NovelToon NovelToon

Istriku Bukan Cewek Matre

Bab 1

Namanya Nakula Putra Pamungkas. Orangtuanya menamainya begitu karena Nakula adalah anak terkahir. Pamungkas yang berarti terkahir. Nakula memiliki tiga orang kakak yang semuanya laki-laki.

Laki-laki itu baru saja menikah dengan seorang perempuan cantik bernama Deanda Saputri atau yang akrab disapa Dea.

Keduanya kenal melalui aplikasi dating sejak enam bulan yang lalu dan sudah menjalin hubungan pacaran sejak dua bulan yang lalu. Dan sekarang, mereka sudah menikah. Usia pernikahan keduanya baru lima hari. Masih anget.

Nakula dan sang istri memutuskan untuk tidak honeymoon. Hal itu dikarenakan Dea belum bisa mengambil masa cutinya. Istri Nakula itu baru bekerja beberapa minggu yang lalu. Ia ada bidan di sebuah rumah sakit swasta.

"Sayang, aku laper." Dea mengelus perutnya yang rata sambil meringis menatap suaminya.

Sekarang pukul sebelas malam. Tiba-tiba saja Dea merasakan lapar. Cacing di dalam perutnya pada berdemo meminta jatah.

Nakula yang berbaring di sebelah istrinya menjawab, "Tunggu sebentar, ya. Aku masakin buat kamu," katanya dengan nada rendah.

Dea menganggukkan kepalanya patuh. Perempuan itu berbaring di atas kasur sambil memeluk sebuah guling.

Nakula segera menuju dapur untuk membuat makanan. Lemari pendinginnya tersedia cukup banyak stok makanan. Mulai dari makanan beku, protein, sayur dan beberapa bumbu masak.

Tangan laki-laki itu terampil mengolah makanan. Dia membuat steak sapi, kentang goreng dan salad sayur.

Menurut Nakula, masak itu bukan pekerjaan perempuan. Itu pekerjaan siapa saja. Oleh karena itu, ia tidak merasa keberatan memasak untuk istrinya. Toh kalau pagi, istrinya itu selalu memasak untuknya. Jadi tidak ada salahnya sesekali ia memasak untuk sang istri. Ia bukanlah laki-laki yang inginnya dimanjakan, ia ingin juga balas memanjakan istrinya.

Duileh manisnya pengantin baru. Oke lihat saja nanti, sampai sejauh mana keharmonisan rumah tangga mereka ini. Tapi semoga saja mereka bisa tetap manis sampai kapanpun.

Tak berapa lama, makanan itupun jadi. Harum makanan menggelitik perut Nakula. Laki-laki itu lalu menuju kamar untuk memanggil istrinya.

Sesampainya di kamar, Nakula mendapati istrinya sedang tertidur pulas. Ia dilema, harus membangunkan atau biarkan saja. Kalau dibiarkan, nanti makanannya menjadi dingin dan tidak enak lagi.

Tapi setelah dia mendengar suara perut istrinya berbunyi keroncongan, akhirnya Nakula memutuskan untuk membangunkan saja. "Sayang, udah mateng," beritahunya dengan nada rendah.

Dea menggeliat pelan. Perlahan-lahan perempuan itu membuka matanya. "Udah mateng?" tanyanya.

Nakula mengangguk sambil tersenyum manis. Bagi Nakula, wajah bangun tidur istrinya adalah pemandangan terindah yang pernah ia lihat sepanjang hidupnya.

Dea segera bangun dari tidurnya dan menuju meja makan. Mata perempuan itu langsung melebar begitu mendapati makanan yang sudah terhidang.

"Waahh! Kamu jago masak, ya?" Dea mengerjapkan matanya takjub. Ia memandang hidangan di atas meja dengan penuh nafsu. Air liurnya sudah hampir menetes membayangkan kelezatan masakan buatan suaminya.

"Lumayan. Aku udah lama tinggal sendiri dan nggak punya ART. Mau nggak mau ya masak sendiri," jawab Nakula sambil menarik kursi di depan istrinya. Dia lalu mendaratkan bokongnya di sana.

"Kalau boleh jujur, aku nggak bisa buat potato stick se-perfeck ini. Ini mirip kayak yang dijual di restoran," puji Dea saat dia sudah mencicipi menu yang ada di piringnya.

Selesai menyantap makanan, keduanya memutuskan untuk tidur. Hari sudah malam, besok pagi Dea harus pergi bekerja. Lagipula, mata perempuan itu sudah lima watt. Redup.

Kalau Nakula sendiri memang masih libur, ia mengambil jatah cuti meskipun tidak melakukan honeymoon. Ia ingin rehat sejenak dari dunia pekerjaan. Rasanya pusing setiap hari harus bertemu angka-angka yang cukup banyak.

Nakula hanyalah seorang karyawan biasa. Dia menjabat sebagai manajer keuangan di sebuah perusahaan swasta terkenal. Seharusnya ia ingin bekerja di perusahaan akuntan terkenal dunia yang sering di sebut dengan big four. Tapi ia tidak lulus saat melangsungkan tes wawancara di sana. Saingannya berat-berat.

Ya sudahlah, pekerjaan apapun itu Nakula tetap bersyukur. Jaman sekarang sangat sulit mencari pekerjaan. Ia cukup beruntung bisa bekerja di perusahaan swasta terkenal dengan jenjang karir yang bagus.

Nakula tidak memiliki perusahaan. Keluarganya juga tidak ada yang memiliki perusahaan. Ayah dan ibunya sebagai PNS dokter di sebuah rumah sakit pemerintah. Kakak pertamanya aktor, kakak keduanya arkeolog, dan kakak ketiganya adalah seorang vokalis band terkenal. Keluarganya tidak ada yang berprofesi sebagai pengusaha atau wirausaha.

🍄🍄🍄

Nakula memutuskan untuk menjemput Dea di rumah sakit. Selama masa cutinya, dia memang rajin mengantar dan menjemput Dea bekerja. Baginya, itu sangat menyenangkan.

Dia masih memiliki waktu bebas seminggu lebih. Dan akan memanfaatkan masa liburnya itu sebaik mungkin. Melakukan eksperimen masakan untuk makan malam adalah hal yang paling menyenangkan bagi Nakula.

Dan syukur lah, selama ini eskperimen Nakula tidak pernah gagal. Dan semua maha karya Nakula selalu di sukai Dea.

Saat ini laki-laki itu sedang menunggu istrinya di parkiran mobil. Ia telah memberitahu kalau dirinya sudah sampai.

Ponsel yang ada di saku celananya bergetar. Setelah diperiksa, ternyata itu adalah panggilan telepon dari Sadewa, kakak ketiganya.

"Halo, Wa. Ada apa?" tanya Nakula tanpa basa-basi. Dia sudah paham jika Sadewa meneleponnya, pasti kakaknya itu sedang membutuhkan bantuannya.

"Nak, lo harus nolongin gue. Mutia minta balikan, tapi gue nggak mau. Gue nggak sudi balikan sama mantan." Suara Sadewa terdengar frustasi.

"Terus? Gue harus gimana?" tanya Nakula dengan santainya.

"Cariin gue cewek."

"Gila! Cari aja sendiri. Lo kira gue biro jodoh."

"Nak, please!"

"Nggak ada! Cari aja sendiri."

Terdengar helaan nafas berat dari Sadewa. Laki-laki yang hanya berjarak satu tahun dari Nakula itu memang selalu absurd. Contohnya saja seperti sekarang ini.

"Dea nggak ada temen cewek?" tanya Sadewa masih tak mau menyerah.

"Nggak ada. Udah sold out," sahut Nakula dengan malas.

Tiba-tiba ekor mata Nakula menangkap sosok yang sangat ia kenal. Istrinya. Ya, istrinya sedang berjalan bersisian dengan seorang laki-laki yang memaksa jas dokter.

Tanpa mengatakan apa-apa pada Sadewa, Nakula langsung memutuskan sambungan telepon begitu saja.

Laki-laki itu berniat mendekat ke arah istrinya. Tapi ia urungkan saat melihat istrinya tertawa bahagia dengan laki-laki itu. Bahkan mereka berdua tampak saling bertukar nomor telepon. Ya, Nakula yakin itu karena dia melihat dengan jelas Dea dan dokter sialan itu saling bertukar ponsel.

"Sabar, Nak. Itu cuma temen. Ya, itu pasti cuma temennya Dea." Nakula bergumam sambil mengatur nafasnya yang tiba-tiba saja menjadi sesak.

Setelah dirinya cukup tenang, Nakula lalu memberanikan diri mendekati istrinya. "Hai ... pulang sekarang?" tanyanya mengabaikan keberadaan sang dokter.

🍄🍄🍄

Hai hai hai.

Aku mau minta tolong, dong. Tolong like tulisan ini, terus tambahin ke daftar favorit, dan kasih bintang juga.

Selamat membaca. Semoga hari kalian menyenangkan.

Luv Peje ❤️

Bab 2

"Tadi itu siapa?" tanya Nakula pada istrinya saat mereka sudah berada di dalam mobil.

"Oh ... itu temen," jawab Dea santai.

"Temen?"

"Temen kuliah," jawab Dea.

Nakula mengangguk paham. Dia tak berniat menginterogasi lebih lanjut. Sejak memutuskan untuk menikahi Dea, laki-laki itu sudah berjanji pada dirinya sendiri akan percaya seratus persen pada istrinya. Semoga saja dia bisa konsisten dengan janjinya itu.

"Kamu laper, nggak?" tanya Nakula sambil menoleh ke arah Dea.

"Emm ... iya. Tapi aku pingin makan makanan Thailand," jawab Dea.

"Kamu suka makanan Thailand?"

"Aku suka semua makanan," sahut Dea sambil terkekeh.

Nakula melajukan mobilnya ke sebuah restoran Thailand yang pernah beberapa kali di kunjunginya. Setiap dia datang ke restoran Thailand, pasti selalu bersama Sadewa. Kakaknya itu penggila masakan Thailand.

"Besok kamu masih bisa antar jemput aku, kan?" tanya Dea sambil menoleh ke arah suaminya.

"Pasti dong. Aku pasti akan nganter jemput kamu, meskipun kamu nggak minta," jawab Nakula.

Dea tersenyum senang mendengar jawaban suaminya. Perempuan itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Perlahan-lahan matanya mulai terpejam.

Agaknya perempuan itu sangat lelah. Tak butuh waktu lama ia sudah berkelana ke alam mimpi. Nakula menduga, mungkin istrinya itu kecapekan karena terlalu lelah bekerja.

Nakula sengaja membiarkan istrinya tidur. Kalau sudah sampai, barulah ia akan membangunkan istrinya itu.

Setelah berkendara beberapa menit, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Nakula iseng meniup pipi istrinya, tapi istrinya itu tak bergeming. Masih nyenyak tertidur.

"Sayang, bangun." Nakula menepuk-nepuk lengan Dea dengan lembut.

Perlahan-lahan Dea membuka matanya. Perempuan itu mengerjapkan matanya beberapa kali guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.

"Sudah sampe, ya?" tanya Dea sambil melihat sekeliling.

"Iya. Ayok, turun," ajak Nakula dan di-angguki oleh Dea.

Keduanya lalu masuk ke dalam restoran tersebut. Menjelang menu yang dipesan datang, mereka duduk sambil melihat sekeliling. Bukan maksud untuk jelalatan, tapi mereka sedang mengagumi interior bangunan tersebut.

"Interiornya keren," puji Dea lirih.

"Setuju," sahut Nakula.

Restoran tersebut mengusung tema monokrom. Kebetulan sekali mereka berdua pecinta monokrom, jadi restoran yang sebenarnya biasa saja itu jadi terlihat mewah di mata mereka.

"Hai, Nak, Dea."

Sapaan tak terduga itu membuat Nakula nyaris jantungan. Sadewa, tiba-tiba saja muncul dan mengagetkan adiknya. Oke ini berlebihan, Nakula tidak nyaris jantungan kok. Ia hanya kaget biasa saja.

"Gue ikut duduk di sini, ya." kata Sadewa sambil menatap adik dan iparnya.

Baik Nakula dan Dea sama-sama mengangguk. Mereka sama sekali tidak keberatan berbagi meja dengan Sadewa, sang kakak yang berprofesi sebagai vokalis band terkenal.

"Kak Dewa dari mana?" tanya Dea basa-basi.

"Dari studio. Laper banget jadi langsung mampir ke sini," jawab Sadewa sambil melambaikan tangan ke arah waiters.

Kakak dari Nakula itu lalu memesan menu. Setelah memesan menu, mereka lanjut mengobrol lagi.

"Nak, lo bener-bener nggak ada cewek?" tanya Sadewa dengan tampang memelas.

"Maksudnya, Kak?" tanya Dea tidak nyaman. Kata 'cewek' menganggu pendengarannya.

Sadar akan kesalahannya, Sadewa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Jadi gini, Dea. Gue lagi nyari cara agar mantan gue nyerah."

"Maksudnya?" Dea mengerutkan keningnya dalam.

"Jadi gini. Gue punya mantan. Dia ngajak balikan, tapi gue nggak mau. Udah gue tolak, tapi dia masih kekeuh. Bingung gue. Gue minta cariin cewek sama Nakula, tapi dia nggak punya. Lo punya temen cewek nggak, De?"

"Hais! Lo kan bisa nyari di aplikasi dating. Gua sama Dea juga kenalnya di aplikasi dating," sahut Nakula dengan malas.

Pembicaraan ketiganya terjeda sejenak karena waiters mengantarkan makanan yang mereka pesan.

"Sambung nanti lagi debatnya. Gue beneran laper," kata Sadewa dengan air liur yang sudah mulai mengalir. Dia sudah tak sabar untuk menikamati makanan di depannya.

Pada saat mereka hendak menyantap makanan, ketiganya dikejutkan dengan datangnya segerombolan perempuan.

"Kak Dewa, minta foto, boleh?" tanya salah seorang perempuan berambut sebahu.

Dengan terpaksa Sadewa mengangguk. Dia tidak tega mengecewakan fans-nya. Walaupun sebenarnya ia kesal, tapi ia tetap tersenyum. Sebuah senyum yang dipaksakan.

Nakula dapat melihat ekspresi kesal kakaknya. Tapi kakaknya itu mati-matian menahan kesal. Dia sudah paham dengan sifat sang kakak. Kakaknya itu pantang diganggu saat makan. Tapi saat yang menganggu adalah fans-nya, kakaknya itu tak punya pilihan.

"Kak Dewa, boleh minta ucapan ulang tahun, nggak? Nama aku Fani. Besok aku ulang tahun," kata seorang perempuan berambut ikal sepunggung.

Sadewa hanya mengangguk kaku. Dia lalu mengucapkan sebuah kalimat selamat ulang tahun dengan manis di depan kamera ponsel yang dipegang gadis bernama Fani.

"Yeay ... makasih ya, Kak." Fani jingkrak-jingkrak saking senangnya.

Tiga gadis tersebut pergi setelah mendapatkan apa yang mereka mau. Menurut Nakula, kira-kira mereka seusia SMA. Belasan tahun.

"Kenapa nggak minta nomer salah satu cewek tadi? Biar lo nggak susah payah nyari cewek buat manas-manasin mantan lo," cibir Nakula.

"Gue bilang debatnya nanti aja. Gue laper berat." Sadewa segera mengisi perutnya dengan makanan lezat tersebut. Dia harus cepat, sebelum fans-nya yang lain menemukannya. "Gue harus buru-buru makan, bisa gawat kalau fans gue yang lain dateng. Bisa keroncongan perut gue."

"Pelan-pelan Kak Dewa. Ntar kesedak, loh."

Belum sempurna bibir Dea tertutup. Sadewa sudah tersedak. Laki-laki itu buru-buru mengambil air putih dan meminumnya dengan pelan.

"Sukurin. Makanya makan hati-hati," kata Nakula.

"Ah, kalian kayak Tom and Jerry. Jadi kangen adikku di kampung. Kami juga biasanya kayak kalian. Huhuhu ... Fadhil." Dea menerawang ke langit-langit restoran.

"Yang ... kamu nggak papa?" Nakula menepuk tangan Dea dengan lembut.

"Aku kangen Fadhil," lirih Dea.

"Besok kalau kita ada libur, kita pulang kampung, ya." hibur Nakula.

Dea mengangguk saja.

Fadhil adalah adik bungsu Dea yang baru berusia lima tahun. Bocah laki-laki itu sangat lucu dan emosian. Dea dan Fadhil sering berantem hanya gara-gara hal sepele.

Nakula tahu, yang membuat Dea sedih bukan hanya perkara kangen. Tapi juga keadaan adiknya di sana.

Dea memiliki dua orang adik. Yang satu masih kuliah di Yogyakarta. Dan yang terkahir Fadhil si bocah lima tahun.

Ayah Dea sudah meninggal. Dan sang ibu harus mengurus Fadhil sendirian. Selain mengurus Fadhil, ibunya juga harus mencari nafkah. Pasti Dea sedih gara-gara itu.

🍄🍄🍄

Hai readers 🖐️

Aku cuma mau ngasih tau. Dea ini ada muncul di novel yang judulnya: SUAMIKU BRONDONG. Boleh mampir ke cerita itu terlebih dahulu, karena cerita itu sudah tamat. Tapi kalau kalian nggak mau baca SUAMIKU BRONDONG juga nggak papa. Bisa banget langsung baca ini aja.

Happy reading 🥰

Bab 3

"Kenapa Ibu dan Fatan nggak diajak tinggal sini aja?" tanya Sadewa. "Rumah kalian banyak kamar kosong, kan?" tanyanya lagi.

"Ibu nggak mau. Udah nyaman tinggal di kampung katanya," jawab Dea.

"Hoam ... kenyang." Nakula mengelus perutnya yang sesak karena sedikit kekenyangan. Hanya sedikit kok, tidak sampai benar-benar kekenyangan.

"Habis ini kalian mau pulang?" tanya Sadewa sambil menatap adik dan iparnya bergantian.

Baik Nakula dan Dea sama-sama mengangguk.

"Gimana kalau kita main-main dulu. Dea belum lama di Jakarta, kan? Pasti masih banyak tempat yang belum dikunjungi." Sadewa meminta persetujuan dari keduanya.

"Mau ke mana emangnya?"

Yang bertanya itu adalah Nakula. Dia merasa ajakan kakaknya ini tidak lazim. Biasanya sang kakak tidak pernah mengajaknya jika ingin main.

"Ke kelab, misalnya." Sadewa menjawab santai.

Nakula melotot tajam. "No! Otak Dea masih bersih. Jangan lo kotori pake kebiasaan buruk lo!" omel Nakula kesal.

"Aku nggak suka kelab, Kak. Berisik. Sakit kepalaku denger musik berdentam-dentum keras banget," sahut Dea penuh ketidak minatan.

"Yah ... padahal tujuan gue ngajak kalian ke sana supaya kalian bisa bantuin gue nyari cewek." Sadewa mendesah kecewa.

"Lagian gue bingung sama lo. Tinggal nolak aja apa susahnya, sih? Pake acara nyari cewek lain untuk dijadiin tumbal segala. Kalau tuh cewek yang lo jadiin tumbal baper dan bener-bener jatuh cinta sama lo gimana? Lo mau tanggung jawab sama perbuatan lo?"

Nakula ceramah panjang kali lebar. Percayalah. Walaupun Nakula anak bungsu. Tapi dia adalah satu-satunya anak yang paling dewasa dari segi pemikiran. Tiga kakaknya sama saja. Sama-sama kekanak-kanakan. Apalagi kalau sudah bicara soal perempuan.

Itulah sebabnya Nakula sudah menikah. Sementara ketiga kakaknya masih betah lajang. Apalagi Bima sang kakak pertamanya, kerjanya tiap bulan ganti pacar.

Sementara Arjuna sang kakak kedua. Terlihat tidak tertarik pada perempuan. Seperti ada tanda-tanda tidak tertarik pada perempuan. Tapi Arjuna selalu berdo'a semoga kakaknya tidak seperti itu.

"Kalau gue jadi lo, nggak suka ya bilang nggak suka. Gampang, kan." Nakula masih betah mengomel.

"Hais! Lo ngeselin banget sih. Udah gue bilang, gue capek nolak dia. Dia ngejar-ngejar gue mulu." Sadewa bicara dengan tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi. Seolah-olah perempuan itu benar-benar cinta mati padanya.

"Emang ada perempuan yang kayak gitu, Kak?" tanya Dea takjub.

"Ada. Mantan gue," jawab Sadewa malas.

Mendengar jawaban kakaknya, Nakula hanya mengedikkan bahunya acuh. Terserah kakaknya sajalah, dia malas ikut campur urusan percintaan orang lain. Dia hanya akan fokus pada percintaannya sendiri.

"Eh ... kenapa Dea nggak kerja di rumah sakit tempat Mama Papa kerja? Kan itu nggak terlalu jauh dari rumah kalian. Kalian bisa minta tolong Papa Mama untuk melobi atasan." Sadewa mengalihkan pembicaraan.

"Nepotisme!" Dea bergidik ngeri sambil geleng-geleng kepala.

"Gue sama Dea nggak demen KKN. Korupsi, kolusi dan Nepotisme. Lagian Mama Papa nggak mungkin mau bantuin, lo kira itu rumah sakit punya mereka," sahut Nakula.

"His! Kalian ini loh. Sok bersih. Jaman sekarang curang-curang dikit ya nggak papa." Sadewa masih dengan pemikirannya dan sedang menghasut adik dan iparnya.

"Itu lo. Gue sama Dea enggak."

"Ya ya ya ... baiklah. Terserahlah." Pada akhirnya Sadewa menyerah karena tidak berhasil menghasut keduanya.

Nakula mengedikkan bahunya acuh. Laki-laki itu sedang menghabiskan sisa minuman yang ada di gelasnya.

"Gue mau cabut duluan. Kali ini gue yang traktir," kata Sadewa seraya memanggil pelayan dan meminta bil.

"Hah? Serius? Tumben lo baik." Nakula menatap kakaknya tak percaya.

"Gue selalu baik tiap hari. Lo aja yang nggak pernah sadar."

Setelah Sadewa membayar makanan, laki-laki itu langsung pamit pulang duluan. Dan sekarang, hanya tinggal sepasang pengantin baru saja di sana.

"Kak Dewa aneh, ya?" Dea tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala.

"Kamu harus percaya. Kalau diantara empat anak laki-laki di keluargaku, hanya aku yang paling waras."

"Ya, aku percaya itu," sahut Dea masih dengan tawanya.

Tak lama setelah Sadewa pulang, Nakula dan Dea juga pulang. Kebetulan sekali letak restoran Thailand tersebut tidak jauh dari rumah mereka. Sehingga tak sampai dua puluh menit, mereka sudah sampai di rumah.

Rumah itu tidak ada asisten rumah tangga. Waktu dulu Nakula masih lajang, dia hanya akan memanggil petugas kebersihan via daring seminggu sekali.

Untuk urusan menyapu rumah, dia melakukannya sendiri. Untuk pakaian, dia mencucinya sendiri. Toh hanya tinggal di masukkan mesin saja.

Kalau untuk menyetrika, kadang setrika sendiri. Tapi kadang juga memakai jasa laundry. Dan untuk makan, lebih sering ia memasak sendiri. Dan kalau sedang lelah memasak, dia akan membeli makanan di luar.

🍄🍄🍄

Siang ini Nakula sengaja datang ke rumah sakit untuk mengajak Dea makan siang bersama. Ia membawa rantang tupperware berisi menu buatannya sendiri. Martabak dan kari India.

Nakula merasa yakin Dea akan menyukai makanan buatannya ini. Karena Dea pernah mengatakan kalau ia suka makanan dengan rempah-rempah yang kuat. Selain itu, Dea menyukai makanan apa saja.

Nakula sudah mengabari Dea, dan saat ini ia sudah ada di parkiran rumah sakit. Mereka berencana makan siang di dalam mobil saja, setelah itu akan shalat dzuhur di mushola rumah sakit.

Kata Dea, perempuan itu sedang otw menuju parkiran. Oleh karena itu, Nakula memutuskan untuk keluar mobil. Ia ingin menyambut istrinya dengan senyum paling manis.

Tiba-tiba saja pandangan mata Nakula tertuju pada seorang laki-laki yang berjalan mendekati mobil sebelah Nakula parkir. Laki-laki itu adalah laki-laki yang pernah dia lihat tertawa bersama Dea. Bahkan mereka sempat bertukar nomor telepon.

Ya, Nakula masih ingat dengan jelas wajah laki-laki sialan itu. Mana mungkin ia amnesia dadakan? Ingatannya masih sangat kuat.

"Ehem ...." Nakula berdehem.

Laki-laki itu hanya menoleh sebentar dan masuk ke dalam mobilnya, setelah itu pergi bersama mobil putih miliknya.

"Hai, udah sampe dari tadi?" sapaan Dea mengagetkan Nakula, laki-laki itu segera menoleh ke arah sumber suara.

"Eh, kamu udah sampe? Ayo masuk." Nakula membukakan pintu mobilnya di bagian depan penumpang sebelah kiri.

"Ya ampun, aku jadi merasa kayak ratu." Dea terkekeh.

"Kamu memang ratu. Ratu di hati aku," sahut Nakula serius. Ia lalu memutar ke sebelah kanan, setelah itu masuk ke dalam mobil.

Seperti dugaan Nakula, Dea menyukai masakannya. Tak butuh waktu lama, makanan tersebut sudah habis. Mereka menurunkan isi perut sebentar, setelah itu barulah pergi ke mushala.

Tadi Dea menawarkan pada Nakula agar mereka makan di taman rumah sakit saja. Tapi Nakula menolak, ia ingin makan di dalam mobil saja. Menurutnya itu romantis.

🍄🍄🍄

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!