Muhammad Faiq Islami.
Nama indah penuh makna yang diberikan oleh Erik untuk anak sulung kebanggaannya itu. Lahir dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan penuh cinta, membuat Faiq pun memiliki rasa peduli yang besar pada sekitarnya termasuk pada teman ghaibnya.
Sejak masa kanak-kanak Faiq sudah harus bersentuhan dengan dunia ghaib. Dan itu membuat Farah dan Erik yang adalah orangtua Faiq, sangat cemas. Mereka khawatir hal itu bisa mengganggu perkembangan fisik dan mental anak lelaki mereka itu.
Seringkali Farah yang berprofesi sebagai dokter harus memberi vitamin extra untuk Faiq setelah Faiq membantu 'temannya' yang berasal dari dunia ghaib itu menyelesaikan masalahnya.
Kecemasan Farah bukan tanpa alasan. Karena setelah berkonsultasi dengan seorang ahli, Farah mengetahui jika bersinggungan dengan dunia ghaib itu membutuhkan energi yang besar. Dan setelahnya tubuh akan terasa letih luar biasa. Farah tak ingin kondisi tubuh Faiq menurun karena hal itu, seperti yang terjadi hari ini.
Farah terlihat mondar mandir di ruang tamu rumahnya. Sesekali matanya menatap keluar seolah menunggu kedatangan seseorang. Berkali-kali juga Farah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Sementara Efliya, adik Faiq, yang masih berusia lima tahun itu nampak sedang asyik bermain di ruang tengah. Melihat sang mama yang terlihat bingung, Efliya pun menyapanya.
" Mama ngapain sih. Kenapa bolak balik kaya gitu. Aku pusing tau...," gerutu Efliya dengan mimik lucu.
Farah tersenyum mendengar ucapan Efliya. Dengan langkah perlahan ia menghampiri Efliya lalu mencium kepalanya lembut.
" Mama lagi nungguin Abang. Kan ini udah malam, tapi kok belum pulang juga...," kata Farah sambil memeluk Efliya.
" Abang ketemu hantu lagi ya Ma...?" tanya Efliya polos.
" Kok Efliya ngomong kaya gitu...?" tanya Farah balik.
" Iya. Abisnya Abang kan jarang pulang malam. Abang cuma pulang malam kalo abis ketemu hantu...," sahut Efliya sambil mengucek matanya.
" Efliya juga udah ngantuk ya. Kita bobo yuk...," ajak Farah sambil menggendong Efliya ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan kakinya juga menyikat gigi Efliya.
Setelahnya Farah membaringkan Efliya di tempat tidur. Tapi Efliya menolak dan memilih tidur di sofa.
" Kan Mama masih nunggu Abang pulang. Jadi Aku nemenin Mama aja ya di sofa...," pinta Efliya sambil menguap.
Farah berpikir sejenak lalu mengangguk. Ia merasa lebih tenang karena tak harus meninggalkan Efliya di kamar seorang diri sedangkan pikirannya sedang mengembara menunggu kedatangan Faiq dan Erik.
Farah menggendong Efliya lalu meletakkannya di sofa di depan televisi. Tak lama kemudian Efliya pun terlelap. Farah kembali menatap keluar rumah dengan perasaan cemas sambil terus berdzikir dan berdoa dalam hati.
Setelah lama menunggu akhirnya Farah bernafas lega saat mendengar suara mobil suaminya memasuki halaman rumah. Dengan langkah cepat Farah menuju pintu untuk menyambut kedatangan anak dan suaminya.
" Assalamualaikum Ma...," sapa Erik.
" Wa alaikumsalam Pa. Gimana Faiq, apa dia baik-baik aja...?" tanya Farah cemas.
" Alhamdulillah Ma. Seperti biasa, Faiq kecapean terus tidur deh...," sahut Erik sambil tersenyum.
Farah meraih tubuh Faiq dari gendongan Erik lalu membawanya ke kamar. Di sana Farah melepaskan baju Faiq dan menggantinya dengan baju lain yang diambilnya dari lemari setelah mengelap seluruh tubuh Faiq dengan air hangat. Sedangkan Erik langsung membersihkan diri dan mengganti pakaian. Setelahnya ia menghampiri putri bungsunya yang tertidur di sofa.
" Kasian Anak Papa ketiduran di sini...," kata Erik sambil mengecup pipi Efliya dengan sayang.
Erik lalu menggendong Efliya dan memindahkannya ke kamar. Erik juga sempat melihat Faiq yang kini sudah berganti pakaian dan lelap di pelukan sang mama.
" Gimana hari ini Pa. Apa Faiq berhasil bantuin hantu itu...?" tanya Farah.
" Alhamdulillah Ma. Faiq Kita emang hebat. Dia cuma nangis sebentar tadi...," sahut Erik sambil memeluk sang istri.
" Nangis kenapa...?" tanya Farah.
Erik pun menceritakan semua pengalamannya bersama Faiq hari ini. Farah mendengarkan dengan serius cerita suaminya tanpa ada yang terlewat.
Farah ingat awal dimana Faiq terlibat dengan makhluk ghaib hari ini.
Saat itu keluarga mereka baru saja pulang dari menghadiri undangan rekan bisnis Erik. Dalam perjalanan terlihat Faiq yang berbeda dibandingkan saat mereka berangkat tadi.
" Kamu kenapa Nak...?" tanya Farah.
" Tau tuh Ma. Abang diem aja daritadi. Padahal Aku tawarin es krim tapi Abang ga mau...," sahut Efliya yang duduk di samping Faiq sambil makan ice cream kesukaannya.
" Aku mau ketemu Mamaku...," kata Faiq tiba-tiba dengan suara datar dan tatapan kosong.
Mendengar ucapan Faiq membuat Erik mengerem mobilnya hingga mengejutkan Farah juga Efliya. Erik menoleh kearah Faiq lalu keluar dari mobil dan membawa Faiq menjauh dari Farah dan Efliya.
" Kamu siapa...?" tanya Erik sambil menatap lekat kearah Faiq.
" Aku Caca. Mamaku pergi ninggalin Aku. Aku kedinginan di sana...," sahut makhluk dalam tubuh Faiq.
" Mmm, sekarang Caca keluar dulu ya. Insya Allah Faiq bantuin Caca cari Mama, gimana...?" tanya Erik hati-hati.
" Tapi Aku mau ikut Faiq. Dia baik, tubuhnya juga hangat. Aku senang di sini...," tolak makhluk itu.
" Kalo Kamu di sini Faiq ga bisa bantu Kamu. Dan kalo Kamu di sini artinya Kamu bukan temannya Faiq karena Kamu udah nyakitin Faiq...," kata Erik tegas.
" Oh gitu ya. Ya udah Aku keluar. Tolong bilangin Faiq ya Om, Aku mau jadi temannya...," kata makhluk itu sebelum keluar dari tubuh Faiq.
Sesaat kemudian tubuh Faiq terhuyung ke depan. Beruntung Erik sigap menangkap tubuh anaknya yang baru saja ditinggalkan oleh makhluk halus itu.
" Alhamdulillah...," kata Erik sambil memeluk tubuh Faiq yang terkulai lemah.
Lalu Faiq membuka matanya dan menatap Erik.
" Papa, ada Anak kecil minta tolong sama Aku...," kata Faiq.
" Iya Nak. Nanti Kita minta bantuan sama Kyai Syakir biar Faiq ga sendiri...," sahut Erik.
Lalu Faiq mengangguk dan memejamkan matanya. Erik pun menggendong Faiq dan membawanya kembali ke dalam mobil. Karena khawatir pada anaknya, Erik memutuskan langsung membawa Faiq ke rumah Kyai Syakir yang merupakan guru spiritualnya.
Farah mendukung apa yang dilakukan suaminya tanpa banyak bicara. Sedangkan Efliya tak protes saat sang kakak dibaringkan di kursi dan sang mama memintanya bertukar tempat. Dari kursi depan Efliya nampak menatap sang mama yang tengah memeluk Faiq dengan cemas.
" Abang sakit lagi ya Ma...?" tanya Efliya.
" Iya Nak. Gapapa ya Efliya di situ dulu...," sahut Farah sambil tersenyum dan diangguki oleh Efliya.
Mobil terus melaju membelah jalan raya menuju ke rumah Kyai Syakir. Saat tiba di rumah Kyai Syakir, Erik pun bergegas turun dan membantu Farah menggendong Faiq.
Kyai Syakir yang mengerti maksud kedatangan Erik dan keluarganya pun dengan sigap membantu. Setelah membaringkan Faiq di atas karpet, Kyai Syakir menyentuh kepala Faiq dengan lembut.
" Apa yang Kamu liat Nak...?" tanya Kyai Syakir.
" Caca...," sahut Faiq.
" Siapa Caca...?" tanya Kyai Syakir.
" Anak perempuan pake baju pink lusuh, rambutnya keriting, kepalanya sebelah kirinya pecah dan berdarah, matanya juga hilang satu. Kasian Kyai...," sahut Faiq dengan mata berkaca-kaca.
Semua yang mendengar jawaban Faiq pun terhenyak kaget. Farah nampak memeluk Efliya sambil bergidik ngeri. Kyai Syakir berusaha tenang dan melanjutkan perbincangan dengan Faiq.
" Kenapa dia ngikutin Kamu...?" tanya Kyai Syakir.
" Caca mau minta tolong cariin Mamanya Kyai. Caca dipisahin dari Mamanya yang dibawa pergi sama orang jahat setelah dia dibuang di pinggir jalan...," sahut Faiq sedih.
" Caca masih ingat ga kejadiannya kapan...?" tanya Kyai Syakir lagi.
Faiq terdiam sejenak seperti sedang berkomunikasi dengan makhluk halus bernama Caca itu.
" Dia bilang, waktu itu abis dari mall yang baru dibuka di dekat tempat itu. Pas pulang, ketemu sama Om besar yang narik Mamanya, terus Caca dibuang di situ...," sahut Faiq dengan bahasa anak-anaknya.
Erik dan Kyai Syakir nampak saling menatap. Lalu Kyai Syakir membangunkan Faiq dan membantunya duduk bersandar.
" Kayanya Kita butuh bantuan polisi, Rik. Kalo ga, Faiq bakal diikuti terus sama Caca. Karena keliatannya Caca nyaman berada dekat Faiq...," kata Kyai Syakir sambil menatap lekat kerah Faiq.
Erik dan Farah pun terdiam. Lagi-lagi mereka harus merelakan Faiq kembali terlibat dengan makhluk ghaib. Bagaimana cara Faiq membantu Caca menemukan mamanya ?.
bersambung
Setelah menemui Kyai Syakir dan mendapatkan petunjuk bagaimana cara membantu Caca, Erik pun membawa keluarganya pulang ke rumah.
Saat tiba di rumah Farah langsung meminta kedua anaknya membersihkan diri dan mengganti pakaian. Faiq dan Efliya menuruti permintaan sang mama karena tak ingin mendengar 'nyanyian' merdu sang mama.
" Apa Kamu serius mau nyuruh Faiq bantuin hantu itu Pa...?" tanya Farah tak suka.
" Iya Ma. Daripada si Caca itu terus gangguin Faiq, ya lebih baik dibantu aja kan...," sahut Erik santai.
" Apa ga ada jalan lain Pa. Kenapa harus Faiq. Aku khawatir kalo Faiq terus menerus berinteraksi dengan makhluk halus, perkembangan tubuh dan jiwanya jadi terhambat. Itu ga baik buat Faiq, Dia kan masih Anak-anak...," kata Farah gusar.
" Sayang. Aku tau itu. Tapi ini kelebihan yang dikasih Allah sama Anak Kita. Dan selagi Faiq bisa menghadapi semuanya, kenapa harus dilarang. Toh dia ga sendiri. Aku dan Kyai Syakir juga bakal selalu bantuin dia. Kamu tenang aja ya...," kata Erik sambil memeluk istrinya.
" Aku khawatir Faiq kehilangan masa kanak-kanaknya Pa. Aku ga mau Faiq dewasa sebelum waktunya. Dia harus hidup normal layaknya Anak-anak seusiamya...," sahut Farah sambil membenamkan wajahnya di pelukan suaminya.
Air mata pun jatuh di wajah Farah. Erik yang menyadari istrinya menangis pun mempererat pelukannya.
" Iya. Aku janji bakal jagain Faiq dan membuat dia ga kehilangan masa kanak-kanaknya. Kita udah bahas ini berkali-kali kan. Kalo Kamu seperti ini tiap kali Faiq menghadapi hal kaya gini, ini malah justru membebani dia. Kita harus suport dia jangan perlihatkan sisi kelemahan Kita. Yakinkan dia bahwa dia punya orangtua yang selalu ada dan mensuport semua langkahnya menuju kebaikan...," kata Erik bijak.
Farah terdiam. Ia mencoba mencerna kalimat yang diucapkan Erik. Sesaat kemudian kepalanya mengangguk dan bibirnya pun tersenyum. Kemudian Farah mengurai pelukannya. Erik pun tersenyum sambil menghapus sisa air mata di wajah Farah dengan jarinya. Kemudian Erik memajukan wajahnya dan mengecup bibir Farah lalu melu**tnya lembut.
\=\=\=\=\=
Erik bergerak cepat. Walau Kyai Syakir menyarankan untuk melibatkan polisi, tapi Erik tak mau gegabah. Ia memilih menyelesaikan semuanya dan meminta bantuan Fatur, adik Farah.
" Ok Bang, Gue ke sana nanti...," sahut Fatur saat Erik menghubunginya via telephon.
Erik kemudian melanjutkan pekerjaannya yang tertunda setelah mengakhiri pembicaraannya dengan Fatur.
Sementara itu Faiq harus sedikit kerepotan karena makhluk halus bernama Caca itu terus mengikutinya kemana pun dia pergi. Dan protes Faiq pun dilayangkan saat ia pergi ke sekolah diantar oleh Bonbon, sahabat papanya yang bekerja untuk keluarga mereka.
" Jangan gangguin teman Aku ya. Kalo Kamu ganggu kaya kemaren, Aku marah dan ga mau bantuin nyari Mama Kamu lho...," ancam Faiq sambil menatap ke kursi belakang.
Bonbon yang sedang mengemudi pun menoleh kearah Faiq.
" Emang dia ngapain kemaren...?" tanya Bonbon yang mengetahui keberadaan Caca dari Erik.
" Caca narik rambut Rere, ngumpetin pensilnya Gisel sama gangguin Raka sampe jatuh dan berdarah...," sahut Faiq dengan wajah ditekuk.
" Wah, nakal ya temanmu itu...," kata Bonbon sambil tersenyum.
Tiba-tiba Bonbon merasa pandangannya gelap. Refleks Bonbon langsung menginjak pedal rem karena khawatir menabrak kendaraan lain di depannya dan menimbulkan kecelakaan parah.
" Caca, lepasin Om Bonbon...!" bentak Faiq marah sambil mendorong tubuh Caca hingga mundur ke belakang.
" Apaan tuh tadi Iq...?" tanya Bonbon dengan jantung berdetak cepat.
" Caca marah waktu Om bilang nakal, makanya dia nutupin mata Om pake tangannya supaya Om ga bisa liat...," sahut Faiq.
" Ya Allah...," kata Bonbon dengan wajah seputih kertas sambil menggelengkan kepalanya.
Faiq menatap marah kearah Caca yang terlihat sedih. Hingga akhirnya Caca mengerti dan mengucapkan kata maaf. Lalu hantu cilik itu menghilang pergi entah kemana.
" Caca minta maaf katanya Om...," kata Faiq.
" Iya, Om juga minta maaf ya...," sahut Bonbon sambil kembali mengemudikan mobil dengan perlahan.
" Caca udah ga ada Om. Dia pergi, ngambek kali...," kata Faiq sambil menyandarkan tubuhnya.
" Kalo udah pergi artinya Kamu ga harus nolongin dia lagi dong...," kata Bonbon.
" Ya ga lah Om. Dia pergi karena Aku marahin tadi. Tapi dia tetap minta tolong sama Aku buat nemuin Mamanya kok...," sahut Faiq.
Bonbon terdiam karena tak mau berdebat dengan Faiq. Hingga Faiq tiba di depan sekolah dan masuk ke dalam sekolah, Caca masih setia mengikutinya walau hanya dari kejauhan.
\=\=\=\=\=
Fatur sedang duduk di depan Erik sambil membuka artikel tentang pembukaan mall yang dimaksud Caca di lap top miliknya.
" Ini Bang. Mall XX ini dibuka tanggal 22 Juli 1991. Itu artinya udah kira-kira dua puluh tahun yang lalu Caca wafat...," kata Fatur sambil menyeka keringat dingin yang membanjiri wajahnya.
" Ya Allah, gimana ini Tur. Kalo gitu bisa aja Mamanya Caca udah jadi Nenek-nenek atau bahkan meninggal...," kata Erik sambil memijit keningnya.
" Gue rasa belum meninggal Bang. Yah, udah tua sih pastinya. Kalo umur Caca saat itu lima tahun, itu artinya umur Mamanya sekitar dua puluh lima sampe tiga puluh tahun waktu itu. Berarti sekarang sekitar lima puluh tahunan lah...," kata Fatur mencoba menganalisa.
" Iya juga. Kalo Mamanya udah meninggal, Caca pasti ga bakal nyariin...," tebak Erik.
" Panggil Faiq aja Bang. Suruh dia nanya sama Caca soal alamat rumah atau apa kek gitu...," saran Fatur.
Tak lama kemudian Faiq pun masuk ke ruang kerja papanya setelah Erik memanggilnya.
" Coba tanya sama Caca alamat rumahnya Iq...," pinta Fatur.
" Katanya dekat mall itu Om. Di dalam gang yang ada tulisan XII...," sahut Faiq sambil menulis sesuatu di kertas.
Fatur dan Erik saling menatap dan tersenyum. Mereka merasa menemukan titik terang tentang keberadaan orangtua Caca.
Keesokan harinya, Erik, Fatur dan Faiq menjemput Kyai Syakir lalu menuju alamat yang diberikan Caca. Saat tiba di sana, mereka melihat suasana pemukiman yang padat. Dan mereka melihat angka XII di depan sebuah gang.
" Kayanya ini dekat sama rumahnya Bang...," kata Fatur.
" Iya Om. Caca bilang, dia sering main di lapangan yang di sana itu. Walau sekarang dikelilingi tembok tinggi, tapi Caca yakin ini dekat sama rumahnya...," sahut Faiq antusias.
Setelah bertanya ke beberapa warga, akhirnya tibalah rombongan Erik ke rumah orangtua Caca. Di sana hanya ada seorang wanita tua yang kelihatannya mengalami gangguan jiwa sedang duduk melamun di dekat jendela yang terbuka.
" Itu Mama Aku...," kata Caca sambil melayang lalu memeluk wanita tua itu.
Wanita itu tersentak saat tubuh tak kasat mata Caca memeluknya. Naluri keibuannya mengatakan jika sang anak hadir di sana. Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke sekelilingnya seolah mencari sesuatu.
" Caca...," panggilnya lirih.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara seorang laki-laki yang tak lain adalah paman Caca, adik dari mama Caca yang bernama Ali.
" Maaf, Kalian siapa ya. Kenapa mencari Kak Murti...?" tanya Ali sambil mendekati Murti.
" Ehm, maaf sebelumnya. Apa Kita bisa bicara sebentar Pak...?" tanya Erik santun.
" Oh boleh. Silakan duduk...," sahut Ali ramah.
Erik dan Kyai Syakir duduk di hadapan Ali dan Murti. Sedangkan Faiq dan Fatur nampak berdiri sambil memperhatikan seisi ruangan.
" Begini Pak. Kenalin dulu, Saya Erik. Ini guru Saya Kyai Syakir, di sana Anak Saya Faiq dan Adik Saya Fatur...," kata Erik memperkenalkan diri.
" Saya Ali. Wanita yang duduk dekat jendela itu Murti, Kakak Saya...," kata Ali.
" Maaf kalo Saya lancang. Apakah Bu Murti punya Anak perempuan bernama Caca...?" tanya Erik.
" Iya betul. Tapi Anaknya hilang puluhan tahun yang lalu dan itu lah yang bikin Kakak Saya linglung dan kehilangan ingatan sampe sekarang...," sahut Ali sedih.
" Apa Anda percaya dengan sesuatu yang ghaib...?" tanya Erik hati-hati.
" Maksudnya apa ya Pak...?" tanya Ali tak mengerti.
" Mmm, begini. Kami datang ke sini atas permintaan almarhumah Caca Anak Bu Murti...," sahut Erik sambil menatap Ali lekat.
" Caca, apa maksudnya ini...?" tanya Ali gusar.
" Anak Saya Faiq adalah indigo. Caca datang menemuinya dan minta Anak Saya mencari Mamanya. Karena katanya Mamanya diculik orang sedangkan dia dibuang di pinggir jalan...," kata Erik menjelaskan.
Ali terkejut mendengar cerita Erik. Dia menatap Faiq sambil berusaha meneliti kebenaran cerita Erik. Sesaat kemudian wajah Ali nampak merah menahan marah.
Akankah Caca berhasil berkomunikasi dengan sang mama ?.
Dan mengapa Ali terlihat marah ?.
Temui jawabannya besok ya...
bersambung
Ali menatap marah kearah tamunya. Ia tak suka mengetahui niat mereka yang ingin membangkitkan kenangan lama Murti yang susah payah berusaha ditutupi oleh pihak keluarga.
" Saya ga suka Kalian lancang mengorek luka lama Kakak Saya...!" kata Ali sambil menggebrak meja.
" Bukan gitu Pak. Dengar dulu...," kata Erik berusaha membujuk.
" Dengar apa. Kalian ini cuma penipu yang mau memanfaatkan penyakit Kakak Saya kan...?!" kata Ali tak suka.
" Astaghfirullah Aladziim. Jangan nuduh sembarangan Pak...," sahut Erik hampir terpancing.
" Dia orangnya Pa...!" kata Faiq sambil menunjuk foto gadis cilik berambut keriting yang terpajang manis di dinding ruangan.
" Apa maksudmu Nak...?" tanya Erik sambil menoleh kearah Faiq.
" Dia Caca yang datang dan minta Kita antar ke sini Pa. Sekarang Caca ada di samping Ibu itu. Kata Caca, dia punya boneka beruang coklat yang telinga kirinya putus karena dia gigit...," kata Faiq yang sedang berkomunikasi dengan Caca.
Ali terkejut mendengar ucapan Faiq. Karena boneka yang dimaksud sengaja disembunyikan olehnya. Ia tak mau sang kakak histeris setiap kali melihat boneka kesayangan Caca itu. Mata Ali nampak berkaca-kaca. Kini ia percaya bahwa tamunya datang atas permintaan Caca sang keponakan tersayang.
Ali melangkah mendekati lemari lalu mengeluarkan boneka beruang yang disimpan rapi dalam sebuah plastik kaca. Saat melihatnya Caca berlari menghampiri bermaksud merebut boneka itu dari tangan Ali. Ali tertegun saat boneka beruang itu jatuh ke lantai seolah baru saja ada yang merebutnya.
" Itu Caca yang jatohin barusan Pak. Caca mau ambil boneka itu dan diserahin ke Mamanya..," kata Faiq.
" Caca, Caca...," kata Murti lirih saat melihat boneka beruang itu.
Disaksikan semua orang yang ada di dalam ruangan itu, boneka beruang coklat milik Caca pun melayang mendekati Murti dan jatuh di atas pangkuannya. Padahal sejatinya dalam penglihatan Faiq, Caca lah yang membawa boneka itu dan meletakkannya di atas pangkuan sang mama.
Murti menangis terisak memeluk boneka kesayangan Caca sambil terus memanggil nama Caca dengan suara bergetar.
Ali menelan salivanya kasar. Dengan bukti yang ada di depannya Ali pun sadar bahwa tamunya memang membawa amanat dari Caca yang entah ada dimana sekarang.
Lalu Ali kembali duduk di hadapan Erik dengan mata menerawang. Ia menghisap rokoknya kuat-kuat lalu mulai bercerita.
" Kak Murti adalah janda. Suaminya meninggal di laut saat ia hamil Caca. Makanya Kak Murti sangat menyayangi Caca dan membesarkannya sendiri tanpa punya niat menikah lagi. Tapi wujud Kak Murti yang cantik membuat banyak laki-laki datang mencoba meminangnya. Termasuk preman kampung sini. Namanya bekennya Goreng, laki-laki kasar yang cinta mati sama Kak Murti. Tapi Kak Murti menolak apalagi Goreng itu kasar dan ga suka sama Anak-anak. Suatu hari Kak Murti ngajak Caca pergi ke mall XX yang baru aja dibuka. Entah gimana ceritanya, pas pulang Kak Murti udah linglung dengan pakaian yang robek di sana sini. Kayanya dia baru aja ngalamin pelecehan se**al. Dia nyariin Caca, padahal jelas-jelas Caca sama dia tadi. Kami ga bisa bantu karena Kak Murti cuma teriak-teriak ga jelas...," kata Ali sambil menghapus air mata yang jatuh tanpa diundang.
Semua yang ada di ruangan itu termasuk Caca mendengarkan cerita Ali dengan seksama.
" Sampe beberapa hari Kak Murti seperti orang ga waras. Lari ke sana kemari tanpa tujuan sambil manggil nama Caca. Sesekali dia ketakutan dan bilang kalo dia takut sama Goreng. Kadang dia bilang kalo dia diper**sa Goreng dan Caca dibuang sama Goreng entah dimana. Kami ga tau gimana lagi cara membantunya. Apalagi pengakuannya kalo dia diper**sa itu ga cukup bukti dan saksi. Akhirnya dengan terpaksa Kami memasukkan Kak Murti ke Rumah Sakit Jiwa. Selama bertahun-tahun Kak Murti dirawat di sana. Sampe akhirnya Goreng dipenjara seumur hidup karena kasus premanisme, pembunuhan dan penganiayaan terhadap warga. Juga kasus pemer**saan terhadap wanita kampung sebelah...," kata Ali mengakhiri ceritanya.
Suasana hening sejenak. Faiq maju ke depan dan memegang tangan Ali.
" Caca liat Mamanya ditin*ih sama Om besar itu. Caca mau nolongin, tapi Om besar itu marah terus mukul Caca pake balok kayu sampe kepala Caca pecah dan berdarah. Mata Caca juga sampe lepas karena kerasnya pukulan itu...," kata Faiq dengan suara bergetar.
" Ya Allah...," kata Ali dengan mata berkaca-kaca.
" Caca dan Mamanya dibawa naik mobil lalu Caca ditinggalin di pinggir jalan. Sedangkan Mamanya dibawa pergi sama Om besar itu entah kemana...," kata Faiq lagi.
" Jadi Caca dilenyapkan karena Caca adalah saksi kunci pemer**saan terhadap Ibunya. Dan orang itu ga mau Caca cerita sama orang lain. Waktu ditinggal di pinggir jalan Caca dalam keadaan sekarat hingga ia meninggal di sana. Dan arwah Caca penasaran kemana laki-laki itu membawa pergi Ibunya...," kata Fatur memberi kesimpulan.
" Keliatannya begitu. Meski jasadnya udah diurus sama pihak berwajib, tapi arwahnya masih mencari keberadaan Ibunya karena Caca sangat menyayangi Ibunya...," kata Kyai Syakir.
Ali menangis makin keras. Sedangkan wajah Murti nampak basah dengan air mata. Meski pun ia terlihat tak waras, tapi ia mengerti isi pembicaraan Ali dan tamunya.
" Caca me-ning-gal...," kata Murti terbata-bata sambil mempererat pelukannya pada boneka beruang itu.
" Iya Kak, Caca meninggal...," kata Ali sambil memeluk Murti erat.
" Faiq, tanya Caca. Gimana ciri-ciri Om besar yang udah nyakitin dia dan Mamanya...," kata Erik tiba-tiba.
Faiq menatap kearah Caca lalu mengangguk.
" Badannya besar, berewok, ada gambar pisau rante di tangan kanannya, pake kalung emas panjang, matanya rusak satu...," sahut Faiq.
" Sia*an. Itu benar si Goreng. Kurang ajar, bang**t...!" jerit Ali marah sambil meninju dinding hingga buku jarinya berdarah.
Fatur menenangkan Ali. Ia menepuk punggung Ali sambil membisikkan sesuatu.
" Tapi ga usah balas dendam ya Pak. Toh si Goreng juga udah kena karmanya sendiri...," kata Fatur.
" Kamu benar Mas. Saya dengar di penjara Goreng jadi bulan-bulanan preman lain yang lebih hebat dari dia. Sampe kakinya patah dan kupingnya tuli. Rupanya Allah punya cara sendiri buat menghukum dia...," kata Ali sambil mengusap wajah Murti yang masih menangis.
" Sekarang Caca mau pamit Pak. Dia ke sini cuma mau ketemu sama Mamanya dan bilang kalo dia udah baik-baik aja di sana. Dia mau Bu Murti jangan sedih dan nyariin dia lagi...," kata Erik.
" Kalo Mamanya mau ziarah, makamnya ada di pemakaman umum dekat 'Rumah Sakit R' Pak. Ada dekat pos security, tanya aja sama petugas di sana...," kata Faiq menambahkan.
" Baik makasih ya Nak. Maaf kalo Saya salah sangka tadi...," kata Ali.
" Gapapa Pak...," sahut Faiq sambil tersenyum.
" Kalo udah selesai, Kita pulang sekarang ya Nak...," ajak Erik.
" Sebentar Pa. Caca bilang mau peluk Mamanya dulu. Pak Kyai, bisa bantu Caca peluk Mamanya ga...?" tanya Faiq.
Kyai Syakir yang mengerti maksud Faiq pun mengangguk. Ia berdiri lalu menghampiri Murti. Kyai Syakir berdzikir dan membaca doa tertentu. Hingga Caca bisa terlihat oleh Murti lalu Caca memeluk Murti seolah nyata.
Murti yang bisa melihat anaknya ada di hadapannya dan tengah memeluknya pun menangis makin keras. Ia mendengar Caca membisikkan sesuatu yang membuatnya lebih tenang dan mengikhlaskan kepergian Caca.
" Aku sayang Mama. Jangan sedih lagi ya Ma...," bisik Caca sambil mencium kedua pipi Murti.
Hening sesaat. Hanya isak tangis Murti yang terdengar. Faiq pun menatap kepergian Caca yang tersenyum dengan wajah berseri-seri. Gaun pink lusuh yang dipakai Caca selama ini pun berganti dengan warna putih bersih.
" Makasih Faiq. Bilang makasih juga sama Papa, Om Kamu dan Pak Kyai. Buat Paman Aku, Aku titip Mama ya, makasih udah jagain Mama Aku. Sekarang Aku bisa pergi dengan tenang. Daahh Faiq...," kata Caca sambil melambaikan tangannya lalu menghilang.
" Sama-sama Caca...," sahut Faiq sambil menitikkan air mata haru.
Erik memeluk Faiq dan membiarkannya menangis dalam pelukannya. Setelah beberapa hari bersama, Erik yakin jika Faiq memiliki kesan tersendiri terhadap Caca. Apalagi sikap Caca mengingatkan Faiq pada mama dan adiknya di rumah.
Faiq menyampaikan pesan Caca pada sang paman. Ali tak hentinya mengucap terima kasih atas kunjungan Erik dan rombongan. Yang lebih menggembirakan, Murti terlihat lebih sehat setelah Caca memeluknya tadi. Meski pun ia tak lagi bisa bertemu dengan Caca, tapi setidaknya ia tahu jika buah hatinya bahagia di alam sana.
" Rupanya penyesalan yang selama ini dirasa Murti hingga membuatnya depresi. Ia menyesal karena ga bisa menyelamatkan Anaknya dan mengetahui bagaimana nasib Anaknya setelah ditinggalkan di pinggir jalan waktu itu...," kata Kyai Syakir saat perjalanan pulang.
" Betul Kyai. Apalagi sekarang Bu Murti tau dimana Caca dimakamkan. Dan itu pasti menenangkan dia...," sahut Fatur sambil mengemudi dengan santai.
Sedangkan Faiq nampak tertidur kelelahan di pelukan Erik. Seulas senyum menghias wajah tampannya, seolah mengisyaratkan rasa puas di dalam hatinya.
bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!