Lelaki dengan paras sempurna itu terlihat resah, manik hitamnya mencari seseorang diantara kerumunan gadis berhijab.
"Kak, cari siapa?," seorang gadis dengan kerudung biru menyapanya.
"Kanza," sahutnya singkat.
"Putri Kanza, kelas tiga ya kak?,"
"Hemm,"
"Masih dikelas dia kak, kalau kakak mau biar aku panggilin." gadis itu sepertinya pejuang tangguh, terbukti udah di kacangin oleh Daffa masih aja semangat empat lima kasih informasi ke Daffa.
Daffa menatapnya sekilas, lalu kembali menatap kerumunan.
"Boleh kalau gak ngerepotin."
"Gak kok kak, kakak tunggu sini ya," ujar gadis itu seraya bergegas menuju kelas Kanza.
lima menit kemudian seorang gadis cantik menemui Daffa, dia Kanza adik semata wayang Daffa.
"Kakak tunggu bentar ya aku belum selesai berberes."
"Cepatlah,kakak ada rapat bentar lagi,"
"Iya," sahutnya seraya berlari meninggalkan Daffa.
Daffa adalah anak pertama dari pasangan Erico dan Syakila, dan Putri Kanza adalah anak kedua.
Saat ini Daffa sudah bekerja di kantor ayahnya di sela kuliahnya. Sementara Kanza baru saja selesai ujian tamat tamatan setarap Sma.
Kanza saat ini sekolah di asrama kusus putri, dan hanya pulang saat libur sekolah.
"Kak," tegur Kanza yang sudah berada di sampingnya.
Daffa memasukkan gawainya ke saku jasnya. kemudian membawa koper Kanza masuk kedalam mobilnya.
"Sudah semua tidak ada yang tertinggal?"
"Ada," ujar Kanza.
"Apa?"
Daffa menghentikan langkahnya yang akan membuka pintu mobil.
"Hatiku," sahut Kanza dengan senyum, dia suka sekali melihat Daffa manyun, menggemaskan.
"Baru tamat Sma sudah berani main hati, cepat tak'arup kalau udah ingin," ujar Akbar kesal, candaan Kanza selalu sukses membuat Daffa meradang kalau menyangkut lawan jenis, dan ujung-ujungnya di suruh ta'aruf.
"Canda, aku masih adik mu yang manis kak percayalah," ujar Kanza dengan mimik manza.
"Bagus," ujar Daffa dengan lirikan tajam, tapi beberapa detik kemudian senyum manis sudah menghias bibirnya.
"Kamu yakin kalau lulus?" tanya Daffa seraya melirik Kanza sekilas.
"Insya Allah," sahut Kanza dengan senyum, selama ini dia tak pernah mengecewakan umi dan abinya soal nilai, walau bukan juara satu, rangking tiga dan dua pernah di sandangnya.
Kila tak nenuntut Kanza agar jadi juara, menurutnyan itu cuma bonus, tapi bagaimana Kanza mengamalkan segala ilmu yang telah dipelajarinya dan istiqomah dengan amalannya itulah yang lebih utama.
Kila tak pernah mengharuskan anaknya sukses dulu baru menikah, kalau sudah mulai berpikir kearah itu sebaiknya menikah, baginya orang yang sukses itu orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya, kalau tak mampu mala lebih baik di segerakan.
Mobil Saffa berhenti di sebuah mewah dengan tembok tinggi mengelilingi Rumah besar itu, yang tak lain kediaman Erico dan Syakila.
"Asalamualaikum," Seru Kanza di depan pintu.
"Wa'alaikum salam, Kanza udah pulang kamu sayang," ujar Kila ibu kandung Kanza, wanita yang sudah hampir kepala lima itu masih terlihat cantik, apa lagi raut wajahnya tampak lebih muda dari usianya.
"Sudah umi, umi apa kabar."
Pelukan hangat mendarat di tubuh Kanza, anak kedua dari pasangan Erico dan Syakila. Mereka hanya memiliki dua orang anak, Daffa adalah anak pertama dan Kanza anak kedua mereka.
"Umi aku balik lagi ke kantor ya." ujar Daffa menyela kangen-kangenan ibu dan anak itu.
"Baiklah hati-hati nak."
"Iya mi,aku berangkat dulu," ujar Daffa seraya mencium tangan ibunya.
Daffa memang harus kembali kekantornya, ada beberap peroyek baru yang sedang dalam pengerjaan, membuatnya sedikit sibuk.
Dengan langkah tegas Daffa memasuki gedung tempatnya bekerja, beberapa orang yang berpapasan padanya mengagguk kecil, dan Dafa membalas dengan anggukan kecil pula.
Langkahnya berhenti di depan meja kerja Reno salah seorang karyawannya.
"Re bisa ikut keruangan ku sekarang," ujarnya saat melewati meja kerja Reno.
Reno terdiam sesaat lalu bergegas beranjak mengikuti langkah pimpinan prusahaan dari belakang.
"Duduk lah," ujar Daffa, yang terlebih dulu duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Reno pun duduk didepan Daffa, hatinya berdegup kencang karena was-was, beberapa hari yang lalu dia melakukan kesalahan, dia yakin Daffa memanggilnya karena itu.
"Bagaimana istrimu?" tanya Daffa seraya menatap lekat wajah Reno, wajah yang tampak sangat lelah, entah kerena beban hidup atau pekerjaannya.
"Masih di rawat pak, tapi sudah banyak perubahan pak, Alhamdulillah," sahut Reno dengan wajah tertunduk, karyawan biasa seperti dia jarang bisa duduk satu meja dengan pimpinan, paling juga ketemu saat rapat dan itu pun di lakukan sebulan sekali.
"Aku dengar istrimu guru honorer sebuah sekolah di lingkungan tidak mampu, apa itu benar?" tanya Daffa tatapannya masih tertuju pada wajah lelah Reno.
"Benar pak," Sahut Reno, dia mengangkat wajahnya menatap wajah tampan pimpinannya, dari mana bosnya ini bisa tau hidupnya sedetail ini.
"Aku menyuruh orang ku menyelidiki kamu Reno, beberapa hari yang lalu aku menerima laporan, ada Debt Collector yang ngamuk di lobby mencarimu apa benar?" jelas Daffa seakan tau apa yang ada di benak Reno.
Reno tertunduk dalam habislah sudah, tamatlah riwayatnya kali ini, Debt Collector itu benar-benar membuktikan semua ancamannya dan kini dia dalam masalah.
"Benar pak, dan saya minta maaf atas kegaduhan itu," ujar Reno dengan wajah masih tertunduk, dia tak punya nyali menatap Daffa setelah apa yang dia lakukan kepada perusahaan.
"Untuk apa kau meminjam uang pada mereka?"
Reno menatap wajah Daffa sejenak lalu kembali tertunduk nenekuri lantai.
"Untuk mengobati istri saya pak," sahut Reno pelan.
"Berapa banyak uang yang sudah kau pinjam dari mereka?"
"Awalnya lima puluh juta pak, tapi saat aku telat membayar bunganya membengkak menjadi tujuh puluh juta, lain dengan bunganya pak," sahut Reno dengan suara yang kian lirih.
Rahang Daffa mengeras sekerika, geram rasanya mendengar penuturan Reno, lintah darat tak punya hati, bukannya menjadi solusi malah membuat maslah baru. Mereka membuat orang susah jadi semakin susah.
"Perusahaan akan memberimu pinjaman untuk melunasi semua hutang mu pada rentenir itu, masalah bayaran kau bisa mencicil tiap bulannya dari gajimu, diskusikan pada istrimu berapa dia mampu menyisihkan uang dari sisa belanjanya tiap bulan untuk menyicil utang mu pada prusahaan," ujar Daffa pada Reno.
Seketika Reno mengangkat wajahnya menatap Daffa, bola mata itu tampak bergetar dengan linangan air mata, tidak salahkah telinganya mendengar berita ini, dia kira masa kerjanya akan berakhir karena insiden beberapa hari lalu, tapi ini..
"Saya tidak salah dengar pak?," tanya Reno dengan suara bergetar, dia masih belum yakin yang dia dengar itu nyata bukan hayalan.
"Tentu saja tidak , nanti saat makan siang, ikutlah dengan orangku, temui rentenir itu lunasi hutangmu," sahut Daffa dengan senyum.
"Ya allah terimakasih pak saya gak tau gimana balas kebaikan bapak," ujar Reno dengan perasaan mengharu biru.
"Aku meminjamimu Reno, kau tetap akan membayar, jadi jangan sesenang itu."
"Apa pun itu terimakasih banyak pak."
"Iya sama-sama, sudah kembalilah ke meja kerjamu, kerja yang bagus agar kau bisa melunasi hutang mu pada perusahaan," ujar Daffa dengan senyum.
"Baik pak, terimakasih banyak pak, saya permisi dulu," ujarnya seraya sedikit membungkukan lalu beranjak pergi meninggalkan ruang kerja Daffa.
Reno sudah tak mampu menahan air matanya dia keluar ruang kerja Daffa dengan menangis, saat dia sudah duduk di meja kerjanya beberapa rekan kerjanya datang memberikan usapan lembut di bahunya, rasa iba terselip di hati mereka.
"Bos mecat lo ren?" tanya salah satu dari mereka.
Reno menggeleng, dengan air mata yang masih menggenang dia menatap wajah temannya yan tampak khawatir terhadapnya.
"Bos membayar semua hutangku dan aku bisa mencicil sesuka hatiku dari uang gaji ku," ujar Reno dengan menangis.
Helaan nafas lega terdengar dari bibir mereka, mereka sering mendengar betapa dermawannya tuan Erico dan istrinya, tak disangka darah dermawan itu mengalir juga pada Daffa.
"Sukurlah Ren, kamu bisa lepas dari jeratan rentenir."
"Iya itu seperti mentelamatkan aku dari kematian, kalian tau terjerat hutang berbunga membuat kita seperti mau mati, bernafas saja aku susah," ujar Reno mengenang waktu yang dia jalani beberapa bulan ini, dadanya terasa terhimpin batu besar terasa sesak..
Happy reading
Hay, ketemu lagi sama Erico junior ya, maaf kalau nanti ceritanya tak sesuai ekspektasi, tapi tetep emang ngarep dukungannya, yang dah mampir cus kasih dulungan🙏🙏🙏🥰
Dandy berdecak kesal, sudah setengah jam dia menunggu Daffa di tempat mereka membuat janji bertemu, dia menunggu tak sendiri, ada Anita bersamanya salah satu mahasiswi pakultas hukum dari kampus yang sama dengan Dandy.
Saat keduanya sudah hampir putus Asa Daffa datang dengan wajah tanpa dosa.
"Lama amat sih, kami nunggu sampai keringetan tau gak, dari cair sampai beku tuh keringet nunggu lo Daf," sentak Dandy kesal.
"Kebiasaan, mau lagi emosi, mau senang, kalau ketemu orang tuh ucapin salam," ujar Daffa tak menggubris amarah Dandy.
Kini dia beralih pada gadis yang sedari tadi hanya diam memperhatikan gerak geriknya.
"Kamu pasti Anita ya?" tanya Daffa ramah.
"Iya kak, kita satu kampus beda jurusan," jawab Anita malu-malu.
"Oh ya, kok aku gak pernah liat kamu di kampus?"
"Sering kok, cuma kakak mungkin gak begitu perhatian sama orang sekitar," sahut Anita, penjelasan Anita ada benarnya.
"Lu jalannya nunduk, mana tau orang," timpal Dandy. yang langsung dapat tinju dari Daffa di lengannya.
"Adauw lu kuat amat sih Daf," seru Dandy meringis kesakitan seraya mengusap bekas tinju Daffa.
"Gak ah, kamunya aja yang lemah, oh ya pertemuan kita ini mau bahas apa ya?" tanya Daffa menatap kedua orang di depannya.Sementara keduanya terlihat saling melempar pandangan.
"Ini kak, kita mau adain kegiatan sosial di kampus, sebenernya sudah berjalan sih kak, tapi kita terkendala di dana, jadi kalau kakak bersedia kita minta kakak jadi donatur kegiatan kita, itu sebabnya saya minta bantuan kaka Dandy buat ketemu kakak," jelas Anita.
"Bisa tapi aku liat dulu data-data agenda kegiatan kalaian, kalau memang jelas aku mau membantu kalian sebagai donatur."
"Makasih kak, nanti aku siapain datanya aku kasih kesiapa nanti datanya kak?" tanya Anita.
"Ke Dandy aja, aku jarang ngampus soalnya," ujar Daffa seraya menyesap minuman yang ada di depannya.
"Punyaku Daf, main sosor aja nih anak," sentak Dandy seraya merebut jus sisa Daffa.
"Berkongsi dengan orang sholeh itu berkah," tutur Daffa dengan senyum
"Idih sombong, udah sakin soleh?" ledek Dandy dengan senyum miring.
"Sombongnya dimana?"
"Tuh merasa udah jadi orang sholeh kan sombong namanya," tukas Dandy seraya melotot ke arah Daffa.
"Haaa iya udah ah jangan berantem malu tuh sama Anita," kekeh Daffa melihat Dandy kesal dengan ulahnya.
"Ya udah aku cabut dulu ya Nit, aku ada janji lainya sampai jumpa lain waktu ya," pamit Daffa pada Anita.
"Iya kak, hati -hati dijalan," sahut Anita dengan senyum di bibirnya.
"Daf, gak niat mau traktir kami nih?" tanya Randy.
"Iya, iya bawa bonya berikan pada sekertarisku oke"
"Gitu dong, makasih Daf."
Anita menatap punggung kekar Daffa, lelaki yang mengisi khayalannya beberapa bulan ini, gadis berambut sebahu itu sudah lama menyukai Daffa tapi hanya cinta dalam hati tak ada keberanian untuk memberi Daffa sinyal, tapi akhir-akhir ini Rasa itu semakin besar dan tak mampu dia bendung, dia memutuskan mendekati Daffa lebih dulu apa pun caranya.
Ayahnya dan Daffa adalah rekan bisnis dari ayahnyalah dia banyak mendengar betapa karismatiknya Daffa sebagai pemimpin perusahaan, apa kabar tentang kesendirian Daffa membuat angin segar bagi Anita untuk mendekati Daffa.
Di tambah tadi dia bisa melihat bagai mana hangatnya dia memperlakukan sahabatnya, sikap yang berbeda saat dia berhadapan dengan rekan bisnisnya.
"Nit, kesambet Daffa lo bengong aja," ujar Dandy, dia tengah menyantap hidangan yang baru saja dia pesan, mumpung ada yang traktir.
"Daffa mu itu memang istimewa," ucapnya menerawang.
"Jangan coba-coba, nanti kamu sakit hati, Daffa itu hatinya sekeras baja kalau masalah wanita, gak mudah buat dia jatuh hati, dulu pernah sih, tapi belum terjalin udah pisah," ujar Randy sambil mengunyah daging kepitih saus padang.
"Menarik," gumam Anita.
"Apanya yang menarik,?"
"Daffa mu tentunya, terimakasihya bantuan mu."
"Ehh, jangan salah sangka lo nit, aku bantu kamu, karena aku suka kegiatan sosial yang kalian dirikan, sayang kalau berhenti karena dana, jadi bukan karena aku setuju kamu jadian sama Daffa," jelas Dandy.
"its ok, apa pun alasanmu terimakasi, aku cabut dulu," sahut Anita dengan senyum cantiknya.
"Oke, hati-hati."
Anita meninggakan Dandy yang tengah menyantap kepiting saus padangnya.
Sementara Daffa tengah mengadakan Rapat dengan benerapa staf di kantornya.
mengambil pengalaman yang menimpa Reno, membuat Daffa berpikir membuka pinjaman bagi karyawan ditingkat bawah dengan gaji rendah, dia tak ingin kejadian serupa terulang lagi oleh kariawan lain.
Melihat karyawannya terbelit hutang puluhan juta dengan rentenir sangat melukai hatinya, apa lagi dia berhutang demi nyawa istrinya.
"Selamat Sore, Maaf aku mengadakan rapat dadakan, karena ide yang akan kita rapatkan juga dadakan"
"Gak apa pak," jawab pak pak mawan pmpinan Hrd di perusahaannya."
"Saya berniat membuat pinjaman perusahaan, hanya bagi kariawan dengan gaji menengah kebawah, di bayar dengan di cicil setiap menerima gaji, pinjaman itu tanpa bunga tentunya."
peserta rapat terlihat manggut-manggut, tentu saja ide pimpinan mereka, sangat mereka setujui.
Lalu Daffa mengutarakan niatnya membuat pinjaman untuk para karyawan biasa dengan gaji rendah, tentu saja pinjaman itu tanpa bunga.
Daffa memilih orang-orang yang mengelola pinjaman, salah satunya pak mawan, dia tau pak mawan orang yang jujur dan sangat di sukai para pekerja terutama di tingkat bawah.
Setelah satu jam Rapat, akhirnya selesai juga, Daffa dan yang lainya keluar dari ruang rapat. keluar dari ruang rapat Daffa langsung meaktifkan kembali ponselnya.
Ting
Ting
Dafa memeriksa pesan yang masuk, dari Kanza.
"Kak temenku ngajak nonton, gimana?"
"Kaaaakk!!"
Daffa tersenyum, dasar anak nakal, baru berapa hari di rumah udah mau kelayapan seenaknya.
"Assalamualaikum, ada apa?" ujar Daffa menyapa Kanza melalui telpon.
"Tadi kan udah aku bilang lewat pesan," rajuk kanza di ujung telpon.
"Teman yang mana?" tanya Daffa dengan suara beratnya.
"Temen di asrama kak," sahut Kanza pelan, sedekat apa pun dia dengan Daffa kalau sudah mendengar intonasi seperti tadi tetap saja membuatnya mengkerut takut.
"Bilang sama mereka kakak yang antar," ujar Daffa Akhirnya.
"Bener, kak?"
"Hemm"
Daffa duduk di balik kemudi, sedang Kanza duduk di sampingnya, sementara ketiga temannya duduk di belakang, salah satu teman Kanza pernah bertemu Daffa dia gadis berkerudung biru.
Ketiga teman Kanza sedang terbius oleh pesona Daffa, mereka menikmati lukisan tuhan yang begitu sempurna tanpa kata.
Dengan kaos oblong dan celana jeans Daffa terlihat lebih muda dari usianya. beda saat dia memakai stelan jas.
Pesona Daffa terus berlanjut, berhubung ini malam minggu jadi bisa di tebak bioskop ramai dengan remaja seusia Kanza.
Daffa harus tebal kuping mendengar kalimat menggoda dari anak baru gede yang memang lagu rese-resenya, ini semua demi kanza.
"Duh babang tampan, gak risih jadi pusat perhatian?" ledek Kanza.
Daffa langsung membualtkan matanya, ini semua gara-gara jiwa melalak Kanzalah dia jadi kena imbasnya.
"Demi kamu tau gak," dengus Daffa kesal.
"Makasih," bisiknya manja.
Dasar anak nakal, dia hanya bisa mengajak ubun-ubun Kanza yang terbungkus hijab panjang.
.
.Happy reading.
jempol mana jempol,🤣 tekan vote ya 🙏🥰
Kanza mematut dirinya di cermin, gaun merah muda dengan hijab berwarna senada membalut tubuh indahnya. membuat dirinya begitu anggun, dan mempesona, dia jarang sekali memakai warna terang saat berbusana, tapi kali ini Kanza mencoba memakainya, baju ini hadiah dari temannya di asrama sayang kalau tidak di pakai.
Dengan ransel hitam di punggungnya Kanza menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Di meja makan Daffa dan yang lain sudah menunggunya, ini hari pertama Kanza masuk kuliah, dia kulaih di kampus yang sama dengan Daffa, dan tentunya Kanza kekampus dengan di antar Daffa.
"Maaf telat," ujar Kanza saat sudah di meja makan.
Rico menatap Kanza sesaat, gadis mungilnya sudah dewasa rupanya, baru kemarin rasanya dia merengek minta di belikan ice cream, waktu berlalu begitu cepat.
"Ada apa bi, putri abi cantik banget ya," canda Kanza pada abi Rico yang hanya tersenyum tipis.
Kanza mengambil tempat di samping Kila, umi super duper luar biasa istimewa dalam segala hal.
"Bagaimana rasanya melepas seragam putih abu-abu,?" tanya Kila seraya menatap purtinya yang tengah menyendok nasi ke dalam piringnya.
"Berat mi," sahut Kanza.
"Oh, ya."
"Gak berat kalau kaki kamu bisa diem di rumah," timpal Daffa.
"Bawaan orok kak, apalah daya, itulah kenapa kakak di lahirkan duluan, biar bisa jagain adeknya yang luar biasa ini."
Daffa beredecak kesal, adeknya satu ini memang lebih aktif darinya sedari orok, beda dengan dia yang lebih kalem seperti ibunya.
"Kanza,apa perlu abi carikan supir pribadi buat Kanza, biar gak ngerepotin Kakak kamu,"
"Bagus juga tuh bi," sahut Kanza.
"Gak perlu bi, dia gak bisa di kasih supir pribadi" potong Daffa manik hitamnya menatap Kanza penuh.
Kanza mengerucut kan bibir mungilnya, sebagai bentuk protes, dia sudah menduga Daffa tak kan memberi izin.
"Bener kata Abi Daf, apa gak repot nganterin kanza ke kampus," Kila tau Daffa sangat sibuk di kantornya.
"Gak apa mi, masih bisa aku handle."
"Ya udah, kalau memang bisa,"
Kanza kecantikannya luar biasa, wajahnya yang dominan ke Rico membuat wajahnya agak ke arab-araban.
Tau sendirilah kan, jagain anak perempuan susahnya seperti apa, Kanza bukan gadis liar yang susah di atur, hanya saja dia bukan tipe gadis yang suka diem di rumah, dia suka kegiatan di luar, tentu saja kegiatan yang berbau posotif.
Pagi ini di kampus Daffa para wanita mendadak patah hati, Daffa kekampus dengan menggandeng gadis cantik di sampingnya.
"Kak, banyak peminat kakak ya di kampus?" bisik Kanza yang menyadari tatapan tak bersahabat dari beberapa wanita teman sekampus Daffa.
"Gak ada yang nyangkut di hati apa kak, padahal cakep-cakep lho," ujar Kanza lagi, mata bulannya menatap wajah masam Daffa.
"Ini hati bukan Jemuran!" ucap Daffa melebarkan pupilnya, Kanza terkekeh Erico udah kayak banci kalau ngomongi lawan jenis, berasa alergi.
"Udah masuk sana, Kakak langsung kekantor ya," ujar Daffa saat langkah mereka sudah sampai di depan kelas.
"Iya, hati-hati kak," Kanza meraih tangan Daffa lalu menciumnya.
Pemandangan yang membuat hati seseorang panas tebakar api cemburu.
Daffa beranjak pergi dari ruang kelas Kanza. dia bukan tak menyadari tatapan cemburu beberapa gadis yang diam-diam menyukainya, tapi mau bagai mana lagi tak satupun di antara mereka yang mampu menggetarkan hatinya, bukan tak cantik, bukan juga tak berbudi, tapi memang hatinya yang masih belum ada ketertarikan sama sekali.
Kanza menatap ruang kelasnya, mencari cari tempat yang cocok jadi tempat duduknya, mata indahnya tertuju pada gadis berkrudung merah muda, hampir sewarna dengan gaunnya.
"Hay," sapanya pada Kanza dengan ramah.
"Boleh gabung?" tanya Kanza mengarahkan jempolnya ke arah kursi di sebelah gadis itu.
"Boleh, kebetulan aku belum dapat kawan, Aku Nur Anisa,."
"Kanza," balas Kanza membalas uluran tangan Nur Anisa
"Aku harus panggil apa, Nur atau Nisa," tanya Kanza seraya memasukkan tasnya kedalam laci meja.
"Orang biasa memanggilku Nur."
"Baiklah aku juga panggil Nur ya," tutur Kanza.
Kanza tak jauh beda dengan Daffa kehadirannya mengundang perhatian lawan jenisnya, pesona yang luar biasa bukan hanya cantik tapi sopan santun juga menambah pesona mereka.
"Tadi itu pacarmu ya?" tanya Nur yang sedari tadi penasaran.
"Kelihatan seperti itu ya?" gelak Kanza merasa lucu.
"Iya, semua orang pasti berpikir sama," ucap Nur lagi.
"Emang boleh ya, wanita muslim berpacaran?" tanya Kanza dengan senyum.
"Ada sebagian yang membolehkan dan ada yang melarang," tutur Nur, menatap wajah ayu di sampingnya.
"Kalau begitu aku penganut yang melarang," jawab Kanza masih dengan senyum.
"Lalu lelaki tadi?"
"Dia Daffa kakak kandungku."
"Oo, senang ya punya kakak kayak dia sepertinya dia sangat menyayangimu za."
"Begitulah, saking sayangnya aku gak bisa bergerak bebas, walau aku gak perna macam-macam," sungutnya.
"Resiko punya kakak cowok." sahut Nur seraya tertawa pelan.
Hari pertama Kanza masuk kampus di sambut tatapan sinis dari beberapa gadis, bahkan tatapan sinis itu mengikutinya hingga kekantin, hanya karena Daffa mengandeng tanganya tadi pagi, Aneh...
Pulang kuliah Kanza juga di jemput Daffa, tapi Kanza tak langsung di antar pulang, Daffa membawanya kekantornya.
Daffa memang berniat memperkenalkan menejemen prusahaan pada Kanza.
"Gak perlu lah kak, kan ada kakak, aku maunya terima bersih aja," ucap Kanza, menolak belajar tentang perusahaan.
"Kanza, anak abi cuma kita berdua, abi sudah tua, umi sama sekali gak paham masalah perusahaan, nyawa gak ada yang tau kapan di jemput, kalau sesuatu terjadi pada kami, setidaknya kamu paham masalah perusahaan, ini bukan cuma buat kamu za, tapi ribuan orang yang mengantungkan hidupnya dari perusahaan kita," jelas Daffa.
Kanza menyerah, apa yang Daffa ucapkan benar, mau tidak mau Kanza harus mau belajar, minimal untuk cadanganlah.
Daffa meminta pegawainya yang bernama hanif memberikan kila sedikit pengetahuan dasar.
"Nif ini Kanza adek ku,tolong di beri arahan ya, seperti yang aku bicarakan padamu kemarin, kamu harus sedikit sabar ya, dia lumayan bawel," ujar Daffa pada Hanif pegawainya.
"Baik pak, mari nona iku keruangan saya."
Kanza mengikuti Langkah Hanif keruangannya, ruang terbuka yang hanya bersekat kaca antara pegawai satu, ke pegawai lainnya.
"Nona ini data yang bisa di pelajari, kalau ada istilah, istilah yang gak nona pahami silahkan tanya ke saya," ujar Hanif seraya memberikan beberapa lembar kertas pada Kanza.
"Terimakasih," ucap Rara pelan.
Sekilas Hanif melirik Kanza yang tampak fokus pada bacaannya, wajah ayu itu terlihat kalem tidak terlihat bawel seperti Daffa sebutkan tadi.
Bukan hanya Hanif yang melirik diam-diam, Kanza juga melakukan hal yang sama, ini pertama kalinya dia dekat dengan pria sedekat ini selain daffa.
Dasar Daffa, apa dia tidak tau Kanza kelabakan saat ini, berdekatan dengan Hanif membuat Kanza mengucap istighfar ribuan kali mengendalikan debar halus yang mendera hatinya.
"Kanza kau tidak apa-apa, kau berkeringat apa kau sakit?" hanif tampak khawatir, apa tugas yang dia beri terlalu berat, gawat kalau begini.
"Tidak kak, aku cuma sedikit gerogi di dekat kakak," sahut Kanza terus terang, dengan wajah tertunduk.
"Begitu ya, maaf aku kurang paham perasaan wanita nona," sahut Hanif.
"Tidak apa," sahut Kanza malau-malu.
Kanza tak habis pikir berdekatan dengan lawan jenis bisa menimbulkan rasa sedahsat ini, pantas saja banyak pasangan tak mampu menahan diri, melakukan yang tak semestinya, itulah sebabnya dilarang berduaan dengan yang bukan muhrim, sudah lama Kanza mendengar kalimat itu tapi baru kali ini dia tau begini lah rasanya kenapa berduaan itu dilarang.
Happy reading.
Terimakasih sudah mampir, jangan lupa dukungannya💞🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!