NovelToon NovelToon

As Long As I Met You

Chapter 1: Cerita Tentang Blue Hawkins

[Aku tidak akan melupakan hari saat pertama kali kakekku menceritakan tentangmu. —Hope Miller]

Akhirnya Hope tiba juga di desa Bibury yang terletak di wilayah Gloucestershire, Inggris Selatan. Perjalanannya dari London memakan waktu kurang lebih dua jam. Mengemudi sendirian selama dua jam membuatnya cukup lelah. Namun pemandangan desa Bibury yang berwarna hijau cukup membayar lelahnya. Jika di London dia terbiasa melihat bangunan-bangunan besar dan gedung-gedung pencakar langit yang dipadati dengan keramaian, maka di sini dia dapat melihat rumah-rumah yang dibangun dari susunan batu bata yang berjajar rapi. Bentuk rumah-rumah di sini memiliki bentuk yang hampir sama. Beberapa bangunan bahkan dirambati oleh tanaman hijau. Desa ini merupakan wujud nyata dari penggambaran negeri dongeng di buku cerita yang biasa Hope baca ketika masih kecil.

Terdapat banyak bangunan cottage di sini. Tidak mengherankan karena desa ini masih merupakan salah satu desa wisata yang dikelola pemerintahan Inggris. Hope kemari untuk tinggal dengan kakeknya. Setelah dipecat dari perusaaan tempat ia berkerja, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Mendengar keputusan Hope, kedua orang tuanya menyarankan agar Hope pergi berlibur dan tinggal di rumah kakeknya yang terletak di desa Bibury ini. Terakhir kali Hope ke desa ini adalah ketika ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu ia masih sangat muda, sehingga sangat sedikit ingatan yang tersisa di kepalanya.

Sebelum pergi ke sini, kedua orang tuanya sudah memberikan alamat kakeknya kepadanya beserta ciri-ciri rumah kakeknya. Jadi, Hope tidak begitu merasa kesulitan untuk menemukan sebuah rumah dengan taman bunga yang cukup luas di halamannya. Hope turun dari mobilnya dan menyampirkan ransel di pundaknya. Ia menghentikan langkahnya sejenak dan mengirup udara segar yang jarang ia temukan di padatnya kota London.

“Ini benar-benar menyegarkan,” kata Hope sambil merentangkan tangannya dan menikmati semilir angin musim gugur yang berembus menerpa tubuhnya dan menerbangkan helaian-helaian rambut pendeknya yang berwarna keemasan. Ia tersenyum cerah secerah matahari siang ini.

Hope berhenti di depan pintu rumah kakeknya yang bernomor 223. Ia menatap sekelilingnya. Rumah kakeknya tampak sepi.

“Apa kakek tidak berada di rumah?”  batin Hope.

Hope menekan bel yang terletak di samping pintu. Tidak ada jawaban hingga Hope menekan bel untuk ke tiga kalinya. Hope baru saja hendak menelepon kakeknya, untuk memastikan keberadaaan kakeknya serta mengecek apakah ia tidak salah rumah. Namun, suara pintu terbuka membuat jemari Hope berhenti di atas layar ponselnya.

Hope memutar tubuhnya. Nampak seorang pria tua dengan rambut yang hampir di penuhi uban keseluruannya. Mungkin wajahnya nampak tua, tapi, kondisi tubuhnya terlihat sangat fit. Nama pria tua itu adalah Samuel Miller. Ia merupakan kakek Hope dari pihak sang ayah.

Samuel tersenyum lebar menatap kehadiran cucunya yang sudah ia nanti sejak tadi. Celemek berwarna merah muda yang sangat tidak cocok untuknya masih membalut  tubuh tuanya. “Hope!” panggilnya dengan sedikit berteriak saking antusiasnya.

“Kakek!” pekik Hope sembari memeluk erat tubuh tua kakeknya. “Kenapa lama sekali membukakan pintu? Kupikir aku salah rumah!” gerutu Hope tanpa melepaskan pelukan dari kakeknya.

Samuel terkekeh mendengar gerutuan dari cucunya tersebut. “Maafkan, Kakek. Kakek tadi sedang membuat pie untukmu…." Samuel menepuk dahinya setelah teringat akan pie-nya. "Ya, Tuhan! Pieku!” ia melepaskan pelukan cucunya dan segera berlari ke arah dapur.

Sedangkan Hope, hanya terperangah karena ditinggalkan begitu saja oleh kakeknya. Ia pun pergi menyusul kakeknya memasuki rumah.

“Kek?” panggil Hope.

“Kemarilah, Girl. Kakek ada di dapur,” seru kakeknya.

Hope mengikuti arah sumber suara hingga ia sampai di dapur sederhana milik kakeknya. “Bagaimana dengan pie Kakek?” tanya Hope sambil mendekat ke arah kakeknya yang baru saja mengeluarkan pie dari dalam oven dan meletakkannya di atas meja pantry.

“Untung saja, aku berhasil menyelamatkannya,” kata Samuel sambil tersenyum lebar.

Hope mengerutkan dahinya ke arah dua loyang pie di atas meja. “Kenapa Kakek membuat banyak sekali pie? Kita hanya berdua saja di sini. Kurasa dua loyang pie terlalu banyak untuk kita berdua,” komentar Hope.

“Ah, ini untuk Anak Baik yang tinggal di seberang rumah kita,” jelas Samuel.

“Anak Baik?”

“Ya, anak yang malang. Namanya Blue Hawkins. Seingat Kakek ia seusia denganmu, 24 tahun.”

“Blue? Nama yang unik,” gumam Hope sambil berjalan mengambil peralatan makan untuk menyantap pie buatan kakeknya.

“Menurutku namanya keren. Kakeknya sendiri yang memberinya nama tersebut. Karena saat anak laki-laki itu lahir, langit biru terlihat sangat cerah. Seolah-olah menyambut kelahirannya. Kakeknya merupakan temanku bermain catur. Bulan lalu, ia meninggal dunia. Mungkin karena setres. Beberapa hari setelah kakeknya meninggal, ia masuk rumah sakit dan setelah itu dia menjadi anak yang sangat pemurung. Padahal dulu ia adalah anak yang sangat hangat. Ia merawat kakeknya dengan sangat baik walaupun ia sering berpergian karena pekerjaannya sebagai fotografer. Sesekali ia menemaniku dan kakeknya untuk bermain catur hingga larut malam.” Samuel menghembuskan napasnya pelan. Matanya nampak menerawang saat menceritakan masa lalunya. “Mungkin saja ia masih merasa terpukul dengan kepergian kakeknya. Aku juga sangat jarang melihatnya keluar dari rumahnya sekarang.”

Hope menarik seloyang pie mendekat ke arahnya. Ia lalu memotongnya mengguakan pisau dan meletakkannya di atas piring. “Bagaimana dengan kedua orang tuanya?” tanya Hope sambil memasukkan sesuap pie menggunakan garpu di tangannya.

“Orang tuanya bercerai. Ibunya memiliki keluarga baru dan suaminya tak ingin Blue tinggal bersama mereka.”

“Ayahnya?” tanya Hope yang masih antusias mendengarkan cerita kakeknya.

Samuel membuang napasnya kasar. Raut wajahnya nampak kesal. “Ayahnya brengsek. Ia pikir segalanya bisa diurus dengan uang. Walaupun ia selalu mengalirkan dana setiap bulannya untuk Blue, sesungguhnya ia tidak peduli dengan anaknya sendiri, yang ia pedulikan hanyalah pacarnya saja yang selalu berganti-ganti seperti ia mengganti baju. Jadi, meskipun Blue masih memiliki orang tua lengkap, ia seperti tinggal sebatang kara setelah kakeknya meninggal. Itulah mengapa kakeknya yang merupakan sahabat baikku, menitipkan Blue ke padaku ketika ia sudah tiada.”

“Jadi, mengapa Kakek tidak mengundangnya ke sini saja? Jika ia sering menemani kalian bermain catur, itu artinya kalian sudah cukup akrab, bukan? Aku tidak sabar berkenalan dengan tetangga baruku,” ujar Hope ceria.

Samuel menghembuskan napasnya berat. Ia lalu menggelengkan kepalanya. “Masalahnya adalah sekarang ia tak lagi ramah seperti dulu. Aku selalu mendekatinya, tapi ia seolah-olah menutup diri kepadaku. Itulah yang membuatku semakin sedih. Padahal dulu sebelum kakeknya meninggal, kami sangat akrab,” gumam Samuel sambil menundukan kepalanya lesu.

“Jadi, bagaimana dengan pienya? Kau bilang akan memberikannya kepada Blue,” komentar Hope sambil menunjuk dengan garpunya seloyang pie di atas meja yang masih utuh belum tersentuh sama sekali.

“Mau kah kau membantu Kakek?” tanya Samuel dengan tatapan penuh harap ke arah cucunya.

Hope menganggukkan kepalanya pasti. “Hm… tentu saja, Kek. Apa yang bisa kubantu?”

“Maukah kau mengantarkan pie ini kepada Blue? Kau cukup meletakkannya di depan pintu dan menekan bel rumahnya dan memberikan secarik pesan singkat di atas kertas agar ia mengetahui siapa yang membawakannya pie ini,” tutur Samuel.

“Aku bahkan bisa memberikannya secara langsung kepadanya,” ujar Hope bersemangat.

Samuel melambaikan tangan di depan wajahnya. “Tidak perlu. Ia juga sepertinya tidak suka terhadap orang asing. Kau tak perlu menganggunya. Lakukan saja seperti yang biasa kulakukan.”

Hope mengerutkan bibirnya. “Aku tidak akan menganggunya. Aku hanya ingin menyapa tetangga baruku. Kakek pikir aku seekor lalat apa, yang kehadirannya menganggu orang lain?”

Mendengar gerutuan Hope membuat Samuel tertawa renyah. “Bukan begitu, Hope. Kakek tak pernah mengatakanmu mirip seekor lalat. Hanya saja… sudahlah lakukan saja apa yang ingin kau lakukan.”

“Biaiklah! Aku akan mengantarkannya sekarang.” Hope beranjak dari duduknya dengan bersemangat dan menyambar seloyang pie di hadapannya. Ia segera menderapkan langkahnya menjauhi dapur.

Namun, belum berapa lama ia pergi, langkah kaki Hope kembali terdengar mendekati dapur. “Kek, aku lupa bertanya, yang mana rumah Blue?” tanya Hope yang sudah kembali berdiri di tengah-tengah dapur.

Samuel terkekeh melihat tingkah cucu perempuannya ini. “Rumah yang berada tepat di seberang rumah kita. Memiliki pagar kayu berwarna hijau.”

“Baiklah. Dah, Kek.” Hope segera berlari keluar dari dapur dan pergi menuju rumah tetangga barunya dengan antusias.

Chapter 2: Pertemuan Pertama

[Kau sangat menyebalkan hingga rasanya aku ingin memakan kepalamu mentah-mentah. —Hope Miller]

Hope berjalan ke arah rumah dengan pagar hijau dengan sedikit berlari karena merasa bersemangat. Ia membuka pagar kayu yang tak terkunci tersebut, dan berjalan di sepanjang jalan setapak menuju rumah besar di hadapannya. Rumah tersebut dibalut dengan tanaman berwarna hijau di dindingnya. Rumah yang ia ketahui adalah milik seorang laki-laki bernama Blue tersebut, sangat hening. Perkarangan rumanya nampak tak terawat. Padahal, Hope yakin dulunya taman di perkarangan rumah Blue ini, pasti sangat indah. Hope menaiki tangga batu yang mengarah ke halaman depan rumah Blue. Sesampainya ia di depan pintu rumah bernomor 222, ia segera menekan bel.

Hope menunggu beberapa saat. Namun, sang pemilik rumah tak juga kunjung membukakan pintu untuknya. Hope menekan bel sekali lagi. Masih hening. Pemilik rumah tak juga membukakannya pintu. Hope menekan bel untuk ke sekian kalinya, walaupun tak kunjung di bukakan pintu oleh sang pemilik rumah. Hope tau, mungkin ini terkesan tidak sopan. Tapi, entah mengapa ia yakin bahwa sang pemilik rumah sebenarnya ada di dalam.

Hope mengintip dari balik jendela kaca yang tertutup tirai yang terletak di samping pintu. Samar-samar ia melihat cahaya lampu dari dalam pintu. Hal tersebut membuat Hope semakin yakin bahwa sebenarnya Blue ada di dalam. Ia kembali menekan bel dengan semangat. Walaupun kakinya sudah terasa pegal akibat perjalanan jauh dari London ke sini, semangatnya tak pudar untuk menemui dengan anak baik yang diceritakan oleh kakeknya. Tidak tahu mengapa ia begitu penasaran dengan sosok Blue. Lagi pula, mereka seumuran. Jadi, pasti mereka akan lebih cepat akrab.

Hope terus menekan bel rumah Blue tanpa henti. Hingga akhirnya perjuangannya terbayar. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah pintu, sebelum pintu tersebut terbuka. Nampak seorang cowok berambut gondrong, acak-acakkan, dan tak terurus. Menggunakan hoodie berwarna hitam. Wajahnya nampak malas dan kusut. Ia seperti sudah lama tidak bercukur. Cekungan hitam terlihat jelas di bawah matanya. Ia menatap Hope dengan tatapan tak suka. Sementara Hope melemparkan senyum cerahnya ke arah laki-laki di hadapannya. Hope menyodorkan seloyang pie di tangannya ke arah laki-laki yang sekarang sudah mengamatinya dari atas ke bawah.

“Kenalkan, aku Hope. Hope Miller. Cucu dari Samuel Miller, kakek yang tingga di seberang rumahmu ini.” Hope menunjuk ke arah rumah kakeknya. Sementara Blue masih tak menanggapi Hope dan malah menatapnya dengan tatapan sinis. Ia secara terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya kepada Hope.

Namun, hal itu tidak membuat Hope mundur. “Kudengar namamu Blue, dan kita seumuran. Kurasa kita bisa lebih cepat akrab karena kita seumuran,” ujar Hope yang masih terdengar ceria walaupun ocehannya sejak tadi tidak dihiraukan oleh Blue, dan pie di tangannya tak kunjung di sambut oleh Blue. Sejujurnya tangannya sekarang sudah benar-benar pegal.

“Apa kau sudah selesai bicara?” tanya Blue dengan suaranya yang datar tanpa emosi setelah Hope berhenti bicara.

Hope menaikkan satu alisnya tak mengerti mengapa Blue menanyakan hal tersebut kepadanya. “Sudah,” jawab Hope seadanya.

“Kalau sudah… pergilah. Kau tahu jalan pulang, bukan?” usir Blue. Tanpa menunggu jawaban Hope, Blue segera menutup pintu rumahnya rapat-rapat tepat di depan wajah Hope. Hope terlalu terkejut untuk bereaksi. Kedua tangannya yang memegang pie, masih menggantung di udara.

Hope mengedipkan matanya beberapa kali. Ia masih tak menyangka dengan respon yang diberikan oleh Blue kepadanya. Hope akhirnya memutuskan untuk meletakkan pie pemberian kakeknya di depan pintu rumah Blue. Ia mengetuk pintu rumah Blue dan sedikit berteriak, “Blue, aku meninggalkan pie pemberian kakekku di depan pintu. Kuharap kau menikmatinya.”

Hope lalu membalikkan badannya dan berniat pulang. Baru saja ia berjalan menuruni tangga, terdengar suara pintu terbuka dari belakangnya. Hal tersebut membuat Hope memutar tubuhnya antusias. Ia kembali menaiki tangga.

“Kau bilang tadi, kau cucu dari Kakek Sam?” tanya Blue dengan wajahnya yang masih menampakkan raut muka datar.

“Ya!” jawab Hope dengan sangat antusias.

“Pantas saja,” gumam Blue sekilas.

Hope tak mendengar apa yang dikatakan oleh Blue. “Apa kau bilang?” tanya Hope sambil berjalan mendekat.

“Bawa pulang makananmu. Dan katakan kepada kakekmu untuk berhenti mengusik dan mengurusi hidupku. Aku tidak butuh makanan dari kalian.” Blue menatap sinis ke arah pie di lantai kemudian ia menendangnya menjauh dari depan pintu, untuk kemudian menutup pintu kembali tanpa menunggu jawaban dari Hope.

“Hah,” Hope masih terperangah dengan sikap Blue.

“Hei! Kau tak sopan sekali! Kakekku membuat pie ini dengan sepenuh hati, tapi kau malah menenandangnya! Kau tidak tau ya bagaimana cara menghargai makanan!” Hope terus mengomel sambil memungut pie yang sudah berhambur di lantai dan nampak tak lagi berharga. Ia tak yakin apakah Blue mendengarkanya atau tidak, yang jelas ia benar-benar tak terima dengan sikap Blue yang sudah benar-benar keterlaluan menurutnya.

Menurut Hope, Blue boleh bersikap tak sopan padanya tapi ia merasa tak terima jika kakeknya diremekan. Apalagi sampai menghina kebaikkan hati kakeknya. Blue mungkin mempunyai banyak masalah di hidupnya, tapi hal tersebut tidak lantasmembuatnya bisa bersikap seenaknya kepada orang lain. Terutama kepada orang yang berusaha bersikap baik padanya.

Hope menderapkan langkahnya untukkembali ke rumahh kakeknya. Ia menghentak-hentakkan kakinya secara dramatis. Wajahnya sudah tertekuk sempurna. Bibirnya mengerucut. Ia membuka-tutup pintu rumah kakeknya dengan sedikit keras hingga berbunyi cukup nyaring.

“Kau kenapa?” tanya Samuel kepada cucunya yang berwajah seperti kertas kusut.

Hope menyodorkan loyang berisi pie yang hancur ke arah kakeknya. “Lihatlah! Dia benar-benar anak yang tidak sopan. Bagaimana bisa kakek memanggilnya Anak Baik,” gerutu Hope sambil mendengus kesal.

Bukannya membela cucunya dan ikut mengomel bersama Hope, Samuel malah terkekeh. “Kakek kenapa malah tertawa! Aku serius, dia benar-benar anak yang tak tau sopan santun. Dia sangat menyebalkan dan aku rasanya ingin memakan kepalanya mentah-mentah.”

“Kakek sudah bilang padamu untuk tidak menganggunya dan letakkan saja makanannya di depan pintu rumahnya. Salahmu sendiri tak mendengarkan Kakek,” komentar Samuel yang malah menyalahkan Hope.

“Kakek masih membelanya? Dia jelas-jelas tidak menghargai orang lain dengan melakukan hal ini,” omel Hope yang masih merasa tak terima karena pie di tangannya harus hancur dengan sia-sia.

Samuel tersenyum menenangkan. “Sudah… sudah. Sekarang lebih baik kau beristirahat. Kau pasti lelah setelah dua jam perjalanan dari London.” Ia menepuk pelan pundak Hope dan mengambil loyang pie di tangan cucunya tersebut. “Lupakan Blue. Jika kau tak menyukainya maka kau tak perlu berinteraksi dengannya.”

“Tidak, Kek!” Hope mengepalkan tinjunya. “Aku tidak terima atas perlakuannya kepadaku dan kepada Kakek. Jadi, mulai saat ini aku bertekat untuk selalu mengusiknya hingga dia memohon ampun kepadaku,” ujar Hope sambil tersenyum menyeringai.

Chapter 3: Gadis Penganggu

[Kau adalah gadis paling menganggu yang pernah kutemui seumur hidupku. —Blue Hawkins]

Blue berbaring di atas kasurnya sambil menatap langit-langit kamarnya. Sama seperti hari-hari sebelumya, hari ini ia tak berniat melakukan kegiatan apapun. Untuk apa ia melakukan sesuatu jika pada akhirnya dia juga akan mati? Semenjak dinyatakan mengidap HIV, Blue tak lagi memiliki motivasi hidup. Orang-orang yang awalnya ia pikir adalah orang terdekatnya, mendadak pergi menjauhinya. Tak terkecuali mantan pacarnya-Sarah.

Sarah merupakan orang yang pertama kali mengetahui bahwa Blue mengidap penyakit HIV, dan juga merupakan orang pertama yang menjauhinya. Sarah juga yang meberitahukan tentang penyakitnya kepada orang-orang yang awalnya Blue anggap sebagai teman. Sehingga satu-persatu dari mereka perlahan menjauh dari Blue dan tak ingin terlibat dengan Blue. Bagi mereka, Blue tak lagi bisa dimanfaatkan. Mereka memandang Blue seolah-olah Blue adalah virus HIV itu sendiri.

Hal yang lebih menyakitkan adalah, mantan kekasihnya—Sarah, secara terang-terangan mengencani sahabat baiknya, usai putus dengannya. Fakta yang membuat Blue terpukul. Ternyata Sarah selama ini hanya mencintai hartanya karena ia adalah anak dari pengusaha terkenal.

Dulu ia merupakan fotografer muda yang cukup sukses. Hidupnya bebas. Ayahnya juga tak pernah menghentikan aliran dana ke akun banknya. Hal itu membuat Blue memiliki banyak orang di sekitarnya. Muda, sukses, berbakat, memiliki koneksi, dan kaya. Paket lengkap untuk bisa dimanfaatkan.

Setelah semua penghianatan yang ia dapat, Blue tak lagi percaya dengan semua orang. Menurutnya semua orang di bumi ini munafik. Mereka semua adalah aktor dan aktris yang memainkan peran di panggung kehidupan. Dari semua orang yang Blue kenal, ada satu orang yang masih terus mengusiknya. Yaitu Samuel Miller, atau yang akrab Blue sapa dengan panggilan Kakek Sam.

Kakek Sam merupakan sahabat mediang kakeknya. Mereka berdua sering bermain catur hingga larut malam. Jika Blue sedang tidak bepergian dan sedang berada di rumah, maka ia sesekali menemani kedua orang tua itu bermain catur, sambil ikut mengobrol. Semenjak kakeknya meninggal, Kakek Sam tak berhenti memperhatikannya. Ia selalu meninggalkan makanan untuk Blue yag ia letakkan di depan pintu rumah Blue. Ia juga selalu menyapa Blue dengan senyum cerahnya, jika sesekali Blue keluar dari rumahnya. Walaupun Blue sudah bersikap sinis kepada Kakek Sam, namun lelaki tua itu tak pernah sekalipun marah padanya maupun menjauhinya. Hingga akhirnya terkadang tingkahnya sendiri membuatnya merasa bersalah pada akhirnya.

Tapi, bukankah Kakek Sam masih bersikap baik kepadanya karena ia tidak mengetahui bahwa Blue mengidap HIV? Jika ia mengetahui tentang penyakit yang diderita Blue, Blue yakin seratus persen bahwasannya Kakek Sam juga akan menjauhinya sama sseperti orang-orang lain. Blue tak ingin merasa kecewa lagi. Jadi,ia memutuskan untuk menjauhi siapapun termasuk Kakek Sam.

Tiba-tiba suara bel membuyarkan lamunan Blue. “Itu pasti Kakek Sam,” batin Blue. Karena hanya Kakek Sam yang sampai sekarang masih selalu menekan bel rumahnya.

Blue hanya diam dan tidak beranjak dari kasurnya. Karena ia tau, Kakek Sam akan pergi setelah menekan bel dan meletakkan makanan di depan pintu rumahnya. Setidaknya itulah yang selalu Kakek Sam lakukan sebulan belakangan.

Namun, tak seperti yang Blue duga, bel rumahnya malah berbunyi berulang-ulang kali hingga membuatnya kesal. Ia pun akhirnya memutuskan untuk turun dari kasurnya dan berjalan menuju pintu rumahnya. Blue memasang wajah datarnya sebelum ia membuka pintu rumahnya.

Nampak seorang gadis tersenyum lebar di hadapannya. Menurut Blue, senyum gadis di depannya ini terlihat sangat konyol. Ia memandang gadis asing itu tanpa menunjukkan emosi di wajahnya sedikit pun. Walau benaknya bertanya-tanya siapa sebenarnya gadis ini? Apa maunya?

Blue mengamati gadis asing yang sekarag sedang menyodorkan seloyang pie kepadanya. Gadis dengan rambut bergelombang, berpotongan pendek sebahu dan berwarna pirang ini benar-benar aneh. Ia nampak seperti seorang penganggu yang suka ikut campur.

Ngomong-ngomong apa gadis pirang ini adalah orang baru di sini? Karena Blue tak pernah melihatnya sebelumnya.

“Kenalkan, aku Hope. Hope Miller. Cucu dari Samuel Miller, kakek yang tingga di seberang rumahmu ini.” Hope menunjuk ke arah rumah Kakek Sam. Sementara Blue masih tak menanggapi Hope dan malah menatapnya dengan tatapan sinis. Ia akan secara terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya kepada Hope agar gadis di hadapannya ini menjauh darinya. Ia tidak butuh seseorang masuk ke dalam hidupnya yang sebentar lagi akan berakhir.

“Kudengar namamu Blue, dan kita seumuran. Kurasa kita bisa lebih cepat akrab karena kita seumuran,” ujar Hope yang masih terdengar ceria. Blue masih tak menanggapi ocehan Hope yang terdengar seperti burung gereja. Ia juga tak kunjung mengambil pie yang disodorkan oleh Hope.

“Aku tidak bertanya! Dan aku tidak ingin tau siapa namamu! Apa dia bilang tadi? Akrab? Jangan harap aku mau akrab denganmu. Bukan hanya karena kita seumuran lantas bisa membuat kita menjadi akrab. Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang tak penting terutama gadis konyol berpikiran sederhana sepertimu,” batin Blue sinis.

Setelah Hope berhenti mengoceh, Blue akhirnya membuka mulutnya untuk bertanya, “Apa kau sudah selesai bicara?” sindir Blue secara halus. Gadis ini tidak akan berhenti bicara jika ia tidak menyindirnya.

Hope menaikkan satu alisnya. Gadis itu nampak tak mengerti dengan maksud dari pertanyaan Blue kepadanya. “Sudah,” jawabnya seadanya.

“Kalau sudah… pergilah. Kau tahu jalan pulang, bukan?” usir Blue. Tanpa menunggu jawaban Hope, Blue segera menutup pintu rumahnya rapat-rapat tepat di depan wajah Hope.

Blue melangkahkan kakinya menjauh dari arah pintu depan rumahnya. Samar-samar ia mendengar suara Hope yang menyuruhnya memakan pie yang ia letakkan di depan pintu rumahnya. Tunggu! Bukankah gadis itu tadi berkata bahwa ia adalah cucu dari Samuel Miller? Blue melangkahkan kakinya kembali menuju pintu, untuk memastikan bahwa Hope adalah cucu dari Kakek Sam.

Blue membuka pintu rumahnya. Ia menundukkan kepalanya ke bawah. Menatap seloyang pie di lantai.  Pandangannya lalu ia lemparkan ke arah Hope yang nampak sudah menaiki anak tangga kembali untuk mendekat ke arahnya.

“Kau bilang tadi, kau cucu dari Kakek Sam?” tanya Blue kepada Hope. Ia hanya ingin memastikan.

“Ya!” jawab Hope yang terlihat sangat antusias.

“Pantas saja,” gumam Blue sekilas. “Kalian sama menganggunya,” imbuh Blue dalam hati. "Apa setelah lelah menganggunya, Kakek Sam sekarang berniat melibatkan cucunya untuk membantunya mengangguku?” 

Hope nampak tak mendengar apa yang digumamkan oleh Blue. “Apa kau bilang?” tanya Hope sambil berjalan semakin mendekat.

“Bawa pulang makananmu. Dan katakan kepada kakekmu untuk berhenti mengusik dan mengurusi hidupku. Aku tidak butuh makanan dari kalian.” Blue menatap sinis ke arah pie di lantai. “Apakah aku harus bertindak sejauh ini agar mereka berhenti mengusikku?” Blue kemudian menendangnya pie di bawah kakinya hingga menyebabkan pie tersebut terlempar menjauh dari depan pintu. Sekali lagi, ia menutup pintu rapat-rapat di depan wajah Hope tanpa menunggu gadis itu berbicara kembali kepadanya.

Dari dalam rumah, samar-samar Blue mendengar suara Hope yang terus mengomel di depan rumahnya. Blue tidak peduli, yang penting gadis itu dan kakeknya berhenti mengusik hidupnya. Ia tidak ingin sebelum ia mati, ia harus merasakan rasa sakit hati lagi. Setidaknya dengan tidak berinteraksi dengan siapapun membuatnya terhindar dari rasa sakit yang disebabkan oleh manusia-manusia yang pada akhirnya hanya menebarkan rasa kecewa kepadanya.Blue menghentikan langkahnya di depan sebuah kalender yang terpasang di dinding rumahnya. matanya mengamati lingkaran merah yang ia tambahkan sebagai pengingat hari kematiannya. Hanya tersisa sembilan puluh tujuh hari lagi sebelum ia terbang ke Swiss dan melakukan euthanasia¹ untuk mengakhiri kehidupannya yang menyedihkan ini.

.

.

.

.

.

.

Note\= 1. Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seseorang secara  sengaja untuk menghilangkan penderitaannya. Euthanasia dapat dilakukan pada kasus tertentu, misalnya pada  penderita penyakit mematikan yang tidak dapat disembuhkan atau pada  pasien yang merasa kesakitan dan kondisi medisnya tidak bisa lagi  diobati. Permintaan untuk euthanasia bisa dilakukan oleh pasien sendiri  atau keluarga pasien (Sumber: Alo Dokter). Negara Swiss merupakan salah satu negara yang melegalkan praktek euthanasia. Swiss mengizinkan euthanasia yang dibantu dokter tanpa persyaratan usia minimum, diagnosis, atau keadaan gejala (Sumber: Kompas.com).

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!