Femila terlihat kacau. Matanya masih terlihat sembab, nanar, tatapannya kosong masih tak percaya apa yang telah menimpa dirinya.
"Lebih baik saya mati Ma," racaunya lagi setelah menghentikan tangisnya.
"Sayang, jangan berpikiran yang tidak-tidak."
Mama Anita memeluk anaknya mencoba menenangkan kembali Femila yang mulai gontai.
Sudah hampir dua jam Femila menangis, menjerit, meracau, terkadang menjambak rambut sendiri, memukul-mukul dada dan kali ini dia terlihat tak sadarkan diri.
"Sayang, Fem, Femila...," histeris Mama Anita menepuk-nepuk pipi Femila namun tak kunjung sadar juga.
"Femila, Femila, bangun sayang. Kamu jangan tinggalin mama. Femila! Femila!" mama Anita masih menangis histeris.
"Ma, Mama juga harus tenang, kalau seperti ini Femila malah terpuruk," papa Riyan mengelus punggung istrinya.
Andra yang tidak kalah khawatir memanggil dokter jaga dengan menekan bel warning yang ada di ruang rawat. Tidak selang berapa lama dokter Wisnu masuk ke ruang tersebut.
"Dok, tolong tangani calon istri saya dengan perawatan yang terbaik," pinta Andra.
"Tolong semuanya keluar, saya akan memeriksanya."
Papa Riyan merangkul pundak Mama Anita agar keluar ruangan.
Andra mengusap wajahnya dengan kasar. berjalan bolak-balik sambil sesekali menatap pintu ruang rawat berharap Dokter Wisnu segera memberi kabar.
"Bagaimana Dok keadaan Femila? Baik-baik saja kan Dok! Tidak ada hal yang membahayakan nyawanya kan Dok? Apa perlu saya bawa keluar negeri untuk mendapat pelayan yang terbaik!" cecar Andra begitu Dokter Wisnu keluarga dari ruangan.
"Kita ke ruang kerja saya," jawab Dokter Wisnu sambil berjalan menuju ruang kerjanya, Andra pun mengekor.
Tanpa terasa air mata Andra menetes, dia masih duduk diluar ruang rawat kekasihnya. Masih terngiang dengan jelas apa yang baru dikatakan dokter Wisnu di ruangannya.
"Ini yang sering terjadi pada pasien korban kecelakaan, perubahan drastis kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan terutama pada fisiknya, memberi tekanan psikologis yang sangat besar bagi individu yang mengalaminya. Dampak yang terlihat berupa depresi, trauma, marah, shock, tidak dapat menerima keadaan, dan bunuh diri adalah dampak ekstrim dari dampak psikologis yang mengikuti pasca kecelakaan. Maka dari itu, keluarga harus selalu memberi semangat kepada pasien," tutur dokter Wisnu.
"Bagaimana dengan kondisi fisiknya Dok?"
"Kalau fisik, sejauh ini sudah membaik. Bekas amputasi nya juga sudah lumayan mengering. Hanya tadi saja seperti yang saya sampaikan, psikologisnya yang menjadi fokus pemulihan," sambung Dokter Wisnu saat itu.
"Femila sayang, kamu pasti kuat," gumam Andra.
Femila Amore Ibrahim wanita yang akan dinikahinya dalam waktu dua bulan ini, mengalami kecelakaan sehingga kaki kanannya harus diamputasi. Pagi ini, setelah tiga hari koma Femila sadar dan mendapati kenyataan kalau dirinya harus kehilangan kaki kanannya. Seperti yang dikatakan Dokter Wisnu, psikologis Femila menjadi terancam karena cacat yang menimpanya.
drt...drt...
"Saya tidak mau tahu, hukum dia seberat-beratnya," titah Andra dan langsung menutup telepon dari lawyernya. Jelas dia tidak ada kata ampun untuk tersangka yang telah menabrak kekasihnya. Amarahnya semakin memuncak mendapat kabar dari lawyer Sinaga. Tangannya mengepal dan tembok kamar rawat menjadi sasaran tinjunya.
"Kurang ajar! Jangan harap kamu bisa lolos dari tangan saya!" geramnya.
Andra menarik nafas dalam mengeluarkannya perlahan. Dia tidak ingin terlihat emosi di depan Femila kemudian masuk ke ruang rawat Femila, dipandangi wajah kekasihnya yang telah terlelap tidur karena obat yang diberikan oleh Dokter Wisnu. Sebenarnya, kecelakaan itu bisa tidak terjadi kalau Andra mau menemani ke Wedding Organizer untuk membicarakan kelanjutan acara pernikahan mereka. Hanya saat itu memang keadaan begitu mendesak, Andra ada meeting penting dengan rekan bisnisnya dan tidak bisa dibatalkan karena rekan bisnisnya segera terbang ke Singapura. Andra mengutuk sendiri tindakannya saat itu.
"Andai saat itu aku menemanimu sayang, pasti hal ini tidak akan terjadi," sesal Andra sambil mengelus pucuk kepala Femila.
"Dokter Wisnu tadi bilang apa Nak?" tanya Papa Riyan memecah keheningan.
"Kita harus selalu support Femila Pa," jawab Andra masih dengan mengelus rambut Femila. menyisipkan anak rambut yang menutupi wajah dan membelai pipi yang masih sedikit basah karena air mata.
"Bagaimana kesehatan Femila setelah operasi?"
"Semuanya baik Pa. Sekarang psikologis Femila yang perlu kita awasi. Siapa pun orangnya, kalau mendapati tubuhnya tiba-tiba cacat pasti akan shock dan depresi. Oleh karena itu, sebisa mungkin kita jaga psikologis selain fisik Femila."
Hening kembali suasana di ruangan. Terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Lebih baik kamu pulang saja Nak, biar kami yang jaga Femila. Sudah tiga hari ini kamu di sini. Istirahatlah besok lagi kamu bisa ke sini." Tawar Mama Anita.
Andra menatap lekat wajah kekasihnya kemudian mencium kening calon istrinya itu. Sebenarnya berat untuk meninggalkan Femila. Dia ingin selalu di dekat kekasihnya di saat seperti ini. Setidaknya Femila akan merasa senang karena calon suaminya ada di sisinya. Namun, Andra memang harus segera pulang. Selain tubuh yang memang sudah begitu lelah, besok pagi dia juga harus menemui klien dari Kalimantan.
"Tolong kabari saya Ma kalau ada apa-apa dengan Femila." Ucap Andra sambil meraih tangan calon mertua dan mencium punggung tangan itu.
Mama Anita mengangguk kemudian memeluk calon menantunya yang memang sudah dianggap seperti anak.
"Pa, Andra pulang dulu."
Papa Riyan memeluk calon menantunya dan menepuk pundak kekar itu. "Urusan kepolisian tolong kamu tangani," sambung Papa Riyan setelah melepas pelukan dan dijawab dengan anggukan oleh Andra.
"Papa fokus saja untuk kesehatan Femila. Selebihnya biar saya urus," sambung Andra.
...****************...
Satu jam setelah kepergian Andra, Femila kini terbangun.
"Ma...,Femi haus." Ucap Femila menggoyangkan pundak mama Anita yang telah tertidur di samping ranjang.
"Femila sayang, kamu sudah bangun," mama Anita terkejut. Tangannya mengucek kedua mata yang sulit dilebarkan karena kantuk berat yang melanda, sampai Femila harus menggoyangkan pundak mamanya karena panggilannya tidak mendapat sautan dari mamanya.
"Femila haus Ma," ulangnya.
"Mama ambil minum dulu." Ucap Mama Femila beranjak dari tempat duduk dan mengambil air minum yang ada di atas nakas.
Femila langsung meneguk sampai kandas tak bersisa. Menyerahkan gelas itu pada mama Anita. Menatap dengan pandangan kosong, "Femila sudah cacat Ma," suara berat Femila terucap samar namun terdengar menggetarkan batin mamanya.
"Sa-sayang," mama Anita tidak mampu berkata apa-apa lagi hanya memeluk anak semata wayangnya dengan erat dan bulir air mata yang sedari tadi ia tahan pun mengalir.
Papa Riyan yang baru masuk ruangan karena sedari tadi ada telepon dari kantor, langsung menghambur memeluk istri dan anaknya.
"Papa yakin kamu kuat sayang," papa Riyan mencoba menguatkan Femila. Berharap anaknya tidak sehisteris ketika siuman pertama.
Femila menangis kembali, rasanya memang berat dan sangat berat dengan kenyataan sekarang. Namun dia terlihat lebih tegar dari sebelumnya. Walau dalam diri masih berkecamuk rasa yang entah seperti kematian siap menghampiri.
...****************...
Pagi ini Andra sudah duduk di kursi kerjanya. Banyak berkas yang harus dia selesaikan karena tiga hari yang lalu dia tinggalkan.
"Rio, berkas untuk meeting dengan Pak Marchell tinjau kembali. Poin 7 dan 11 perlu direview dulu," titah Andra dengan menyodorkan berkas kepada asisten pribadinya.
"Kamu sudah ajukan meeting nya jam sepuluh pagi ini kan?" Andra memastikan.
"Maaf Tuan, Pak Marchell tidak bisa, jadi meeting kita tetap jam satu siang nanti."
Andra terdiam. Tangannya masih memegang berkas yang sedari tadi ia baca namun pikirannya tidak fokus. Sengaja dia memajukan jadwal meeting karena setelah itu dia akan ke rumah sakit, tentunya akan menemui kekasih yang masih terbaring lemah di sana. Namun kenyataanya Pak Marchell tidak bisa. Proyek ini begitu penting untuk perkembangan perusahaan Andra. Salah satu rekan bisnisnya adalah pak Marchell, beliau sebagai investor modal untuk proyeknya kali ini. Maka Andra harus se-profesional mungkin agar pak Marchell semakin yakin akan kinerjanya yang kompeten dan integritas.
"Tuan, ini review-nya. Tuan... ." Andra masih terdiam tidak menyahut perkataan Rio.
"Tuan..."Kali ini Rio meninggikan suaranya.
"Ya." Sahut Andra terkejut dengan membuang nafas cepat kemudian mengusap muka kasar, diambilnya berkas yang disodorkan Mario. Pikirannya benar-benar tidak fokus kerja.
Mario tahu kalau tuannya sedang ada masalah karena kekasihnya mengalami kecelakaan maka tidak heran dia sampai melamun tidak fokus ke pekerjaan. Selama tiga hari ini saja Mario harus menangani beberapa meeting dengan dewan direksi maupun rekan kerjanya. Namun kali ini meeting dengan pak Marchell tidak boleh diwakilkan harus Andra yang turun tangan langsung.
"Apa Nona Femila sudah baikan?" Rio mencoba menanyakan kabar kekasih tuannya.
"Setidaknya jauh lebih baik dari sebelumnya," jawab Andra matanya masih membaca berkas yang ada di tangan.
Mario tahu betul jawaban tuannya hanyalah sebuah alibi agar tuannya lebih tenang. Sudah enam tahun ini Mario bersama Andra. Dari jaman dia masih kuliah sampai sekarang, jadi dia jelas tahu sifat Andra. Walaupun sekarang posisi dia adalah bawahan dari Andra namun mereka tetaplah sahabat. Sebenarnya ketika dia direkrut sebagai asisten pribadi, Andra tidak mempermasalahkan kalau dia memanggil Andra dengan sebutan bro. Namun Rio merasa risih dengan sapaan bro, Rio memilih sapaan "Tuan" untuk memanggil sahabatnya sekaligus atasannya itu.
Rio mendekat ke sahabatnya, merangkul dan menepuk lengannya. "Yang sabar bro pasti ada hikmah dibalik musibah ini." Sengaja dia menyebut sapaan bro memposisikan diri sebagai sahabat untuk keprihatinan yang dia sampaikan.
Andra membalas rangkulan dan tepukan itu sambil tersenyum.
drt....drt....
"Kodisi psikologisnya tidak stabil dan dia satu hari ini baru sadar dari koma, tunda dulu untuk penyidikannya."
"Ya Tuan, namun semakin lama penyidikan maka kasusnya akan semakin lama untuk masuk ke persidangan," jawab diseberang sana.
"Paling penting kesembuhan dari Femila," sergah Andra kemudian mematikan sambungannya.
"Lawyer Sinaga?" Rio memastikan si penelepon barusan.
Andra hanya mengangguk.
"Ada masalah dengan proses penyidikan?" tanya Mario.
"Harusnya hari ini ada penyidikan kasus. Saya minta untuk ditunda. Kita masih fokus pada psikologis Femila yang masih belum stabil," terang Andra.
"Saya yakin tuan dan nona Femila bisa melewati cobaan ini," ucap Mario menguatkan semangat tuannya.
"Thanks Rio."
...****************...
"Sayang, nak Andra mungkin baru bisa menjenguk kamu sore atau malam," ucap Mama Anita mencoba memancing Femila agar menyahuti ucapannya.
Sejak bangun tadi pagi Mama Anita selalu mengajak Femila mengobrol namun Femila hanya membalas dengan senyum terpaksa dan sebuah anggukan. Sepatah katapun belum terucap dari bibir Femila.
"Sayang, kamu tidak membuka ponsel? Barangkali nak Andra menghubungi kamu," lanjut Mama Anita berharap anaknya melakukan aktifitas selain diam dalam lamunan.
Femila menggelengkan kepalanya.
"Setidaknya kamu masih mendengar mama bicara sayang dan merespon ucapan mama," batin mama Anita walaupun kecut mendapati anaknya seperti itu.
Mama Anita meraih tasnya, membuka dan mengambil lip balm kemudian menempelkan rata di bibir Femila.
"Bibir kamu sampai kering sayang tidak diolesi lip balm. Sayangkan kalau sampai pecah-pecah." terang mama Anita karena dia tahu kalau Femila sangat merawat penampilannya walau setiap tampilannya tidak terlihat over selalu minimalis, pas, dan sedap dipandang mata. Mama Anita masih ingat waktu itu bibir Femila terlihat pecah-pecah dia sampai bawa madu agar bibirnya tidak bermasalah lagi.
Lagi-lagi Femila hanya tersenyum tanpa bersuara.
Dipandanginya wajah anaknya yang biasanya nampak cantik berseri kini terlihat pasi.
Femila masih keturunan blaster indonesia-Itali. Kakeknya orang Italia menikah dengan neneknya yang orang indo. Melahirkan mama Anita. Sedangkan papa Riyan sendiri adalah orang Surabaya. Maka tak heran Femila memiliki paras cantik seperti orang bule yang menurun dari ibunya. Hidung yang mancung, kulit yang putih mulus, dengan body yang tinggi dan mata yang hitam lebar perpaduan dari papanya. Wajahnya memang bak selebritis cantik. Sedari kecil Femila anak yang cerdas, periang, dan penuh optimis bahkan cenderung ambisius. Apa yang menjadi keinginannya harus terkabul. Hingga mengajak dewasa kecantikan dan kecerdasannya makin terpancar maka tak heran banyak laki-laki yang memujanya dan ingin menjadi pacarnya. Namun, hatinya telah berlabuh pada Andra. Menjalin asmara selama dua tahun dan akhirnya mereka memutuskan untuk segera menikah setelah enam bulan menjalin hubungan pertunangan.
"Sayang, mama kupasin apel ya," tawar mama Anita yang tahu buah kesukaan anaknya.
Anita yang memang selalu menjaga tubuh agar fit dan sexy pasti setiap hari memakan buah dan buah yang paling disukainya adalah apel. Bahkan boleh dibilang setiap hari pasti memakannya.
Femila menggelengkan kepalanya. "Saya lelah, saya mau tidur Ma," tolaknya.
"Ya sayang tidurlah," ucap mama Anita seraya membantu Femila menata bantal untuk sandaran kepala. Ada rona bahagia di wajah mama Anita yang akhirnya mendengar anaknya bersuara.
"Walau sekata dua kata mama begitu senang sayang, akhirnya kamu bicara juga," batin mama Anita.
Femila langsung memejamkan matanya. Memang dia merasa lelah yang berlebih. pikirannya sudah sangat down. Mencerna kembali kenyataan yang sangat pahit dalam hidupnya. Bahkan seperti sebuah mimpi buruk yang entah kapan berakhir.
"Ma, kalau Andra datang, bangunkan saya," pinta Femila dengan mata yang enggan terbuka. Tak dipungkiri dirinya sangat merindukan sesosok Andra, ingin larut dalam pelukannya agar beban pikirnya berkurang.
"Ya sayang," jawab mama Anita sambil membelai rambut anaknya, merapikan anak rambutnya dan air mata yang sedari tadi ditahannya pun meluncur deras di pipinya. Namun tangannya cepat bergerak menghapus. Dia tidak mau anaknya bertambah sedih melihatnya menangis. Fokusnya hanya untuk kesembuhan Femila. Ya, terutama psikologis anaknya harus sehat.
tok
tok
tok
Terdengar suara ketukan pintu dan knop pintu yang diputar.
krek...
"Mungkinkah itu Andra?" batin mama Anita.
...****************...
Femila terbangun, matanya menatap kearah pintu karena mendengar knop yang diputar.
"Silla...," panggil Femila yang terkejut dengan kedatangan sahabatnya.
Silla langsung menghambur memeluk Femila, memeluk dengan erat sesekali mengusap punggung sahabatnya itu.
"Maaf Fem baru bisa jenguk kamu," ucap Silla.
"Aku seneng sekali denger berita kamu sudah sadar dari koma," lanjutnya yang kemudian melepas pelukannya.
Femila tersenyum melihat gelagat, gerak, dan cara bicara sahabatnya yang memang centil tapi tetap manis dan menyenangkan, "aku senang kamu datang," sahut Femila.
Silla sengaja bersikap seperti biasa. Dia tidak ingin melihat sahabatnya tambah terpuruk dengan keadaan yang menimpanya. Sebisa mungkin kedatangannya harus mengulas senyum di wajah Femila. Terbukti dengan gambaran senyum yang nampak di wajah Femila. Sebenarnya sejak Femila masuk rumah sakit setiap hari Silla selalu datang ke rumah sakit menjenguknya. Memberikan semangat agar sahabatnya bangun dari koma.
"Mama keluar dulu sayang, kamu ngobrol lah dengan Silla," pamit mama Anita sambil mengelus rambut Femila.
Femila mengangguk
"Tolong jaga Femila ya Sill," pinta mama Anita.
"Pasti Tan," jawab Silla dengan menangkupkan tangan ke pelipis seperti hormat bendera.
Mama Anita tersenyum kemudian keluar dari ruangan itu. Femila pun tersenyum melihat tingkah sahabatnya yang selalu over akting.
Tanpa terasa sudah dua jam mereka ngobrol sana-sini, membahas pekerjaan, sedikit ngegosip teman kantor, membahas tekanan atasan kantor, sampai harga kertas yang naik pun dibicarakan dan tak ketinggalan satpam baru yang tampannya mirip aktor Reza Rahadian pun tidak luput dari pembicaraan.
"Sumpah Fem, semakin hari tuh satpam makin cakep aja," kelakar Silla.
"Terus pak Gilang dari bagian humas yang katanya cakep nya seperti aktor Farrell Bramantyo jadi kalah cakep sama satpam barumu itu?" goda Femila.
"Emmm...dua-duanya cakep semua. Saya jadi bingung milihnya," jawab Silla.
"Emang dua-duanya meminta kamu untuk memilih?" protes Femila.
"Tidak juga sih," Silla nyengir mendengar ucapan Femila.
Silla sahabat Femila, kalau bicara memang pembawaannya apa adanya dan humoris. Orangnya selalu membuat Femila tertawa dengan segala tingkah dan bicaranya.
Femila menguap, sepertinya obat yang 15 menit lalu dia minum menyebabkan kantuk. Matanya mulai tak terkontrol lamat-lamat terpejam penuh dengan desiran nafas yang teratur.
Dibelainya rambut Femila, tanpa terasa air mata Silla terjatuh. Air mata yang sedari tadi ditahannya. Mengucur deras membasahi kerah bajunya.
"Aku tahu, kamu wanita yang kuat Fem," lirihnya. Dipandanginya wajah sahabatnya itu. Wajahnya kini disejajarkan dengan Femi dan Silla pun mulai masuk dalam alam mimpinya.
...****************...
"Saya tidak peduli! Dia dosen ataupun anak presiden! Dia harus dihukum setimpalnya!" geram Andra langsung menutup teleponnya.
Lawyer Sinaga memberi kabar kalau terdakwa penabrak Femila seorang dosen. Pihak terdakwa mengajukan banding agar semasa penyidikan bisa keluar dari tahanan dan permintaan itu dikabulkan oleh penyelidik karena selama masa penyidikan terdakwa dianggap kooperatif dan tentunya dengan jaminan yang disetujui oleh pihak penyelidik. Hal inilah yang menyebabkan murka seorang Andra Aksara Barata. Belum lagi pemunduran jadwal meeting yang harusnya pukul satu siang ini diundur dua jam setelahnya. Kalau saja bukan karena setengah sahamnya yang dipertaruhkan untuk proyek ini, dia pasti sudah pergi menemui kekasihnya.
"Kalau lawyer Sinaga tidak becus menangani ini kamu ganti dengan lawyer yang lebih handal," titah Andra pada Mario.
"Setahu saya beliau masih menjadi lawyer yang paling disegani tuan. Integritas dan cerdas."
"Buktinya, menjerat terdakwa saja tidak becus!"
"Baik tuan, saya segera cari penggantinya."
"Kamu siapkan mobil, kita segera ke rumah sakit."
"Maaf tuan, dua jam lagi kita meeting dengan pak Marchell." Rio mengingatkan tuannya.
"Dan, ini sudah lewat jam makan siang. Tuan harus makan siang dulu." Imbuhnya sambil melihat jam yang ada dipergelangan tangannya.
Andra meraup mukanya dengan kasar dan membuang nafasnya dengan cepat. Dia tidak merasakan lapar. Namun, perutnya harus terisi.
"Jangan sampai aku sakit di saat keadaan seperti ini," gumamnya dalam hati untuk menguatkan diri.
"Kita keluar Rio!"
"Kemana tuan?"
"Mengantar ke makam kamu!"
"Maaf tuan." Menciut nyali Mario.
"Selalu saja mengancam ke makam. Saya masih hidup dan masih ingin hidup, jomblo lagi dan belum merasakan surga dunia." Gerutu Mario, tentunya di dalam batin tidak mungkin diutarakan ke tuannya.
Mario berjalan mengekor tuannya yang dengan cepat melangkah dari ruang kerjanya.
...****************...
Tok ..tok...tok....
Suara ketokan pintu membangunkan Silla dan Femila. Dengan langkah berat Silla jalan ke pintu, dibukanya pintu.
"Waalaikum salam." Jawab Silla sambil membukakan pintu. Menatap dengan bingung wajah asing yang ada di depannya. "Ada perlu apa mas?" Tanyanya kemudian.
"Benarkah ini kamar pasien atas nama Femila Amore Ibrahim?"
Silla menatap ragu pada sosok yang ada di depannya. Memang penampilannya rapi dan jauh dari kesan seorang preman ataupun penjahat. Putih bersih kulitnya, mancung hidungnya, tegap gagah perawakannya. Namun sudah lama dia berteman dengan Femila untuk sekalipun tidak pernah melihatnya.
"Mbak..."
Suara itu membuyarkan selidik Silla.
"Ya ada perlu apa mas?" Kembali Silla menanyakan hal yang sama.
"Ada hal yang perlu saya sampaikan padanya."
"Emmm...silahkan masuk." Walaupun sedikit keraguan membesut di otak untuk mempersilahkannya bertemu dengan Femila.
Femila yang bersandar pada ranjang tidurnya menatap orang yang ada di depannya dengan menelisik.
Orang itu menatap ke wajah Femila kemudian tersenyum sambil menganggukkan kepala sebagai tanda salam kemudian menatap intens ke kaki Femila. " Assalamu Alaikum..." Ucapnya kemudian sambil menangkupkan kedua tangan sejajar dengan dadanya.
"Waalaikum salam." Jawab Femila dengan suara berat karena terbesit keraguan dalam dirinya.
"Saya ke sini ingin menjenguk mbak Femila sekaligus meminta maaf kepada mbak Femila." Ucapnya.
"Kamu siapa?" Ketus Femila.
"Saya Mirza, terdakwa kasus kecelakaan yang dialami mbak Femila." Ucap Mirza dengan nada penyesalan.
deg.
Gejolak emosi tiba-tiba muncul dari Femila.
"Untuk apa kamu datang ke sini!" Suara Femila meninggi dengan nafas yang tak beraturan.
"Femi, tenanglah..." Silla mendekap Femila yang mulai tak terkontrol.
"Lihat! Apa kamu puas! Aku cacat! " Masih dengan emosi Femila menyibakkan selimut yang menutupi kakinya. " Pergi dari sini!" titah Femila sambil menunjuk Mirza untuk keluar dari ruangannya.
"Mas saya mohon cepat keluar." Pinta Silla.
"Ba-baiklah semoga mbak cepat sembuh. Sekali lagi saya minta maaf." Ucap Mirza kemudian dengan langkah berat berlalu dari ruangan itu.
Sebenarnya Silla juga menatap tak percaya melihat kaki Femila. Baru pertama kali dia melihat kaki Femila yang memang sudah hilang satu. Walaupun dia sendiri sudah tahu kalau kaki Femila diamputasi namun dia tak sanggup membuka selimut yang menyelimuti kaki sahabatnya itu. Femila masih menangis dalam dekapan Silla. Sesekali diusap punggung sahabatnya untuk menenangkan pikiran sahabatnya.
Sungguh sangat berat yang dilalui sahabatnya. Menyandang difabel yang tiba-tiba berlabel pada dirinya, siapapun pada posisi ini pasti akan tergoncang psikologisnya. "Kamu pasti kuat Fem," lirih Silla masih mengusap punggung Femila.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!