alot dengan warna yang lebih coklat, karena si pemilik kedai tidak mau rugi dengan menggoreng kembali ayam tepungnya yang tidak laku untuk dijual keesokan harinya. Setidaknya harganya lebih bersahabat di kantong dan bisa mengenyangkan perut.

Untuk rasa, itu adalah prioritas ke dua. Oh tidak, bukan ke dua melainkan ke sepuluh, atau mungkin tidak diprioritaskan sama sekali. Karena saat ini, Nindy hanya mampu membeli sekepal nasi putih saja tanpa lauk ayam goreng crunchy yang seperti dinikmati tetangganya itu.

Tak apalah ia menahan rasa ingin makan enaknya. Mungkin suatu saat kesabarannya akan berbuah manis, jika Tuhan menghendaki.

Dan untuk besok, dia harus meminta keringanan kepada tuan pemarah itu. Dia bisa mati kelaparan jika terus seperti ini setiap hari.

Mungkin, Nindy bisa meminjam uang atau meminta digaji separuh saja. Ah, sangat sial sekali nasibnya setelah berjumpa kembali dengan tuan pemarah itu.

********

Nindy sudah bersiap dengan seragamnya. Dia menunggu bus yang bertugas menjemput karyawan di mana ia bekerja dengan suka rela itu. Tangannya sibuk berselancar di dunia maya. Mencari lowongan pekerjaan tentunya.

Matanya teralihkan ketika bus yang ditungguinya sudah berada di depan mata. Desahan lesu kembali terdengar lirih dari bibir gadis itu. Sedikit malas ia menaikkan kakinya untuk menapak di lantai berbahan besi itu.

Dia memilih duduk di dekat kaca jendela. Menikmati pemandangan yang tak jauh dari bangunan gedung tinggi yang menjulang hampir di seluruh perjalanan.

Tangannya merogoh tas ransel berbahan kanvas dengan warna yang sudah jauh berbeda dengan pertama kali saat dibelinya dulu. Mencari benda mungil yang menjadi andalannya ketika sedang dilanda masalah.

Sebuah earpiece yang sudah tertambal-tambal dengan selotip di bagian kabelnya telah ditemukan terselip di antara barang-barang yang dibawanya di dalam tas lusuh itu. Senyumnya tertarik dengan tangan menyingkap sedikit kerudungnya untuk menyelipkan earpiece itu di kedua telinganya.

Sebuah lagu diputar, mengalun merdu menemani perjalanan Nindy menuju ke tempat kerja. Matanya terkatup menikmati setiap nada, melodi dan alunan suara penyanyi wanita kesayangannya yang berasal dari Indonesia.

Siapa lagi kalau bukan Rossa.

...Ku menangis...

...Membayangkan...

...Betapa kejamnya dirimu atas diriku...

Bukan dirimu yang kejam, melainkan dunia yang telah kejam kepadanya.

Nindy merasa dunia telah memperlakukannya tidak adil. Entah bagaimana bisa, sejak orok hingga berusia hampir seperempat abad dia hidup tak jauh dari kata 'kekurangan'. Belum pernah ia merasakan hidup berkecukupan, makan enak dengan tidak memikirkan jatah makan untuk esok hari. Oh, bukan untuk esok hari, melainkan untuk malam nanti pun dia tak tahu akan bisa makan atau tidak. Mengenaskan, bukan?

Sudah terbiasa mengalami hal seperti itu, tidak membuat tekad Nindy luntur untuk menggapai cita-citanya. Nindy memiliki cita-cita?

Tentu saja, setiap orang pasti memiliki cita-cita yang sudah diimpikannya sejak kecil. Menjadi seorang wanita hebat, karir cemerlang dan hidup mapan. Otaknya digunakan untuk mengatur bisnisnya yang sudah membesar dan menghasilkan omset jutaan dollar perbulannya.

Apakah benar seperti itu? Ah, itu terlalu tinggi bagi seorang Nindy. Dia sadar akan kemampuan otaknya yang terbatas. Dia bukanlah gadis pintar, hanya saja dia selalu optimis dan bersemangat. Lantas, apa cita-cita Nindy sebenarnya?

Cita-citanya cukup sederhana dan tidak muluk-muluk. Dia ingin memasok banyak bahan makanan di rumahnya. Tak perlu mencemaskan esok makan apa? Dan tentunya dia tidak harus menahan lapar hingga hari menjelang pagi.

Nindy juga memiliki keinginan tidur di tempat yang nyaman. Kasurnya sudah tipis dan tak berbentuk lagi, membuat badannya terasa kaku setelah menyelesaikan tidur malamnya. Tubuhnya yang kurus tidak bisa membuatnya nyaman dengan tempat tidur yang kondisinya seperti itu.

Bukan karena menahan bebannya yang terlalu berat, melainkan dia mendapatkan kasur itu dalam kondisi tak jauh beda dengan saat ini. Ya, dia mendapatkan kasur bekas dari tetangga kontrakannya.

Apakah ada lagi sesuatu yang menjadi keinginan Nindy?

Pasti. Bukan hanya banyak makanan dan tempat tidur yang nyaman. Nindy juga bercita-cita membeli beberapa pasang pakaian dalam untuk dikenakan sehari-hari. Sesuatu yang sedeehana, tetapi sangat penting bagi seorang wanita. Entah semua keinginannya itu kapan akan terjadi? Yang jelas untuk saat ini, Nindy harus berpuas diri dengan kondisi yang ada.

Bagaimana dengan keluarga Nindy?

Kebetulan dia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang dibesarkan di panti asuhan. Setelah dewasa ia mencoba peruntungan merantau di negeri orang. Sayangnya, kehidupan keras negara beton itu telah mengombang-ambingkan dirinya hingga berakhir seperti ini.

Mata Nindy terbuka setelah mendengar suara memanggilnya. Dengan malas ia menatap seseorang yang sudah mengganggu lamunannya.

Seorang pria yang mungkin seumuran dengannya tiba-tiba mengambil duduk di sebelahnya.

"Hai," sapanya ramah yang disambut senyuman tipis oleh Nindy.

Tangannya melepas ear piece yang terpasang di kedua telinganya. Bersikap menghargai, Nindy membalas sapaan pria itu.

"Hai," sapanya sembari menyunggingkan senyum ramah. Digesernya posisi duduknya lebih menghimpit ke arah jendela, membuat jarak dengan pria di sampingnya itu.

"Apakah kau bekerja di 'The MOG'?" Nama singkatan dari The Miracle Ocean Garden.

Oh, yeah. Seharusnya dia tidak perlu menjawabnya. Karena pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban. Ayolah, mereka sekarang sedang menaiki bus karyawan, bukan naik bus umum. Jadi, semua penumpang di sini memiliki status yang sama yaitu karyawan dari The Miracle Ocean Garden.

"Iya, bukankah ini bis karyawan?"

Lelaki itu nampak menggaruk belakang kepalanya yang mendadak gatal. Menyadari pertanyaan konyolnya kepada gadis di sampingnya itu.

Mencoba mengalihkan dari pertanyaan bodoh yang sempat terlontar, lelaki itu memperkenalkan diri.

"Namaku Zang Nan. Dari divisi marketing. Sepertinya aku baru melihatmu. Apakah kau baru bergabung?"

Dia mengangguk, menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Menatap lurus ke depan yang terhalangi punggung kursi lain di depannya. "Iya, baru bergabung."

"Siapa namamu?" Lelaki itu bertanya, karena Nindy tak kunjung memberi tahukan namanya.

Dia menoleh, menatap lawan bicaranya sekilas. Menarik bibirnya tipis, menyunggingkan senyum ringan yang nyaris tak terlihat. "Nindy. Panggil saja aku Nindy."

"Nama yang cantik, sesuai dengan si pemilik nama."

Nindy mengangkat sebelah alisnya. Baru kali ini ada yang mengatakan bahwa dirinya cantik. Sebutan aneh yang sering disematkan orang kepadanya membuatnya terlupa jika dirinya adalah perempuan yang merindukan panggilan cantik.

"Terima kasih." Hanya itu yang bisa Nindy ucapkan. Menurutnya, sebutan cantik tidak terlalu menggoda karena tidak bisa membuatnya kenyang.

"Di area mana kau bertugas?" tanya Zang Nan mencoba mengakrabkan diri.

Samar terdengar desahan dari bibir Nindy, "Memberi makan anjing laut."

"Oh, pasti sangat menyenangkan, bukan? Bisa bermain dengan hewan lucu seperti itu?"

"Yeah, sepertinya. Aku akan menyesuaikan diri dengan baunya."

Menutup mulutnya, Zang Nan terkekeh mendengar jawaban dari Nindy. "Kau akan terbiasa, percayalah. Tugasmu tidak terlalu buruk."

Bis sudah memasuki area 'The Miracle Ocean Garden'. Terpampanglah tulisan itu dengan gagahnya berpenyanggah dua tiang besar yang nampak sangat kokoh.

Bus terhenti tepat di parkiran khusus karyawan. Nindy beserta semua penumpang menuruni bus untuk kemudian berkumpul di area breafing. Supervisor melakukan breafing kepada seluruh tim The MOG sebagai persiapan awal sebelum pengunjung berdatangan.

Dengan seksama mereka mendengarkan setiap ucapan si supervisor. Hanya berlangsung selama sepuluh menit breafing selesai dilakukan. Semua bubar dengan teratur, kembali kepada pos masing-masing untuk mulai menjalankan tugasnya.

Zang Nan menyapa Nindy sejenak, dan ditanggapi oleh gadis itu dengan mengangguk sembari mengulas senyum. Keduanya pun berpisah setelahnya.

Nindy memasangkan sarung tangan itu di kedua tangannya hingga sebatas siku. Mempersiapkan ikan-ikan kecil yang akan dia gunakan untuk memberi makan anjing laut juga hewan air lainnya.

Dipisahkannya ikan-ikan kecil itu dalam beberapa wadah, yang nantinya akan dibagikan sesuai dengan porsinya masing-masing. Tangannya cukup cekatan melakukan itu setelah kemarin mendapatkan arahan dari teman rekan setimnya.

Matanya sesekali mencuri pandang ke arah luar. Seperti rencana awal, dia akan menemui si tuan pemarah untuk mengajukan banding. Mengubah klausul yang tak tertulis itu menjadi sebuah kontrak kerja di atas kertas dengan tanda tangan dari kedua belah pihak.

Hukuman yang Nindy terima sama sekali tidak masuk akal, sehingga gadis itu bertekad untuk memperjuangkan nasibnya dengan menuntut tuan pemarah itu untuk mengubah hukumannya menjadi sebuah perjanjian tertulis.

Senyum Nindy terbit, ketika netranya melihat seseorang yang sejak tadi ditungguinya. Tanpa melepas apron dan sarung tangan karena terlampau tergopoh, Nindy bergegas berlari sebelum si tuan pemarah itu menghilang dari pandangannya.

Langkahnya kian melebar, mencoba menyusul lelaki itu yang hampir sampai di gedung perkantoran The MOG bersama asisten setia, yang berjalan mengekor di belakangnya.

Gegas kedua tangan Nindy yang berbalut sarung tangan itu merentang di depan Yang Pou Han, menghentikan langkah lelaki itu sebelum mencapai pintu masuk area lobby.

Asisten Lie Am terperangah, melihat tingkah seorang karyawan yang telah berani menghalangi jalan atasannya.

Dia ingin menarik lengan gadis itu, tetapi dengan cepat Yang mengangkat sebelah tangannya penuh isyarat agar asisten Lie Am membiarkannya.

Mengangguk patuh, asisten Lie Am mundur ke belakang, kembali ke tempat semula.

"Apa yang kau inginkan?" Sorot mata tajam diarahkan ke arah Nindy, membuat nyali gadis itu yang semula berkobar mendadak menciut seketika.

"Sa-ya ingin bicara kepadamu, Tuan." Terbata-bata Nindy mengucapkannya, menghindar dari tatapan Yang dengan menundukkan wajah.

"Katakan!"

Mengangkat kepala, menengadah, Nindy membalas tatapan Yang kepadanya, lalu berganti menatap asisten Lie Am yang masih menunjukkan ekspresi datar.

Dia meneguk ludah, pembahasan yang ingin dia lakukan adalah hal yang serius. Bagaimana bisa mereka membicarakan hal serius dengan posisi berdiri di depan pintu masuk kantor?

"Apakah kita bisa bicara di tempat lain?"

"Katakan di sini, atau singkirkan tanganmu!"

Nindy mengatur napasnya, sangat gugup melihat banyak orang yang sedang memperhatikannya. Mungkin semua karyawan menganggap dia terlalu memaksakan nyali untuk menentang seorang Yang pou Han.

"Saya ingin membuat sebuah kesepakatan denganmu."

Yang menoleh sekilas ke arah asisten Lie Am. Dalam sekejab, pria itu melangkah ke arah Nindy dan menyingkirkan gadis itu agar tidak menghalangi Yang Pou Han.

Nindy berontak. Dengan kasar ia menghempaskan lengan asisten Lie Am, tetapi sepertinya tidak cukup kuat, hingga ia menggigit tangan yang sedang mencekal lengannya itu.

Terlepas, Nindy segera berlari. Menarik lengan Yang Pou Han, membuat lelaki itu berbalik kepadanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!