NovelToon NovelToon

Belenggu Delapan Saudara

BDS01. Keluarga Adi's

"GISKA!!! Hana deungoe keu? Subuhan kau jam enam pagi! Dzuhuran kau jam setengah tiga sore, sekarang mau habis waktu ashar kau masih tidur aja?!! Nanti maghriban kau mau jam berapa? Jam tujuh kah, hah?" Teriak Adi dengan membuka pintu kamar anak urutan keenam tersebut.

"Ya, Pah. Nanti isyaan sekalian tahajud." sahut gadis sembilan belas tahun, yang Adinda lahirkan dulu.

"Bangun cepat! Mandi! Sholat!" balas Adi dengan memperhatikan anaknya yang masih menggeliat dalam selimutnya tersebut.

"Ya, Hot Daddy. Siap bangun, terus mandi sholat." ujar Giska dengan tersenyum lebar, pada ayahnya yang tengah memperhatikan pergerakannya sedari tadi.

"Cepat! Terus bantu Papah asuh adik kau itu! Pusing Papah, Mamah kau sekali ngelayap tak pulang-pulang." gerutu Adi dengan berjalan ke luar kamar, kemudian langsung menutup kembali pintu kamar anak gadisnya.

"Heran ane sama mamah. Udah waktunya punya cucu, tapi masih aja punya anak kecil." gumam Cut Giska, gadis yang memiliki rahang tegas. Sayangnya, gadis itu lebih cenderung mirip ayahnya. Membuatnya tak secantik ibunya, atau kakaknya. Tapi Giska tentu memiliki kecantikan tersendiri, membuatnya begitu menarik di mata laki-laki yang mengenalnya.

Rambutnya yang selalu tertutup hijab, hidung mancung dan mata ayahnya begitu melekat pada pantulan wajahnya. Gigi yang tersusun kurang rapi, membuatnya harus terbiasa menggunakan kawat gigi karena ibunya. Padahal dirinya tetap merasa percaya diri, dengan gigi taringnya yang bertumpuk tersebut. Namun, ibunya memaksa agar Giska mau merawat giginya dengan menggunakan kawat gigi itu.

Sayangnya, gadis itu sangat dijaga oleh kedua kakak kembarnya. Berbeda dengan Givan, yang memilih merantau ke pulau K. Anak sulung di keluarga tersebut yang kini berusia dua puluh empat tahun, lebih menyukai bisnis pertambangan yang dibantu oleh ayah kandungnya. Karena sang ayah kandung, memiliki pengalaman di bidang pertambangan.

Ghifar kecil yang selalu mengekori ayahnya, kini sudah berusia dua puluh tahun. Ia lebih memilih tinggal di tengah-tengah kebun kopi, yang bibitnya ia tanam tiga tahun belakangan. Putra pertama Adi Riyana tersebut, hanya mengemban pendidikan sampai SMK. Sejak lulus sekolah, dirinya memutuskan untuk fokus berladang seperti ayahnya.

Sedangkan Ghava dan Ghavi, adik kembar Ghifar yang hanya berjarak delapan bulan dan memiliki ulang tahun kelahiran di tahun yang sama tersebut. Memilih tinggal bersama orang tua dan adik-adiknya. Karena mereka masih berstatus sebagai mahasiswa, juga memiliki usaha sendiri yang berada di samping rumah orang tuanya.

Cut Naya Maulida, anak dari mantan istri Adi. Yang hanya berjarak satu bulan, dari Ghifar tersebut. Juga mengemban status sebagai mahasiswi bersama dengan Giska, yang setiap harinya diantar jemput oleh supir keluarga. Mereka hanya diam di rumah, dengan membantu ibu dan ayahnya mengurus adik-adiknya yang masih kecil.

"GISKA… salinin dulu Gavin, Papah mau mandiin Gibran dulu." seru Adi saat mendengar suara bantingan pintu kamar.

"Icut, Pah. Bukan Giska." sahut Cut Naya, yang mendengar seruan dari ayahnya.

"Yaa… siapa aja, ini bantuin Papah." balas Adi yang mendengar jawaban dari gadis yang selalu membuat drama kecil, dalam keluarganya tersebut.

Teuku Gavin adalah anak nomor tujuh, yang Dinda kandung lima tahun yang lalu. Gavin adalah anak yang membuat gempar pihak fasilitas kesehatan setempat, karena Adinda masih menggunakan IUD, tetapi mengandung kembali. Tentu kejadian tersebut sangat jarang terjadi. Anak yang rupanya tak jauh beda dari Adi itu begitu petakilan, sudah beberapa kali ia mendapat luka jahit karena ulahnya sendiri. Anak itu tak mau mengerti jika diberi pengertian, tetapi akan berhenti sendiri jika sudah mendapat akibatnya.

Sedangkan Teuku Gibran, adalah anak terakhir mereka yang masih berusia dua tahun. Anak bungsu mereka tersebut, membuat Adinda kapok untuk hamil kembali. Karena usianya, membuat dirinya memiliki permasalahan dalam kehamilannya. Hingga berakhir, dirinya harus dilarikan ke rumah sakit sesaat setelah dirinya melahirkan anak bungsunya. Karena placenta anaknya, tak bisa dikeluarkan meski dengan beberapa cara yang sudah bidan setempat lakukan.

Sedari dulu Adi menginginkan anak perempuan, yang mirip dengan istrinya. Namun, anak terakhir mereka dilahirkan sebagai laki-laki malah yang begitu mirip dengan Adinda. Wajahnya, sifatnya, bahkan tingkah absurd balita itu seperti merekam kelakuan Adinda kecil. Tak jarang, kini kasih sayang kedua orang tua yang akan menginjak usia kepala lima itu membuat iri anak-anaknya yang lain.

"Mana bagian aku? Sini, benih sisaan! Akak harus urus kau, meski berat aku lakukan." seru Giska, saat melihat ayahnya dan adik bungsunya baru keluar dari kamar mandi.

"Apa kau bilang?! Papah jotos juga kau! Bungsu Papah kau sebut benih sisaan? Berani-beraninya!" ucap Adi dengan memukul part belakang anak gadisnya dengan handuk. Membuat tawa Gibran begitu lepas, juga menular ke kakaknya dan ayahnya.

"Bilang bang Ghifar, suruh jemput mamah di klinik kecantikan." pinta Adi dengan memberikan minyak telon dan juga tepak bedak pada anak gadisnya, yang tengah mengelap tubuh Gibran.

"Mamah bawa mobil sendiri, nanti juga balik sih Pah." sahut Giska, yang masih fokus pada pekerjaannya.

"Papah Adi… aku udah siap, ayo kita ke pasar malam." suara anak laki-laki yang berusia lima tahun tersebut.

Adi menepuk jidatnya sendiri, laki-laki pujaan Adinda yang kini berusia 48 tahun tersebut melupakan janjinya pada Gavin.

"Nanti sama Akak kau itu, Papah mau nyantai. Capek kali Papah, Nak. Dari pagi Emak kau pergi, tak balik-balik juga dia." sahut Adi kemudian.

"Mau ke mana sih?" tanya Icut yang muncul di belakang Gavin.

"Ke pasar malam, Kak. Naik odong-odong, sama main mandi bola." jawab Gavin dengan menghadap ke arah berdirinya Icut.

"Mandi bola kan punya sendiri." timpal Adi dengan wajah lelahnya.

"Tapi aku mau di sana, kan enak bisa rebutan. Seru bisa mainan lempar-lemparan juga, Pah." sahutnya yang membuat Adi menghela nafas beratnya.

"Bentar lagi bang Givan datang, tak usah ke pasar malam. Nanti di ajakin ke mall sama bang Givan." ucap Giska yang membuat Adi dan Icut menoleh ke arahnya.

"Kok dia tak ada bilang sama Papah?" pertanyaan yang keluar begitu saja dari mulut Adi.

"Ini abang chat di grup keluarga Adi's, katanya otw rumah mamah sambil bawa calon menantu. Abang sertain juga foto jalanan yang baru keluar dari bandara itu, Pah." jelas Giska yang membuat rahang Adi terjatuh seketika.

"Tak tau, Papah dari tadi tak buka HP." sahut Adi dengan meraih ponselnya.

"HP aku pun dicas tadi, jadi tak tau." timpal Icut kemudian.

Adi dengan cepat membuka aplikasi chat miliknya, dalam ponselnya. Dengan ia menemukan isi pesan chat dari anaknya, yang mengatakan bahwa dirinya akan pulang dengan membawa calon istrinya.

Dengan cepat Adi mencari nama Adindaku, dalam aplikasi tersebut. Lalu ia langsung menelpon istrinya, untuk mengadukan hal itu.

"Dinda… Adindaku sayang… kau tau waktu tak? Cepatlah balik, aku amat merindukanmu sayang. Belum lagi anak-anak kau ini, yang bikin Abang saket ule ini." ucap Adi saat detik dalam panggilannya berjalan.

Giska dan Icut saling melempar pandangannya, dengan menahan tawanya mendengar ayahnya mengucapkan hal yang cukup membuat telinganya geli.

"Ya, Bang. Lagi di jalan, tunggu aku di depan pintu rumah ya. Mantap loh Bang aku kali ini, wanginya pasti bikin Abang mabok kepayang." sahut Adinda yang membuat senyum Adi mengembang seketika.

"Ok, sesuaikan nanti malam. Sekalian beli bolu kukus pelangi, atau lapis surabaya gitu. Calon mantu mau datang, sama sulung kita." balas Adi yang membuat anak-anak gadisnya keluar dari kamar, dengan menggendong kedua adiknya tersebut.

"Bisanya tiba-tiba dia ajak betina ke rumah? Ke mana aja dia kemarin, pas disuruh cepet nikah?" tanya Adinda terdengar begitu heran.

"Mungkin pengen langsung hantam, tanpa pacaran Dek. Abang tunggu di rumah ya, janji ya malam nanti puasin Abang?" jawab Adi yang langsung disanggupi oleh Adinda. Adinda pun mengerti, suaminya masih menyukai aktivitas tersebut meski usianya tak lagi muda. Dirinya pun tak memungkirinya, bahwa dirinya masih menyukai berada di bawah kungkungan suaminya.

......................

*Hana deungoe keu : Tak dengar kah

*Saket ule : Sakit kepala

Hay.... Adi's bird kembali lagi. Semoga terhibur ya dengan squel cerita Sang Pemuda ini.

Untuk kalian yang baru pertama kali baca, ini season 3nya ya. Untuk season pertama, kalian bisa ketikan Sang Pemuda. Untuk season 2, Kalian bisa cari Belenggu Sang Pemuda. Untuk season 3nya, ini loh novelnya, dengan judul Belenggu Dua Saudara. Atau, kalian bisa langsung klik profil Author. Terima kasih 🙏😁

BDS02. Tentang Ghifar

Suara Adinda dan Adi yang tengah bersenda gurau di dalam kamar, membuat anak-anaknya merasa malu. Ghifar beberapa kali menghela nafasnya, ia hanya bisa menunggu suara tawa itu cepat padam. Ia baru saja datang, dengan sengaja mengantarkan makanan buatan bibinya yang sedari dirinya kecil selalu mengurusnya. Bukan lain adalah Zuhra, kini ia sudah memiliki lima anak dengan pernikahannya dengan Nisfun Nahar.

"Mak… malu loh kita, ngapain sih di kamar terus sama Bang Adi?" seru Ghifar dari depan pintu kamar pribadi orang tuanya.

Hingga umurnya sudah menginjak usia dua puluh tahun, anak laki-laki itu terbiasa memanggil ayahnya dengan sebutan abang. Kebiasaannya juga, yang selalu menyebutkan mak untuk ibunya tak pernah hilang sampai sekarang.

"Pue? Lagi ngobrol, masuk aja." sahut Adinda dengan suara tawa yang mulai mereda.

Ghifar memantapkan hatinya untuk menarik gagang pintu tersebut. Hingga terlihatlah ayahnya yang tengah berbaring di atas tempat tidur, dengan wajah yang tertutup masker wajah yang berwarna hitam. Sedangkan ibunya tengah mengikat ulang rambutnya, lalu mengenakan kembali hijabnya asal.

"Bucin! Mau aja di make up sama Mak, wajah udah macam p*n*at panci." Ujar Ghifar dengan melangkah masuk dan duduk di tepian tempat tidur.

"Biar Papah tetep awet muda, kata Mamah kau macam itu. Kalau jalan berduaan, udah macam kakek sama cucunya. Mamah stay di dua puluh tahunan, Papah yang udah macam kakek-kakek." ungkap Adi dengan suara tertahan.

Ghifar menyuarakan tawa gelinya, "Abang segitu awet muda, kebawa Mak. Tuh tengok om Safar, udah puteh semua rambutnya. Udah doyok betul dia, jauh lah sama Abang." balas Ghifar dengan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur orang tuanya.

"Jadi gimana kalau kau punya adik lagi?" tanya Adinda dengan nada bergurau.

"Udah deh, Mak. Udah waktunya aku yang berkembang biak, bolehlah Mak aku dinikahkan lepas lebaran tahun ini?" jawab Ghifar membuat Adi dan Adinda menoleh serentak ke arah anaknya.

"Bang Givan aja baru mau ngenalin calonnya, bisanya kau minta langsung nikah?" balas ayahnya, setelah menegakkan punggungnya.

"Nikah sama siapa? Sama Cut Maghfira itu? Perempuan yang sering kau bawa ke sini itu?" tanya Adinda beruntun.

"Ya lah, sama siapa lagi. Dia kan pacar aku, ya nikahlah aku sama dia." jawab Ghifar begitu mantap.

"Sabar, ikuti urutan. Biar nanti cucu tertuanya dari abang kau, jangan dari kau dulu." sahut Adi dengan melambaikan tangannya pada istrinya.

"Udah kering keknya, Dek. Lepas aja, nanti keburu Givan sama calon mantu datang." lanjut Adi bersuara.

"Tapi Fira lebih tua dari kau, Mamah kurang sreg." balas Adinda dengan menghampiri suaminya, lalu ia perlahan melepas lapisan warna hitam itu dari wajah suaminya.

"Aww… pelan-pelan, Dek. Kebawa kulit Abang." pekik Adi tertahan.

Ghifar memperhatikan kedua orang tuanya, dengan hati bimbangnya. Ia merasa ucapan ibunya barusan, adalah sebuah larangan. Menurutnya umur tak terlalu dipermasalahkan, buktinya Fira masih memanggilnya dengan sebutan abang. Menandakan bahwa Fira menghormati dirinya sebagai kekasihnya, juga membuat Ghifar merasa bahwa dirinya yang esok nanti akan menjadi kepala keluarganya.

"Tak boleh kah, Mak? Kalau aku jadi sama Fira?" tanya Ghifar memastikan, dengan suara pasrah.

Adinda menoleh ke arah anaknya, mengesampingkan kegiatannya pada wajah suaminya tersebut.

"Udah campur kah? Sering kah kau bawa dia ke rumah panggung?" suara Adinda yang begitu dominan, di antara suara-suara keributan anak-anak yang tengah bermain di luar kamar.

"Tak, Mak. Pacaran anak muda aja, tak campur suami istri. Kata Bang Adi tak enak kalau buang luar, kalau buang dalam nikmat tiada tara. Tapi resikonya hamil kalau buang dalam nanti. Jadi ya udahlah, aku tak macam itu. Dari pada malu-maluin keluarga, mana nashab anak hamil di luar nikah malah ikut ibunya lagi. Bikin anak jadi tau, bahwa dirinya bukan anak dalam pernikahan." jelas Ghifar yang membuat Adinda langsung menarik bulu kaki suaminya.

"Aduh… aduh… sakit lah, Dek." teriak Adi dengan mengusap-usap betis kakinya.

"Bisa-bisanya ajarin anak masalah buang luar buang dalam? Abang bodoh apa macam mana sih?!" ucap Adinda dengan pelototan tajam.

"Yah, kan… jadi mereka tau, bahwa yang bikin hamil itu air merekanya bukan perbuatannya. Jadi kalau pun mereka berbuat di luar nikah, kan jangan sampek hamil duluan. Smart dong, Dek. Abang ini ajarkan betul, berbuat atau tidaknya mereka kan tergantung keimanan mereka lagi. Jangan dibikin masalah, jangan dibuat stres." jelas Adi yang langsung mendapat beberapa hantaman bantal dari istrinya.

Dengan Ghifar yang ikut menyuarakan tawanya, saat terdengar tawa ayahnya begitu renyah.

"Mana kan anak kita laki-laki semua, perawan cuma dua. Itu pun satunya entah perawan atau bukan, jadi kita harus kasih mereka edukasi s*ksual yang baik dan benar. Ya minimal masalah air aja lah." lanjut Adi yang membuat Adinda seketika keluar dari kamar, dengan menghentak-hentakkan kakinya.

Adi terkekeh geli, melihat istrinya yang marah tak jelas. Padahal menurutnya, yang ia lakukan sudah benar. Namun, tetap saja menurut Adinda itu masih kurang tepat.

"Bang… jadi aku boleh tak sih sama Fira? Mak macam tak suka, tiap kali aku main bawa Fira." tanya Adi dengan memperhatikan ayahnya yang tengah berusaha melepaskan masker di wajahnya tersebut.

"Biasanya insting seorang ibu itu tepat, Far. Fira baik, sopan juga, mana cantik lagi kan dia? Cuma sepengamatan mata Papah, Fira ini udah habis-habisan, udah macam janda." jawab ayah dari delapan anak itu, dalam mengemukakan pendapatnya.

"Dia belum pernah nikah, Bang. Pacaran juga baru sama aku ini." sahut Ghifar membuat Adi mengerutkan keningnya.

"Berarti dia habis sama kau!" tuduh Adi dengan memicingkan matanya.

"Demi Allah, nakal-nakalnya aku pegang dada aja Bang. Mana pernah aku obok-obok Fira, apa lagi habisin dia." ungkap Ghifar membuat raut wajah Adi berubah menjadi heran.

"Dari kelopak matanya, bentuk panggulnya itu, dia udah habis Far. Bukannya Papah nuduh, tapi menurut pengamatan Papah ya macam itu." balas Adi kemudian.

Ghifar terdiam sejenak, ia memahami pasti ayahnya lebih mengerti akan hal itu. Ia pun mengetahui fakta, tentang ayahnya yang mendapatkan istri seorang janda.

"Carilah perawan, sayang perjaka kau. Kalau kau bisa dapatkan perawan, nanti pas kau nikahan Papah nyumbang dangdutan." ujar Adi yang membuyarkan lamunan anaknya. Lalu mereka tertawa bersama, setelah mendengar gurauan sederhana dari Adi tersebut.

~

Adi keluar dari kamar, bersama anaknya. Kini tampilan wajahnya lebih fresh, setelah diberi masker dari istrinya.

"Mak, di meja makan ada makanan dari tante Zuhra." seru Ghifar saat melihat ibunya berjalan ke arah ruang tamu.

"Ya…" sahutan dari Adinda, yang terdengar samar di telinga Ghifar.

Ghifar membereskan mainan adik-adiknya, dengan ia memperhatikan dua orang yang datang dengan disambut meriah oleh keluarganya.

Ghifar langsung bangkit dari posisinya, lalu ia mengayunkan langkah kakinya menuju kerumunan tersebut. Ia mendengar suara yang ia kenal dari ia kecil. Sayup-sayup suara ibunya dan ayahnya, yang memberikan pertanyaan aneh di telinga Ghifar. Dengan cepat Ghifar bergegas menuju mereka semua, dengan langsung mengenali siapa yang datang hari ini.

"Hai, Pang… tambah hitam aja bos batu bara ini." ucap Ghifar dengan langsung memeluk saudara satu ibunya.

"Is, Bos kopi gagah ya sekarang. Udah punya ilmu apa kau lama semedi di tengah ladang?" sahut Givan dengan akrabnya.

Pelukan mereka terlepas, lalu Ghifar tersenyum manis pada seorang wanita yang berada di samping Givan.

"Hai….

......................

* Pue : Apa

* Puteh : Putih

Jadi loh... udah pada paham belum masalah anak Adi dan Adinda?

Ananda Givan, anak dari pernikahan Adinda sama Mahendra. Mahendra itu mantan suaminya Dinda, papah kandung Givan. Baca balik Sang Pemuda.

Cut Naya Maulida, anak Maya. Baca balik Belenggu Sang Pemuda. Yang awalnya bayi itu dipanggil Naya, terus panggilannya diganti Dinda jadi Icut.

Teuku Ghifar, anak Adi dan Adinda yang pertama.

Teuku Ghava, Teuku Ghavi, si kembar prematur.

Cut Giska, Teuku Gavin, Teuku Gibran... anak tambahan setelah pernikahan sunting Aceh itu.. 😌

BDS03. Saboh mak

"Hai, Dek. Datang kapan? Tumben mau main ke sini, tanpa dijemput pulak." sapa Ghifar pada wanita yang berada di samping Givan.

"Kau kenal calon istri Abang?" tanya Givan pada adiknya tersebut.

Ghifar langsung menoleh ke arah ibunya, terlihat Adinda terdiam dengan mata terbuka lebar. Adinda pun terkejut, mendengar fakta yang tentu menyakiti perasaan anak-anaknya. Pasti ia memikirkan tali persaudaraan anaknya, setelah mengetahui hal ini.

Ghifar menelan ludahnya kasar, ia beralih lagi menatap mata kekasihnya. Pandangan mata mereka bertemu, lalu Fira memutuskan pandangan mata mereka untuk kembali menatap seseorang yang lebih tinggi dari Ghifar tersebut. Senyum bahagia Givan terpatri, saat Fira memperhatikannya dari samping.

"Jadi kita gimana, Dek? Kau tak tau kah kita saboh mak?" suara datar Ghifar mengalihkan perhatian Givan seketika.

"Yuk… masuk dulu. Duduk-duduk dulu." ajak Adi dengan merangkul putra sulungnya, yang jarang ia temui tersebut.

Setelah Givan lulus sekolah tingkat atas, dirinya memilih melanjutkan pendidikan di luar kota. Hingga Adi mendapat kabar mengejutkan, bahwa putra sulungnya hidup bersama ayah kandungnya sejak saat itu. Kabar demi kabar ia dapatkan, lalu ia memutuskan untuk mengunjungi Givan untuk memastikan hal tersebut. Betapa terkejutnya Adi, saat mantan suami istrinya kini selalu ada di samping anak sulungnya.

Ia memahami bahwa ikatan darah, memang begitu kental. Givan telah dewasa, ia tak bisa memaksa anak sulungnya agar tetap berada di sisinya. Mulai saat itu, anak sulungnya memintanya untuk tidak memberinya uang setiap bulannya lagi. Hingga sekarang, Givan dewasa yang sudah memberikan jaminan untuk ayah sambungnya dan ibunya. Meski Adi tak mengharapkan, tapi ia menghargai pemberian dari anaknya tersebut. Ia paham, didikannya tak akan pernah lekang oleh waktu meski Givan sudah tak bersama dengannya lagi. Ia memahami cepat atau lambat, anak-anak pasti akan menjalani kehidupan yang sebenarnya tanpa mereka lagi.

Pandangan miris begitu terlihat di mata Ghifar. Ia sedari tadi mengamati perubahan wajah pada kekasihnya, yang sekarang selalu berada di sisi kakaknya. Ghifar hanya bisa pasrah, saat tangan ibunya selalu mencekal lengannya begitu kuat.

Givan memandang Ghifar dengan raut wajah bingung, ternyata ia pun tak mengetahui kenyataan pahit ini.

"Mah, habis lebaran nanti aku nikah sama Fira ya?" ucap Givan, setelah meneguk air yang telah terhidang di atas meja tamu.

Adinda memijat pelipisnya. Bagaimana ia tak sakit kepala, saat kedua anaknya meminta menikah dengan satu perempuan yang sama?

"Fira… ikut dulu sini." ajak Adinda dengan bangkit dari duduknya.

Fira mengangguk pasrah, dengan mengikuti langkah kaki seseorang yang ia panggil dengan sebutan mamah tersebut.

Adinda berhenti, saat dirinya sudah berada di ruang keluarga mereka. Dengan langsung menepuk sofa, yang ia duduki.

Fira langsung menduduki sofa tersebut, dengan sedikit menyerongkan posisinya.

"Kau orang mana? Satu daerah sini, tau semua bahwa Givan sama Ghifar ini satu ibu. Ya, memang… mereka ini bukan satu ayah. Sampek hati kau buat macam ini, sama anak-anakku? Kau pikir, kau siapa? Aku tak terima, anak-anakku kau permainkan." ungkap Adinda dengan menahan rasa gemas di tangannya.

"Aku… aku tak tau, Mah. Aku tak ada niat buat nyakitin, ini terjadi di luar dugaan aku." sahut Fira dengan meremas tangannya sendiri.

"Terus… kau pikir aku bakal ngizinin salah satu anak aku, buat nikahin kau? Tak sudi betul aku dapat mantu, yang pernah nyakitin anak-anak aku. Kalau Ghifar mau kau lepaskan, aku juga bakal minta Givan buat lepasin kau. Jangan pernah berharap, untuk dapatkan salah satu dari mereka. Setelah kau duakan cinta dari mereka, setelah kau permainkan kedua hati laki-laki yang duduk di depan itu. Maaf-maaf, kalau aku sekasar ini sekarang. Jelas ini bukan bagian peranku, kalau anak-anakku tak kau permainkan!" balas Adinda, dengan nada suara yang tak bisa ia tahan lagi.

Adi yang mendengar suara istrinya yang naik satu oktaf tersebut, langsung bergegas menuju ke sumber suara. Dengan diikuti dengan Ghifar, juga Givan yang penasaran akan kebenaran ini. Giska dan Icut saling melempar pandangan, lalu ia beralih menatap adik-adiknya yang tengah mencicipi kue yang berada di atas meja.

"Bawa kuenya, main yuk ke lapangan depan." ajak Giska, karena dirinya sedikit memahami permasalahan yang terjadi sekarang.

Tentu dua gadis tersebut, mengenal siapa perempuan yang dipanggil dengan sebutan Fira tersebut. Mereka mengenal Fira, sebagai kekasih dari Ghifar. Karena bukan hanya sekali saja, Fira dibawa ke rumah orang tuanya.

Dengan cepat Icut dan Giska menggiring kedua adiknya, lalu mereka berbaur dengan beberapa orang yang tengah berlarian di lapangan depan rumahnya. Yang sebelumnya sudah dibeli oleh ayahnya, hanya untuk tempat berlarian anak-anaknya saja.

Fira menjadi perhatian empat orang tersebut, dengan Adi yang selalu menggenggam tangan istrinya. Adi tak bisa menyebut istrinya orang baik, jika istrinya tengah dirundung emosi seperti ini.

"Pang, lepas lebaran nanti juga aku mau nikah sama Fira." ungkap Ghifar, membuat Givan mengerutkan keningnya seketika.

Ghifar tetap mempertahankan panggilan kesayangannya untuk kakaknya tersebut. Sejak ia bisa berbicara, ia selalu memanggil kakaknya dengan sebutan pang. Meski tak sedikit keluarga, yang selalu mengajarkan Ghifar untuk memanggil Givan dengan sebutan abang.

"Maksudnya macam mana?" tanya Givan dengan menatap adiknya dan kekasihnya bergantian.

"Aku sama Fira udah dua tahun terakhir punya hubungan. Aku sama Fira ini pacaran, Pang." jelas Ghifar yang membuat Fira langsung pucat.

"Betul macam itu?" Givan menoleh ke arah kekasihnya, untuk memastikan hal tersebut.

Fira hanya terdiam, dengan pandangan fokus pada wajah rupawan Givan saja.

"JAWAB!!! KAU KIRA AKU PENYABAR?!" seru Givan, membuat semua orang terhenyak kaget.

Fira mengangguk lemah, kemudian ia menundukkan kepalanya karena nyalinya menciut sekarang.

"Kau sama aku udah lima tahun lamanya, Dek. Kau minta disegerakan, tapi macam ini kenyataan. Kau buat aku tenggelam dalam setia, tapi kau main-main di belakang aku? Maksud kau apa?" ucap Givan dengan mencengkram kedua lengan Fira.

"Sakit, Bang." Fira meringis dengan mendongak menatap wajah Givan.

"Segini kau bilang sakit??? Gimana perasaan aku, Dek?!" sahut Givan dengan melepaskan cengkraman tangannya. Ia beralih menatap adiknya, terlihat Ghifar begitu syok menerima kenyataan ini.

"Bisa-bisanya kau pacarin pacar abang kau sendiri, Far? Macam tak ada perempuan lain, sampek pacar abang kau embat juga? Kau jorok, Far! Kau tak jijik kah, hah? Tak mampu kah godain yang baik untuk kau, yang aman untuk kau?" ujaran Givan begitu menusuk ke telinga Ghifar.

"Demi Allah, aku tak tau itu Bang. Harusnya Fira bilang, kalau dia udah ada Abang. Tapi dia diam aja, dia tak ada bilang apa pun. Selama dua tahun belakangan pun kita baik-baik aja, dia tak nunjukin kalau dia punya yang lain." balas Ghifar mencoba membela dirinya. Mau bagaimana pun juga, ia bukanlah perusak hubungan kakaknya dan kekasihnya. Ia tak terima, saat Givan memakinya dengan ucapan yang cukup kasar.

"Tunggu apa lagi? Balik kau sana, Fira!!!" tegas Adinda dengan mata basahnya.

Adi langsung merangkul bahu istrinya, "Dinda…

......................

* Saboh mak : satu ibu

Ada yang baca deskripsinya? kaget tak tau ceritanya malah begini? 😟

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!