Siang itu langit begitu cerah, awan putih menggantung indah bak kawanan domba yang sedang berkejaran. Angin bertiup sepoi-sepoi, menggoyangkan apa saja yang dia lalui.
Fardhan berjalan cepat dengan wajah yang ceria, hari ini dia berhasil memenangkan kasus pertama yang dia tangani. Berkat bantuan timnya sebagai pengacara keluarga korban, si pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap gadis di bawah umur bisa dihukum dengan seberat-beratnya.
Sebagai pengacara pemula, ini merupakan suatu tahapan yang baik. Dia berharap ke depannya, bisa lebih banyak lagi menyelesaikan kasus rumit demi mendongkrak namanya agar lebih dikenal orang.
Dan saking senangnya, dia pulang lebih awal karena berniat melaporkan pencapaiannya kepada sang Ayah yang selalu memintanya berhenti jadi pengacara dan meneruskan bisnis keluarga. Tentu dia menolak, karena apa yang dia dapatkan saat ini, adalah cita-citanya dari sejak kecil.
“Ayah harus tahu ini. Aku akan buktikan bahwa aku bisa jadi pengacara yang hebat.” gumam Fardhan sembari melangkah masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, seorang lelaki paruh baya sedang melamun sendiri di ruang kerjanya, dia terlihat sangat frustasi dengan tatapan mata yang kosong.
“Aku sudah kehilangan semuanya. Aku hancur!” Lelaki itu berucap dengan suara yang bergetar, matanya mulai memanas dan dengan cepat cairan bening menggenangi nya.
Dia naik ke atas kursi dan memandang seutas tali yang menggantung di langit-langit dengan sebuah simpul, matanya kemudian tertuju pada pigura yang terdapat foto anak dan istrinya.
“Maafkan aku. Selamat tinggal!” ucapnya lirih dengan air mata yang jatuh menetes.
Lelaki paruh baya itu gantung diri, mengakhiri hidupnya yang putus asa.
Beberapa saat kemudian, pintu dibuka oleh Fardhan, yang tak lain adalah anak semata wayangnya.
“Ayah!” Teriakan Fardhan bergema memenuhi langit-langit ruang kerja ayahnya itu. Baru saja dia ingin menyampaikan apa yang sudah berhasil dia capai kepada sang Ayah, tapi pemandangan mengerikan itu lebih dulu menyambutnya.
Langit yang cerah mendadak seperti berubah kelabu, seolah ada awan hitam yang menyelubunginya. Waktu seakan berhenti, semua terasa lambat dan gelap. Hanya ada rasa sakit yang menghujam dada.
Bukan tanpa alasan sang ayah melakukan perbuatan bodoh ini, dia frustasi karena rumahnya harus disita sebab dia tak sanggup membayar hutang-hutangnya kepada seseorang.
Dia menjadikan rumahnya sebagai jaminan untuk menopang perusahaannya yang sedang mengalami penurunan tapi dia malah ditipu. Dia sungguh menyesali segalanya.
Berita kematiannya pun tersebar ke segala penjuru tanah air, menjadi trending topik, PENGUSAHA GUNAWAN ARDITAMA, TEWAS BUNUH DIRI DI RUMAHNYA KARENA MENGALAMI KEBANGKRUTAN.
Begitulah bunyi salah satu judul beritanya.
***
Langit begitu gelap, hujan rintik-rintik ibarat air mata yang tak berkesudahan. Suasana berkabung begitu terasa ketika para pelayat satu persatu pergi meninggalkan pemakaman. Hening, tanpa suara.
Fardhan berlutut disisi makan sang ayah, digenggamnya dengan erat tanah merah bercampur bunga yang basah, melampiaskan rasa sedih yang begitu mendominasi.
Sebenarnya Bara ingin menemaninya, tapi dia sedang ingin sendiri. Benar-benar sendiri di sini.
“Kenapa Ayah melakukan semua ini? Kenapa Ayah pergi meninggalkan aku dan Ibu?” Fardhan bertanya meski dia tahu seseorang di dalam sana tak akan mampu menjawab.
“Aku belum sempat menunjukkan apa pun ke Ayah. Aku belum sempat buat Ayah bahagia, tapi Ayah sudah pergi begitu saja.” Tangis Fardhan kembali pecah, sungguh dia tak mampu membendung kesedihan hatinya.
Fardhan terus terisak-isak, bahunya sampai berguncang. Dia semakin erat menggenggam tanah merah bercampur bunga yang basah itu, kini rasa sedih itu berubah jadi geram dan marah.
“Ayah egois! Ayah enggak memikirkan bagaimana nasibku dan Ibu tanpa Ayah! Apa harta itu segalanya untuk Ayah? Apa kami enggak berarti?” Fardhan berbicara dengan penuh emosi, meski dia sadar, sang Ayah tak dapat lagi mendengarnya.
Rintik-rintik hujan kini semakin deras, lamat-lamat berubah menjadi buliran besar yang jatuh menghantam bumi, seketika tanah menjadi basah, pun demikian dengan Fardhan. Tapi dia tak menghiraukan air yang ditumpahkan dari langit itu membuatnya menjadi kuyup, dia masih ingin di sini, di tempat peristirahatan terakhir sang Ayah.
Melampiaskan rasa sedih dan marah yang menikam hatinya dengan begitu kejam.
Tuhan sudah menggariskan kehendaknya, semesta tak mampu menolak apa yang telah Dia tentukan. Ketika takdir telah memainkan perannya, kita hanya bisa ikhlas mengikuti alurnya.
Perkara hidup dan mati sudah ketentuan pasti, yang hidup pasti mati.
“Ayah ....” ucap Fardhan lirih, air matanya semakin menganak sungai, menetes seolah tak bisa terbendung lagi.
“Apa Ayah tahu? Saat ini Ibu sangat sedih, dia begitu kehilangan Ayah, sama seperti aku. Hati Ibu pasti hancur karena ditinggal selama-lamanya oleh orang yang begitu dia cintai. Kenapa Ayah sampai hati membuat Ibu seperti ini? Kenapa, Ayah?”
Fardhan kian tersedu-sedu, dadanya benar-benar terasa sesak dan sakit, dia tak pernah menyangka sang ayah akan pergi meninggalkan dia dan juga ibunya dengan cara tragis seperti ini. Cara yang sejatinya sangat dibenci oleh maha kuasa.
“Aku tidak tahu akan seperti apa nantinya hidupku dan Ibu tanpa Ayah. Tapi aku tidak akan membiarkan Ibu bersedih, seperti yang Ayah lakukan saat ini.” Lanjut Fardhan sembari menyeka air matanya yang mengalir di pipi. “Semoga Ayah tenang di sana.”
Fardhan beranjak dari sisi makam dan melangkah meninggalkan pusara sang ayah, membawa rasa sedih dan amarah yang tidak mampu dia redam begitu saja.
***
Fardhan duduk melamun di kamarnya, sudah seminggu sang ayah pergi, namun duka masih menggelayuti nya. Walaupun tak ada air mata yang jatuh lagi tapi rasa sakit kehilangan sang ayah masih begitu terasa di relung hatinya.
"Dhan, Om Gunawan sudah tenang sekarang, kalau kau masih berlarut-larut dalam kesedihan seperti ini, bisa-bisa kau malah sakit." ucap Bara sembari menepuk pundak Fardhan.
Bara adalah sahabat Fardhan dari kecil, mereka tinggal bersebelahan.
Dari kecil mereka selalu berdua, dan kehadiran Bara seolah menjadi penguat untuk Fardhan saat ini, walaupun sejujurnya dia sangat mengharapkan sang kekasih ada disisinya.
"Aku hanya nggak habis pikir saja, kenapa Ayah melakukan semua ini? Apa begitu terpukulnya dia karena harus kehilangan hartanya? Tapi kan dia masih punya aku dan Ibu, apa harta lebih berharga dari kami?" Fardhan berbicara dengan raut yang penuh kesedihan.
"Jangan berpikiran seperti itu. Om Gunawan sangat menyayangi kalian, dia hanya nggak sanggup menerima kenyataan saja. Sekarang yang terpenting kau harus bangkit, jangan biarkan kesedihan membuatmu jadi lemah." Bara mencoba menenangkan Fardhan.
"Aku nggak tahu harus melakukan apa? Semua sudah sangat berbeda tanpa Ayah. Kasihan Ibu, dia pasti sangat terpukul."
" Maka dari itu, Dhan. Kau nggak boleh seperti ini. Kau harus kuat agar bisa menguatkan ibumu. Dan kau harus tahu, aku siap membantumu kapanpun kau butuh aku." ucap Bara tulus.
"Terima kasih ya, Bar."
Bara mengangguk sembari tersenyum.
"Oh iya, kau tidak ke rumah Keyla." tanya Bara yang tiba-tiba teringat tentang pacar sahabatnya itu.
"Keyla?" Fardhan mengernyit heran.
"Iya. Memangnya kau nggak tahu kalau hari ini Keyla pulang?"
Fardhan menggeleng. "Nggak, dia nggak mengatakan apapun. Seminggu yang lalu dia menelepon hanya mengucapkan belasungkawa, nggak ada bilang kalau mau pulang."
"Wah, aneh sekali? Padahal tadi malam dia mengirim pesan kepadaku dan bilang kalau hari ini akan pulang, aku pikir dia juga mengatakannya kepadamu."
"Mungkin dia ingin membuat kejutan."
"Kalau dia ingin membuat kejutan, dia nggak mungkin bilang ke aku. Dia kan tahu, aku nggak bisa jaga rahasia."
"Atau bisa aja dia lupa." sahut Fardhan lagi, dia berusaha berpikiran positif meski hatinya merasa gundah dan bertanya-tanya.
"Masa sih dengan pacar sendiri lupa? Kecuali memang kau sengaja dilupakan." cibir Bara.
Fardhan tak menjawab, dia masih berusaha menenangkan diri meskipun apa yang dikatakan Bara berhasil menusuk hatinya.
Dia sadar kalau hubungannya tidak sebaik saat masa sekolah, sejak Keyla memutuskan melanjutkan pendidikan di luar negeri, hubungan mereka mulai berjarak. Komunikasi diantara mereka hanya terjadi tiga hari sekali dan bahkan setahun belakangan hanya seminggu sekali karena alasan kesibukan masing-masing.
Tapi rasa cinta Fardhan tak berkurang kepada Keyla, dia tetap mencintai wanita yang sudah menjadi kekasihnya sejak dari SMA itu, karena Keyla cinta pertamanya. Bahkan dia berniat untuk menikahi Keyla jika wanita itu kembali.
Fardhan beranjak dan langsung pergi tanpa bicara sepatah katapun. Bara menghela nafas panjang melihat sahabatnya itu.
"Memang cuma Keyla yang bisa merubah sikapnya." gumam Bara. Dia tahu kemana sahabatnya itu akan pergi.
***
Setelah mengetahui bahwa Keyla kembali, Fardhan memutuskan untuk segera ke rumah kekasihnya itu, tentu saja alasannya karena rindu dan ingin bertemu, walau sesungguhnya di dalam hati dia ingin bertanya kenapa sang kekasih tidak memberikan kabar kepulangannya?
Fardhan memarkirkan mobilnya di halaman rumah keluarga Pramuja, di samping mobilnya berderet dua mobil mewah yang salah satunya milik ayah Keyla, tapi yang satunya lagi tak tahu milik siapa. Sepertinya di dalam sedang ada tamu.
"Mas Fardhan." sapa seorang satpam yang terkejut saat melihat Fardhan turun dari mobilnya.
"Mang Asep, Keyla sudah sampai?" tanya Fardhan.
"Sudah, tadi pagi, Mas. Tapi ...."
"Saya masuk dulu ya." Fardhan melangkah menuju rumah mewah dihadapannya tanpa menggubris satpam itu, tapi Mang Asep berusaha mencegahnya.
"Hem, anu, Mas. Jangan masuk!"
Fardhan mengerutkan keningnya dan memandang Mang Asep dengan tatapan bingung. "Loh, kenapa saya tidak boleh masuk?
Tentu larangan Mang Asep membuat Fardhan bingung, dia sudah biasa keluar masuk rumah ini sejak dari SMA dulu, bahkan keluarga Keyla sudah sangat dekat dengannya. Lalu apa yang salah kali ini?
"Di dalam ... di dalam ada ...." Mang Asep tertunduk tak berani melanjutkan ucapannya sebab merasa tak enak.
"Di dalam ada apa, Mang?" desak Fardhan.
"Itu anu ... di dalam ada tamu."
"Oh, ya sudah kalau begitu saya tunggu di teras saja." Fardhan melanjutkan langkahnya menuju teras rumah mewah itu, tapi lagi-lagi Mang Asep berusaha mencegahnya.
"Tapi, Mas ...."
Tepat disaat itu seorang lelaki muda keluar dari rumah bersama Keyla dan kedua orang tuanya, mereka tampak tertawa-tawa senang tapi begitu melihat kehadiran Fardhan, tawa Keyla dan kedua orang tuanya sontak memudar.
"Fardhan ...." gumam Keyla pelan.
"Key ... kamu pulang kok nggak bilang-bilang sih?" tanya Fardhan sembari melangkah mendekati mereka.
"Mau ngapain kau kesini, haa ...?" salak seorang pria paruh baya yang tak lain adalah ayah Keyla yaitu Setyo Pramuja. Langkah Fardhan terhenti seketika.
"Saya ingin bertemu dengan Keyla, Om." Jawab Fardhan yang bingung melihat perubahan sikap Setyo, bukankah biasanya lelaki itu sangat ramah terhadapnya, mengapa sekarang jadi ketus begini?
"Saya peringatkan, jangan mengganggu Keyla lagi! Sebentar lagi dia akan menikah dengan Danar." ucap Setyo penuh penekanan sambil melirik ke arah lelaki muda yang berdiri di samping Keyla.
Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan, sementara Keyla hanya memandangnya dengan tatapan sedih.
Bagai dihantam batu besar, hati Fardhan mendadak terluka. Sakit setengah mati, sampai dia tak sanggup menutupinya.
"Key, kenapa seperti ini? Apa salahku?" Fardhan menatap Keyla dan menuntut jawaban. Tapi wanita itu segera menunduk saat netra mereka saling bertemu.
"Sebaiknya kau pergi dari sini!" usir Setyo angkuh.
"Om, tapi saya mencintai Keyla." Fardhan beralih memandang Setyo dengan mata yang memerah.
"Cinta saja nggak cukup membuat anak saya bahagia. Kau mau menghidupi anak saya pakai apa? Uang receh mu itu?" ucap Setyo penuh penghinaan. Dan detik itu juga Fardhan tahu alasan dari semua ini, kebangkrutan sang ayah menjadi dalang utamanya.
Tanpa permisi Fardhan bergegas pergi meninggalkan kediaman keluarga Pramuja dengan rahang yang mengeras, membawa luka dan sakit hati karena penghinaan dan pengkhianatan. Begitu pentingkah harta dan kekayaan bagi semua orang? Hingga mereka rela menukar cinta dan kesetiaan dengan semua itu. Miris sekali!
Keyla hanya memandangi kepergian Fardhan dengan wajah yang sedih dan mata yang berkaca-kaca, sesungguhnya dia masih mencintai lelaki itu tapi dia wanita realistis yang berpikir logis, hidup itu kepastian baginya, masa depannya ada pada keputusannya hari ini, yaitu menerima Danareksa yang merupakan pewaris tunggal kerajaan bisnis properti terbesar di tanah air.
"Maafkan aku, Dhan." batin Keyla.
***
Fardhan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, pikirannya benar-benar kacau, hatinya sungguh tak sanggup menerima semua kenyataan pahit ini. Baru saja dia merasakan sakit kehilangan sang ayah, kini dia harus kembali sakit karena harus kehilangan sang kekasih.
Kesalahan apa yang telah dia lakukan sehingga takdir memperlakukannya dengan begitu kejam?
Memori otaknya berputar kembali ke masa-masa bahagia dirinya dan Keyla, saat cinta masih begitu indah terasa. Semua kata-kata manis Keyla menggaung kembali di telinganya.
"Aku mencintaimu. Kita akan menikah dan memiliki banyak anak, pasti menyenangkan melihat mereka tumbuh. Lalu kita akan menua bersama hingga maut memisahkan."
"Aaaahhh ...."teriakan Fardhan memenuhi seluruh ruang di dalam mobilnya, dia mencengkeram kuat kemudi sampai buku-buku jarinya memutih. Geram, marah dan tak berdaya kini dia rasakan.
Matanya yang merah kini mulai memanas dan dengan cepat cairan bening menggenangi nya, tapi sebisa mungkin dia tahan agar tak jatuh menetes sebab dia tak ingin menangisi kekalahannya dan benar-benar menjadi pecundang.
"Kalau kau pikir harta bisa membuatmu bahagia, maka lakukanlah! Lakukanlah apa yang kau dan keluargamu inginkan." ucap Fardhan lirih. Cairan bening itu semakin banyak dan membuat pandangannya kabur.
Fardhan mengusap matanya dengan punggung tangan dan tak menyadari jika seorang wanita sedang menyeberang jalan dengan tiba-tiba dan ....
Brak ....
"Ya Tuhan, apa yang aku lakukan?" Fardhan tersentak saat menyadari mobilnya telah menabrak seseorang.
Dengan tergesa-gesa Fardhan turun dari mobil dan memastikan bagaimana kondisi korban. Beberapa orang sudah mulai berkerumun.
Fardhan sontak mendekati seorang wanita yang sedang terduduk di aspal sembari meringis memegangi kakinya. "Kau nggak apa-apa?"
"Kakiku sakit sekali." ucap wanita itu tanpa memandang Fardhan.
"Aku antar ke rumah sakit."
"Nggak usah!." tolak wanita itu.
"Tapi kau cedera, aku harus mengantarmu ke rumah sakit." Fardhan memaksa.
"Iya, Mbak. Dia harus bertanggungjawab, biar diantara ke rumah sakit." celetuk seorang lelaki yang ikut berkerumun.
"Aku nggak apa-apa. Aku pulang saja."
"Tapi ...."
"Aku mau pulang. Tolong pesankan taksi saja." wanita itu mengangkat kepalanya dan memandang Fardhan dengan tatapan memohon.
Fardhan sempat tertegun melihat wajah cantiknya yang memerah dan dipenuhi peluh, hidung mancung dengan bibir yang mungil serta mata indah. Perpaduan yang begitu sempurna bak boneka Barbie.
"Hey, kenapa melamun? Mau tolong pesankan atau nggak?"
Fardhan tersentak setelah mendengar suara wanita itu, dengan gugup dia berinisiatif menawarkan diri. "Hem, kalau begitu biar aku antar pulang saja."
Wanita itu menggeleng. "Pesankan taksi saja."
"Baiklah. Akan aku pesankan, sekarang kau tunggu ditepi jalan dulu, disini panas."
Wanita itu mengangguk dan berusaha berdiri dengan susah payah, Fardhan membantunya dengan memegang tangan wanita itu.
"Bisa? Atau mau aku bantu?" tanya Fardhan sekedar memastikan jika wanita itu bisa berjalan ke tepi.
"Aku bisa sendiri. Tolong ambilkan keranjang itu." ujar si wanita sembari menunjuk keranjang belanjaan yang isinya tercecer keluar karena terlempar saat dia terjatuh tadi. Lalu dia berjalan dengan terpincang-pincang menuju trotoar yang tepat berada di bawah pohon besar nan rindang.
Fardhan pun menurut dan memunguti isi belanjaan yang tercecer lalu memasukkannya kembali ke dalam keranjang. Fardhan segera menyusul wanita itu dan memberikan keranjangnya, lalu dia segera mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi online.
"Mau diantar kemana?" tanya Fardhan memastikan tujuan wanita itu.
"Ke jalan merak jingga nomor 12."
Fardhan mengangguk tanda mengerti dan segera mengetik alamat tersebut.
"Aku minta maaf, tadi aku terburu-buru dan nggak melihatmu." ucap Fardhan setelah selesai mengorder taksi online.
"Nggak apa-apa. Aku juga salah karena menyeberang dengan nggak hati-hati." balas wanita itu sembari meringis.
Melihat wanita itu kesakitan, Fardhan semakin merasa bersalah. "Sakit sekali ya? Kau yakin nggak mau ke rumah sakit?"
"Paling cuma keseleo aja, nanti bisa diurut. Nggak perlu ke rumah sakit."
"Oh. Perkenalkan nama aku ...."
"Dengan Mas Fardhan Gunawan?" seorang lelaki tiba-tiba menghampiri mereka, membuat Fardhan tak sempat memperkenalkan dirinya.
Fardhan sontak berbalik saat mendengar namanya disebut. "Iya, saya sendiri."
"Oh, taksinya sudah datang ya?" Fardhan tersenyum saat menyadari lelaki itu adalah supir taksi online yang dia pesan.
"Iya, Mas."
Wanita itu pun segera berdiri dengan susah payah, Fardhan dengan sigap membantunya.
"Mari aku bantu." Fardhan memegangi tangan wanita itu.
Setelah berdiri sempurna, wanita itu melepaskan tangannya dari pegangan Fardhan dan hendak meraih keranjang yang masih teronggok di dekat kakinya.
"Biar aku ambilkan." Fardhan mengambil keranjang itu dan memberikannya kepadanya.
"Terima kasih." wanita itu kembali berjalan dengan terpincang-pincang menuju taksi yang sudah dipesankan oleh Fardhan.
"Hati-hati ya." balas Fardhan dan wanita itu hanya mengangguk dua kali tanpa menoleh.
Setelah wanita itu pergi, Fardhan menghela nafas lega. Dia bergegas masuk ke dalam mobilnya dan melanjutkan perjalanan, tapi seketika perasaan hancur dan rasa sakit kembali menyerangnya tanpa ampun. Tapi kali ini dia tak membiarkan emosi menguasainya hingga dia berkendara dengan tidak hati-hati seperti tadi, dia tak ingin kejadian tadi terulang lagi.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!