Muhammad Ali Hasan Laki-laki tampan bertubuh atlentis, meski tertutup oleh baju kokoh yang sering di pakainya dan sifat dingin yang di miliki tak mengurangi pesonanya. Putera seorang Ilzham mubarok penerus pesantren Thoriqul jannah, Dia laki-laki pendiam dan bersikap dingin terhadap orang lain namun hal itu tak berlaku pada keluarganya. Hasan orang-orang di sekelilingnya biasa memanggilnya. Awalnya semua berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang di dikehendakinya hingga suatu hari dia bertemu dengan Arumi seorang gadis yang mampu menarik perhatiannya, namun dia harus bersaing dengan Husein saudara kembarnya.
Muhammad Ali Husein laki-laki tampan kembaran dari Hasan. Meski wajah mereka sama namun sikap mereka bagai langit dan bumi. Husein memiliki sifat yang ramah dan mudah bergaul bahkan hampir mendekati sengklek. tapi sifatnya itu tak mengurangi pesonanya, Husein jatuh pada pesona Arumi wanita yang mampu membuat hatinya bergetar setiap menatap matanya, tapi dia harus bersaing dengan Kakak sekaligus saudara kembarnya. Hasan dan Husein jatuh cinta pada gadis yang sama.
Arumi Nasha Razeta gadis cantik nan imut dengan sifat ceria dan penuh semangat. Arumi yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas, di sebuah sekolah cukup terkenal di Australia tiba-tiba harus pulang dan menjadi santri di pondok pesantren milik sahabat Bundanya. Arumi yang memang memiliki jiwa ceria penuh semangat melewati hari-harinya di pesantren dengan penuh suka cita, hingga sebuah pernyataan cinta yang di dengarnya membuat Arumi bingung karena dia harus memilih satu diantara dua laki-laki yang cukup menarik perhatiannya.
**********
Pagi yang cerah tetes-tetes embun bekas hujan semalam masih tertinggal di atas dedaunan, aroma tanah tersiram air hujan begitu segar menelusup ke dalam hidung. Seolah mendukung seorang gadis yang tengah bergulung di selimutnya untuk tetap menutup mata terlelap dalam mimpi, sampai suara seorang wanita mengusik tidurnya.
"Arumi!!!!" suara teriakan yang selalu menghiasi paginya, membuat Arum membuka paksa mata yang sejak tadi terpejam.
"Bunda apaan sih pagi-pagi udah teriak-teriak gak jelas." gerutu Arumi membuka pintu kamar bersandar di pinggir pintu dengan tangan yang sesekali menutup mulutnya yang tengah menguap.
"Arum, ini sudah jam delapan kamu bilang pagi Nak, kamu ini orang islam. Maka tunaikan kewajibanmu sebagai seorang muslim." Bunda Arum selalu mengingatkan tentang kewajibannya sebagai seorang muslim, tapi Arum sering melalaikan apa yang di ingatkan oleh Bundanya.
Mengingat mereka sekarang memang hidup di negara orang dengan kebebasan dan kebiasaan yang jauh berbeda dari negara asal mereka.
"Bunda, maafin Arum ya. Karena Arum masih belum bisa jadi anak seperti yang Bunda harapkan." Arum selalu mengatakan hal yang sama setiap kali Ibundanya mengingatkan kewajibannya sebagai seorang muslim.
"Jika kamu memang serius ingin menjalani kewajibanmu sebagai seorang muslim, maka pulanglah ke indonesia dan belajarlah di sana!" Titah Bunda Arum.
"Aku harus belajar apa lagi Bunda?" tanya Arum yang merasa telah lulus sekolah.
"Belajar untuk mendalami ilmu agama Nak. Karena sejatinya manusia hidup di dunia ini hanya sementara." Bunda Arum yang sekarang memang sudah berhijrah menjadi insan yang lebih religius dan taat pada agama terus mendorong anaknya agar mengikuti jejaknya.
"Apa aku akan kuliah di sana Bunda?" tanya Arum.
"Bukan kuliah Nak, tapi nyantri." Jelas Ibu.
"Apa??? nyantri?" ucap Arum yang langsung terkejut bercampur bingung, karena sejak kecil dia tak pernah mendengar istilah nyantri sebelumnya.
"Iya Nak," Bunda Arum terus berusaha meyakinkan Arum, saat ini mereka sudah duduk di meja makan dengan Ayah Arum yang lebih dulu ada di sana.
"Bunda nyantri itu apa?" Arum menanyakan kata yang asing di telinganya.
"Nyantri itu sebutan untuk orang yang sedang belajar agama di sebuah pondok pesantren Sayang." Bunda Arum duduk tepat di sampingnya mengusap lembut rambut panjang Arum yang tengah tergerai, meski baru bangun tidur tapi rambut indah Arum terlihat tak terlalu berantakan, masih indah di pandang.
"Kamu yakin mau mengirim Arum ke indonesia untuk jadi santri?" pertanyaan muncul dari bibir Ayah Arum.
"Yakin Ayah, ilmu agama itu penting untuk bekal hidup yang lebih baik." Jawaban Bunda membuat hati Arum menjadi yakin jika dia harus mengikuti saran sang Bunda.
"Baiklah Bunda, lusa Aku akan berangkat ke indonesia dan masuk pesantren seperti yang Bunda sarankan." Jawaban Arum membuat Bundanya lega sekaligus bahagia.
"Alhamdulillah, terima kasih Nak kamu sudah mau mengikuti saran Bunda." Bunda Arum memeluk erat putri kesayangannya.
"Menurut Ayah bagaimana? Arum akan berangkat lusa." Bunda Arum meminta pendapat Ayahnya.
"Ayah ngikut saja, kalau menurut Bunda itu baik, Ayah setuju." Ayah Arum memang selalu menuruti apapun yang Bundanya minta.
********
Pesantren Toriqul Jannah ....
"Kak, mau kemana?" Husein berjalan menghampiri Kakaknya yang hendak pergi keluar dari dalam rumah.
"Mau ke masjid." Jawab Hasan.
"Kakak gak asik ah mainnya ke masjid mulu," gerutu Husein.
"Kalau gak suka jangan ikut!" Hasan melenggang pergi meninggalkan Husein yang kini berpindah haluan berjalan menuju rumah Neneknya.
"Assalamualaikum, Nenek!" panggil Husein.
"Husein, sini masuk Nak!" Umma sapaan akrab bagi Nenek Husein.
"Nenek lagi ngapain?" tanya Husein berjalan mendekat ke arah Ummah yang sedang memotong sayuran.
"Ini lagi motong sayur, kamu mau bantuin?" Husein memang paling dekat dengan Ummahnya berbeda dengan Hasan yang justru lebih tertutup dan jarang berbaur.
"Boleh juga," Husein mendekat membantu Ummah tanpa ada rasa canggung.
"Mbak bisa tolong bersihin sayurannya?" pinta Ummah pada seorang santriwati yang tengah berdiri mencuci piring.
"Iya Bu Neng." Jawab sang santriwati berjalan mendekat ke arah Ummah.
Ummah adalah sebutan khusus untuk anaknya, sedang Hasan dan husein memanggilnya Nenek dan para santri memanggilnya Bu Neng.
"Kamu haddam baru ya Mbak ?" tanya Husein.
"Iya, Mas," jawabnya dengan kepala menunduk.
"Ohh, pantesan baru lihat." Gumam Husein seraya memberikan sayur yang tadi di potongnya.
"Masak yang enak ya Mbak!" pesan Husein sebelum pergi meninggalkan dapur.
"Ummah, Aku pergi dulu. Assalamualaikum," Husein melenggang pergi meninggalkan dapur menuju rumahnya.
"Umik," panggil Husein.
"Ada apa Nak?" tanya Uqi (Ibu Husein) menghentikan aktifitasnya yang juga membantu haddam memasak.
"Aku mau pergi ke rumah temen dulu ya Umik." Pamit Husein.
"Temen yang mana Nak? bentar lagi sudah jam makan malam." Uqi mengingatkan agar Husein tak pergi karena waktu makan malam akan tiba.
"Aku ada janji sama temen Umik, nanti Aku bakal pulang kok." Husein mendekat ke arah Umiknya.
"Baiklah, tapi ingat jangan terlalu malam kalau pulang." Pesan Umik.
"Beres Umik, assalamualaikum." Husein berjalan meninggalkan Umik yang tengah membantu haddam memasak.
Husein memang sangat berbeda dengan Hasan, Husein yang bersifat ekstrovert memiliki banyak teman dengan berbagai kalangan dan agama. Baginya berteman itu bisa dengan siapapun tak perlu memandang status sosial ataupun agama, bagi Husein semua agama itu pada dasarnya sama menghadap pada yang maha kuasa hanya berbeda cara dan kepercayaan.
Menurut Husein saling menghargai adalah pilihan terbaik untuknya, karena dia hidup berdampingan maka sifat saling menghargai sangat baik untuk di terapkan.
Husein mengendarai mobil menuju cafe tempatnya biasa nongkrong bersama teman-temannya, Husein memang sudah lulus kuliah dan mengelola beberapa bisnis Ilzham Abinya. Berbeda dengan Hasan yang di beri tanggung jawab menjalankan perusahaan, Husein lebih memilih menjalankan bisnis restoran dan hotel milik Abinya. Karena Husein berfikir jika kerja di kedua bidang itu tak harus selalu ada di tempat juga tak membutuhkan tenaga otak terlalu banyak.
Husein memiliki prinsip selagi kita jujur dan konsisten akan rasa juga pelayanan maka pelanggan juga tidak akan kabur.
"Assalamualaikum guys," sapa Husein duduk di samping sahabatnya.
"Lama juga, dari mana aja loe?" sahut Bastian salah satu sahabat dekat Husein.
"Dari rumah terus naik mobil langsung meluncur ke sini." Jawab Husein santai.
"Jawaban Loe bikin gue enek." Sahut Zein
"Emang jawaban gue makanan sampai bikin Loe enek, atau jangan-jangan Loe kebanyakan ngegombal makanya kuping Loe enek denger jawaban gue." Debat Husein.
"Dia bukan kebanyakan gombal Husein, tapi kebanyakan jadwal kencan. Hahahaha," tawa Bastian.
Mereka bertiga memang sahabat sejak SMA sampai sekarang, bahkan mereka kuliah di tempat yang sama. Zein yang memiliki nama lengkap Zainal Abidin adalah sahabat Husein yang paling playboy dengan wajah tampan juga status sebagai anak pemilik kampus menjadikannya idola incaran setiap gadis. Sedang Bastian dia anak seorang tentara dengan pangkat sertu, Bastian lebih terkesan dingin pada setiap gadis karena trauma pengalaman masa lalu Bastian menjadi pribadi yang dingin.
"Eh btw Kakak Loe gimana kabarnya?" tanya Zein.
"Kakak gue baik." Jawab Husein.
Tak banyak orang yang tahu jika Husein anak seorang Kiyai karena dia selalu menutupi jati dirinya hanya ketiga sahabatnya saja yang mengetahui jati dirinya yang sebenarnya.
Husein memilih kuliah di luar pesantren dengan jarak yang lumayan jauh dari pesantren, katanya untuk menikmati masa kuliah tanpa harus mendapat perlakuan istimewa atau perhatian khusus yang di berikan sebagian orang pada Husein maupun Hasan. Sebagai Kakak Hasan hanya bisa mengikuti keinginan Adeknya, dia yang merasa punya kewajiban melindungi Husein memilih ikut kuliah di tempat yang sama.
Makan malam tiga serangkai telah selesai Husein dan yang lain pulang dengan kendaraan yang mereka bawa, dengan hati gembira Husein mengendarai mobil pajero milik Ilzham Abinya yang kini menjadi milik Husein. Ilzham hanya bisa mengalah saat sang anak meminta mobil kesayangannya.
"Assalamualaikum," sapa Husein saat sampai di rumah, tapi apa yang di harapkan Husein tak sesuai dengan kenyataan.
"Umik, Abi!!" Panggil Husein tapi tak ada satupun yang menyahut hanya ada keheningan.
"Tumben rumah sepi, Umik sama Abi kemana ya?" lirihnya
Padahal biasanya mereka akan berkumpul di ruang keluarga setelah makan malam.
'Apa mereka ada di rumah Nenek ya?' batin Husein.
Husein melangkah keluar rumah menuju rumah Nenek dan Kakeknya.
"Assalamualaikum," ucap Husein masuk ke dalam rumah Ummah.
"Waalaikum salam," sahut semua orang yang tengah duduk bersama di ruang keluarga.
"Wihhh lagi ngumpul ini," Husein menyalami dan mencium punggung tangan semua orang tua yang ada di sana satu per satu.
"Dari mana aja Kamu?" tanya Hasan mengalihkan pandangannya yang semula menatap serius berita yang sedang di siarkan di televisi yang masih menyala.
"Habis pergi makan sama Zein dan Bastian." Jawab Husein yang duduk di samping Uqi. merebahkan kepalanya di paha Uqi.
"Husein! sudah gedhe jangan manja!" hardik Ilzham.
"Halah bilang aja kalau Abi cemburu sama Aku." Husein mengangkat kepalanya berpindah di samping Ummah.
"Nek, Abi itu loh cemburu sama Aku padahal Aku kan anaknya." Husein mengadu pada Ummah yang tak lain adalah Neneknya.
Saat ini semua orang sedang duduk bersama kecuali Buya, kakek Hasan dan Husein yang sedang berdakwa di luar kota.
"Zham, Husein itu anakmu, mengalah lah sedikit!" Ujar Ummah.
"Dia sudah dewasa Ummah, sudah lulus kuliah juga." Ilzham masih tak mau mengalah malah mendebat Ummah.
"Mas, sekali pun sudah lulus kuliah dan dewasa. Bagiku Husein tetaplah putera kecilku." Sahut Uqi dengan senyum terus mengembang menatap ke arah Husein, merentangkan kedua tangannya aagar Husein kembali ke pangkuannya.
"Tetap saja dia sudah baligh dan besar Sayang." Mas Zham melingkarkan tangan ke perut Uqi, membuat Uqi mengurungkan niat untuk memeluk puteranya.
"Sudah jangan ribut! Kakak juga cemburuan amat sama anak sendiri." Syafa yang sejak tadi diam kini buka suara.
"Bilang aja pengen Dek!" ucap Ilzham yang memang tak pernah mau kalah dan terus berdebat dengannya.
"Kalian ini sudah pada tua tapi masih aja kayak anak kecil." Gerutu Hasan yang merasa malas dengan perdebatan yang sering terjadi antara Syafa dan Ilzham.
"Ayah kamu Hasan, suka banget bikin tante emosi." Syafa mencari pendukung untuk membelanya.
"Tante sama Ayah sama aja, sama-sama tak mau mengalah." Hasan kembali menfokuskan diri menatap layar datar.
"Kak Uqi kenapa anakmu ini bermulut pedas dan bersikap dingin kayak gini?" tanya Syafa.
"Jangan tanyakan Aku Dek! coba tanyakan Kakakmu ini." Jawab Uqi yang tak mau terseret perdebatan antara kakak dan beradik di hadapannya itu.
"Ahhh Aku hampir lupa jika Kakakku yang tampan ini memang punya sifat dingin." Syafa berdiri hendak meninggalkan ruang keluarga.
"Kamu mau ke mana Nak?" pertanyaan Ummah membuat ketiganya sadar dan seketika terdiam.
Suasana ruang keluarga tiba-tiba menjadi hening, hanya ada suara televisi yang masih setia menggema di ruangan.
"Aku mau istirahat Ummah," jawab Syafa.
"Aku juga mau istirahat." Ilzham yang tadi diam kini berdiri menggenggam tangan kanan Uqi sebagai isyarat bahwa dia harus mengikutinya.
"Ummah, Zham pulang dulu ya." Sambungnya mencium punggung tangan Ummah dan uqi hanya bisa pasrah mengikuti kemanapun Ilzham pergi atau mengajaknya.
"Abi, Aku menginap di sini saja ya?" pinta Husein.
"Aku juga Bi?" sahut Hasan yang sejak tadi tak bersuara.
"Baiklah, tapi ingat jangan nyusahin Ummah." Pesan IlZham pada ke dua putranya, sebelum dia benar-benar pergi.
"Dasar bucin akut!" lirih Husein yang masih saja tidur di dekat Ummah.
"Apa bucin akut Sayang?" tanya Ummah dengan mimik wajah penuh tanda tanya, membuat Husein ingin tertawa tapi takut akan dosa, Husein membenarkan posisinya untuk duduk bersilah di hadapan Ummah.
"Bucin akut itu, budak cinta Akut alias udah melekat dan parah." Jelas Husein.
"Huss, kamu ini gak boleh bilang gitu sama orang tua! gak sopan." Ummah mengingatkatkan.
"Ya maaf Nenek ," sahut Husein.
Meski sudah besar terkadang Husein masih sering manja pada Umik dan Neneknya berbeda dengan Hasan yang dingin dan tertutup, ya meski terkadang dia juga ramah dan bercanda dengan keluarganya, tapi sifat dinginnya lebih dominan.
"Udah gedhe masih aja manja kau Dek," tegur Hasan.
"Emang napa kalau Aku masih suka manja? Kakak ada masalah? atau Kakak juga pengen tapi gak bisa? hm?" Husein menaik turunkan alisnya menanggapi ucapan Kakak kembarannya itu.
"Hadeuh kumat dah sengkleknya," Hasan berdiri melenggang pergi meninggalkan Ummah dan Husein.
"Kak, kalau Aku sengkle kamu apa? kita kembar loh Kak." Husein masih saja terus berkata meski Hasan telah pergi tak menanggapi ucapannya.
"Dasar es batu pergi kagak pamit, Aku ngomong malah di kacangin," gerutu Husein.
"Husein jangan gitu sama Kakak sendiri! gak sopan." Suara lembut Ummah membuat Husein langsung nyengir penuh dengan rasa bersalah.
"Maaf Nenek," ujarnya kembali merebahkan diri di pangkuan Ummah.
"Sudah, lain kali jangan di ulangi!" Ummah memberi peringatan.
"Insya allah Nek, kalau gak khilaf." Husein mengatakannya dengan nada enteng.
*********
Di belahan dunia yang lain, Arum tengah mengepak semua keperluannya, dengan keyakinan penuh dia akan berangkat ke indonesia tempat kelahirannya.
Arum memang begitu suka berada di negara kelahirannya karena keramahan dan kesopanan yang ada di sana, membuatnya jatuh cinta. Apalagi keindahan alam yang selalu memanjakan mata.
"Arum, kamu sudah siap Nak?" Bunda Arum berjalan masuk mendekati anaknya yang sedang serius memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper.
"Nak, jangan bawa pakaian ini!" Bunda Arum mengeluarkan beberapa pakaian berlengan pendek.
"Loh kenapa Aku gak boleh bawa baju ini Bun?" tanya Arum heran melihat Bundanya mengeluarkan beberapa baju kesayangannya.
"Kamu tak akan bisa memakainya. Pakai baju-baju ini jika di sana." Bunda Arum menyodorkan tiga paperbag berisi abaya.
"Bunda gak salah ngasih baju ini?" Arum mengambil satu abaya melangkah mendekati kaca besar yang berada tak jauh darinya.
"Nak, jika ada di pesantren baju yang akan kamu pakai abaya ini. Di sana ada aturan melarang santrinya untuk memakai baju terbuka ataupun baju ketat seperti yang kamu pakai." Tutur Bunda Arum.
"Bunda ini serius Arum harus pakai baju ini?" Arum nampak tak yakin dengan baju abaya yang di pegangnya.Dia menunjukkan abaya yang di pegang mengangkatnya ke arah Bunda Arum.
"Awalnya mungkin akan sulit Sayang, tapi percayalah nanti kamu akan terbiasa." Bunda Arum tersenyum menatap putri kesayangannya yang tengah ragu dengan apa yang telah di pilihkannya itu.
Arum menghirup udara sebanyak-banyaknya kemudian menghembuskannya perlahan, menandakan ada sesuatu yang berat tengah dia tanggung.
"Cobalah dulu!" Bunda Arum mencoba meyakinkan apa yang telah dia pilihkan.
"Baiklah Bunda." Jawaban Arum membuat hati Bundanya lega.
Meski sudah enam tahun lebih mereka hidup di negeri orang, tapi tak sedikitpun keluarga Arum melupakan tradisi dan aturan yang pernah mereka terapkan di negara mereka sendiri.
Arum tumbuh jadi gadis yang mentaati setiap peraturan yang telah di terapkan oleh sang Bunda, dia selalu memilih dalam pergaulan hingga Arum tak terjerumus dia masih tetap jadi gadis polos khas indonesia.
"Bunda, bajunya besar apa Aku gak akan kepanasan nanti kalau pakai ini?" Arum bertanya karena dia masih ingat jika di negara asalnya itu panas.
"Enggak akan Sayang. Sudah mulai sekarang kamu coba pakai baju itu! jadi, besok kamu gak kaget jika terjadi perubahan hawa dalam tubuhmu." Bunda Arum tersenyum sumringah melihat anak gadisnya begitu cantik berbalut abaya pink pilihannya.
"Bunda Kak Ubay kapan pulang?" tanya Arum.
Stevan Ubaydillah adalah Kakak kandung Arum, dia sedang dalam perjalanan bisnis di Jepang mewakili Ayahnya.
"Mungkin tiga bulan lagi, nanti kalau dia sudah pulang Bunda akan menyuruhnya menjengukmu di pesantren." Bunda Arum memberikan janji karena dia tahu kalau Arum sangat dekat dengan Kakaknya.
"Kenapa Kakak lama sekali ada di sana Bunda?" tanya Arum.
Kepergian Ubay saat ini termasuk yang paling lama biasanya dia akan pergi ke luar negeri perjalanan bisnis beberapa hari atau minggu.
"Kak Ubay sedang mengurus perusahaan baru Ayah di sana makanya membutuhkan waktu yang lama." Jelas Bunda Arum.
"Apa Bunda juga gak ikut pulang ke Indonesia?" tanya Arum.
Sebenarnya Arum sangat berharap Bundanya ikut mengantar dia ke pesantren.
"Maaf Nak, Bunda gak bisa ikut. Ayahmu masih sangat sibuk, tapi Bunda janji nanti kalau ada waktu Bunda akan menjengukmu." Bunda Arum memang tak bisa pergi karena satu minggu ke depan suaminya memiliki jadwal meeting dan pertemuan klien, jadi dengan sangat terpaksa Bunda Arum meminta Arum untuk pergi sendiri di hantar Neneknya.
"Tapi kamu tenang saja, Bunda sudah menghubungi sahabat Bunda yang kebetulan pemilik pesantren. Jadi kamu tak usah khawatir, dia orangnya baik kamu pasti akan betah di sana." Bunda Arum kembali meyakinkan putrinya agar dia mau berangkat sendiri.
"Baiklah Bunda, Aku akan berangkat sendiri." Arum tak bisa menolak ataupun merengek mengingat kepergiannya ke pesantren adalah keinginan sang Bunda sejak dulu.
*********
Di Pesantren ....
Husein tengah berjalan setelah pulang mengajar, selain mengurus restauran dan Hotel Husein juga sesekali mengajar.
"Apa lagi ini?" lirih Husein yang melihat sepucuk surat terselip di dalam buku muridnya, ini bukan yang pertama tapi sudah ke sekian kalinya.
Husein mengambil sepucuk surat dan mulai membacanya, sungguh gadis pengirim surat itu terkesan lucu mengirim surat pada laki-laki.
"Dunia memang sudah terbalik," gumam Husein.
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" suara Hasan mengejutkan Husein yang tengah tersenyum geli melihat surat yang di beri muridnya.
"Biasa, gadis kurang kerjaan." Husein menumpuk surat di tangannya di atas tumpukan surat yang lain, Hasan dan Husein memang sangat populer di pesantren, tapi sebagian banyak gadis lebih menyukai Husein karena keramahannya.
Tapi sebaliknya Hasan tak terlalu banyak yang mengidolakan, karena sifat dingin yang di milikinya dia menjadi sosok yang seolah-olah tak dapat di sentuh ataupun di gapai.
"Surat cinta lagi?" tanya Hasan duduk di samping Husein.
"Iya, kenapa? kamu mau?" Husein balik bertanya dengan senyum menggoda, dia memang senang menggoda Kakaknya.
"Gak," jawab Hasan singkat.
"Kali aja Kakak mau, atau mau Aku kenalin ke mereka? kali aja ada yang cocok dan jodoh." Ujar Husein yang mendapat tatapan tajam dari Hasan.
"Hidih serem amat, pantesan gak ada yang mau Kakak serem gitu." Husein bergidik ngeri menatap ke arah Hasan dan ....
'Bug'
Satu buku lumayan tebal melayang dan mendarat tepat di lengan Husein.
"Hahahahaha, canda Kak gitu aja marah." Ucap Husein tanpa ada amarah, sekalipun buku yang menimpanya lumayan terasa sakit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!