"Mak ... ih masa iya Mak aku di kawinin sama bang Agung, aku bisa nyari sendiri lah Mak," rajuk seorang gadis dengan nada sendu pada sang ibu yang menatapnya penuh makna.
"Eh buset di kawinin, emang kamu kambing, ya ampun Ta, apa sih kurangnya si Agung?" Sungut sang ibu, mulai menghitung kelebihan calon mantunya.
Sita seorang gadis ceria dan modern, berusaha menolak perjodohan yang akan di lakukan oleh sang ibu tercinta.
Bukan tanpa sebab, dia merasa bisa mencari pasangan sendiri, meskipun saat ini masih jomblo bukan berarti sang ibu dengan tak berperasaan lantas segera ingin menikahkannya.
"Nih ... dia baik, pekerja keras, sopan, ya emang agak kurang merawat diri, tapi kalo di liat-liatkan manis," bela sang ibu kepada calon mantunya itu.
Nah itu kurangnya, batin Sita menjawab ocehan sang ibu.
"Dih Mak! Bahasanya kurang merawat diri, langsung aja ngomong DEKIL!" Sungutnya menjawab perkataan sang ibu.
"Elah ini anak, ya jangan terang-terangan banget lah, gimana pun calon laki kamu," ujar sang ibu cekikikan.
.
.
.
.
Sari seorang janda, dia memiliki dua orang anak, si sulung bernama Sita Meccadina berusia 22 tahun, dan si bungsu Andi Qiano yang masih berusia 10 tahun.
Sepeninggal suaminya, dia membuka warung jajanan di depan rumah, seperti gado-gado, seblak dan sebagainya.
Beberapa minggu lalu, Sari bertemu dengan teman lamanya Aminah, yang tinggal di kampung sebelah, mereka akhirnya berbincang setelah lama baru berjumpa kembali, mereka berdua sama-sama berstatus janda dengan dua orang anak, bedanya, anak sulung Aminah laki-laki, sedang bungsunya perempuan.
Anak sulung Aminah bernama Agung Santoso berusia 27 tahun, sedang anak perempuannya berusia 20 tahun, bernama Aida Humairah.
Saat perbincangan itu, Aminah mengeluh tentang anak lelakinya yang tak kunjung menemukan jodoh, padahal sudah termasuk cukup umur, untuk membina rumah tangga. Namun, sang putra tak pernah sekalipun mengenalkan seorang gadis kepadanya, dia takut anak sulungnya itu akan sulit mendapat jodoh.
Sari tertawa sumbang mendengar keluhan temannya itu, dia sangat mengenal sosok Agung, pemuda itu memang baik dan sopan, pekerja keras pula, kekurangannya mungkin hanya dari fisik yang dia miliki, Agung bertubuh agak sedikit gempal, memiliki tinggi badan 176 cm, berkulit sawo matang, sebenarnya Agung cukup manis, hanya kurang menjaga penampilan saja, pikir Sari kala itu, padahal keluarga Aminah termasuk keluarga berada.
Hingga obrolan itu tiba-tiba mengarah pada Aminah yang melihat Sita saat pulang kerja, dan menyalami ibu beserta dirinya.
Melihat Sita yang cantik, dan berpenampilan menarik, menggugah ide untuk meminang anak gadis temannya itu.
"Sar, aku pinang anak gadismu untuk Agung ya," pintanya dengan mata berbinar menatap Sari.
Sari yang terkejut dengan perkataan Aminah lantas tertawa sebelum menjawab, "kamu ini Mi, becanda aja!"
Aminah yang tau jika Sari mungkin berpikir bahwa permintaanya tadi terdengar seperti gurauan, lantas melanjutkan perkatannya dengan menatap serius temannya itu.
"Aku serius Sar, kamu jangan khawatir, berapapun mas kawin yang kamu minta aku pasti sanggupi, ya?"
"Aku pasti sayang anakmu Sar, aku pasti jaga dia baik-baik," rayu Aminah berusaha mengambil hati calon besannya.
Sari dilema, Aminah memang temannya, sudah begitu, keluarga mereka termasuk golongan keluarga berada, dia yakin Aminah juga akan menjadi ibu mertua yang baik untuk anak gadisnya, namun dia tak ingin memaksa anak gadisnya, sudah pasti akan ada perdebatan panjang nantinya, pikir Sari kala itu.
Akhirnya Sari menjawab, jika dia tak bisa menjanjikannya, dia akan membicarakannya terlebih dahulu kepada sang putri, dan Aminah yang tau jika permintaannya yang mendadak itu pasti mengejutkan temannya, lantas ia pun menyetujuinya.
Namun, Aminah selang beberapa waktu selalu menanyakan jawaban Sari, dan itu sedikit membuat Sari jengah, sebab dia belum menanyakan permintaan Aminah kepada Sita.
Hingga akhirnya dia membahas masalah lamaran dadakan itu dengan anak gadisnya, dan lihat apa yang terjadi sekarang, Sita jelas-jelas menolak tegas permintaan sang ibu.
.
.
"Menikah kan ibadah, kalo sekarang dia keliatan gimana gitu, tugas kamu nanti merawat dia supaya lebih Cling!" nasihat sang ibu dengan gerak tangan seolah-olah mengeluarkan sinar.
"Cling ... cling emang dia piring kotor, pas di cuci jadi mengkilat?!" Ketus Sita.
"Ah kamu mah, ya udah gini aja dah, gimana kalo, pedekate dulu, kalo cucok langsung cuz ya?" Tawar sang ibu.
"Ishhh ... Emak ini, emang di kata milih baju, cucok langsung check! Dah ah kesel aku mah." Lantas berlalu meninggalkan sang ibu yang sedang sibuk di dapur.
"Elah, Ta bantu Emak masak dulu lah, ntar malem pan calon laki kamu mau maen kemari," pekik sang ibu kesal di tinggal begitu saja.
Sita yang malas berduaan dengan sang ibu di dapur, memilih merebahkan tubuhnya di bale-bale depan rumahnya, semilir angin membuat matanya mengantuk berat.
Di hari libur kerjanya, saat dia berpikir akan begadang semalaman menonton drama korea favoritnya, dirinya malah mendapatkan panggilan dari sang ibu, yang memintanya untuk pulang ke rumah.
Sistem kerja di tempat Sita menggunakan sistem off dimana hari liburnya tak mesti jatuh pada hari sabtu dan minggu, hingga saat orang lain masih bekerja hari ini malah Sita libur, sedangkan esok di hari sabtu dia harus bekerja.
'*M*au ada yang di bahas!' Ucap sang ibu saat itu.
Setelah tau apa yang akan dibahas, dirinya menyesal pulang kerumah.
Walaupun tempat kerjanya masih satu wilayah di kota tempat tinggalnya, tapi Sita memilih mengontrak bersama ketiga sahabatnya, bukan tanpa alasan, mereka memilih kost yang dirasa akan menekan biaya pengeluaran, dimana mereka bertiga tidak memiliki kendaran, dan hanya mengandalkan angkutan umum dirasa akan sangat berat, apa lagi jika mereka harus pulang larut malam, selepas kerja shift malam.
Sita mendengarkan musik lewat earphonenya, diputarnya lagu metal favoritnya, suara musik yang memekakan telinga itu nyatanya bisa membuat batinnya sedikit tenang.
Aneh memang, tapi apa mau di kata, itu memang selera musiknya, dia tak begitu menyukai musik mellow.
Belum lama dia terpejam, hingga seekor ayam dengan tak tau diri menginjak perutnya, sebab ayam betina itu rupanya tengah dikejar oleh ayam jantan.
"Vangke nih ayam, ganggu tidur gua aja! OI AYAM SIAPA SIH, KANDANGIN DONG!" Pekiknya kesal, lantas mengiba-ibas kausnya yang kotor sebab ceker sang ayam yang berhasil menginjaknya tadi.
Sita lantas melangkahkan kaki untuk kembali masuk ke dalam rumah, kamar yang menjadi tujuannya, sebab dia ingin mengganti pakaiannya.
"Napa sih Ka?" Tanya Andi, yang tadi mendengar teriakan sang kakak.
"Nih!" Sita lantas menunjukan kaus putihnya yang sudah terdapat bercak ceker ayam di sana.
Andi lantas tertawa terbahak-bahak, melihat wajah cemberut sang kakak, Sita yang tak terima ditertawakan sang adik lantas memukul kepala adiknya dengan katalog skincare Sorylame milik ibunya yang berada di meja.
Meski tak begitu sakit, tapi Andi tetap mengusap kepalanya, "sakit tau ka!"
"Makanya, jangan ngeledek!" Sungut Sita lantas segera masuk ke kamar sesuai tujuannya tadi.
.
.
.
Tbc.
Setelah berganti pakaian, Sita kembali ke ruang tamu, dimana sang adik masih asyik bermain dengan ponselnya.
"Maen hape mulu, pr udah dikerjain belom?" Tanya Sita yang melihat jika sang adik yang dilihatnya dari selepas pulang sekolah itu, masih asyik dengan ponselnya.
"Malem lah Kak dikerjainnya, sekarang waktunya maen dulu," jawab Andi, yang kembali mendapat pukulan dari Sita di kepalanya.
"Kakak nih ngapa sih, entar aku oon dipukul mulu!" Kesal Andi yang kegiatannya diganggu sang kakak.
Sita lantas beranjak kembali menuju dapur, ingin melihat keadaan sang ibu yang tak terdengar suaranya.
"Mak?" Panggilnya langsung menuju pintu belakang yang terbuka.
Sita menggeleng melihat air mendidih di dalam panci yang hampir asat itu, dia lantas mematikan kompor sembari menuju belakang rumah.
"Mak!" Panggilnya lagi, karena mendengar suara terbahak sang ibu yang sepertinya tengah berghibah dengan tetangga.
Sita akhirnya menghampiri asal suara sang ibu, sebab panggilannya tak membuahkan hasil.
"Buset dah Mak—" ucapannya terpotong kala sang ibu yang terkejut lantas memukul bahunya.
"Sakit Mak!" Keluh Sita sambil mengusap bahunya dan menatap ibunya kesal.
"Lagian ngagetin aja, kalo Mak jantungan gimana?" Gerutu Sari tak kalah sewot, sebab obrolannya dengan tetangga terlerai akibat panggilan putrinya itu.
"Hilih ... jantung Emak pasti kuat, gimana ngga kuat, dari aku orok Emak kan rajin seriosaan," kelakarnya lantas berlari dari sana, menghindar dari lemparan sandal japit andalan ibunya yang pasti berbeda warna tali, sebab dengan kelihaian dan mode pelitnya, sang ibu selalu menyimpan sandal ber cap burung walet itu jika salah satu talinya ada yang putus.
"Dasar!! Emak kawinin beneran kamu, biar jadi anak sholehah!" Gerutu sang ibu, yang mau tak mau ikut kembali kedalam rumah.
.
.
.
Malam menjelang, selepas menunaikan ibadah sholat Maghrib, mereka semua berkumpul kembali di ruang keluarga, yang menyatu dengan ruang tamu, hanya terdapat sofa dan karpet yang membuat fungsi kedua ruangan berbeda.
Mereka duduk di karpet dengan Andi yang masih tak melepaskan gadgetnya, Sita menatap sebal sang adik hingga kembali menarik telinga Andi yang duduk di sebelahnya, yang masih khusyuk menatap ponsel.
"Aduh ... duh, apan sih Kak! Kalah kan jadinya!" Gerutu Andi lantas memunggungi sang kakak.
"Lagian dari pagi ampe malem sibuk mulu kakak liat kamu Ndi! Sarung lepas dulu, katanya mau ngerjain pr!" Sita menagih janji sang adik sore tadi.
"Au tuh anak, hp Emak ngga sekalipun Emak bisa megang, palingan kalo kamu telpon doang Ta, apa Emak mau telpon, padahal kan Emak juga mau selfi, sama tektokan," sungut sang ibu dibalas decakan sebal Sita.
"Ngapain Emak maen tektok, jangan aneh-aneh Mak!" Jawab Sita, dia tak akan membiarkan sang ibu mengunduh aplikasi itu, bisa malu dia, jika sang ibu mengupload hal aneh-aneh.
Sari hanya menyeringai menjawab pertanyaan anak sulungnya, dia juga tau diri, tak mungkin dirinya melakukan hal kekanakan seperti itu.
Andi yang sudah melepas sarung serta kopiahnya, keluar dengan menenteng tas sekolah lantas duduk di hadapan sang kakak dengan raut wajah di buat menggemaskan, namun menurut Sita yang melihatnya malah menyebalkan.
"Paan?" Terkanya yang tau akan maksud adiknya itu.
Andi tertawa garing sebelum menjawab pertanyaan kakanya. "Kak, kalo nanti jadi nikah sama bang Agung, beliin Andi hape ya?" Rayunya.
"Kagak!" Tolak Sita tegas, bukan karena permintaan sang adik. Namun, dia tersinggung sebab adiknya meminta sebuah ponsel karena dirinya yang akan dinikahkan dengan orang yang enggan ia terima.
Andi memasang mimik wajah cemberut saat mendengar jawaban sang kakak. "Dasar pelit!!" Ujarnya kesal lantas segera menuju meja ruang tamu dan menyelesaikan tugas sekolahnya.
Sita dan Sari hanya menggeleng mendengar gerutuan Andi sesaat tadi.
"Jangan di pikirin Ta—" belum selesai sang ibu berkata, sudah terpotong oleh Sita yang menanyakan hal lain.
"Jam berapa sih Mak mereka datengnya?" Sambil melirik jam dinding yang terdapat diatas meja televisi di belakang mereka.
"Katanya abis isya, ya udah sana kamu dandan yang cantik, jangan ngomong aneh-aneh, ngomong nyablaknya di kurang-kurangin, mereka kan bahasanya lembut," titah sang ibu.
"Lembut apaan! Kaya orang keraton gitu? njih kang mas, kulo ngertos," ( iya mas, saya paham) ucap Sita menirukan bahasa jawa halus yang dia tau.
"Elah kagak gitu juga! Emang entu artinya apaan Ta?" Tanya sang ibu bingung.
Sita lantas tertawa terbahak-bahak, dia sampai memegang perutnya yang kaku sebab melihat raut wajah bingung sang ibu yang mendengar ucapannya kala tadi.
"Dasar kampret! Pas lah Ta, jadi mantunya almarhum pak Haji Anshori, dia kan orang jawa, tapi ngga tau jawa mana."
Sita menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya, akibat tertawanya yang terbahak-bahak itu, dia lantas mendekati sang adik, yang saat ini terlihat sedang konsentrasi penuh menatap buku di hadapannya.
"Wih, semangat empat lima banget Bang, kira-kira bener ngga nih jawaban!" Ledek Sita.
"Berisik Kak! sana gih ah, biar cepet kelar, bentar lagi kan calon kakak mau dateng," Balas Andi balik meledek sang kakak.
Sita tak menjawab, hanya memukul kepala sang adik dengan lembaran kertas yang dia gulung, sudah pasti tak terasa sakit sedikit pun bagi Andi.
.
.
.
Waktu yang di nanti akhirnya tiba, selepas isya, dia berdandan di depan meja rias, bukan berarti dia bersiap menerima pinangan lelaki itu, hanya untuk menghargai dirinya sendiri saja.
Sari masuk ke kamar Sita tanpa mengetuk pintu, lantas segera menghampiri sang putri yang masih setia duduk di depan meja riasnya.
"Kamu sariawan Ta? Merah gini bibirnya?"
Sita memutar bola matanya malas sebelum menjawab, "ini namanya cara pake lipstik ombre Mak!"
Sari mengernyit heran dengan teknik makeup jaman sekarang, dia yang melihat bibir bagian depan sang putri yang nampak tipis dan pucat sedang bagian dalamnya berwarna merah, hanya menggeleng.
"Orang mah, lipstikan merah ya merah full, kagak separo-separo gitu!"
"ke menoran entar, malah keliatan tua,"
Terdengar suara ketukan pintu dan seseorang mengucap salam, Sari lantas segera keluar dari kamar sang putri untuk menyambut tamunya, dia meminta Sita untuk menunggu di dalam kamar sebelum ia datang menjemput nanti.
Sita lantas mengangguk, dia duduk di tepi ranjang dan memainkan ponselnya, ingin sekali bercerita kepada sahabat-sahabatnya, namun dia pasti akan di ledek habis-habisan nanti.
Jadi dia hanya menscroll aplikasi belanja online favoritnya, berharap menemukan suatu barang yang ia inginkan.
Hingga tak lama, sang ibu memintanya keluar untuk menemui tamu mereka.
Jantung Sita sudah berdebar-debar tak karuan, dia tak tau bagaimana cara menolak mereka nanti.
.
.
.
tbc.
Sita menatap tiga orang yang duduk di sofa ruang tamunya. Dia mendekati Aminah yang saat itu menjabat sebagai kepala keluarga, mencium punggung tangannya, sedang untuk dua orang tamu lainnya Sita hanya bersalaman saja.
Sofa panjang di hadapan Sita di duduki oleh Aminah beserta Aida, sedang Agung duduk di sofa satu dudukan sebelah kanan, berdekatan dengan Sari.
"Nak Sita cantik sekali, apa lagi sakit sariawan?" tanya Aminah seperti Sari kala itu.
Hadeuh dikira sakit kan gua, nih emak-emak kagak tau trend sekarang apa ya?! batin Sita.
Sari dan Aida sama-sama menyikut orang di samping mereka, jika Aida menyikut sang ibu bermaksud untuk menegurnya, berbeda dengan Sari, setelah menyikut Sita dia lantas berbisik, "nah kan Emak bilang apa, lagian ngeyel sih!"
Meski berbisik semua orang yang berada di ruangan itu tetap bisa mendengarnya.
Sita hanya menghela napasnya kesal. Dia lantas ganti menyikut sang ibu agar kembali pada pokok pembahasan.
"Engga Bu, gu— eh saya ngga sakit," jawab sita setelah perdebatan kecil tadi.
"Ya sudah, kita langsung saja ya Sar, maaf ya Nak Sita kalo kedatangan kami mengagetkan, sebenarnya Ibu ingin melamar Nak Sita untuk Agung," ucap Aminah tanpa basa-basi.
Agung yang melihat raut wajah Sita berubah, lantas berniat memotong perkataan sang ibu.
"Begini Dinda—" ucap Agung terpotong oleh Sari yang bingung dengan panggilannya.
"Dinda? Namanya Sita Nak Agung," ucap Sari membenarkan panggilan calon mantunya itu.
Sedang Andi malah tertawa terbahak-bahak, akibat panggilan yang di berikan Agung kepada kakanya itu.
Sita yang malu lantas melempar bantal sofa yang di pegangnya ke arah Andi di belakang.
"Brisik!" Tegurnya sambil mendelikan mata.
"Maaf Sari, itu panggilan spesial keluarga kami, biasanya ayah Agung manggil aku Adinda, mungkin Agung udah merasa cocok, jadi langsung kasih panggilan spesial," jelas Aminah kepada calon besannya.
Eh buset, panggilan spesial, emang lu pikir gua mau bang, hemm ... sorry ya, rutuk Sita dalam hati.
Sari merasa kikuk akibat ucapannya tadi, "eh ngga papa Nak Agung, bagus juga panggilannya, lain dari pada yang lain."
"Apaan sih Mak!" Keluh Sita.
Sari lantas melerai sikap kikuknya, dengan mempersilahkan tamunya untuk meminum teh suguhannya.
Setelah meneguk tehnya, Aminah lantas menagih jawaban pertanyaannya tadi, "jadi gimana Sar? Nak Sita?"
Sari dan Sita saling berpandang-pandangan, bingung bagaimana harus menjawab, Agung yang tau akan ketidak nyamanan itu lantas memberanikan diri melanjutkan perkataannya yang terpotong tadi.
"Umi ... kami kan belum saling mengenal, ya walaupun Dinda eh Sita dan Agung saling kenal, tapi secara pribadi kan belum, gimana kalo kita pendekatan dulu?" Ucap Agung buru-buru, sebab terlihat jika sang ibu akan memotong kembali ucapannya.
"Nah iya Minah, bener ide Agung, biar mereka kenal deket dulu gitu," ucap Sari tak sejalan dengan gerakan tangannya, dia malah memperagakan gerakan tangan seolah dua orang tengah berciuman.
Sita yang kesal lantas menurunkan tangan ibunya, "ish Mak apaan sih, itu bukan pendekatan tapi ...." Sita melanjutkan perkatannya dengan membisiki sang ibu.
"Astaghfirulloh, salah ya Ta," Sari terkejut sebab dia salah memperagakan maksudnya tadi.
"Makanya, diem dulu," ujar Sita.
Aminah tertawa melihat kelakuan konyol kedua ibu dan anak itu, berbeda dengan Aida yang memandang sinis keduanya, sedang Agung hanya tersenyum simpul.
Sita sepertinya paham, jika diantara ketiga orang di hadapannya ini, hanya sang calon adik ipar yang sepertinya tak menyukai perjodohan ini.
"Maaf ya Mi—"
"Jadi gimana, setuju apa yang tadi di bilang Agung Mi, biarin mereka deket dulu?" lanjut Sari menatap Aminah.
Aminah sebenarnya ingin langsung meminang Sita, namun ide itu malah keluar dari mulut putra sulungnya, jadi mau tak mau dia menyetujui, namun dia memiliki syarat jika perjodohan tetap harus di lakukan.
Sita jelas tak setuju, dirinya ingin membantah, sama saja jika seperti itu ujungnya mereka akan menikah, pikir Sita.
Sari yang melihat jika Sita akan menjawab perkataan Aminah, menyekal lengannya, menghentikan apapun yang akan anak gadisnya itu katakan.
"Serahin sama Allah ya Mi, kalo emang mereka jodoh, pasti ngga akan kemana," jawab Sari telak, yang sudah pasti tak dapat di debat oleh Aminah.
Mereka akhirnya setuju, Agung mengajak ibu beserta adiknya untuk segera undur diri, sebab waktu juga sudah malam.
Selepas kepergian mereka, Sari segera mengambil buah tangan yang mereka bawa.
Dia meletakan di atas karpet, Andi sangat antusias, sebab ada beraneka kue, dan buah-buahan.
Sita dan Sari segera masuk ke kamar setelah melepas kepergian tamunya, setelah berganti pakaian, mereka bergabung kembali dengan Andi, menikamati buah tangan tamu mereka.
Sari mengupas buah jeruk, Andi tak henti-hentinya meledek sang kakak dengan panggilan dinda.
"Brisik tau ngga Ndi!" kesal Sita lantas melempar buah apel kearah Andi.
"Ngga suka orangnya, tapi bawaannya di embat, huuu ..." Andi bangkit berlari menghindar dari amukan sang kakak, dia langsung mengunci kamarnya dan segera merebahkan diri.
Hanya tinggal Sita dan ibunya yang juga turut merebahkan diri di karpet sambil menonton sinetron favoritnya.
"Ish ... mau bercocok tanam aja banyak anget halangannya, lebay!" omel sang ibu yang hanya di balas gelengan oleh Sita.
"Kamu entar jangan gitu Ta, kalo udah sah langsung tancap gas!" lanjut sang ibu dengan nasehat tak berfaedahnya untuk saat ini.
"Apaan sih Mak, Emak yang sewot tuh nonton sinetron, ngapa jadi ke aku!" Sungut Sita kesal.
Sari lantas bangkit duduk, ingin berbicara serius dengan sang putri, Sita yang melihat gelagat berbeda dari sang ibu, di buat merinding.
Emak gua kalo dah mode ustadzahnya, bikin bulu kuduk gua merinding.
"Ta, Emak harap kamu bener-bener serius sama si Agung ya, Emak tau saat nih kamu belum nerima, maksud Emak, pedekatenya yang serius, ok?!"
"Iya Mak," pasrah sudah Sita, bagaimanapun dia akan berusaha mengenal lebih baik sosok Agung.
Benar kata sang ibu tadi, jika memang berjodoh mau di kata apa, saat ini Sita hanya bisa berpasarah pada sang kuasa.
Sambil berdoa dalam hati, Ya Allah, jika memang dia jodohku, semoga Engkau berubah pikiran biar ngga jodoh, Aamiin.
"Nah yang tetep harus di inget, langsung tancap gas, jangan kebanyakan drama yak!" Lanjut sang ibu mengulang nasihat unfaedahnya, sepertinya Sari lebih bersemangat dengan malam pertama anaknya kelak.
Karena kesal, Sita tak menjawab omongan sang ibu, dia melampiaskannya dengan memakan apel langsung yang hanya dia usap kulitnya dengan daster sang ibu.
"Buset dah, jorok banget, cuci dulu Sita banyak pestisidanya, mana pake baju Emak, kurang ajar emang nih anak satu," omelnya.
Sita tak menggubris omelan sang ibu dia memilih untuk masuk ke kamarnya.
Sita lansung merebahkan diri di ranjang, dia menatap langit-langit kamarnya dengan banyak pemikiran.
"Harus gimana gua nolak."
"Ngga mau gua ngasih harepan, gimana pun gua tau bang Agung orang baik."
"YA ALLAH GUSTI BERI HAMBA JAWABAN!!" Pekiknya dengan menengadahkan kedua tangan berdoa.
"Berisik Ta!" Sang ibu yang membalas jawaban Sita, sebab dia mendengar jeritan sang anak yang dirasa mengganggu dirinya.
Sita lantas berbalik tengkurap, menelusupkan wajahnya di bantal, menjerit mengeluarkan rasa frustasinya, dia tak ingin sang ibu mendengar teriakannya, hingga tak terasa dia menangis sesenggukan, tak lama kemudian rasa kantuk menghampirinya.
Entah bagaimana besok, dia akan memikirkannya dengan otak yang jernih, gumamnya di sela menggapai alam mimpinya.
.
.
.
tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!