...*Awal cerita*...
Andini. Gadis manis yang memiliki lesung pipi dan bulu mata lentik. Gadis itu kini sedang berada di dalam angkot yang pengap dan sesak oleh penumpang yang duduk saling berdesakan. Aroma wangi dan keringat berbaur menjadi satu menciptakan parfum lain yang bikin pusing kepala.
"Stop, di pertigaan, Pak!" Pinta Andini pada sopir angkot.
"Baik Neng." Pak Sopir segera menginjak rem pelan demi mengurangi kecepatan angkotnya.
Sampai di pertigaan, angkot benar-benar berhenti. Gadis itu membenarkan tas slempangnya, bergegas turun dan mengulurkan uang satu lembar 10 ribu kepada Sopir Angkot melalui pintu depan, yang sudah terlihat berkarat serta tanpa kaca.
"Makasih, Neng." ujar sopir angkot sambil menggerakkan kembali laju kendaraannya. Dibalas anggukan oleh Andini.
"Ya tuhan. Semoga kali ini papa bersedia membantu," ujarnya lirih.
Andini melanjutkan langkah kakinya memasuki Perumahan elit di kota Gresik, Disitulah tempat tinggal papa dan mama tirinya. Dulu rumah itu pernah menjadi surga di masa kecilnya. Namun setelah sang ibu sakit-sakitan tak menuai sembuh, papa memilih menikah lagi dengan seorang wanita sehat dan dikaruniai dua anak. laki-laki dan perempuan. Rumah yang pernah menjadi surga itu terpaksa harus ia tinggalkan.
Ibu tak tahan di madu. Ia memilih kembali di kediaman neneknya di kota Suroboyo. Andini pun ikut dengan sang ibu, tinggal di rumah nenek dengan segala keterbatasan ekonomi. Pekerjaan Andini dan nenek sehari hari adalah jualan gado-gado di pinggir jalan dekat pasar ketika hari telah sore, Jika pagi hari Andini harus kuliah. Dan malamnya menjaga ibu yang terbaring lemah di RS. Ibu masih berjuang melawan sakitnya.
Kediaman papanya dan jalan raya hanya berjarak tujuh rumah saja. Andini terus saja berjalan dengan penuh harapan.
Teriknya matahari, dan panasnya aspal hitam di siang ini tak menyurutkan asanya.
Andini mengetuk pintu rumah papa yang tampak sepi. Rumah itu hampir setiap hari tertutup rapat, kabar yang Andini dengar ibu tirinya memang tak begitu akrab dengan para tetangga. ia sangat membenci semua orang yang berani menyebut dirinya seorang pelakor.
Tok! tok! tok!
"Pa ... ! "
Panggil Andini dari luar sambil mengintip dari jendela kaca. Setelah mengetuk pintu berulang kali namun tak mendapatkan sahutan dari dalam.
Andini akhirnya duduk di serambi dekat garasi. Andini melihat ada mobil sport berwarna merah, sepeda motor tangki besar itu juga masih kinclong, semua itu pasti kendaraan baru untuk adik-adiknya.
Andini sama sekali tak iri, namun ia berharap papanya kali ini mau memberi bantuan untuknya. Rasanya bantuan yang ia harapkan jumlahnya tak sebanding dengan semua barang mewah yang ada di garasi ini.
Sang papa akhirnya keluar, papa terkejut melihat putrinya tiba-tiba datang ke rumah, ketika hari sedang panas - panasnya.
"Nak, kamu datang? Ngapain disitu? Ayo masuk, Papa Rindu kamu, Ndin?" Papa memeluk Andini, Papa masih sama selalu hangat pada putri pertamanya. Namun pria itu lemah pada sisi lain, ia tak mampu memberi kebahagiaan untuk Andini karena Istri baru dan kedua anaknya telah mendominasi dirinya dan tentu ATM nya juga.
"Ayo masuk, Ndin. Papa rindu, sudah lama sekali kamu tak pernah kesini, pasti ada yang penting yang ingin kamu sampaikan pada Papa?" ujarnya, rona bahagia tak bisa disembunyikan lagi dari wajahnya yang mulai terlihat guratan-guratan penuaan.
Papa merangkul tubuh Andini, membimbing berjalan mendekati sofa. Mereka berdua kemudian duduk berdampingan. "Kamu pasti haus, biar Papa panggilkan mama, supaya buatkan minuman untukmu."
"Jangan Pa, Andin nggak mau merepotkan." Andini menahan lengan Papanya. Pria itu hanya bisa menurut. Akhirnya ia duduk kembali.
Baru saja Antoni menghempaskan bobotnya di sofa kembali, ternyata sosok Mama sudah muncul dari balik pintu. "Oh, rupanya ada tamu?" ucapannya terdengar begitu sinis. Tanpa melihat wajahnya saja, suara itu sudah bisa diartikan kalau ia sedang tak senang.
"Ma, jaga bicaramu! Andini ini putri kita, bukan tamu." Papa mulai terlihat marah. Sekilas menoleh ke arah Andini. Ia takut putrinya akan kecewa. Baru saja senang putri pertamanya mau berkunjung.
Antoni takut jika sikap Ratih seperti tadi, bisa saja Andini tersinggung dan tak mau lagi menginjakkan kakinya di rumah ini lagi.
"Papa mau marah, kalau mama bilang dia tamu? Dia memang bukan putriku, tapi hanya putrimu. Ngapain coba kesini? Ujung-ujungnya pasti akan minta duit," ceriwis Ratih dengan gaya angkuhnya. Berdiri di belakang sofa yang di duduki Andini sambil berkacak pinggang.
" Stop, Ma ... !" papa mulai marah, Ia melotot pada Istrinya, namun sepertinya sorot mata tajam itu tak membuatnya takut, malah semakin memancing emosinya.
"Apa!? Papa mau marah? Belain terus anak kamu, Mama memang tak pernah ada artinya dalam hidup, Papa."
"Ma, Pa .... Maaf kalau kedatangan Andini hari ini membuat mama tak nyaman. Andini memang lagi butuh uang untuk bayar kuliah, dan Ibu kondisinya semakin lemah, sebaiknya harus dilakukan kemoterapi secara rutin, agar bisa segera sembuh, Pa."
"itu, kan benar Pa!! Duit kan? Kalau tak cari duit, Mama yakin dia juga nggak akan kesini!!" Emosi Ratih semakin berapi api, nada bicaranya melengking seperti orang sedang tercekik.
"Papa ada uang Ndin, tapi jumlahnya tak seberapa, mungkin uang yang akan papa kasih ke kamu sekedar bisa meringankan biaya kuliah saja."
"Apa? Papa sadar donk? Rafa dan Ratna juga butuh uang untuk biaya sekolah, apalagi toko furniture papa sekarang ini lagi sepi.
"Andin lebih membutuhkan, Ma?" potong Papa.
"Tidak!! Sekali tidak! Ya tidak!" Tangannya menggebrak meja. Membuat Andini terlonjak kaget.
"Mama tidak Rela kalau Andini minta uang pada kita, biarkan dia cari dengan caranya sendiri. Dia sudah besar. Andini kamu harus belajar mandiri donk," kata Ratih sambil terus menatap Andini dengan tatapan kebencian.
"Andin ini masih kuliah, Ma, bisa cari uang dimana? Lagian uang yang akan papa kasih ini juga jatah untuknya, dia dan adiknya juga berhak menerima uang dariku, ayahnya." Papa Antoni berbicara dengan nada lembut, berharap Ratih memiliki sedikit nurani di sanubarinya.
"Kalau papa nekat, mama akan pergi, Pa? Mungkin jalan lebih baik kita berpisah, daripada Mama nggak di hargai lagi disini," ancam Ratih sambil membalikkan tubuhnya hendak pergi.
"Tunggu ...!" Pinta Andini. Ternyata Ratih benar benar berhenti, ia penasaran dengan kata yang akan keluar dari bibir anak tirinya ini.
"Papa, jangan bertengkar, Maaf kalau Andini telah banyak merepotkan selama ini" suara Andini pelan, kini ia hendak beranjak dari duduknya, tapi sang papa menahannya.
"Ndin, papa mohon?" Papa terlihat mengiba, ingin Andini untuk tinggal sebentar lagi. Tapi tidak dengan mamanya, Ratih mendesah kesal sambil melengos. Sepertinya kalau Andini segera pergi akan semakin baik untuk ketentraman rumah ini.
"Kalau kamu butuh uang Ndin, mama punya solusi, kamu datang saja ke alamat ini. Nanti mama yang akan menelepon teman mama supaya kasih kamu kerjaan. Mama yakin kamu akan mendapatkan uang banyak seperti yang kamu inginkan." Ratih mengulurkan alamat rumah hasil tulisan tangannya sendiri.
"Apa maksud, Mama? Kamu suruh Andin kerja Apa?" papa mulai curiga.
"Papa tenang saja, Andini akan mendapat banyak uang, kalau mau bekerja di tempat kenalan mama yang satu ini. Dan pasti selanjutnya tak akan kesulitan lagi. Jangan khawatir, mama jamin Andini akan baik saja kerja di sana, karena kerjanya juga tidak berat. Dan Andini pagi nya masih bisa kuliah, kamu coba saja, Ndin." sambil menyodorkan alamat yang ditulis oleh tangannya sendiri ke hadapan Andini.
"Benar yang mama bilang?" papa masih tetap ragu, namun ia yakin istrinya pasti serius memberi Andini pekerjaan, karena ia yakin ini triknya supaya uang bulanannya tak kurang sedikitpun.
"Iya Pa, mama yakin Andini pasti akan betah disana, dia orangnya baik. Banyak yang kerja disana dan jadi sukses." ujar Ratih meyakinkan.
"Ndin, apa kamu setuju saran dari mama kamu?"
"Baiklah Pa, Andini akan mencobanya. Andini pamit dulu, Pa." Andini bangkit dari duduknya, ia mencium tangan Papa Antoni dan Mama Ratih lalu pergi meninggalkan rumah orang tuanya.
"Iya sayang, hati hati ya." Papa menghembuskan nafas beratnya.
Maafin Papa Ndin, semua ini terjadi karena papa, andaikan papa tak mementingkan diri papa sendiri, mungkin kita masih bersama seperti dulu. Kamu tidak menderita seperti sekarang ini. Walaupun kita jauh, papa tetap menyayangimu, Ndin.
Andini meninggalkan rumah dengan langkah gontai, tak terasa sampai di teras ia menitikkan air mata.
Kemana?
Pada siapa lagi ia meminta pertolongan?
Uang kuliah satu tahun belum terbayar. Ada sedikit penghasilannya dari jual gado-gado hanya cukup untuk kebutuhan sehari hari. Sedangkan Kangker ibu tumbuh lagi setelah di operasi dan ini sudah yang ke sekian kali. Bahkan kini ibu berbaring lemah di RS menunggu sebuah keajaiban.
Bulir kristal terus saja berlomba keluar dari sudut netra, Andini mengusap air matanya dengan tisu yang diambil dari dalam tas slempangnya. Tak terasa setelah terus berjalan kini ia sudah sampai di pertigaan tempatnya turun dari angkot tadi.
Andini duduk di bangku bambu, yang terletak di bawah pohon beringin, di tepi jalan. Pundaknya naik turun menahan isak tangis yang memenuhi rongga dada, Beberapa orang yang kebetulan lewat di trotoar menoleh ke arahnya. Diantara mereka ada yang bergumam lirih sesama temannya. Andini tak perduli apa kata mereka tentangnya, yang penting setelah menangis dadanya yang tadi serasa tersumbat bisa sedikit lega.
Andini terus menunggu setelah menyadari angkot yang ditunggu ternyata sudah lewat terakhir jam 3 tadi, akhirnya ia membuka alamat yang ditulis oleh mama tirinya.
Andini membaca alamat bertulis bolpoin warna biru itu, sepertinya keberadaannya ada di tengah kota. Andini segera menghentikan Angkot yang bisa mengantarkannya ke kota. Kebetulan untuk sampai ke kota hanya memakan waktu satu jam saja.
Walaupun hati Andini sendiri tak yakin, mama tirinya benar- benar memberinya jalan keluar dari masalah yang sedang di hadapi. Namun ini satu- satunya harapan yang ada saat ini.
#Readers tercinta jangan lupa tinggalkan like, atau komen bawel kalian. karena satu jempol dan komen kalian semua membangkitkan semangatku untuk terus berkarya.
Andini sudah sampai di depan rumah mewah bercat kuning. Rumah itu paling menonjol daripada rumah yang ada di sekitarnya.
Setelah mengamati interior luar rumah yang serba mewah, Andini berfikir mungkin mama Ratih menginginkan dirinya melamar kerja sebagai ART pada orang kaya yang disebut kenalannya itu.
Andini mengangkat lengannya, hingga jarinya menyentuh bel yang menempel di dinding, tepat di sisi kanan pintu, hanya sekali pencet, dengan cepat pintu sudah terbuka. Ternyata seorang gadis cantik memakai make'up tebal membukakan pintu untuknya.
"Masuklah! kau sudah ditunggu" ujarnya pendek. netranya menelisik Andini yang berdiri di ambang pintu. Andini menggigiti bibir bawahnya, ia merasa canggung bertamu kerumah orang yang tak dikenal sebelumnya.
"Makasi, Mbak." Kemudian mereka berdua masuk beriringan.
"Mami!! Yang kita tunggu sudah datang!" teriak gadis itu lagi ketika sudah sampai di ruang tengah, sedangkan wanita yang di panggil mami masih sibuk menelepon klien di kamarnya.
"Oke, segera suruh mandi saja." sahut mami dari dalam.
"Andini, kamu bisa bersihkan diri kamu sekarang juga." ucap Pryli, sedangkan Andini yang masih dalam mode bingung terpaku mengamati penampilan wanita di depannya. Kira- kira kerja apa wanita muda ini? Kenapa Andini yang baru datang langsung disuruh mandi.
"Pakai dulu milikku, ini bersih, aku tadi sudah mencucinya." Tangannya terulur memberikan handuk kimono berwarna biru ke arah Andini.
Sesaat Andini terhenyak, bagaimana wanita muda di depannya bisa tau namanya, sedangkan mereka belum kenalan, apalagi berjumpa sebelumnya. Namun Andini segera menyadari Mama Ratih pasti sudah meneleponnya saat ia masih di jalan tadi.
"Kalau boleh tau, sebenarnya apa pekerjaan saya disini, Mbak? Kenapa saya disuruh mandi?" Tanya Andini dengan polosnya.
"Jadi kamu tidak tau? Tenang saja, nanti juga akan tau," jawab gadis itu dengan senyum datarnya, membuat Andini semakin penasaran. "Kerjaan nggak berat, Tapi .... " Pryli sengaja mejeda ucapannya, ia tersenyum sambil menggesek gesekkan jari jempol dan telunjuknya. "Uang bukan? Yang penting kamu nanti mendapat uang yang banyak, untuk biaya kuliah, ibumu katanya sakit? kamu pasti butuh uang sangat banyak."
"Udah, jangan bengong buruan mandi, malam ini kamu pasti dapat banyak uang." Pryli menepuk pundak Andini yang masih berdiri mematung. "Nih, pakai. Besok kita akan belanja baju baru buat kamu."
Andini menerima handuk yang sejak tadi sudah di sodorkan untuknya, dengan gegas melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi. Namun hatinya masih terombang ambing oleh pertanyaan yang belum mendapat sebuah jawaban yang jelas.
Sementara menunggu Andini selesai mandi, wanita itu juga melanjutkan mempercantik dirinya dengan memakai bulu mata palsu dan eyeliner, Aktivitas yang sempat terhenti karena kedatangannya Andini tadi.
Mami yang sibuk di kamar kini keluar ingin melihat anak gadis dari temannya itu.
"Mana anaknya Pryl?" tanyanya pada Pryli.
"Masih di kamar mandi, Mie. Kan tadi mami suruh mandi."
"Oh, iya. Apa dia cantik?"
"Siip, tanpa dipoles pun, sudah cantik banget, Mie" ujar pryli sambil menunjukkan dua jari jempolnya. Mami sudah mendapatkan kiriman foto dari mama Ratih, namun hasil jepretan kamera di zaman sekarang bisa saja beda dengan aslinya.
"Bagus." Mami mengangguk anggukan kepalanya, puas dengan ucapan Pryli
"Iya Mie, tapi sebenarnya Pryli suka sekali dengan pekerjaan ini, Pryli takut dia akan menjadi kesayangan Mami" ujar Pryli sambil menempelkan lipstik pada bibirnya yang sudah merah. Sesekali meregangkan otot kepalanya yang terasa pegal.
"Kamu tenang aja, kamu tetap akan jadi anak Mami yang nomor satu."
Andini sudah selesai mandi, ia memakai handuk, lalu keluar sambil memeluk baju gantinya.
"Its, okey Andini sekarang pakai baju ini ya? Dan nanti aku akan bantu kamu memakai make,up. Oh iya kamu bisa ganti di kamar itu." Pryli menunjuk sebuah kamar, kamar yang mulai hari ini akan menjadi tempat istirahat mereka berdua di siang hari. Dan malamnya sudah pasti mereka akan bekerja.
"Makasi Mbak." Andini sekali lagi hanya bisa menerima apapun yang disodorkan oleh Prily padanya.
Sampai di kamar Andini membuka baju pemberian Prily. ternyata sebuah rok hitam yang panjangnya kurang dari 25 centimeter. Dan atasan warna putih tulang berbentuk kemben yang juga kurang bahan, tali kecil berwarna bening yang hanya sebesar rambut itu pasti untuk pengaman agar tak melorot saat dipakai, namun bila ditarik sekali saja pasti sudah carut marut tak karuan.
Andini mengelus dadanya yang tiba-tiba berdentum kencang. Sampai disini firasatnya mulai tak enak, Namun sebisa mungkin menepis segala kemungkinan buruk yang akan terjadi, ia masih berprasangka baik pada orang tua sambungnya, tak mungkin ada mama yang ingin menjual harta berharga yang dimiliki oleh anaknya. Meskipun itu mama tiri sekalipun.
Andini duduk di tepian ranjang, tangannya menggenggam baju kurang bahan itu, bagaimana bisa ia memakai baju layaknya seorang ja lang. Andine melempar baju itu ke kasur sambil mendesah pelan. Andini ingin menangis namun ia sadar ini bukan saatnya untuk menjadi lemah.
Ibu, kita sedang butuh uang dengan jumlah besar, Andini tidak mendapatkan dari papa, mungkin ini jalan terbaik untuk mendapatkan uang itu, Tuhan lindungilah diriku. Ibu, do'akan Andini."
"Ndin, cepat sedikit, ini sudah malam !" panggil Pryli dari dekat pintu. Lamunan Andini seketika buyar.
"I- iya." Suara Andini tergagap. Andini segera mengambil kembali baju kurang bahan yang ia lempar tadi dan segera memakai, baju itu melekat apik mencetak lekuk tubuh mungil milik Andini, warnanya kontras dengan kulit putihnya, walaupun cantik namun namun Andini tetap tak nyaman.
"Ndin, kamu cantik." Mata Pryli melebar, mengagumi keindahan yang dimiliki Andini, sedangkan yang dikagumi berulang kali menarik narik roknya kebawah. berharap rok yang ia kenakan akan bertambah panjang.
"Ayo kita berangkat Ndin, tapi pakai make'up dulu" Pryli membimbing Andini dengan sabar layaknya seorang kakak.
"Ta-ta-pi aku tak terbiasa memakai make'up tebal, Mbak?" Andini menunjukkan sikap keberatan.
"Nggak usah tebal, buat kamu tipis natural saja udah cantik, kok." Pryli mulai memberi bedak dengan sentuhan bedak lembut ke wajah Andini. Andini menolak ketika Pryli ingin memberinya bulu mata palsu. Tapi andini tak bisa menolak saat di suruh memakai tiptoe shoes setinggi lima belas cm itu.
Andini terlihat sangat sempurna, wajahnya bak bidadari kecil polos yang tak berdosa, Namun dunia masih memberinya ujian berat pada mahkluk lemah satu ini.
Setelah selesai berdandan mereka pamit kepada mami, Pryli dan Andini segera keluar meninggalkan rumah mewah itu.
****
Mobil inova warna silver yang akan mengantar mereka berdua sudah bertengger di depan. Seorang body guard berseragam hitam menjelma menjadi sopir itu membukakan pintu belakang untuknya. Ketika dua makhluk cantik itu menampakkan diri dan berjalan mendekat.
Di mobil, Andini masih terus memikirkan nasibnya, akankah saat ini ia sedang dalam sebuah perangkap? Perangkap dari mama tiri agar tak berani mengusiknya lagi. Salahkah jika seorang anak mengharap setitik tanggung jawab dari papanya.
"Mbak Pryli kita akan kemana?"
"Sudahlah jangan banyak tanya... Kamu ikuti aku saja, aku tak akan membiarkan kamu sendirian nanti." ujar Pryli lembut. Membuat Andini sedikit lega, karena dirinya tidaklah sendiri.
Dua puluh menit mereka sudah sampai di sebuah bangunan megah berbintang lima, yaitu Hotel Golden Tulip. Mobil silver itu segera memasuki area parkir. Dua orang berseragam hitam segera menghampiri dan membukakan pintu untuknya dan Pryli.
"Nona Pryli? Teman baru lagi?" Tanya salah satu diantara dua lelaki berbaju hitam itu. Pria bertato memakai seragam sama dengan yang dipakai pak sopir itu berulang kali meneguk salivanya. Seakan di depannya itu adalah mangsa yang menggiurkan, namun sayang sekali mangsa itu hanya cukup dilihat saja. Karena ia sudah tahu makhluk cantik itu bukanlah untuknya.
Andini yang merasa tubuhnya menjadi sorotan dari mata pria hidung belang itu, terus saja berusaha menutupi bagian yang tak pantas untuk dipertontonkan.
Andini menjewer roknya agar terlihat agak panjang sedikit. Namun sayangnya bahan dari drill itu tak bisa membantunya di kondisi seperti sekarang.
Pryli dan Andini segera naik lift menuju kamar nomor seratus satu. Kamar yang sudah ditentukan oleh pria hidung belang yang sudah memboxing Andini malam ini dengan harga fantastis. yaitu 100 juta untuk menemaninya semalaman. Dan tentu mami dan mama tiri Andini, orang yang paling diuntungkan dalam hal ini.
Pria itu langsung tertarik ketika mami mengirimkan foto Andini. Apabila setelah Mami memberitahunya kalau wanita yang ia dapatkan masih seorang gadis perawan.
Sedangkan wanita yang akan menjadi objeknya, belum tau apa- apa soal malam kelam yang akan ia jalani. Yang ia tau dan pikirkan hanyalah dia akan mendapat pekerjaan. Andini sudah terlanjur basah, menerima tawaran mama sepertinya telah menjadi simalakama untuknya. Andini pasrah, jika malam ini hanya menemani ngobrol dan menuangkan minum pria hidung belang bersama Pryli Andini akan melakukannya.
"Mbak pryli, Andini takut, mbak harus janji kita akan selalu bersama di kamar ini." mohon Andini seperti anak kecil. Ketika Pryli membuka kamar.
"Mbak, benarkan kita hanya menemani mereka minum saja? Nggak lebih kan?" kini Pryli yang tadinya care juga terlihat mencurigakan. Wanita itu tak menjawab tanya dari Andini. Ia hanya tersenyum miring.
"Kalau dia minta lebih? Apa lagi yang bisa kita lakukan Ndin, Selain melayani Dia, apalagi tips yang akan diberikan sangat besar." ujarnya enteng sambil menghempaskan bobot tubuhnya di sofa sambil menyalakan korek dan menyulut sebuah batang rokok.
"Tapi A- Aku tidak mau jadi pemuas Mbak. Aku ingin ... " Andini belum menyelesaikan kalimatnya, seorang pria gagah bertubuh kekar dan alis tebal itu datang memasuki kamarnya.
"Hey ... Miko ....!" sapa Pryli.
Pria itu segera menghampiri Pryli dan berpelukan serta cipika-cipiki.
"Kenalkan ... Ini Andini."
"Andini."
"Miko."
Andini melihat Pryli hendak pergi." Pryli, mau kemana?
"Ya udah kalian, aku tinggal yah? Aku ada urusan lain di kamar sebelah. Gimana Mik? Andini cantik kan... ? Mantan pacarmu nggak ada apa-apanya kalau sama Dia." ujar Pryli sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.
"Mbak, jangan lama-lama, cepet balik ya?" Andini terlihat panik, setelah melihat Miko yang memandanginya kagum. Jakun pria itu naik turun, ia meneguk salivanya berulang kali melihat tubuh mulus nan putih itu.
"Tenang aja, aku akan segera kembali, tapi sayangnya Miko tak akan setuju, iya kan, Mik." ujar Pryli sambil mengerlingkan matanya kearah Miko, sebagai isyarat agar segera mengunci pintunya. " Selamat senang senang"
Miko menurut, sebagai Pria yang sedang berpetualang menginginkan seorang wanita berselaput dara, dia pasti memiliki trik-trik memabukkan untuk mendapatkan seorang mangsa yang ada didepannya.
"Kok pintunya dikunci, Kak' tanya Andini yang semakin gelisah, tubuhnya gemetar, jantungnya berdegup tak menentu walaupun ia seorang mahasiswa yang akan mendapatkan semester terakhir, namun soal yang berhubungan dengan, pria, berpacaran, berciuman, Andini masih nol pengalaman. Ia hanya gadis lugu yang merawat ibunya dan jualan gado gado bersama nenek ketika sore.
"Oh ... Biar kita ngobrolnya makin enak saja. Aku duduk disini yah." tanpa persetujuan, Miko sudah duduk disebelah Andini. Mereka berdekatan tanpa ada jarak yang memangkasnya, Miko dengan sengaja menjatuhkan satu lengannya di pangkuan Andini.
Andini mencoba menyingkirkan tangan Miko. Pria itu memaklumi, karena kondisinya masih waras.
Setelah bicara panjang lebar, malam semakin larut, Miko meminta Andini untuk menuangkan minuman dan segera meneguknya, meminta lagi dan meneguknya. Miko menghabiskan ber botol botol alkohol dosis tinggi yang disiapkan dimeja oleh bartender.
Andini mulai takut terjadi apa apa dengan pria itu,, kini ia duduk menjauh dari miko.
Miko kini tengah mabuk berat, ia terus merancau, Miko sepertinya sudah hilang kendali, sorot matanya menatap Andini dengan tatapan penuh *****.
Malam semakin larut, Miko yang sudah meneguk ber botol botol anggur kini mulai merancau tak karuan. Pemuda itu menatap Andini dengan tatapan nyalang, layaknya seekor singa lapar yang meminta mangsa. Andini kini terlihat seperti sebongkah daging merah segar yang menggiurkan.
Andini yang mendapati tatapan nyalang pria mabuk itu berusaha menutupi rok mininya dengan hand bag kecil yang dibawanya tadi.
Jari-jarinya berulang kali menyentuh tombol panggil pada nomor handpone Prily. Namun gadis yang pamit keluar sebentar itu sengaja tak menerima panggilan Andini. Ia kini tengah sibuk memberikan pelayanan terbaik untuk pelanggan setianya.
Andini semakin gusar. Kini ia baru menyadari kalau dirinya tengah dijual oleh mama untuk melayani Miko si pemilik tubuh kekar itu.
Andini ber ingsut menjauhkan diri dari Miko, mencari celah untuk keluar kamar durjana ini. Namun Pria yang sudah dikuasai nafsu itu menyadari niatnya, ia mulai menarik kasar lengan Andini, menggendong dengan bringas dan menjatuhkan ke ranjang. Andini yang memiliki bobot ringan dengan mudahnya terhempas begitu saja.
Wajah Andini menjadi merah pucat, tubuhnya menggigil ketakutan, duduk beringsut menjauh, namun semuanya tak dapat menyelamatkan dirinya dari keganasan Miko. Tangan lebar serta jari-jari panjang pria itu mulai ber kesiap ingin menjamahnya.
Dalam kondisi seperti ini Andini tak ingin lemah, saat ini ia tak ingin kehilangan miliknya yang berharga. Andini masih waras, demi uang ia tak mau kehilangan semuanya. Tadinya ia berfikir, pekerjaan terburuknya mungkin akan menjadi bartender dalam semalam bersama Pryli. Namun tidak pada kenyataan.
Andini terus mencari akal, bagaimana caranya ia bisa lolos di malam kelam ini.
Andini melihat bibir Miko terus saja mendekat Aroma alkohol mulai semerbak tercium oleh hidung mbangirnya, tubuh pria itu mulai panas, saking panasnya Miko mulai melucuti baju dan celana hingga menyisakan boxer pendek saja.
Miko terus saja maju dan mendesak Andini. Andini kehilangan ruang gerak karena ia sudah berada di sudut ranjang, diapit oleh dinding pembatas nan kokoh. Ketika tangan si pria hendak menyentuh bukit berharganya spontan kaki Andini menendang alat vital milik Miko
Miko mengerang, me ngaduh dan menggelepar kesakitan, pusaka saktinya, terkena benturan keras ketika sedang tegang tegangnya.
Di kesempatan ini Andini berlari mendekati pintu, untung saja kunci masih menggantung di tempatnya, mempermudah aksinya meloloskan diri.
Sepertinya Tuhan memang bermurah hati. Andini dapat lolos, ia terus berlari sekencang mungkin, melepas high hell dan melempar ke arah sembarang.
Andini berhenti sejenak, mengatur ritme nafasnya ketika menoleh ke segala arah tak ada siapapun.
Rupanya Miko memang tak mengejarnya. Pria itu pasti tengah guling guling merasakan sakit yang mulai menjalar pada tubuhnya. Andini menghembuskan nafasnya dalam-dalam kepalanya ia sandarkan di bawah tiang besar. Andini berucap syukur, ia selamat dari mimpi paling buruk dalam hidupnya.
Tiba- tiba tiga pria berbaju hitam tengah berlari, kepalanya celingukan menelisik setiap sudut, sedang mencari seseorang. Andini tau yang dicari itu pasti dirinya. Karena orang itu tak lain adalah sopir dan bodyguard yang membukakan pintu ketika tiba di hotel tadi.
Andini diam tak bergerak dibawah tiang. Ukuran tiang yang amat besar mampu menyembunyikan tubuh kecilnya. Andini menekan dadanya, khawatir deru nafasnya akan terdengar oleh mereka, ia benar-benar tengah takut tertangkap.
Setelah tiga pria yang mengejarnya menjauh, Andini segera berlari menuju pintu lift. Namun sialnya salah seorang diantara mereka ada yang menangkap bayangan Andini. Andini kembali berlari dan menjadi buronan.
"Cepat ... ! jangan sampai kita kehilangan jejaknya." ujar pria bertubuh paling subur memberi komando pada temannya.
Andini yang mengetahui keberadaannya terancam, ia segera berlari keluar halaman hotel, Andini sudah sampai di jalan raya, ia berharap akan ada orang bermurah hati memberinya tumpangan, dan menyembunyikan dirinya.
Tolong ... ! Tolong saya ... ! Pak ... Tolong saya !
Andini terus melambaikan tangan pada setiap mobil yang lewat. Namun tak ada yang mau menolongnya. Mereka yang ingin menolong pasti berfikir dua kali.
Selain hari sudah tengah malam. Mereka khawatir kalau ini bagian dari modus kejahatan cara baru lagi.
Andini masih terus berusaha menghentikan mobil lewat, Barangkali ada seorang pengemudi yang mau bermurah hati.
"Pak ... Tolong saya pak! Selamatkan hidup saya pak!" Andini nekat menghentikan mobil lamborgini warna silver yang kebetulan berjalan dengan kecepatan tak begitu kencang.
Mobil itu akhirnya menepi, Andini bernafas lega. Melihat pemiliknya adalah seorang bapak berusia sekitar setengah abad, dan yang duduk di depan seorang pria dengan pakaian seragam, dia pasti sopirnya dengan usianya kisaran empat puluh tahunan.
Bapak itu terlihat baik, tampan, berkharisma, Andini merasa dirinya akan aman kalau ikut saja. Bapak itu segera membukakan pintu untuk Andini. "Masuklah cepat, Nak!"
Andini sekilas menoleh kebelakang, ternyata tiga pria itu sudah menemukannya, melihat Andini hendak masuk mobil, pria itu segera mengejar sebisanya, sesekali terdengar mereka mengumpat dan saling menyalahkan.
"Ayo cepat jalan, Don." titahnya pada sopir. Pria itu kemudian memandang sekilas ke arah Andini yang masih ketakutan.
"Jangan takut, kamu sudah aman."
Andini mengangguk, Ia kembali diliputi rasa malu dengan tampilannya. "Maaf Pak, jika baju yang saya pakai ... " ujar Andini tertunduk malu. Andini tak berani memandang pria seusia bapaknya itu.
"Apa yang membuatmu melakukannya ...? Kalau bapak perhatikan, ini bukan dirimu yang sesungguhnya?"
"Andini, terpaksa pak ... "
"Oh, jadi nama kamu Andini?"
"Iya, Pak."
"Nama kamu bagus, kamu juga cantik. Kalau kamu tak nyaman dengan bajumu, kamu bisa pakai jas ini dulu."
Pria itu mengeluarkan satu buah jas hitam dari paper bag, jas itu harum, aromanya khas seperti habis diambil dari laundry.
"Pakai saja itu milik putraku."
"Ta-tapi, Pak ...."
"Nggak apa- apa, pakai aja, Bapak khawatir nanti kamu masuk angin."
"Terima kasih."
"Iya, kamu tinggal dimana? Biar Bapak antarkan?"
"Andini nanti turun saja di depan Rumah Sakit Pak. Kebetulan sudah dekat."
"Oh ... Baiklah."
Pria itu menganggukkan kepalanya, Tanpa banyak bertanya ia sudah paham, pasti gadis ini sedang dalam kesulitan uang, karena seperti ucapnya tadi kalau keluarganya ada yang sakit.
"Don, nanti berhenti di depan rumah sakit ya?"
"Baik, Pak"
Doni, segera menepikan mobilnya di depan gapura rumah sakit. Andini beranjak dari duduknya kemudian turun.
"Pak, terima kasih telah menolong saya?" ujarnya sebelum menutup pintu kembali.
"Iya, sama-sama." Bapak itu sekali lagi hanya tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya.
"Pak, bagaimana caranya saya membalas budi bapak?"
"Kamu besok kembalikan saja jas milik putraku." ujar Johan tersenyum tangannya terulur menyodorkan kartu nama dan alamat kantornya.
Andini juga tersenyum, begitu teringat jas hitam limitied edition itu masih menempel melindungi tubuhnya.
"Baik pak, saya pasti akan datang untuk mengembalikan jas ini."
"Bagus," Bapak Johan itu menunjukkan satu jempolnya.
"Kita jalan lagi Don." perintahnya sekali lagi pada Doni.
Mobil mulai melaju pelan, jalanan semakin sunyi, waktu terus bergulir pelan, udara dingin mulai menjelma menjadi duri yang menusuk kulit, tak terasa sekarang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.
Pak Johan Atmaja, pria kelahiran Malang itu belum pernah pulang se larut ini dari kantor. Berhubung akhir ini sedang ada masalah dengan putranya jadi ia memilih menangani urusan perusahaan sendirian.
"Don, bagaimana menurutmu tentang gadis tadi?"
"Emmm... Kalau menurut saya, Dia sepertinya gadis yang baik. Tapi sepertinya dari keluarga kurang mampu," jawab Doni apa adanya.
"Kenapa pak?" tanya Doni lagi.
"Tidak, cuma tanya saja."
"Saya pikir bapak akan menjadikannya istri ketiga." ujar Doni menggoda. Mata pria itu melirik pada kaca spion. Johan terlihat sedang menyandarkan punggung kepala di jok mobil.
Johan masih diposisi yang sama, tawanya terkekeh membuat doni mengulang kegiatannya memandang kaca spion. "Dua istri saja sudah membuatku pusing Don, emang di usiaku ini apa aku masih pantas menikah lagi?"
"Kalau buat orang kaya seperti bapak, menurut saya sah- sah saja."
"Dia lebih pantas memanggilku Papa, Don." imbuhnya lagi kemudian Johan mengambil hp di sakunya dan menyalakan. Foto putra sulungnya nampak memenuhi layar handpone.
"Kamu bisa aja Don, Menurutmu apa dia pantas bersanding dengan putraku Arsena?"
"Maaf Pak, saya yakin Mas Sena tak akan menyukainya. Kriterianya pasti diatas gadis tadi."
"Oh ... Gitu ya?"
"Iya pak. Mas Sena lebih cocok kalau istrinya seorang Foto Model atau Artis saja, karena selain di tampan dia juga calon pewaris perusahaan terbesar di provinsi ini, Pak"
Mendengar jawaban Doni, entah kenapa pemikirannya tak sependapat. Johan ingin putranya memiliki pendamping seorang wanita sederhana yang bisa menyayanginya tulus tanpa memandang materi.
"Tapi aku tak sependapat dengan kamu Don. Menurutku gadis tadi dia akan menjadi istri yang baik buat putraku.
Johan memiliki dua buah hati dengan istri pertamanya, yaitu Marcelo Arsena Atmaja dan Reina Atmaja. Sedangkan dengan Istri keduanya Memiliki satu putra yaitu Miko Atmaja.
Pak Johan adalah sosok Pengusaha sukses PT Wilmar , terkenal baik hati, ramah serta loyal pada bawahan. Hanya saja ia tak suka jika ada pegawai yang suka bolos dan cari- cari alasan.
Sena mewarisi rupa dan sifat Johan, namun sayangnya saat ini dia mencintai gadis yang tak disukai oleh papanya, yaitu Liliana. Wanita cantik nyaris tak memiliki cela di bagian fisik. Entah dari sisi mana Johan mengkhawatirkan jika Sena suatu hari nanti tak akan bahagia bila bersama Liliana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!