Air mata Gadis itu mengalir deras membasahi pipinya. Dia sama sekali tampak tidak peduli jika itu adalah hari pernikahannya sendiri dengan seorang pemuda yang terkenal saleh. Perasaan bersalah muncul dalam dirinya, menatap iba kepada ayahnya yang terlihat malu kepada seluruh hadirin di sana karena sedari tadi tak kunjung menyelesaikan ijab qabul dengan lancar dan benar.
Terdengar bisik-bisik keluarga sedikit menertawakan beliau, kenapa pada pernikahan kali ini begitu terbata-bata? Sedangkan pada putri pertamanya yang sekarang sudah memiliki sepasang anak kecil, dulunya lancar-lancar saja.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskannya kembali dengan perlahan. "Bismillahirrahmanirrahim..." Ucap Gadis itu berdesir pelan seraya mengusap air matanya dengan hati-hati agar make up yang menghiasi wajahnya tidak ikut luntur.
Tidak ada yang tahu bahwa dirinya saat itu sedang menangis, kecuali Bapak penghulu yang memimpin jalannya ijab kabul, karena tidak sengaja matanya beradu pandang dengan beliau. Bapak penghulu itu seakan-akan dapat membaca suasana hatinya.
"Muhammad Ajis Andika..." terdengar Ayah Gadis itu menyeru nama mempelai lelaki yang sedang menjabat tangan Beliau.
"Iya, Pak..." sahut lelaki itu sedikit gemetar.
"Aku nikah dan kawin kan putri kandungku, Zahrana Habibah Marwan binti Umayyah Marwan dengan mahar seperangkat alat sholat dan cincin emas dua setengah gram, tunai..." Ucap lelaki paruh baya itu dengan lancar.
"Aku terima nikah dan kawinnya Putri kandung Bapak, Zahrana Habibah Marwan binti Umayyah Marwan, dengan mahar tersebut, tunai..." Sahut pemuda di samping gadis itu yang merupakan Zahrana sendiri.
Entah keajaiban apa dari kalimat pendek yang di ucapkan gadis bernama Zahrana, sehingga air matanya berhenti seketika dan ucapan ijab kabul yang tadinya sempat berulang-ulang menjadi lancar dengan sekali tarikan nafas oleh ayah dan lelaki yang baru saja sah menjadi suaminya itu.
"Bagaimana saksi?" tanya bapak penghulu menanyai dua saksi di sisi kiri dan kanan mereka.
"Sah..." Dua saksi itu bersamaan menyahuti.
"Alhamdulillah..." Ucap bapak penghulu sembari diikuti oleh para hadirin yang lainnya. Mereka semua berdoa untuk rumah tangga yang akan diarungi Zahrana dan Ajis bahagia hingga ke surga.
"Sekarang, mempelai wanita sudah halal menyalami tangan mempelai pria..." ucap bapak penghulu memandu.
Zahrana tersentak. Hatinya kembali bergetar kuat. Dengan berat, ia mengangkat tangannya yang gemetar untuk menyalami tangan suaminya itu.
Siapa yang tahu? Kecuali adik Zahrana sendiri, Hidayat Marwan. Dia melihat Ada sesosok pemuda di pojok Masjid tempat berlangsungnya acara, sedang berusaha keras menahan air mata ketika Zahrana telah sah menjadi istri Muhammad Ajiz Andika.
Sesampainya mereka kembali ke rumah, Umayyah Marwan dan Zainab, orang tua Zahrana menghela napas berat. Pandangan mereka nanar menatap kepada Zahrana yang baru saja mereka nikahkan dengan lelaki yang sebenarnya bukanlah dicintai putri mereka.
"Jika kamu tidak bahagia bersama nak Ajis, segera katakan kepada ayah, Nak... Jangan sekali-kali kamu melukai hati suamimu, karena pernikahan ini bukanlah paksaan dari siapa pun, melainkan kemauan kamu sendiri. Nak Ajis datang dengan baik-baik, dan kamu langsung menerimanya, bukan? Ayah Tahu, kamu menerima nak Ajis karena putus asa. Tapi jangan libatkan suamimu dalam masalah percintaan mu..." pesan Umayyah berharap, sementara ibunya mengangguk, membenarkan ucapan ayahnya itu.
"Ayah... Kenapa Ayah berkata seperti itu? Ayah dan Ibu tidak percaya kepada Zahra?" Zahra menatap orang tuanya dengan tatapan sendu.
"Bukan begitu, Nak... Hanya saja..."
"Zahra bahagia, Bu, Yah... Bang Ajis sepertinya orang yang baik, dia pasti mampu membuat Zahra jatuh cinta kepadanya dalam sekejap." ucap Zahrana memotong perkataan ayahnya.
"Kamu yakin, Nak?" tanya ibu lagi terlihat masih ragu-ragu.
"Insya Allah, Bu... Ayah dan Ibu doakan Zahra ya... Zahra janji, Zahra tidak akan mengecewakan ayah dan Ibu. Dan juga, Zahra akan berusaha untuk menjadi istri yang baik bagi bang Ajis." Ucap Zahrana berikrar kepada kedua orang tuanya.
.
.
.
.
.
Zahrana duduk di tepi tempat tidurnya yang berhiaskan bunga-bunga di atasnya. Jemarinya dengan kuat meremas pahanya, jantungnya berdebar kencang malam itu.
Tok tok tok...
Terdengar ketukan tiga kali dari arah luar, dan meski tidak disahutinya, pintu itu tetap terbuka. Detak jantungnya semakin kuat tatkala suara langkah kaki terdengar mendekat ke arahnya.
Zahrana menggigit keras bibir bawahnya, mencoba menahan gemetar yang berpacu seiring detak jantungnya saat itu.
"Assalamualaikum, Adik..." ucap seseorang yang datang, dan dia tak lain adalah Ajis, suami yang baru tadi siang menikahi dirinya.
"Wa-wa'alaikumussalam..." sahut Zahrana gugup. Pandangannya tidak Bergerak, tetap menunduk menatap kearah pahanya.
Ajis duduk di samping Zahrana, dia ikut menunduk untuk sejenak, dan hanyut dalam diam yang sama-sama mereka ciptakan.
"Adik..." panggil Ajis lirih.
"I-iya, Bang..." sahut Zahrana tanpa menoleh sama sekali.
"Abang tahu, pernikahan kita bukan didasari hubungan yang diawali dengan pacaran. Takdir lah yang mempertemukan kita, Dik. Tapi, apakah Adik menyesal?" Tanya Ajis sembari memberanikan diri menatap lekat wajah Zahrana.
"Ti-tidak, Bang... Hanya saja, Zahra perlu waktu." Sahut Zahrana masih terdengar gugup.
"Waktu?" Dahi Ajis mengernyit setelah mendengar permintaan istrinya itu.
"Iya, Bang... Sebenarnya, Zahra bukanlah perempuan alim seperti yang Abang lihat, meski Zahra memakai gamis dan kerudung dalam sekalipun, tapi lelaki baik seperti Abang malah dipertemukan dengan perempuan seperti Zahra." Tutur Zahrana merendah.
Ajis tersenyum kecil. "Abang tahu maksud Adik, tapi jika Adik berpikir Abang mencari perempuan sempurna, jelas bukan Adik orangnya..."
Zahrana tersenyum kecut. Ucapan suaminya itu membuat dirinya sedikit tersinggung.
"Semua manusia itu berjalan di muka bumi mencari perbaikan untuk dirinya, dan tidak ada kepuasan untuk hal itu. Menurut Adik, mungkin Abang baik... Tapi Abang tidak ingin menjadi sombong karena merasa kebaikan Abang telah sempurna. Jadi, kita sama-sama ya dalam mencari kebaikan itu. Adik adalah cerminan bagi diri Abang, begitupun sebaliknya." Ajis bertutur lembut, membuat Zahrana terkesima lalu mengangguk perlahan.
"Mandilah... Abang tunggu, Adik. Kita salat bareng ya..."
Zahrana kembali mengangguk, lalu bangkit hendak melakukan yang diperintahkan oleh suaminya itu.
*****
Malam itu, merupakan malam pertama mereka sebagai pengantin baru. Tapi mereka hanya menghabiskannya dengan mengobrol satu sama lain. Tentang agama, keluarga dan pekerjaan.
Sesekali Zahrana mencuri pandang kepada lelaki yang telah sah menjadi suaminya itu, namun ketika didapati Ajis, dia kembali menunduk dan kemudian tersenyum.
"Tidur, yuk... Mudah-mudahan Allah membangunkan kita di pertengahan malam nanti.
Apa? Tidur? Sungguh, dia tidak menginginkan apapun malam ini? Bahkan dia tidak menyentuhku seujung kuku pun... Zahrana bergumam bingung. Namun dia memilih untuk menurut, lalu berbaring tanpa menanggalkan kerudung penutup kepalanya.
Zahrana Habibah Marwan, istriku, Bidadari surgaku... Tidak akan aku merenggut kesucian mu, sampai kamu dengan Ridho melepasnya kepadaku.
Mereka tertidur setelah melafazkan doa secara bersama-sama.
Di pertigaan malam, Zahrana terbangun. Tidurnya yang berubah posisi miring menghadap ke arah Ajis, membuat dirinya lantas terkejut. Tubuhnya setengah bangkit, dan nyaris ia berteriak.
Astaghfirullah... Aku lupa bahwa aku sudah menikah dengan dirinya... Batin Zahrana mulai kembali tenang. Bahkan napasnya sampai terengah-engah dibuatnya.
Perlahan, Zahrana kembali berbaring menghadap ke wajah suaminya itu. matanya menatap lekat wajah teduh milik suaminya itu.
Tampan juga... Kulitnya yang sawo matang, membuat dia terlihat manis meski usianya tujuh tahun lebih tua dariku... Batin Zahrana. Tanpa disadarinya, ia mulai tersenyum ketika mengamati wajah suaminya yang terlelap di sampingnya itu.
Perlahan, mata Ajis mengerjap. Perasaan Zahrana dibuat kalangkabut, dia tertangkap basah sedang mengamati wajah Ajis. Jantungnya berdegup kencang, ingin pura-pura tidur lagi, tapi terlambat. Suaminya itu sudah terlanjur melihat matanya yang nyalang.
"Adik..." Panggil Azis lirih dengan suara masih garau. "Sudah jam berapa?" Tanya suaminya itu seraya bangkit dengan susah payah mengumpulkan kesadarannya. Ajis mengucek kedua bola matanya sembari beristighfar.
Zahrana ikut bangkit dengan wajah masih terlihat gugup.
Tidak mendapat sahutan, Ajis melirik jam dinding yang bergelayut di sisi depannya. "Pukul tiga kurang, kita Tahajud yuk..." Ajaknya.
Zahrana hanya mengangguk, lalu bergegas mempersiapkan diri.
.
.
.
.
.
Hy teman2
Radetsa muncul lagi dalam karya baru nih... Tapi Radetsa akhir-akhir ini perajuk, jadi bijaklah dalam berkomentar.
Sungguh, Radetsa bahkan belum menikmati apa2 kecuali hobi Radetsa dapat tersalurkan disini...
Jika tidak suka tinggalkan, maka dari itu tidak perlu menghujat ya...
Karena Radetsa menghargai kritik, saran dan komentar dari teman2... Kita semua berteman dalam satu layar ini, bukan mencari permusuhan...
Tak lupa, RADETSA ucapin terima kasih banyak kepada teman2 pembaca semua, terutama Pihak pf yang sudah mengizinkan Radetsa menulis disini...
teman2 semua bisa menikmatinya dengan gratis kok...
Juga bukan berarti novel2 Radetsa telah sempurna ya... Kritik saran teman2 membantu Radetsa jadi lebih baik lagi...
"Hari ini ada acara ke mana?" Tanya Zainab pagi itu.
"Kami berencana ke rumah Bang Ajis, Bu. Silaturahim, sekalian hendak pamit." jawab Zahrana.
"Pamit?" Dahi ibu sampai berkerut mendengar ucapan putrinya itu, begitu pun dengan Umayyah sendiri.
"Iya, Bu, Yah... Besok Ajis sudah berniat mengajak Zahrana ke rumah kami, soalnya Lusa Ajis sudah harus buka kios, Bu. Ajis sudah terlanjur janji ke pelanggan..." Timpal Ajis ikut menjelaskan kepada kedua orang tua Zahrana.
"Oh begitu..." Ucap Bu Zainab mengerti.
"Iya, Bu... tidak mengapa kan, Bu?" Tanya Zahrana berharap.
"Tentu tidak mengapa, nak." Umayyah, ayah Zahrana yang menyahut. "Kamu itu sudah menjadi hak dan tanggung jawab suamimu secara penuh. Jadi, kemanapun suamimu akan membawa dirimu, Kamu mesti ikut dengannya. Selagi jalan yang suamimu tempuh, tidak melewati batas kebaikan." tutur beliau menasehati Zahrana.
"Iya, Ayah..."
*****
Di sepanjang perjalanan, Zahrana dan Ajis tidak banyak bicara. Zahrana cukup diam di belakang kemudi.
Ajis hanya memiliki kendaraan roda dua, motor matic dengan suara mesin yang lembut tanpa membuat keributan di sepanjang jalan. Kesunyian yang tercipta diantara mereka berdua semakin memperkuat suasana canggung yang tak kunjung berujung.
Rasa pegal yang menggerayang pinggang Zahrana lantaran posisi duduknya menyamping dan tanpa berpegangan sekalipun, ditambah lagi jarak yang mereka tempuh cukup jauh dan membutuhkan waktu sampai sejam lebih. Sesekali Zahrana memijat lembut lehernya yang juga terasa pegal karena menahan beban helm yang dipakainya untuk melindungi kepalanya dari hal buruk yang mungkin bisa saja terjadi.
Tiba-tiba Ajis menghentikan motornya. Hal itu membuat Zahrana kebingungan, namun rasa canggung membuatnya enggan untuk bertanya meski dia tahu bahwa mereka belum sampai di rumah keluarga Ajis.
"Adik, capek?" tanya Ajis lembut. Padahal dia sendiri sudah merasakan kegelisahan yang diciptakan oleh istrinya itu.
"Oh... Emm... Sedikit, Bang." Jawab Zahrana sungkan.
"Kita istirahat sebentar di warung itu ya?" Telunjuk Ajis mengarah ke warung dekat mereka berhenti.
Zahrana hanya mengangguk, lalu turun dari motor itu dan berjalan mengikuti langkah suaminya.
Warung lesehan di tepi jalan itu menyediakan berbagai minuman dingin, dan Ajis memesan dua gelas jus jeruk ketika mereka telah memasuki warung itu.
"Maaf ya, Dik... Abang hanya bisa bawa adik pakai motor." ucap Ajis merasa bersalah.
"Tidak mengapa kok, Bang. Ini sudah lebih dari cukup, bahkan masih banyak orang lain yang kurang beruntung belum sanggup memilikinya." Ujar Zahrana menepis rasa bersalah suaminya itu.
"Terima kasih, Adik. Adik sudah mau mengerti abang..." Ucap Ajis, kemudian ia menyeruput jus jeruk yang sudah dipesannya tadi.
Perjalanan kembali mereka lanjutkan setelah rasa lelah hilang. Cukup dua jam, mereka sampai di kediaman keluarga Ajis.
"Assalamualaikum..." Ucap Ajis yang diikuti Zahrana ketika mereka memasuki rumah sederhana milik keluarga Ajis.
"Wa'alaikumussalam..." sahut banyak orang dari dalam rumah dengan suara gembira menyambut kedatangan mereka berdua.
"Khumairah... Khumairah... kemari, Nak... Kakak dan Kakak iparmu datang..." seru seorang wanita paruh baya.
"Iya, Bu..." terdengar sahutan dari dalam.
Baru saja Zahrana menginjakkan kakinya di sana, ia sudah mampu merasakan kehangatan dalam keluarga itu. Semua penghuni rumah itu memperlakukan dirinya begitu ramah dan baik.
Khumairah, gadis yang tampaknya masih berusia delapan belas tahunan itu awalnya memang malu-malu. Ia hanya mau menggamit kakaknya saja, dan sesekali curi pandang ke arah Zahrana yang juga tampak pendiam dan tidak banyak bicara.
"Maira masih sekolah?" tanya Zahrana mau tidak mau mengajak adik iparnya ngobrol terlebih dahulu. Dia memang belum tahu detail tentang keluarga Ajis, karena pernikahan mereka yang tanpa melalui pacaran, melainkan ada dua belah pihak yang mempertemukan mereka satu sama lain.
"Maira kuliah, Kak. Semester dua." jawab gadis itu malu-malu.
"Jurusan apa, Dek?" Tanya Zahrana lagi.
"Sastra, Kak..."
Ajis tampak senang melihat kedekatan istrinya itu dengan keluarganya. Dia begitu bangga melihat Zahrana yang tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk berbaur dengan kedua orang tua dan adik semata wayangnya itu.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!