Marissa Darwanti, Sp.BA. Seorang dokter berdedikasi tinggi yang bercita-cita menyembuhkan seribu nyawa. Diusianya yang kurang tiga tahun lagi menginjak kepala tiga, Marissa memilih mengabdi kepada dunia kesehatan daripada mencari pasangan. Kecintaannya pada anak-anak, membuatnya memilih jurusan dokter spesialis bedah anak. Dokter Risa, begitulah wanita dewasa itu dipanggil. Sikap baik hati dan ramah, membuat anak-anak nyaman berada di dekatnya.
"Bagaimana Dokter Risa?" tanya seorang pria paruh baya dengan jas putih dokter.
Marissa menatap lurus pada lantai, menghela napas pelan dan beralih menatap sang dokter kepala rumah sakit. "Jadwal operasi saya sudah penuh hingga dua bulan kedepan, maaf Dokter Ridwan. Saya tidak bisa. Lagipula, minggu depan ada jadwal seminar yang harus saya hadiri."
Dokter Ridwan menghela napas dalam, sudah kelima kalinya Risa menolak tawarannya. "Karirmu sebagai seorang dokter sedang naik-naiknya Risa, dengan reality show itu, pasti jauh lebih pesat lagi."
"Saya mengerti dokter, tapi saya tidak bisa." Risa tersenyum simpul. "Lagi pula, sudah ada Dokter Hisyam, kan."
"Mereka meminta wajah baru Risa, dari Departemen Bedah Anak."
Risa mengulum bibirnya, "Masih ada dokter lain, selain saya. Saya yakin Dokter Ridwan sudah ada pandangan."
"Saya hanya memandang----"
Ting.... tingg..... tingggg.......
Risa mengambil ponsel yang berdering di saku jasnya, menatap Dokter Ridwan sebentar untuk meminta izin. Sebagai seorang dokter, Dokter Ridwan jelas memahami panggilan mendesak dari UGD.
"Ya?" jawab Risa.
"Anak-anak, berusia lima tahun, jatuh dari ayunan. Dislokasi bahu........"
"Tanda vital?"
"Denyut jantung melemah.........."
"Baik, saya segera kesana." Risa bangkit, mematikan panggilan telepon dengan tergesa-gesa. "Saya harus pergi Dokter Ridwan, dan sekali lagi mohon maaf untuk tawarannya."
Dokter Ridwan mengangguk sekilas, menatap punggung Risa yang mulai menjauh. Dokter paruh baya itu memijat pangkal hidungnya. Reality Show tentang kehidupan dokter di rumah sakit sedang banyak digemari saat ini. Marissa Darwanti, akan menjadi kandidat yang cemerlang di episode Dokter Bedah Anak, yang dijadwalkan tayang minggu depan. Siapa yang tidak tahu Risa, dokter kesayangan anak-anak itu, pasti akan menjadi trending topik untuk kemajuan rumah sakit. Tapi apa mau dikata, benar jika jadwal dokter muda itu sangat padat hingga bulan depan. Banyak pasien anak-anak yang menolak melakukan pengobatan, jika bukan Dokter Risa yang menangani.
"Dia tidak mau lagi?"
Dokter Ridwan sedikit tersentak dalam lamunannya, seorang dokter muda berwajah rupawan masuk tanpa mengetuk pintu. Oh, dimana kesopanan anak itu.
"Apa kau tidak bisa mengetuk pintu? Apa kau buta, tidak melihat ada pintu disana?" pertanyaan sarkas untuk seorang laki-laki berjas putih yang wajahnya sudah malang melintang di televisi.
Dokter Hisyam Al Fahrizi, Sp.OG. sering di sapa dokter seleb, karena ia satu-satunya dokter di rumah sakit yang cukup sering tampil di reality show. Tak heran, wajah tampan rupawan, perawakan tinggi dan gagah, dengan gelar dokter. Siapa yang tidak betah melihatnya berlama-lama di layar televisi.
"Ayolah ayah, aku kan anakmu."
Dokter Ridwan memutar bola matanya, "Disini, aku adalah kepala rumah sakit."
"Ya, ya, ya, terserah kau saja. Tapi apapun itu, aku tetaplah anakmu." ujar Hisyam enteng.
Tak mau menanggapi sang anak, Dokter Ridwan membuka lembaran-lembaran yang berserakan di mejanya. Laporan seputar keuangan dari UGD.
"Bujuklah ia." pinta Dokter Ridwan.
Hisyam meletakkan kembali rubik di tangannya, "Siapa?"
"Dokter Risa, kau kan temannya."
"Ya, aku temannya."
"Lalu?" Dokter Hisyam mengangkat satu alisnya, "Bukankah akan lebih mudah?"
Hisyam menghela napas jengah, "Jika kau saja tidak bisa membujuknya, Ayah. Apalagi aku."
...****************...
Risa mendongak, saat lampu di ruangannya mendadak padam, lalu menyala, padam dan menyala. Risa menoleh ke arah pintu, menatap malas pada orang yang memainkan sakelar lampu ruangannya.
"Apa kau akan menggantinya jika itu rusak?" tanya Risa, wanita itu menutup layar komputernya saat orang itu mendekat.
"Tentu saja tidak."
"Lalu, apa yang kau lakukan disini?"
"Oh, Markisaa, aku hanya merindukanmu."
"Pergilah Jes, aku sedang sibuk." Marissa kembali membuka layar komputernya, menampilkan materi seputar seminar yang akan ia hadiri.
Jessica Nasution, Sp.A. Teman satu angkatan Marissa, bisa dibilang Jessy adalah satu-satunya sahabat yang wanita itu miliki. Marissa sangat pemilih dalam berteman, meskipun ia bisa berteman dengan siapa saja.
Awal pertemuan Marissa dan Jessy adalah saat ospek di kampus, mereka terlibat perkelahian karena memperebutkan gelar sebagai maba tercantik. Sifat keduanya yang sama-sama beringas, membuat katingnya kewalahan. Hingga adegan jambak menjambak tak terelakkan. Akibatnya, mereka harus dihukum selama seminggi untuk membersihkan toilet Fakultas Kedokteran. Mungkin, dari sanalah awal mula kedekatan mereka hingga menjadi sepasang sahabat. Lain halnya dengan Marissa yang memilih sendiri, Jessica sering bergonta-ganti pasangan dan tidak pernah serius dalam berhubungan.
"Apa kau tidak membaca link novel yang kukirimkan di emailmu?"
"Hemm."
"Bagaimana menurutmu?"
"Menarik."
"Hanya itu?" Jessy menatap Marissa jengah, pasti sahabatnya ini tidak sungguh-sungguh membaca novelnya.
Selain menjadi seorang dokter, Jessica juga melanjutkan hobi menulisnya. Menjadi penulis lepas di salah satu laman internet. Novel terbaru miliknya, akan terbit bulan depan. Berjudul 'Back In Time', dengan plot kekaisaran yang terinspirasi dari dinasti-dinasti di China.
"Apa kau tidak bisa mengganti nama-nama tokohnya? Aku pusing jika kau terus menggunakan nama seperti orang China." keluh Marissa.
Jessy menggeleng, "Novel itu bercerita tentang Kekaisaran seperti Dinasti Tang di Tiongkok, Ris. Wajar jika namanya seperti itu."
"Apa kau masih tergila-gila dengan Meteor Garden?" Risa memicingkan matanya, dulu saat Meteor Garden versi China sedang heboh-hebohnya. Jessica termasuk penggila Dao Ming Si, ia menempel semua poster aktor asal Negeri Tirai Bambu itu di setiap sisi tembok kamarnya.
Jessy tertawa renyah, "Tentu saja aku masih menyukainya, Meteor Garden dan drama China lainnya adalah inspirasiku untuk novel ini." Jassy kembali menggulir layar ponselnya, menampilkan rating 'Back In Time' yang semakin meroket.
"Apa mereka nyata?"
"Maksudmu?" Jessy mengerutkan kening, namun pandangannya masih fokus pada layar ponsel.
"Mereka," Marissa menjeda kalimatnya guna melihat ekspresi Jessy. "Nama mereka benar-benar ada dalam sejarah?"
Jessy menoleh, "Kurasa tidak, tapi entahlah." wanita itu mengendikkan bahunya. "Aku hanya asal mengarang nama saja, aku tak tahu jika nama itu benar ada."
"Oh, ayolah Risa. Ada ribuan orang di China mustahil tidak ada yang memiliki nama seperti tokoh dalam novelku." jelas Jessica lagi.
Marissa mengendikkan bahunya, kembali fokus pada layar komputernya. Materi seminar adalah kekerasan pada anak. Entah mengapa ada banyak sekali orang tua di luar sana yang masih melakukan kekerasan pada anaknya. Sebagai spesialis bedah anak, Marissa sendiri merasa sangat miris saat ada pasien anak-anak yang mengalami luka parah akibat kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Marissa Darwanti, seorang putri bungsu dibesarkan di lingkungan yang penuh kasih sayang, ayahnya tergabung dalam satuan kepolisian, sang ibu mengelola sebuah panti asuhan untuk menampung anak-anak terlantar, kedua kakaknya menjadi dokter, sama seperti dirinya.
"Omong-omong, Ris." Jessy mendongak, "Jika kau jadi karakter di novelku, siapa yang kau pilih?"
"Wu Li Mei, mungkin." balas Marissa asal.
...****************...
"Selamat pagi, Dokter Risa." sapa Fahri, salah satu. dokter residen bedah anak.
"Selamat pagi, Dokter Risa."
Marissa hanya tersenyum dan mengangguk singkat, kemudian mensejajarkan langkahnya dengan Fahri dan Lintang, Lintang mahasiswa magang yang energik dan bersemangat. Risa menyukai orang-orang yang selalu bersemangat dalam hidupnya, sekalipun dirinya tidak selalu demikian.
"Jadwalku hari ini?" ujar Risa.
Mengerti dengan itu, Fahri dengan telaten menjelaskan jadwal periksa pasien untuk Marissa. Semua jadwal sudah tertulis rapi sampai satu bulan ke depan.
Lintang membuka pintu kamar melati, dari luar terdengar suara tawa anak-anak yang saling bersahutan. Perasaan Risa menghangat saat pintu terbuka, dan dia melihat pasien kecilnya saling tertawa bahagia.
Risa melangkat, langsung disambut pelukan hangat seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Anak laki-laki tersenyum, meskipun perban masih membalut sebagian kepalanya.
"Dokter Risa." panggilnya.
Risa membalas pelukan anak itu dengan sayang, tangannya mengelus kepala berbalut perban anak itu. "Merindukan dokter?" tanyanya.
"Iyaaaa." balasnya dengan senyum cerah.
"Kalau begitu kembalilah ke ranjangmu, Dokter Risa akan datangi satu persatu."
Anak itu, dan anak-anak yang lainnya duduk dengan tenang di ranjang mereka masing-masing. Ada sekitar enam orang anak disana, dan orang tua mereka selalu berjaga di sampingnya. Kecuali seorang anak.
"Selamat pagi, Herlin." sapa Risa dengan ramah, "Apa perutmu masih sakit?"
Anak yang dipanggil Herlin itu menggeleng, lalu tersenyum cerah. "Tidak lagi dokter, aku sangat rajin meminum obatku, sekalipun rasanya.... emh... pahit."
Risa dan yang lainnya terkekeh mendengar jawaban lucu Herlin, tangan wanita itu mengelus pelan puncak kepala gadis kecil itu. Risa menoleh pada Fahri.
"Kualitas urin sudah mulai membaik dokter." membaca resume untuk Herlin.
Risa tersenyum lembut, menatap kedua orang tua Herlin. "Kalau begitu besok, paling lambat lusa. Herlin sudah bisa pulang."
Kedua orang tua Herlin tersenyum cerah, mereka saling berpelukan dan bersalaman dengan Risa. "Terima kasih Dokter Risa, anda dokter yang baik."
"Kita harus berterima kasih pada Herlin, dia anak yang kuat dan pemberani."
Risa beranjak setelah berpamitan dengan Herlin dan kedua orang tuanya.
Begitulah pagi cerahnya di mulai, menjadi seorang dokter dan memeriksa satu persatu pasien kecilnya. Risa sangat bahagia bisa membuat anak-anak itu kembali tersenyum dan tertawa, mereka masih belia dan hidup mereka masih sangat lama.
Risa melangkah menuju pasien kecil terakhir di kamar itu. Seorang anak laki-laki yang meringkuk menghadap jendela, tirai ranjangnya ditutup sebelah agar tidak ada yang menganggunya. Tidak seperti yang lainnya, dialah satu-satunya anak yang tidak ditemani orang tuanya.
"Dion?" panggil Risa lembut. Wanita berjas putih itu mendekat pada duduk di sisi ranjang, ia tahu anak itu tidak benar-benar tidur.
"Dion?" panggil Risa lagi, "Apa kau tidak ingin bertemu denganku?"
"Bolehkah aku memeriksamu?"
Dion akhirnya membuka mata, namun tetap bergeming di posisinya. Menatap Risa yang mulai meletakkan stetoskop di dadanya, kemudian tangan dokter muda itu menempel di dahinya.
Marissa tiba di rumah sakit tepat pukul delapan, wanita itu mendesah pelan saat dirinya berpapasan dengan korban kecelakaan lalu lintas pagi ini. Karena hal itu juga mobilnya terjebak macet, dan ia harus menggunakan bus agar tidak terlambat. Beruntung, pagi tadi ia berangkat bersama sang kakak. Jadi mobilnya tidak sendirian berada di kemacetan.
"Selamat pagi, Dokter Risa." sapa resepsionis.
Risa hanya mengangguk dan tersenyum simpul.
"Tunggu, Dokter, ada sebuah undangan untuk anda."
Marissa menghentikan langkahnya, berbalik dan kembali berjalan menuju resepsionis untuk mengambil undangannya.
"Dari siapa, Yu?" tanya Risa. Dayu, adalah teman satu angkatan Risa, tapi wanita itu lebih memilih menjaga resepsionis daripada menjadi dokter.
"Dari Ketua Ikatan Dokter, para dokter lain juga dapat." Dayu memamerkan tumpukan undangan berlogo sebuah organisasi Ikatan Dokter.
Marissa membuka undangan miliknya, disana tertera malam nanti akan diadakan penghargaan kepada para dokter muda yang berprestasi. Dirinya salah satunya, minggu lalu, Ketua Ikatan Dokter datang menemuinya untuk menyampaikan sesuatu.
Dayu melirik sekilas undangan milik Marissa, "Jadi, itu benar?"
"Apa?" Marissa mendongak.
"Kau, kau terpilih sebagai dokter terbaik tahun ini?"
Risa hanya tersenyum singkat, memainkan undangan di tangannya. "Ku rasa undangan ini akan menjawab pertanyaanmu."
Dayu memutar bola matanya, harus ia akui Marissa sangat narsis dan percaya diri. Tapi, memang semua itu terbukti adanya. "Baiklah baiklah, terserah kau saja Risa."
Marissa terkekeh, menyimpan undangan itu di dalam tas dan melanjutkan perjalanannya.
Penghargaan dokter terbaik adalah mimpinya, kali ini akan menjadi ketiga kalinya seorang Marissa Darwanti mendapatkan penghargaan sebagai dokter terbaik. Marissa memang layak mendapatkannya, kerja kerasnya selama ini patut diacungi jempol.
Tiba di barisan ruang praktek, Marissa sengaja menuju salah satu pintu bergambar koala.
"Jessy, apa kau akan datang?" wanita itu sengaja menggoyangkan undangan di tangannya.
Jessy menghela napas berat, ia hampir saja melompat dari kursinya saat Risa tiba-tiba membuka pintu. Dasar Risa! dia tidak pernah mengetuk pintu dulu. Jessy hanya bisa tersenyum canggung pada perawat dan dokter residen yang menemaninya.
"Apa kau tidak bisa mengetuk pintu?" tanya Jessy tajam.
Marissa terkekeh pelan, bersedekap sambil menatap sang sahabat. "Kau bahkan tidak pernah melakukannya di ruangan ku."
"Kau ingin membalasnya." Jessy menghidupkan layar komputernya.
"Sudah kau siapkan?"
"Apa?" Jessy melirik datar pada Risa.
"Dompetmu," Marissa tersenyum sengit. "Kali ini aku ingin membeli sesuatu yang mahal."
Jessy memejamkan matanya sejenak, "Awas saja kau, tunggu pembalasanku."
"Sudahlah Jes, sebaiknya aku kembali ke ruanganku." Marissa berbalik, lalu kembali lagi. "Malam nanti kau harus datang."
Jessy memutar bola matanya malas, hari ini ia kurang tidur karena jadwal padatnya. Dan kini, Risa datang menganggu. "Kenapa aku harus?"
"Ya, kau harus." Marissa mengangguk yakin, wanita itu tidak bisa menyembunyikan senyumnya melihat Jessy berhasil ia goda. "Untuk..... melihatku menang! Hahahha."
Marissa berlari cepat, sebelum boneka beruang milik Jessy mengenai wajahnya.
"Huhhh..... In hale... ex hale....." Jessy menarik napas panjang, ia harus menenangkan emosinya agar para pasien tidak ketakutan.
Salahkan Marissa yang membuatnya marah, minggu lalu mereka memang bertaruh. Jika salah satu dari mereka mendapat penghargaan sebagai dokter terbaik, maka pemenangnya boleh meminta apapun. Dan Jessy yakin sahabatnya itu sudah menyusun rencana untuk mengeruk semua isi dompetnya. Marissa, wanita licik itu sama beringasnya dengan Jessy. Entahlah, bagaimana bisa Marissa lebih disukai oleh anak-anak.
Helen, perawat yang mendampingi Jessy hanya bisa menggelengkan kepala. "Bagaimana bisa dia menjadi yang paling disayangi anak-anak." ujarnya tak habis pikir, melihat tingkah Marissa dan Jessy. Ini bukan kali pertama ia melihat kedua sahabat ini saling mengadu kelicikan.
"Kau tahu Bu Helen, anak-anak bahkan menolak melakukan pengobatan jika bukan Dokter Risa yang menangani mereka." ujar seorang dokter residen.
"Sungguh?"
"Ya, Dokter Risa begitu terkenal di kalangan anak-anak." sambung yang lain.
Helen menatap Jessy, "Aku tidak tahu mengapa kalian memilih menjadi dokter anak."
Jessy menghela napas dalam, "Kau tau Helen, aku tidak akan terjebak disini jika bukan karena kelicikan Marissa."
"Maksudmu?"
"Dia mengajakku bertaruh, dan sialnya dia menang. Akhirnya aku harus memilih jurusan yang sama dengannya, tapi karena aku takut melihat darah. Aku memilih menjadi dokter anak." Jessy menerawang jauh mengingat kembali dirinya dan Marissa. "Dia sangat menyayangi anak-anak kau tahu, dia seperti malaikat di mata anak-anak, tapi seperti iblis jika bersamaku. Oh, entahlah mengapa dia selalu beruntung." keluh Jessy.
...****************...
Marissa berjalan pelan menuju ruang rawat inap, kamar melati. Wanita itu menyimpan kedua tangannya di saku jas dokter yang ia kenakan, karena hari ini jadwal operasi siang. Ia bisa bersantai sejenak.
Pintu kamar dibuka olehnya, di dalam hanya tersisa tiga orang anak. Tiga lagi sudah meninggalkan kamar, karena keadaannya sudah membaik.
"Selamat pagi." sapa Risa.
"Selamat pagi, Dokter Risa."
Marissa berlalu menuju ranjang dekat jendela, dengan satu tirai yang senantiasa ditutup. Wanita itu menyibak pelan tirainya, menampilkan seorang anak laki-laki yang terdiam dengan tatapan kosong. Anak itu setia menatap jendela, dan tidak menyentuh makanannya. Padahal jam makan sudah lewat hampir dua jam.
Risa mendekat pelan, kemudian duduk di sisi ranjang menatap sang anak.
"Kau tidak menyentuh makananmu?" tanyanya.
Tak ada jawaban, hanya hening, "Apa yang kau lihat?" Risa turut menatap ke jendela, dari jendela lantai tiga ini, yang terlihat hanya gedung tinggi dan pepohonan.
Risa mendesah pelan saat lagi-lagi ia tak mendapat jawaban. Wanita itu perlahan mendekat, menatap lekat anak laki-laki bernama Dion itu. Mengusap wajah sayunya pelan, dan meraih tubuh mungil itu untuk dipeluk. Marissa hanya menepuk pelan punggung anak itu tanpa banyak bicara, ia memilih bungkam saat Dion mulai membalas pelukannya dengan bahu yang bergetar.
Dion menderita meningitis, diusianya yang masih sangat belia, ia harus menderita karena sakit yang parah. Rumah sakit ini sudah menjadi rumah keduanya sejak dua tahun terakhir. Penghuni kamar melati pun sudah silih berganti, tapi tidak dengan ranjang dekat jendela ini. Kedua orang tua Dion adalah pembisnis terkenal di kota, mereka selalu sibuk hingga tidak sempat melihat keadaan anaknya, yang kian hari kian melemah.
Risa sudah berulang kali memberikan pengertian kepada kedua orangtua Dion, bahwa anak itu menderita penyakit yang berbahaya, dan membutuhkan peran mereka untuk mendukungnya sembuh. Tapi, kedua orang itu hanya mengangguk, dan setelahnya kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
Risa mengurai pelukannya, menyeka sisa air mata anak laki-laki itu dengan lembut.
"Dokter akan menemanimu sayang." Ujar Risa, ia mengambil piring makanan yang belum disentuh oleh Dion. "Sekarang, habiskan makananmu."
Dion menatap makanan yang tertata di piring itu sendu, makanan hambar yang setiap hari menunya selalu sama. Bahkan, untuk sekadar menelannya saja ia enggan.
Dion menggeleng, "Tidak mau."
"Kenapa?"
"Tidak enak." jawab anak itu pelan.
Marissa tersenyum, mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku jasnya. Dokter itu membukanya dan Dion langsung berbinar, "Apa aku boleh?" tanya anak itu.
"Tentu saja, tapi," Risa meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya. "Ini rahasia."
Dion mengangguk senang, seulas senyuman terbit di wajah tampan nan pucat anak itu. Risa membawakannya beberapa kornet, salah satu makanan kesukaan Dion.
Awalnya, Risa ingin menemani Dion menghabiskan makanannya. Ia harus memastikan anak itu makan dengan benar. Tapi, sebuah panggilan darurat datang untuknya dari UGD. Risa bergegas pergi saat suara ambulance terdengar nyaring.
Kali ini seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun, korban kekerasan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Marissa memakai sarung tangan medis dengan cepat, mengambil senter dan melihat pergerakan pupil mata sang anak. Karena setibanya di rumah sakit, gadis kecil itu sudah tidak sadarkan diri. Dari pemeriksaan fisik yang Marissa lakukan, ia menemukan banyak sekali lebam di perut dan sekitar punggungnya. Bekas luka kering juga terdapat di tangan dan kaki, seperti sayatan panjang dan tidak terlalu dalam.
"Bagaimana hasil test radiografi?" tanya Risa pada salah satu dokter UGD.
Dokter itu menggeleng dengan wajah sendu, "Sangat parah Dok," ia menunjukkan layar komputer yang menunjukkan hasil dari test radiografi beberapa saat lalu. "Banyak terjadi pendarahan di rongga dalam dan abdomen. Tulang bahu meleset dan lengan kirinya retak."
Risa memejamkan matanya, menghela napas dalam. Penyiksaan macam apa yang dialami oleh gadis kecil itu, bagaimana bisa ada iblis yang merasuk ke dalam jiwa kedua orangtuanya.
"Siapkan ruang operasi." ujar Risa. Dokter UGD itu. mengangguk dan memanggil dokter residen dan perawat lain, untuk menyiapkan ruang operasi.
...****************...
"Ya, ya, ya." Risa kembali menghela napas saat suara di seberang panggilan teleponnya kembali memekik keras. "Aku baru saja selesai melakukan operasi, Jess. Aku akan segera kesana."
Marissa menutup panggilan teleponnya sepihak, ia merasa sangat lelah setelah melakukan tiga kali operasi dalam satu hari. Sungguh hari yang sibuk.
Hari ini adalah hari dimana penghargaan untuk dokter-dokter berdedikasi diberikan. Jessica sudah mengomel karena tidak mendapati sahabatnya berada disana, padahal wanita itu sudah bersiap sejak sore hari.
Organisasi Ikatan Dokter memang selalu memberikan beberapa penghargaan untuk dokter yang layak mendapatkan, sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras mereka selama ini. Ada banyak kategori di dalamnya, dan memenangkan salah satunya adalah sebuah kebanggaan.
Marissa membuka pintu mobilnya, entah kapan sang kakak mengembalikan mobilnya. Tapi mobil sedan putih itu sudah terparkir di basement rumah sakit, tepat di tempat biasa wanita itu memarkirkan mobilnya.
Untuk acara formal seperti ini, Marissa memilih dress panjang dengan jas berwarna senada. Wanita itu hanya memoles sedikit wajah cantiknya karena terburu-buru.
Warna lampu jalan berganti hijau, Marissa melaju dengan kecepatan normal. Tapi, cahaya menyilaukan datang dari arah kanan saat mobilnya mencapai persimpangan jalan. Detik selanjutnya, suara benda bertabrakan memekak ditelinganya bersamaan dengan kesadaraan wanita itu yang seolah ditarik dari raganya.
Truk pengangkut semen bergerak tak terkendali setelah mengalami masalah pada remnya. Mendadak rem kendaraan berat itu tidak berfungsi normal, padahal beberapa menit lalu masih berjalan baik. Sopir truk sudah ketar-ketir mengendalikan laju kendaraannya yang tidak menentu, ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari tempat yang aman untuk menghentikan paksa laju truk.
Sampai di persimpangan jalan, hal yang tidak diinginkan terjadi, dengan naas, truk itu menabrak sebuah sedan putih sangat keras. Hingga sedan itu terguling berkali-kali menuju sisi jalan yang lain, mobil-mobil di sekitarnya pun ikut menjadi sasaran, dan tabrakan beruntun tak terelakkan.
Body mobil ringsek, kaca pecah, dan mobil dalam keadaan terbalik. Sudah bisa dipastikan pengemudinya tidak akan terselamatkan.
Lima mobil ambulance dan banyak mobil polisi turut mengamankan tempat kejadian, beberapa saat setelah kecelakaan terjadi.
"Sebuah truk pengangkut semen kehilangan kendali saat melaju dari arah kota menuju stasiun lama. Truk bermuatan semen itu menabrak sebuah sedan putih dan beberapa kendaraan lain yang melaju berlawan arah, kecelakaan beruntun itu menelan dua korban jiwa dan lima lainnya terluka parah...... "
Jessy berjalan gontai diiringi headline news yang menggema di balik keruwetan UGD. Wanita itu menatap kosong dengan air mata yang membanjiri pipinya.
"Kumohon bertahanlah, Ris."
...****************...
Marissa meringis pelan saat seluruh badannya terasa sakit hanya untuk sekedar mengambil napas, kelopak matanya terasa berat dan telinganya mendengung. Namun, selang beberapa detik, rasa sakit itu perlahan mereda. Marissa bisa membuka kelopak matanya, mengedarkan pandangannya pada sekitar. Wanita itu mengerutkan keningnya saat aroma melati yang kuat merasuk ke hidungnya.
Langit-langit dan semua ornamen itu, Marissa mulai berpikir dimana ia sekarang berada? Apakah ini surga? Ah, ingatan tentang kecelakaan hebat yang ia alami berputar di kepalanya, semakin menambah pening yang tak kunjung mereda.
Saat rasa sakit di sekujur tubuhnya perlahan menghilang, wanita cantik itu mendudukkan tubuhnya. Menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menelisik ruangan tempat ia berada. Marissa mengamati punggung tangannya, tidak ada selang infus. Ya, tentu saja tidak ada. Mustahil ia berhasil selamat setelah kecelakaan hebat itu. Apa mungkin ini surga? Tapi Marissa merasa sangsi dirinya berada surga saat ini. Mungkin ia adalah seorang dokter, dan banyak menyembuhkan pasien kecilnya. Tapi dosa segudangnya tidak mungkin hilang begitu saja. Lalu, apa ini neraka? Tapi mengapa seindah ini?
Marissa meneliti ruangan yang tengah ia tempati, ruangan dari kayu dengan ukiran dan ornamen kuno, bahkan ubinnya pun terbuat dari kayu. Oh, dan jangan lupakan bahwa wanita itu tadi berbaring di sebuah dipan dengan ukiran naga yang mempesona.
"Oh, astaga, Yang Mulia sudah kembali sadar. Dayang! Dayang! Cepat panggilkan tabib."
"Baik, Dayang Yi." balas seorang gadis muda, ia menunduk lalu pergi.
Seorang wanita yang dipanggil Dayang Yi tadi berjalan menunduk menghampiri Marissa, "Apa Yang Mulia masih merasakan sakit?"
"Sebaiknya, Yang Mulia kembali berbaring saja, sebentar lagi tabib akan datang." ujarnya sambil menunduk, tidak berani menatap mata Marissa.
"Yang Mulia?" beo Marissa.
Marissa terdiam, apa Jessy lagi-lagi menjahilinya? Dimana ia sekarang? Dan siapa wanita itu? Mengapa ia memanggilnya Yang Mulia dan lihatlah pakaian itu, seperti para dayang di drama kolosal China yang sering ditonton Jessy.
Marissa mengerjap beberapa saat, lalu. menunduk melihat tubuhnya sendiri.
"HAHH!!!!!" pekik Marissa.
"Ada apa, Yang Mulia?"
"Ada apa ini? Kenapa bajuku jadi seperti ini?" Marissa menatap sang dayang kebingungan.
"Maaf, Yang Mulia, tapi ini adalah hanfu kesukaan anda."
"Hanfu?" beo Marissa. Hanfu, Dayang Yi, apa-apaan semua ini. "Dimana Jessy? Aku harus memberi pelajaran pada wanita licik itu." ujar Marissa sengit, wanita itu turun dari dipannya sambil mengangkat hanfu panjangnya tinggi-tinggi.
Dayang Yi gelagapan melihat tingkah aneh sang junjungan, tapi ia juga terlalu takut untuk melarang. "Ada apa, Yang Mulia? Dan apa itu Je... Jes.. Jessy?" Dayang Yi kesulitan mengucapkan kata aneh yang baru ia dengar pertama kali.
Marissa tidak mengubris ucapan Dayang Yi, wanita itu berlari keluar melewati pintu-pintu kayu, tak menghiraukan tatapan bingung para dayang lainnya.
Pintu berwarna merah, ya, itu pasti pintu keluarnya. Pintu itu memiliki ukuran yang lebih besar dengan ukiran yang lebih indah. Marissa harus segera keluar, ia tahu pasti Jessy sedang menunggu di luar dengan wajah tengilnya.
Brakkkk.......
Lutut Marissa seketika melemas, di balik pintu itu bukan Jessy, melainkan pria paruh baya berbaju putih bersama seorang dayang kecil tadi. Marissa benar-benar dibuat terkejut saat mendapati halaman luas dan sebuah danau teratai yang indah. Wanita cantik itu membulatkan matanya saat dari kejauhan ia bisa melihat pemandangan sebuah bukit yang sangat indah.
"Dimana aku?" Marissa luruh, wanita itu bersimpuh dengan wajah kalut.
"Yang Mulia apa yang anda lakukan? Ayo bangkitlah." Tabib dan dayang tadi merangkul kedua lengan Marissa, membawa wanita berbalut hanfu putih itu kembali ke dalam.
Dayang Yi datang dan turut membantu Marissa berbaring di kasur beludru yang sangat nyaman.
Tabib dengan cepat memeriksa keadaan Marissa, memastikan bahwa ia baik-baik saja. Setelah berbincang dengan Dayang Yi, tabib itu langsung undur diri.
"Apa Yang Mulia menginginkan sesuatu?"
Ya, aku ingin pulang, batin Marissa. Wanita itu masih menatap langit-langit dengan gamang.
"Tolong ambilkan air, aku haus." ujar Marissa.
Dayang Yi terdiam heran mendengar sang junjungan mengatakan kata 'tolong'. Tak urung, ia cepat mengambilkan air minum di cangkir porselen yang indah.
Marissa bangkit, ia terduduk dan menerima uluran cangkir dari Dayang Yi. Ia meminum air itu hingga tandas, otak dan tubuhnya perlu didinginkan dengan air.
"Jadi, kau Dayang Yi?" tanya Marissa.
Dayang Yi mendongak, lalu menganguk dua kali.
"Siapa aku?" tanya Marissa lagi.
"Maksud anda?" Dayang Yi mengerutkan keningnya. "Tentu saja anda adalah Selir Agung Wu Li Mei."
"Maksudmu aku berada di Dinasti Ming?"
Dayang Yi mengangguk.
"Kaisar....Zhou Xiu Huan?"
Dayang Yi kembali mengangguk dengan wajah bingung.
Marissa tertegun, menoleh ke kanan dan kiri, berharap ini hanya mimpi. "Tolong, ambilkan aku cermin."
"Baik, Yang Mulia."
Dayang Yi mengambil sebuah cermin di meja rias sang selir, memberikannya pada Marissa.
"Terima kasih, sekarang pergilah."
Saat Dayang Yi sudah pergi, Marissa mengangkat cermin itu.
"TIDAKKKKKKK!!!!!!!"
...****************...
Setelah satu hari penuh menangis sampai tertidur, Marissa terbangun saat perutnya meronta minta diisi. Ia baru sadar jika kemarin ia tidak menyantap apapun, terlalu kaget membuatnya lupa untuk mengisi perutnya.
Marissa mendesah pelan, ia kembali berkaca dan mendapati wajah yang sama. Wajah cantik Wu Li Mei, Selir Agung Kekaisaran Ming.
Wu Li Mei dari Dinasti Ming, adalah seorang tokoh cerita fiksi karya sang sahabat. Benar, Jessica, berjudul 'Back In Time'. Jika saat ini dirinya terlempar ke dalam sebuah cerita fiksi, apa yang harus ia lakukan? Apakah ini adalah kehidupan kedua yang diberikan Tuhan untuknya? Marissa berpikir demikian, mengingat kecelakaan yang ia alami, mustahil ia bisa selamat dan kembali hidup sebagai Marissa Darwanti.
Wu Li Mei, mengapa ia harus hidup kembali sebagai tokoh jahat dalam novel Jessy itu. Selir tamak yang haus akan cinta dan kekuasaan, terkenal jahat dan bengis, sangat beringas dalam membasmi siapapun yang menghalangi jalannya. Cintanya pada sang kaisar yang tak terbendung, membuatnya buta akan kebenaran. Wu Li Mei selalu menghalalkan segala cara untuk mencari perhatian sang kaisar, padahal kaisar sendiri membencinya. Mungkin semua orang di dinasti ini membencinya.
Marissa bergidik ngeri saat ia mengingat bagaimana akhir hidup seorang Wu Li Mei, karena Risa sendiri sudah membaca novel Jessy hingga akhir. Diakhir novel itu, tidak ada secercah kebahagiaan untuk Wu Li Mei, bahkan sang selir harus mengakhiri hidupnya karena dipenggal oleh sang kaisar.
"Jika ini kehidupan kedua ku, tentu saja aku harus hidup sangat lama. Aku tidak mau berakhir tragis seperti Wu Li Mei dalam novel Jessy." Marissa kembali mengangkat cerminnya, menatap pantulan wajah cantik Wu Li Mei, seingatnya selir ini sudah berusia sekitar 35 tahun. Tapi mengapa wajahnya masih begitu cantik, terlihat seperti gadis 17 tahun.
"Apa kau bodoh Risa, tentu saja kulitnya sangat bagus. Dia kan seorang selir." Marissa beranjak dari ranjangnya. Membuka jendela kamar yang sudah lama sekali tidak pernah dibuka, terlihat dari bagaimana macetnya engsel jendela itu.
Marissa menghela napas pelan, menikmati udara dingin dan segar. "Jelas saja kau sangat cantik Li Mei, udara disini sangat sehat, sama sekali tidak ada polusi."
"Baiklah, kalau aku harus jadi Wu Li Mei. Maka aku akan hidup lebih baik dari dirinya yang dahulu."
"Omong-omong, kemana perginya jiwa Wu Li Mei yang asli?" Risa bermonolog.
Marissa mengangguk yakin, "Aku harus mencari informasi dari Dayang Yi."
"Dayang Yi!"
"Dayang Yi! Dimana kau?"
"Dayang Yi?"
Marissa mencari sang dayang keluar dari paviliunnya, sekali lagi wanita itu terkesima dengan design dari paviliun ini. Mirip sekali dengan istana kekaisaran di Tiongkok. Risa patut bersyukur karena Jessy membuat latar cerita yang begitu indah.
"Dayang Yi!" Risa berteriak memanggil sang dayang.
"Ya, Yang Mulia."
Dayang Yi datang dengan tergopoh-gopoh, berjalan sambil menunduk, Marissa tentu tahu mengapa satu pun dari mereka tidak ada yang berani mendongak. Karena Wu Li Mei sangat kejam, tapi sekarang tubuh ini miliknya kan. Jadi, ia akan merubah citranya mulai sekarang.
"Kemana saja kau?"
"Ma-maaf, Yang Mulia. Saya menyiapkan air dan sarapan untuk anda."
Benar juga, Risa mengangguk pelan, memegang perut ratanya, "Ya kau benar, aku sangat lapar."
"Apa Yang Mulia ingin menyantap hidangan lebih dulu?"
Risa menggeleng, "Aku ingin mandi lebih dulu, badan ku terasa sangat lengket." Risa mengipasi lehernya, rambut panjang itu membuatnya merasa gerah, sekalipun udara di luar dingin. Belum lagi hanfu putih pucat yang Wu Li Mei kenakan, sungguh membuatnya terlihat seperti hantu.
Para dayang membimbing Risa menuju tempat biasa Wu Li Mei berendam. Saat melewati taman bunga di halaman paviliun, Risa berhenti sejenak.
"Dayang Yi?"
"Iya, Yang Mulia."
"Mengapa taman ini sangat gersang, tidak ada bunga atau tanaman disana?" tanya Marissa terheran, "Oh, mengapa dinding ini juga kosong sekali? Apa tidak ada design interior di negeri ini. Polos sekali seperti bangunan terbengkalai."
"Bukankah anda yang meminta semua ini?"
"Aku?"
Dayang Yi mengangguk dua kali dengan wajah bingung, "Anda, Yang Mulia."
"Oh, astaga! Wu Li Mei." pekik Marissa sembari memijat pelipisnya. "Aku tidak tahu kalau Wu Li Mei ini sangat kuno dan tidak mengenal estetika. Sungguh sebuah ironi mengingat dia sangat cantik dan kaya raya." gumannya.
"Dayang, mulai sekarang aku mau ada bunga di taman itu, bukan hanya semak berduri. Aku juga ingin lukisan atau ... guci ... atau hiasan semacam itu diletakkan di pelataran paviliun."
Dayang Yi dan dayang lain menatap heran pada sang selir, bukankah dulu ia sendiri yang meminta paviliun ini bersih dan kosong tanpa hiasan. Karena dulu Wu Li Mei benci dengan segala bentu dekorasi. Mereka saling tatap, tapi juga mengangguk.
"Dan satu lagi, Dayang Yi. Jika aku berbicara padamu, tataplah mataku. Kau tidak perlu takut lagi sekarang."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!