PROLOG
"Astaghfirullohal'adzim!" Gadis itu setengah berteriak saat mendengar suara iqamat dari masjid pesantren. Sekilas ia menatap arloji di tangan kanannya. Pukul 11.50 WIB.
"Mengapa tak ada yang membangunkanku? Ah, sial! Jangan sampai aku bolos salat jemaah," ucap gadis bernama lengkap Humairoh Assyifa itu.
Dengan cepat ia memakai kerudung bergo maroon miliknya dan segera berlari ke kamar mandi asrama untuk mengambil air wudhu.
Ia merutuki diri sendiri. Gara-gara tidur mendekati waktu salat zuhur, hampir saja ia melewatkan salat jemaah di masjid. Tidak lucu 'kan jika ia dihukum sendiri, apalagi ia seorang Lurah Pondok di asrama putri. Bisa malu, dan tentu saja akan menjadi contoh yang tidak baik bagi santri lain.
Peraturan di Pondok Pesantren Ash-Shidiq memang mewajibkan seluruh santri untuk menjaga salat jemaah lima waktu di masjid. Jangan tanya apa hukumannya. Tidak tanggung-tanggung, santri putri yang bolos salat jemaat akan langsung dihukum membersihkan seluruh ruangan kamar mandi. Hukuman yang paling dihindari oleh para santri.
Selain malu, yang jelas kamar mandi merupakan tempat yang menurut para santri sangat menyebalkan untuk dibersihkan.
Dengan terburu-buru, Huma segera pergi ke masjid pesantren. "Jangan salam dulu, please," ucapnya. Berharap sang imam belum selesai memimpin salat jemaah.
Ia berdecak kesal. Kamarnya memang terletak paling jauh dari masjid pesantren, sehingga butuh waktu lama untuk sampai ke masjid.
Sesekali ia membetulkan mukena yang tadi hanya dipakai sekenanya saja di dalam kamar.
Terlalu sibuk membetulkan mukena, tanpa sengaja ia menabrak bahu seseorang
Bruk!
"Aaww!" teriak Huma yang sekarang sudah jatuh terduduk di atas tanah.
Huma melirik ke arah orang yang menabraknya tadi. Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu.
"Astaghfirullohal'adzim," lirih Huma yang tersadar dan langsung menundukkan pandangannya.
"Maaf, Mbak. Mbak ngga papa?" ucap seorang pemuda yang menabraknya yang kini sama-sama terjatuh diatas tanah.
Sekilas Huma memperhatikan pemuda itu. Penampilannya sama sekali tak seperti seorang santri. Ia memakai jaket bomber yang dipadukan dengan celana jeans panjang, serta topi baseball menutupi rambutnya. Santri disini mana mungkin boleh berpakaian seperti itu.
"Ngga papa, Mas. Saya juga minta maaf. Saya sedang buru-buru, jadi tadi ngga liat jalan. Saya permisi. Assalamu'alaikum," ucap Huma yang kini berusaha berdiri, dan segera pamit menuju ke masjid.
"Wassalamu'alaikum warohmatulloh," ucap pemuda tersebut sambil berusaha berdiri dan menepuk-nepuk bajunya yang terkena debu.
Pemuda itu tersenyum menatap kepergian gadis yang baru saja menabraknya itu.
"Siapa gadis itu? Mengapa wajahnya selalu terbayang dalam pikiranku? Apa aku sudah jatuh hati dengannya?"
"Apaan si, Huda! Fokus fokus! Kamu kesini itu buat kerja. Bukan buat mikirin wanita!" rutuk pemuda itu pada diri sendiri.
Ia senyum-senyum sendiri mengingat kejadian di halaman masjid tadi.
Hari ini adalah hari pertamanya datang ke pondok pesantren ini. Bukan untuk menjadi santri. Ia adalah seorang tukang bangunan yang hendak membuat menara masjid bersama rekan-rekannya.
Masjid Ash-Shidiq memang sedang dalam proses renovasi. Abah kyai sengaja mendatangkan tukang bangunan dari luar kota untuk memasang menara masjid.
Rencananya, menara tersebut akan dibuat menjulang setinggi 10 meter dari lantai ketiga masjid tersebut. Tentu saja dengan berbagai ukiran dan hiasan yang sudah dipilih oleh abah kyai.
Pemuda itu bersama keempat rekannya mulai hari ini akan membangun menara masjid. Karena berasal dari luar kota, mereka menginap di asrama pondok pesantren.
"Bang! Bang! Bang Huda! Jangan ngelamun, Bang. Nanti kesambet loh," ucap Heru, salah satu rekan tukang pemuda itu, setengah berteriak. Ia mengayunkan tangan kanannya di depan wajah pemuda bernama Huda itu.
"E-eh, ngagetin aja." Pemuda bernama lengkap Miftahul Huda itu tersadar dari lamunannya saat rekan sesama tukang bangunannya tersebut berteriak di depan wajahnya.
"Kenapa, Bang? Habis liat setan po?" tanya Heru seraya membenarkan posisinya agar duduk di sebelah Huda.
"Bukan liat setan. Tapi habis liat bidadari," balas Huda seraya tertawa kecil memamerkan deretan gigi putihnya.
"Hebat nih Bang Huda, baru hari pertama datang ke pesantren ini, udah ketemu bidadari. Ajak-ajak saya napa, Bang," ucap Heru terkekeh mendengar jawaban dari Huda.
"Hahaha takutnya kalau nanti bidadarinya ketemu kamu, malah dia kabur gimana," ledek Huda. Kali ini ia tertawa melihat ekspresi muka Heru yang berdecak mendengar jawaban darinya. Mereka tertawa bersama-sama.
******
Sementara itu di asrama putri, tampak Huma dan santri-santri lain sedang duduk di atas ranjang mereka.
"As, kenapa tadi aku ngga dibangunin si? Hampir bolos salat zuhur jemaah tadi kan. Untung masih nemu satu rakaat," ucap Huma dengan nada sedikit kesal ke sahabatnya tersebut.
"Sorry, Ma. Tadi aku pikir kamu masih haid jadi ngga ku bangunin. Lagian kamu tidurnya nyenyak banget, 'kan ngga tega banguninnya," ucap Asma membela diri seraya menunjukkan wajah memelasnya berharap Huma tidak marah padanya.
"Kan tadi pagi kamu tau sendiri kalau aku udah mandi suci," balas Huma masih sedikit kesal.
"Iya iya deh, maaf yaa.. aku lupa. Jangan marah dong, nanti cantiknya hilang loh, hehe," ucap Asma seraya memeluk sahabatnya itu.
Huma dan Asma memang sudah sahabatan sejak mereka sama-sama baru masuk pesantren ini, yaitu saat kelas X MA. Dan sekarang mereka sudah menjadi seorang mahasiswa semester akhir. Meskipun kuliah diluar pesantren dan berbeda kampus juga jurusan, mereka tetap tinggal di pesantren. Karena bagi mereka, ilmu dunia harus selalu diimbangi dengan ilmu akhirat.
"Iya iya deh, ngga marah kok. Mana mungkin aku bisa marah sama Asma yang comel ini." Huma membalas pelukan dari sahabatnya itu. Persahabatan mereka memang seperti amplop dan perangko, selalu menempel.
"Ya Allah, As! Aku lupa. Aku ada jadwal bimbingan dengan dosbingku." Huma melepas pelukan Asma lantas melirik arloji di tangannya. Pukul 13.10 WIB. "Masih ada waktu 20 menit lagi."
"Ya udah buruan gih siap-siap, nanti telat dimarahin dosbing kamu," ucap Asma.
Huma langsung menuju lemari pakaiannya, mengambil gamis warna tosca dengan jilbab yang senada dan berlalu menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian.
Setelah dirasa siap, Huma pun meraih tas berisi laptop dan ponsel miliknya diatas lemari.
Semua santri sebenarnya dilarang untuk membawa alat-alat elektronik semacam laptop dan handphone saat berada di lingkungan pondok pesantren.
Namun peraturan ini dikecualikan untuk santri yang bertitle mahasiswa, atau lebih sering disebut mahasantri yang notabene banyak tugas kuliah dan memerlukan alat komunikasi untuk info jadwal kuliah dan sebagainya. Dengan catatan, setiap pukul 18.00 WIB HP wajib dikumpulkan ke pengurus dan boleh diambil kembali esok hari pukul 06.00 WIB.
Huma melirik arlojinya lagi, 13.15 WIB. Ia segera keluar kamar untuk berangkat, karena perjalanan dari pesantren menuju kampusnya memakan waktu 10 menit. Ia tidak mau mendapat kemarahan dari dosbingnya hanya karena terlambat janjian.
"Aku berangkat dulu ya, As. Assalamu'alaikum," ucap Huma sambil berlalu meninggalkan kamar.
"Wa'alaikumussalam. Hati-hati," balas Asma yang ucapannya kini hanya didengar oleh angin lalu karena yang diajak bicara sudah langsung menghilang keluar kamar. "Huft".
Asma pun menyelonjorkan kakinya, lalu terbaring diatas ranjang kecil miliknya. Ia mulai menutup mata seraya mengucapkan do'a untuk tidur sejenak menunggu jam madrasah datang.
"Assalamu'alaikum," teriak seseorang dari depan pintu dan langsung saja masuk saja ke dalam kamar.
Asma dikejutkan dengan suara salam tersebut, "Siapa si? Baru nutup mata juga," gumamnya. Ia membuka mata.
"Huma? Kok udah pulang?" tanya Asma.
"Berangkat aja belum. Kunci motor aku ketinggalan." Huma sibuk mencari kunci motornya. Setelah ketemu, ia langsung menghilang pergi keluar kamar tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Dasar tuh anak. Datang tak dijemput pulang tak diantar. Kayak jaelangkung." Asma menghela napasnya kemudian melanjutkan tidurnya yang tadi terganggu oleh Huma.
******
"Ya Allah, ini motor kenapa si," ucap Huma. Kini ia berada di parkiran pesantren, sedang berusaha menyetater sepeda motor Beat merah miliknya yang entah kenapa sedang tidak bersahabat dengannya.
Arloji di tangan kanannya sudah menujukkan pukul 13.20 WIB. "Mana waktu tinggal sepuluh menit lagi. Ayo dong nyala." Huma masih tetap berusaha menyetater sepeda motornya.
"Kenapa sepeda motornya, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?"
Terdengar suara seseorang di belakang Huma yang bertanya padanya. Huma pun berbalik hendak melihat siapa orang itu.
Deg!
Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu.
Huma begitu kaget saat melihat orang yang menyapanya itu adalah pemuda yang ia tabrak tadi. Seketika ia tersadar dan langsung menundukkan pandangannya.
Begitupun dengan Huda. Jantung Huda kini benar-benar berdebar tak karuan. Seperti ada ratusan petasan di dalam hatinya.
"Motornya kenapa, Mbak?" tanya pemuda itu. Pandangannya kini tertuju pada sepeda motor di sebelah Huma.
"Eh, e-enggak tau ini, Mas. Motornya ngga mau nyala," jawab Huma.
"Boleh saya bantu, Mbak?" pinta pemuda itu.
"Em, silahkan." Huma bergeser dari posisinya, mempersilahkan pemuda itu melihat sepeda motor miliknya. Pandangan matanya tertuju pada pemuda itu, namun pikirannya sekarang diliputi oleh rasa khawatir. Bagaimana tidak, jarum panjang arloji di tangannya sudah menunjuk tepat di angka lima. Tersisa waktu lima menit lagi dari jadwal waktu bimbingannya.
Entah, sekarang ia tak bisa membayangkan bagaimana kemarahan dosbingnya kala mengetahui bahwa Huma nanti akan datang terlambat. Mungkin ia harus pasrah memerima semua amarah dari dosbingnya. "Huft." Huma menghela napasnya panjang.
Terlihat pemuda itu berkali-kali mengengkol sepeda motor milik Huma. Beberapa peluh menetes dari kening pemuda itu, menambah kesan tampan di wajahnya.
Ada rasa tidak enak pada diri Huma, mengingat cuaca sedang sangat panas namun pemuda itu masih tetap berusaha keras mengengkol sepeda motornya.
"Brum... brum...." Terdengar bunyi sepeda motor milik Huma.
"Alhamdulillah," gumam pemuda itu. Ia mengusap keringat yang sudah menetes di wajahnya.
"Mbak, ini sepeda motornya sudah nyala. Sepertinya listrik akinya sudah hampir habis, mbaknya jarang menyalakan secara manual ya. Nanti coba ke bengkel saja. Barangkali ada masalah lagi," ucap pemuda itu.
Huma mengagguk paham. "Terimakasih banyak ya, Mas, sudah membantu saya. Tapi mohon maaf saya sedang sangat buru-buru, jadi saya langsung pergi ya."
"Oh ya, Mas namanya siapa? Insya Allah nanti saya akan balas kebaikan Mas," ucap Huma.
"Eh nggak usah, Mbak. Saya ikhlas kok bantu Mbaknya. Ngga usah dibalas," jawab pemuda itu.
"Beneran, Mas? Sekali lagi terimakasih banyak ya. Semoga Allah membalas kebaikan Mas," ucap Huma.
"Iya, Mbak. Sama-sama. Aamiin."
"Saya pamit dulu ya, Mas. Assalamu'alaikum," pamit Huma.
"Wa'alaikumussalam warohmatulloh."
Huma langsung memakai helm yang tadi diletakkan di sepeda motornya. Ia melirik arloji di tangannya. Pukul 13.40 WIB. Sudah lewat dari waktu janjian dengan dosennya. Langsung saja ia pergi secepat kilat dengan sepeda motornya.
Sementara pemuda itu masih berdiri di tempat yang sama, melihat gadis yang kini sudah menghilang dibalik gerbang pondok pesantren.
"Duh, kenapa tadi waktu dia tanya nama nggak aku jawab ya. Dan kenapa tadi nggak nanya namanya juga. Dasar bodoh!" Pemuda itu menepuk jidatnya. Merutuki kebodohannya.
******
Bruk!
Bruk!
Terlihat seorang gadis melempar sembarang ranselnya diatas ranjang. Sementara ia pun ikut-ikutan melemparkan tubuhnya diatas ranjang itu. Menciptakan suara gaduh ke sekitarnya.
"Itu muka kenapa ditekuk, kucel gitu, kaya baju belum disetrika." Asma yang melihat sahabatnya itu datang dengan wajah cemberut langsung mendekatinya.
Ya. Gadis yang terlihat kesal, merebahkan dirinya di atas ranjang kamar itu adalah Huma. Ia datang tanpa mengucap salam atau sepatah katapun dan langsung menuju ranjang miliknya.
"Mbak Huma kenapa, Mbak?" tanya Lala. Teman sekamar Huma yang kini ikut-ikutan mendekai Huma.
"Huft." Huma menghela nafasnya panjang. Masih tetap dalam posisi tidurnya. Ia melirik sahabatnya, Asma. "Habis kena semprot dosen."
"Kok bisa?" tanya Asma penasaran.
"Tadi waktu mau berangkat, nggak tau kenapa motor nggak mau nyala. Jadi telat janjian sama dosen." Huma menutup matanya. Tangannya berusaha memijat pelipisnya yang sedikit sakit karena kesialan hari ini datang bertubi-tubi kepadanya.
"Trus Mbak tadi berangkatnya naik apa?" tanya Lala.
"Untung tadi ada pemuda baik yang mau bantuin aku nyalain motor. Kalau ngga pasti bakal telat banget. Yah walaupun masih tetap telat." Huma bersyukur mengingat kejadian tadi. Setidaknya Allah tetap berbaik hati padanya.
"Eciyeeee... siapa tuh. Ditolongin sama pangeran nih ye," ledek Asma. Mencoba menggoda sahabatnya yang masih terlihat kesal tersebut.
"Dih apaan sih, orang ngga tau dia siapa. Baru aja ketemu dua kali. Pangeran! Pangeran!" Huma pun duduk melotot pada Asma yang mulai menggodanya itu.
"Ganteng ngga Mbak orangnya? Putih? Tinggi? Jangan-jangan dia jodoh Mbak," ucap Lala. Kini ia ikut-ikutan Asma menggoda Huma.
"Ngapain si, La. Kok kamu jadi ikut-ikutan ngledek." Huma mencubit tangan Lala. Yang dicubit meringis kesakitan.
"Aaww... ampun, Mbak," ucap Lala kesakitan.
"Hahaha, bener tuh kata Lala, jangan-jangan dia jodoh kamu tuh." lanjut Asma, tetap meledek Huka.
"Apaan si kalian," bela Huma. Kini ia jadi membayangkan pemuda itu. Mana mungkin pemuda itu jodohnya. Kenal aaja tidak. Bertemu pun baru dua kali, waktu pemuda itu ia tabrak dan waktu di tempat parkiran. Ia tersenyum kecut.
"Tuh mulut ngapain senyum-senyum. Pasti bener nih kata Lala. Dia pasti ganteng. Sekarang kamu lagi mikiri dia, 'kan? Hahaha...." Tawa Asma meledak melihat ekspresi muka Huma, antara kesal namun wajahnya sedikit tersenyum.
Lala ikut tertawa. "Ciyeeee Mbak Huma."
"Apaaan si!" Ia mencubit pinggang Asma dan Lala.
"Aaaaww" ucap Lala dan Asma.
Kini Huma beranjak pergi meninggalkan mereka yang sedang kesakitan namun tetap saja memertawai Huma.
"Puas ketawanya. Seneng banget ngeledek orang lagi kesel," ucap Huma.
"Iya iya maaf deh," ucap Asma.
"Maaf ya, Mba. Hehehe." Lala ikutan minta maaf.
"Yaudah ayo siap-siap. Kita mau ngaji Al-Hikam, 'kan? Nanti keburu Gus Kaffa datang," ajak Huma, menyudahi gelak tawa kedua kawannya itu.
Mereka bertiga pun bersiap-siap untuk pergi mengaji karena jam dinding hampir menunjukkan pukul 16.00 WIB.
Setiap sore, semua santri Pondok Pesantren Ash-Shidiq memang diharuskan untuk mengikuti madrasah sesuai dengan kelasnya. Mulai dari awwaliyah, wustho, sampai ulya. Butuh waktu enam tahun untuk menyelesaikan madrasah pondok pesantren. Dan mereka bertiga sudah mendapatkan ijazah madrasah tahun lalu.
Sebenarnya, Lala berusia dua tahun lebih muda dibandingkan Huma dan Asma. Namun karena mereka bertiga masuk pesantren di tahun yang sama, mereka pun mendapat ijazah madrasah di waktu yang sama pula.
Kini setiap sore, mereka mendapatkan kajian kitab tambahan Al-Hikam bersama Ustadz Kaffa, putra Abah Kyai. Dan pada hari-hari tertentu, Huma diberikan amanah untuk mengajar kitab Aqidatul Awwam dan Khulasoh Nurul Yaqin di kelas awwaliyah.
Sebelum pergi mengaji, Huma menyempatkan diri pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berwudhu. Ingin sekali rasanya ia mandi terlebih dahulu melihat tubuhnya yang kini sudah lengket karena terkena keringat. Namun karena waktu yang tersisa tadak mungkin cukup baginya untuk mandi, ia mengurungkan niatnya.
Letak ruang madrasah memang tidak terlalu jauh dari asrama putri. Bangunan madrasah terletak di tengah-tengah pesantren, diapit oleh gedung asrama putra dan putri yang tentu saja di pisah dengan tembok berpintu besi. Bangunan madrasah menghadap ke sebelah utara. Di depannya berdiri dengan megah Masjid Ash-Shidiq yang kini tengah di renovasi.
Huma, Lala, dan Asma berjalan bersama-sama menuju tempat madrasah. Sesekali para santri menyapa mereka. Mengingat posisi Huma yang kini seorang Lurah Pondok, tentu kehadirannya disegani dan dihormati oleh santri-santri putri. Apalagi ia juga seorang ustadzah yang mengajar santri-santri baru. Namun dibalik ketegasan dan kewibawaanya, Huma merupakan seorang lurah yang ramah dan senang bercanda dengan santri-santri lain.
"Eh, Mbak, Mbak, liat itu siapa ya," ucap Lala. Jarinya menunjuk ke arah pemuda yang sedang duduk sendiri di teras masjid. Pemuda berbaju koko putih, bersarung, lengkap dengan pecinya itu terlihat sedang membuka-buka kitab yang ada di rak buku teras masjid.
"Kok jarang liat ya, kayaknya bukan santri sini deh. Apa dia ustadz?" ucap Asma.
"Ya Allah, ganteng banget ya, Mbak. Wajahnya itu loh, sholeh banget, adem kayak ubin masjid," ucap Lala. Pandangannya terus saja melihat pemuda itu. Matanya kini berbinar-binar.
"Mata itu mata dijaga. Awas nanti jadi zina mata loh," ucap Asma.
Huma pun yang sedari tadi cuek dengan ucapan kedua sahabatnya, kini menoleh ke arah pemuda yang mereka maksud.
Deg!
Bukannya dia pemuda yang tadi itu. Huma begitu heran kenapa hari ini ia tiga kali bertemu dengannya. Siapa pemuda itu? Dan penampilannya pun kini berbeda sekali dengan yang tadi siang.
---------------------------------------------------------
Penampilan pemuda itu kini berbeda sekali dengan yang tadi siang. Berubah 180 derajat. Siang tadi ia sama sekali tak mencerminkan seorang santri. Tapi lihatlah kini. Baju koko putih, sarung coklat, serta peci hitam di atas kepalanya sungguh menambah aura sholeh pada pemuda itu. Semakin tampan.
"Ahh, benar juga. Jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya," gumam Huma. Ia jadi menyesal sudah menilai yang tidak-tidak pada pemuda itu.
"Kamu bilang apa, Ma?" tanya Asma.
"Eh enggak. Udah ah ayo masuk kelas, keburu Gus Kaffa nanti datang loh." Huma menarik lengan kedua sahabatnya itu.
Sebelum masuk kelas, Huma sempat melirik ke arah pemuda yang ada di teras masjid tadi. Namun kini teras masjid tersebut sudah kosong.
Mereka bertiga pun masuk ruangan madrasah. Siap untuk mengaji kitab Al-Hikam bersama Gus Kaffa.
******
"Assalamu'alaikum, Mbak Huma. Mbak Huma dipanggil Abah Kyai. Katanya Abah Kyai pengin bicara sama Mbak." Seorang santri datang menyampaikan amanah dari abah kyai kepada Huma.
Huma yang sedang duduk meluruskan kakinya di atas lantai segera bangkit dan bersiap menuju ndalem abah kyai. Meskipun kakinya masih terasa pegal setelah ro'an, tidak membuat Huma kesal atau malas melaksanakan perintah abah kyai. Sudah tugasnya.
Setiap Ahad pagi, memang sudah jadwalnya seluruh santri melaksanakan ro'an atau piket kubro membersihkan area pondok pesantren. Ada yang menyapu, mengepel, membersihkan halaman, mengelap kaca, menguras kamar mandi, dan sebagainya. Seluruh santri mendapatkan tugas piket masing-masing, begitu pun Huma.
"Abah Kyai nya dimana, Zah?" tanya Huma kepada Zahra, santri yang diutus Abah Kyai tadi.
"Di ndalem, Mbak. Tadi Abah Kyai sedang duduk di ruang tamu." Zahra merupakan santri ndalem yang bertugas bantu-bantu di kediaman Abah Kyai, sehingga tak jarang ia pun sering diutus oleh abah kyai memanggil para santri.
Dengan segera, Huma menuju ke ndalem Abah Kyai.
Sesampainya di teras ndalem, Huma mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu karena disana terlihat abah kyai sedang mengobrol dengan seseorang. "Pemuda itu lagi," gumamnya.
Terpaksa, Huma pun duduk terlebih dahulu diatas lantai teras ndalem, menunggu urusan Abah Kyai selesai dengan tamunya itu. Terdengar suara obrolan Abah Kyai dan pemuda itu dari dalam ruang tamu.
Pemuda itu sedang menjelaskan rencana pembangunan menara masjid Ash-Shidiq seraya menunjukkan kertas bergambar desain menara kepada abah kyai. Setiap bagian dijelaskan oleh pemuda itu, mulai dari warna, ukiran, serta kemungkinan jangka waktu pengerjaan.
"Oh, dia tukang bangunan," gumam Huma.
Abah Kyai memang pernah berkata akan mendatangkan tukang bangunan untuk memasang menara dari luar kota. Mereka akan menginap di asrama putra pondok pesantren selama beberapa minggu sampai pembangunan menara selesai. Mungkin dia salah satunya, pikir Huma.
Setelah urusannya dirasa cukup, pemuda itu pun pamit. Huma memperhatikan tingkah pemuda itu lewat pintu ruang tamu. Untuk ukuran seorang tukang bangunan, pemuda itu mempunyai akhlak dan tata krama yang sangat santun kepada Abah Kyai.
Bukannya meremehkan atau merendahkan profesi tukang bangunan. Namun selama ini, banyak tukang bangunan yang kurang memiliki sopan santun saat berinteraksi dengan abah kyai. Karena 'mungkin' yang mereka utamakan ya cuma bisnis.
Tidak dengan pemuda itu. Cara berbicara dan tingkah lakunya saat menghadap abah kyai seperti layaknya akhlak seorang santri menghadap gurunya.
"Akhlak yang bagus," gumam Huma.
Pemuda itu mencium tangan Abah Kyai dan keluar dari ruang ndalem melewati Huma yang masih terdiam di teras.
"Permisi, Mba," ucap pemuda itu, tersenyum pada Huma.
"Eh i-iya, si-silahkan, Mas," balas Huma. Huma sedikit kaget dan gugup saat disapa pemuda tadi. Takut kalau pemuda itu tau bahwa sedari tadi sedang ia perhatikan.
Pemuda itu tersenyum lagi lalu pergi meninggalkan area ndalem.
Huma menetralisir detak jantungnya, lantas mengetuk pintu ndalem, mengucapkan salam kepada abah kyai. Setelah dipersilahkan, Huma masuk ke dalam ruang tamu.
"Nanti sore insya Allah pondok pesantren kita akan kedatangan tamu dari pihak Kementrian Agama. Mau sidak katanya. Jadi nanti asramanya dibersihkan ya, Mba. Ruang-ruang juga disiapkan yang rapi. Minta para santri untuk bersih-bersih lingkungan pondok," titah abah kyai.
"Nggih, Abah, nanti saya sampaikan ke seluruh santri," jawab Huma patuh.
"Oya, ngaji Tafsir Jalalainnya libur saja dulu ya, Abah juga ada keperluan mendadak," tambah Abah Kyai, "yang belum ro'an suruh ro'an dulu, ruang madrasah dan masjid juga dirapikan ya."
"Nggih, Abah," jawab Huma.
"Sama minta tolong, itu rak kitab dan Al-Quran yang di masjid ditata ulang ya, Mba. Kamu temenin santri-santri buat beresin. Arahin mereka, biasanya kalau kamu yang ngatur kan jadi bagus dan rapi," puji abah kyai.
"Nggih, Abah, nanti saya ajak santri-santri putri buat menata rak di masjid," ucap Huma.
Setelah urusannya selesai, Huma pun pamit. Ia segera menuju ke asrama putri untuk menyampaikan amanah abah kyai kepada para santri.
******
Sinar matahari pagi sudah semakin meninggi, hampir berada diatas kepala. Seluruh santri yang tadi sedang mengistirahatkan diri, kini kembali sibuk melaksanakan ro'an. Ada yang mengeluh, berdecak kesal, namun tak sedikit pula yang melaksanakannya dengan senang hati. Karena patuh dan ta'dhim kepada abah kyai memang sudah menjadi kewajiban seorang santri, pikir mereka.
Huma mengajak Sabil, Tuti, dan Lala untuk merapikan rak kitab di masjid. Sesuai perintah abah kyai, Huma lah yang mengatur penataan ulang kitab-kitab dan Al-Qur'an di masjid.
"Mbak Huma, ini kitab-kitab yang sudah sobek mau diapakan, Mbak? Ini juga banyak sobekan ayat-ayat Al-Qur'an," tanya Tuti.
"Dikumpulkan saja dulu jadi satu, Tut. Nanti dipilah yang masih bisa dibenerin sama yang engga," tutur Huma.
"Banyak yang sudah rusak, Mba. Ngga mungkin bisa dibenerin," jawab Sabil.
"Yaudah dikumpulin aja dulu, biar nanti dibakar," balas Huma.
"Kok dibakar, Mba?" tanya Sabil heran.
"Niatnya jangan mau bakar Al-Qur'an, tapi buat menyelamatkan ayat-ayat Allah. Daripada nanti tercecer, keinjek-injek, atau kena kotoran malah berdosa," jawab Huma menjelaskan.
Memang, salah satu cara menyelamatkan ayat-ayat Al-Qur'an yaitu dengan cara dibakar. Bisa juga dengan cara mengalirkan air sampai tulisannya luntur dari kertas.
"Ohh gitu ya, Mba." Sabil mengangguk, paham dengan penjelasan yang disampaikan Huma.
Dua jam berlalu, kini rak kitab dan Al-Qur'an sudah tertata rapi. Tuti dan Sabil sudah tak kuasa menahan rasa lelah. Mereka langsung saja merebahkan diri diatas lantai masjid.
"Dih... Sabil... Tuti... !! Kalian mbok kalau tiduran liat sekitar dulu, liat noh debu dan kertas-kertas berserakan diantara kalian. Minggir dulu gih, biar mbak sapu dulu." Lulu menyedekapkan kedua tangannya di depan dada, melihat kelakuan Sabil dan Tuti.
Bagaimana tidak, lantai masih kotor banyak debu, namun Sabil dan Tuti malah tiduran diatasnya.
"Hehe iya, Mba," ucap Tuti, meringis. Ia pun bangkit dan berpindah ke sisi lain masjid yang lebih bersih. Kembali merebahkan diri. Demikian pula dengan Sabil, mengikuti Tuti di sebelahnya.
"Ck...." Lulu berdecak melihat polah kedua anak itu.
"Udah biarin, Lu. Mungkin mereka kecapekan daritadi kan banyak banget yang perlu diberesin." Huma tersenyum kepada Lulu. "Kamu yang nyapu ya, Lu. Nanti biar mbak yang bakar sobekan Al-Qur'an ini," lanjut Huma.
"Hufh." Lulu menghela nafas. "Iya deh, Mbak." Ia mengambil sapu di pojokan masjid, dan segera membersihkan lantai masjid itu.
Sementara itu, Huma mengambil tumpukan kertas sobekan ayat-ayat Al-Quran yang sudah dikumpulkan dalam kardus. Ia hendak membawanya ke halaman belakang masjid. Tempat itu mungkin cocok untuk membakar sobekan Al-Qur'an, pikir Huma.
Dengan hati-hati, Huma membakar tiap sobekan Al-Qur'an tersebut. Tak lupa ia berdo'a dan memohon ampun kepada Allah, berharap langkah yang diambilnya ini tepat. Untuk menyelamatkan ayat-ayat Al-Qur'an.
Semua kertas sudah habis dibakar. Huma kembali ke masjid menemui ketiga temannya tersebut.
Namun saat sampai di depan teras samping masjid, ia dikejutkan oleh suara seseorang yang tiba-tiba berteriak kepadanya.
"Mbak!! Awas, Mbak!! Awas, diatas!!" teriak orang itu kepadanya.
Huma menoleh, mencari sumber suara tersebut. Dari atas lantai tiga masjid Ash-Shidiq. Lebih tepatnya lagi, tepat diatas dirinya berdiri. Ia menoleh ke atas.
Tampak seorang tukang sedang panik menatap dirinya. Tak berhenti-berhenti tukang tersebut mengayunkan tangannya, memberikan kode supaya Huma segera menyingkir dari tempatnya berdiri.
Jelas saja, diatas kepala Huma sedang meluncur bongkahan kayu yang dalam sekian detik sudah siap menghantam kepala Huma.
Wush!
Kayu tersebut semakin dekat. Menyisakan jarak beberapa meter diatas kepala Huma. Kini kakinya seakan terpaku diatas lantai. Ingin menyingkir, namun tak mungkin ada waktu untuk menghindar.
Huma pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Ia memejamkan mata.
Dan...
Brukk!!
---------------------------------------------------------
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!