Lagu slow rock mengalun pelan di dalam mobil yang aku kendarai menuju Yogyakarta. Sesekali aku ikut melantunkan lagu-lagu yang acap kali aku dengar di rumah. Dad dan Mom sangat menyukai lagu-lagu seperti ini, kadang di rumah aku sering mendengar mereka bernyanyi bersama. Yah, mereka memang selalu romantis seperti pengantin baru meskipun sudah 22 tahun menikah. Aku masih sering cemburu kalau Dad mencium Mom di depanku. Aku memang sangat dekat dengan Mom.
Aku tidak pergi ke Yogya sendiri, Tiara Sekar Sari adikku yang berumur 20 tahun ini suka sekali mengikutiku. Mom bilang itu seperti dirinya dan Om Aji dulu. Dengan selisih umur hanya 2 tahun membuat kami jadi saudara yang amat dekat. Meski kadang sering diledek teman-teman tapi Tiara tidak pernah mempedulikan. Mungkin hal itu juga yang menyebabkan aku sulit punya pacar, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan adikku. Apalagi Dad dan Mom mengajarkan kami arti kasih sayang yang sesungguhnya.
"Dad, kasih Tiara kendaraan sendiri dong! Sama supir sekalian kalau dia nggak mau kemana-mana sendiri. Jangan Al terus jadi supir pribadinya! Dia kan udah gede." Protesku suatu hari pada Dad.
"Al sudah punya pacar?" tanya Dad.
"Apa hubungannya Dad?"
"Ya siapa tau aja prioritasmu sekarang sudah berubah. Kamu lebih mementingkan pacarmu daripada adikmu!" Jawab Dad santai.
"Gimana Al mau dapat pacar kalau Tiara ngekorin Al terus…."
"Ya berarti belum ada wanita tulus yang mau dekat denganmu, wanita yang tulus akan menerima Tiara yang selalu ada di belakangmu. Tiara kan keluargamu."
Aku tidak bisa membantah apa yang diucapkan Dad, karena semua itu memang benar. Bukankah jika ingin dekat denganku artinya juga harus mau dekat dengan keluargaku? Dan Tiara adalah adikku. Baiklah, anggap saja perjalanan ini bagian dari touring dua bersaudara. Aku akan belajar dari Om Aji yang selalu menganggap adiknya adalah temannya. Enjoy the journey.
Kepergian kami ke Yogya bukan tanpa alasan. Tiga malam berturut-turut aku bermimpi bertemu kakek. Ayah Mom yang kupanggil Kakung itu tidak pernah aku temui secara nyata. Beliau meninggal terkena tumor paru saat usia kandungan Mom baru 4 bulan, artinya aku masih ada di rahim Mom saat Beliau berpulang. Tapi wajahnya yang begitu mirip dengan Mom membuatku mudah mengenalinya.
Bukan hanya aku yang bermimpi bertemu Kakung, ternyata Tiara juga bermimpi bertemu Beliau. Walaupun hanya satu kali katanya. Aku yakin ini bukan sekedar mimpi, karena aku bahkan tidak pernah bermimpi bertemu Beliau sebelumnya. Ini seperti sebuah panggilan bagiku.
Akhirnya weekend ini aku putuskan untuk pergi ke Yogya, aku ingin membuktikan apakah mimpiku itu ada maknanya atau hanya bunga tidur. Setelah Mom dan Dad mengizinkan aku dan Tiara berangkat hari ini. Dan mereka akan menyusul besok.
Namaku Alaric Himawan, biasa dipanggil Al dan berumur 22 tahun. Mahasiswa semester akhir jurusan Teknik Arsitektur di salah satu kampus di kotaku tinggal, Surabaya. Ayahku, Andric Himawan dan Ibuku Dinara Sekar Sari adalah pengusaha retail handphone dan aksesoris yang cukup sukses di Surabaya.
"Nggak laper Kak?"
"Iya ya tadi kita belum makan siang. Kita cari di depan sambil jalan, udah sampai mana ini?"
"Mau masuk Sragen kayaknya Kak."
"Kamu mau makan apa, Ara?"
"Pedes-pedes kayaknya enak Kak."
"Nggak ada kapoknya kamu, nanti sakit perut lagi kayak kemarin."
"Huh, nanti Ara beli obat sama susu sendiri buat netralisirnya biar nggak sakit." Bibirnya yang tipis sudah manyun panjang. Dia suka merajuk padaku, walaupun kadang sikapnya bisa jadi sangat manis. Dia memang anak Dad.
"Ayam goreng Kalasan?" tanyaku lagi meminta persetujuannya.
"Hemm." Dia menjawab singkat. Ikut melantunkan lagunya Aerosmith yang berjudul Crazy dengan sepenuh hati. Sedikit berteriak dengan suaranya yang tidak begitu bagus, membuatku ingin menertawakannya.
"Biasa aja kali nyanyinya…."
"Sirik ah…."
"Telingaku sakit, Ara!"
"Ya tutup sih, gitu aja berisik. Kakak juga kalau lagi nyanyi suka lupa diri."
"Tapi kan suaraku bagus," ujarku membela diri. Yah walaupun nggak bagus-bagus amat tapi waktu SMA aku pernah jadi Vokalis bandku. Sampai sekarang juga kadang masih sering diminta nyanyi ngisi acara malam inagurasi di kampus.
"Ya ampun Kak, tapi bukan berarti Ara nggak boleh nyanyi kan? Tau gitu tadi berangkat sama Mom aja besok, nggak capek-capek gini." Si tukang merajuk kembali memonyongkan bibirnya.
"Dad nggak suka diganggu… you know it." Kataku terbahak, Dad terlalu posesif sama Mom sampai kadang kami anak-anaknya harus mengalah. Dan mereka pasti berangkat naik pesawat, tidak membiarkan Mom repot-repot kecapekan. Perhatiannya pada Mom selalu membuat orang iri.
"I know, kadang aku berpikir mengapa orang tua kita bisa saling mencintai dengan begitu besar."
"Aku yakin mereka pernah melewati masa yang buruk dulunya, sehingga mereka benar-benar menghargai cinta yang anugerahkan pada mereka."
"Kakak ingat nggak cerita Om Aji kalau dulu dia beberapa kali ikut dalam masa buruk Mom?"
"Hemm ya, aku rasa Dad juga jadi bagian dari masa itu, mungkin porsinya malah lebih banyak." Aku mengingat kembali setiap cerita Om Aji yang sepertinya tidak serius. Tapi dibalik caranya bercerita dengan penuh canda itu aku menangkap kebenaran. Om Aji tidak pernah berbohong dengan cerita-cerita yang didongengkan pada saat kami bertemu.
"Om Aji bilang Mom punya kekuatan supranatural kan? Tapi Ara tidak pernah melihatnya, Kak. Dalam hati Ara memang sama sekali tidak menampik kalau Mom punya sesuatu yang disembunyikan."
"Mungkin Mom memang tidak membutuhkannya, ingin menjalani kehidupan yang normal seperti sekarang. Kita tidak pernah tau apa saja yang sudah Mom lewati dulu, Ara."
"Hemm ya, mungkin belum saatnya Mom bercerita. Atau mungkin memang kita tidak diizinkan tau." Ara diam seperti orang yang sedang berpikir keras. Dia memang pandai menilai dengan rasa, kepekaannya terhadap sesuatu berasal dari sana.
Aku berhenti untuk ishoma di restoran yang biasa dipakai untuk pengemudi istirahat. Bukan tempat makan ayam goreng Kalasan yang aku tawarkan pada Tiara tadi. Perjalanan lumayan membuat mata mengantuk dan lelah. Aku berjalan-jalan melihat sekeliling untuk melancarkan peredaran darah karena terlalu banyak duduk.
Begitu selesai makan kami langsung melanjutkan perjalanan hingga sampai Yogya. Om Aji menempati rumah keluarga, rumah lama tempat Mom dibesarkan itu sudah direnovasi menjadi dua lantai. Cukup besar untuk berkumpulnya semua keluarga Mom pada saat hari raya.
Om Aji tersenyum lebar menyambutku, " Wow, tambah gede kok tambah mirip Andric yo?"
Aku dan Ara mencium tangannya, "Mana Tante, Om?"
"Ada di belakang, ayo kene podo mlebu!" Ajaknya dengan tidak meninggalkan logat Yogya medoknya.
"Eh... ada tamu dari jauh," sapa Tante Almira. Entah bagaimana kisahnya, adik angkat Dad ini bisa menikah dengan Om Aji yang notebene kakak Mom. Benar-benar kisah yang unik.
Kami ngobrol sampai waktu magrib tiba. Aku diberikan tempat tidur di atas, kamar favoritku jika berkunjung ke Yogya.
"Ara mau tidur sama Nabila atau sendiri?" tanya Tante menawarkan pada Tiara untuk bergabung dengan anaknya.
"Sama Nabila seperti biasanya aja Tan. Biar ada teman ngerumpi," jawabnya sembari tertawa geli. Nabila anak pertama Om Aji dan Tante Almira. Dia seumuran dengan Tiara.
"Ya udah, magriban aja dulu yuk," Ajak Tante mendahului kami menuju tempat salat karena adzan magrib baru saja berkumandang.
Malamnya aku meluruskan punggung, rebahan dan memberikan kabar pada Mom kalau mau tidur cepat karena lelah. Dan aku sudah terlelap ketika jam tanganku belum menunjuk angka 11.
Angin dingin menusuk kulitku, aku mengingat aku memang tidak menutup jendela tadi, dan aku enggan beranjak dari kasur sekarang. Namun tidurku benar-benar terganggu karena ada suara nafas yang begitu besar dihembuskan. Yang jelas itu bukan nafasku. Aku terus mendengarnya berulang-ulang. Mendengar orang yang sedang bernafas, tapi aku tidak bisa pastikan apa suara itu dari kamar ini atau dari tempat lain.
Dengan kesal aku membuka mata dan beranjak menutup jendela, suara jam dinding kuno Om Aji berdentang 12 kali, malam makin dingin dan sepi. Aku merapatkan selimut dan kembali bermimpi.
Kakung menyambutku dengan senyum lebarnya, meskipun tidak berbicara tapi aku tau bahwa Beliau sedang menyampaikan 'welcome home Al…'
***
Matahari sedikit tertutup awan. Hari sudah beranjak siang ketika aku bangun. Gara-gara terganggu dengan suara hembusan nafas yang terdengar hingga menjelang subuh membuat kualitas tidurku buruk. Aku baru bisa benar-benar terlelap setelah matahari terbit.
Ponselku berdering, suara Mom mengingatkan bahwa 2 jam dari sekarang aku harus sudah ada di Bandara. Mom dan Dad orang yang disiplin dengan waktu, mereka tidak akan suka menungguku jadi aku lebih baik bersiap sekarang daripada harus terburu-buru di jalan. Jarak dari Wirobrajan ke Bandara Adi Sucipto lumayan jauh.
"Mau kemana Kak?" Sapa Ara yang sedang menonton televisi bersama Nabila.
"Bandara, jemput Mom. Mau ikut?"
"Nggak ah, nanti juga ketemu. Lagi seru nonton drakor sama Nabila."
"Tumben amat, Ra…."
"Tumben apanya? Nonton drakor apa nggak ikut kakak ke Bandara?"
"Dua-duanya," jawabku skeptis.
"Anggap aja satu perubahan kecil dari seorang Tiara," sahutnya terkekeh.
"Nggak makan dulu Al? Semua sudah sarapan pagi tadi. Kamu telat bangun." Tanya Tante menyambung percakapanku dan Tiara.
"Nanti aja Tan, takutnya nggak keburu. Kasian Mom kalau sampai menunggu. Al jalan dulu, Tante!"
"Ya udah, hati-hati!"
Mom kembali menelpon ketika aku baru selesai parkir, artinya Beliau sudah ada di lokasi penjemputan. Karena terburu-buru berjalan sembari menjawab telepon Mom, aku justru menabrak bahu seorang perempuan yang sedang berjalan di depanku. Ponsel dan tas tangannya jatuh dan dia melotot marah padaku.
Cantik, tapi sayangnya wajahnya jutek dan menatapku dengan benci. Aku sadar aku salah telah menabraknya dan membuat barang-barangnya jatuh. Aku dengan sigap memungut barang-barang mahal itu dan menyerahkan kepada pemiliknya. Tidak lupa mengucapkan kata maaf beberapa kali karena aku juga tidak sengaja.
Jangankan memberi maaf atau sedikit tersenyum, melihatku saja dia enggan. Aku seperti sampah menjijikkan untuknya. Dagunya terangkat tinggi dan dan selanjutnya pergi begitu saja tanpa permisi. Padahal aku berdiri tepat di depannya, tapi dia melewatiku seolah aku tak ada. Hanya meninggalkan wangi melati yang memekarkan dada.
Aku tidak ada waktu untuk mendramatisasi keadaanku yang menurutku cukup kasihan, aku menertawakan diriku sendiri yang terlalu percaya diri akan mendapatkan senyumnya, atau suaranya yang ikhlas memberiku maaf karena menabraknya. Ternyata tidak begitu kejadiannya, jadi dengan sedikit kecewa aku berlari menuju tempat Mom dan Dad menungguku.
"Tiara nggak ikut?" tanya Mom ketika kami memulai perjalanan ke Wirobrajan.
"Sama Nabila. Apa mom lapar?"
"Soto Kadipiro," jawab Dad tertawa.
Mom ikut tertawa dan memutuskan kami akan makan soto sesuai keinginan Dad. Sudah kuduga akan seperti itu.
"Sudah main kemana aja kalian?" tanya Mom padaku.
"Nggak ada Mom, cuma di rumah aja dari kemarin. Ngobrol sama Om."
"Kenapa wajahmu Al? Dari Bandara tadi kayak ada kepikiran sesuatu?" Rupanya Dad memperhatikan raut wajahku.
"Nggak ada Dad, mungkin karena lapar. Al tadi nggak sempet makan, bangun siang."
"Kenapa begitu? Malam nggak tidur?" Tanya Mom kemudian.
"Terganggu…" aku bercerita tentang gangguan yang terjadi pada Mom dan Dad. "Aneh Mom, suara itu terdengar sampai subuh."
Mom hanya mengernyitkan dahi mendengar ceritaku. Sementara Dad antusias ingin tau lebih jauh.
"Al, kamu sudah sejak lama tidak mengeluhkan hal-hal seperti ini yang terjadi di sekitarmu. Apa ada yang berbeda dari sebelumnya hingga kamu merasa harus bercerita?"
"Iya Dad, rasanya kali ini berbeda. Al sulit menjelaskannya. Al juga mimpi bertemu Kakung lagi kemarin malam."
"Sore nanti kita ke makam Beliau. Dan semoga setelah itu tidak ada lagi hal aneh yang terjadi padamu. Siapa tau itu ada hubungannya dengan Kakekmu, karena selama ini kamu tidak pernah mendengar hal aneh-aneh kan sewaktu tidur di kamar itu?"
"Iya Dad." Sebelumnya memang tidak ada, baru kemarin malam aku merasa ada mata yang selalu memperhatikanku di dalam kamar itu.
Dulu juga begitu, mata yang selalu memperhatikanku di tangga rumah akhirnya menampakkan diri secara utuh sebagai bayangan hitam. Aku berlari dan menubruk Mom yang sedang membuat susu untuk Ara di dapur. Memeluk kakinya erat dan menyembunyikan wajahku di sana.
"Mom, Al lihat black shadow di sana. Itu tinggi seperti Dad, tapi itu bukan Dad, Dad tidak hitam..." Keluhku tetap memejamkan mata dan lebih rapat memeluk kaki Mom.
"Dimana?" tanya Mom santai, tidak ada nada takut ataupun panik. Mom begitu tenang seolah aku tidak melihat hal penting. Suaranya yang lembut dan menenangkan itu sedikit mengurangi rasa takutku.
"Di tangga Mom, Al tadi main mobil-mobilan di sana, Al takut Mom…."
"Al tau kan ini sudah malam, tidak boleh main di tangga ya! Ayo kita di kamar aja sama Ara." Mom membawaku ke kamar dan menyuruhku tiduran. Aku mendengar Mom menghubungi Dad agar segera pulang untuk menemaniku. Aku tidak tau waktu itu jam berapa karena aku masih kecil, tapi Mom bilang sama Dad di telepon jangan lewat tengah malam pulangnya.
Pengalaman seperti itu sering kali berulang hingga aku sendiri akhirnya sedikit terbiasa. Kadang aku tidak menganggap aku melihatnya, aku membiarkan saja dan tidak banyak mengadu pada Mom. Ketenangan Mom menular padaku, aku tidak lagi panik walaupun kadang kaget sesaat.
Meskipun tenang, kadang aku masih melihat Mom yang khawatir dengan kebiasaan tidurku. Aku selalu terjaga sepanjang malam. Bermain sendirian menghabiskan malam yang panjang. Kadang Dad sampai pusing karena harus menemani begadang, apalagi kalau sedang tidak ada acara olahraga kesukaannya.
"Al… ini sudah pagi, kamu belum tidur!"
"Apa mataharinya sudah terbit, Mom?"
"Lihatlah keluar!"
Aku membuka tirai jendela dan melihat matahari mulai mengintip dari jauh. Dan aku akan tidur hingga sore setelah sarapan. Hampir setiap hari hal seperti itu terjadi.
Setelah aku mulai bersekolah aku masih belum berubah. Mengantuk dan tidur di kelas itu sudah jadi kebiasaan bagiku. Mendengar Mom mendapatkan keluhan dari pihak sekolah karena aku sering tidur di kelas itu sudah terlalu sering. Hebatnya, Mom menanggapi hal itu biasa saja. Beliau sama sekali tidak marah, sesekali hanya menegurku untuk tidak tidur di kelas agar aku tidak malu nantinya.
Aku tau aku aneh dari kecil, tapi Mom mengacuhkan apa yang sedang aku alami. Beliau hanya bilang aku istimewa karena berbeda dari anak yang lain.
"Kenapa aku berbeda, Mom?"
"Karena kamu anak Mom." Jawaban itu membuatku berpikir bahwa Mom juga memiliki keanehan seperti aku. Berbeda dari yang lain, artinya Mom juga istimewa. Akhirnya aku bersikap dan bertindak seperti Mom, tenang dan biasa saja.
Lamunanku buyar ketika Mom menyentuh tanganku, "Sotonya keburu dingin, Al. Ayo makan dulu!"
"Iya Mom, maaf…." Aku nyengir tak bersalah dan dengan cepat menghabiskan makanku. Kami langsung pulang ke rumah Om Aji setelah itu.
Sorenya acara ziarah kubur ke Kakung dan Uti jadi ramai. Om dan Tante juga ikut. Doa dan tahlil seperti biasanya dipimpin oleh Dad. Mom menabur bunga di atas makam setelah tahlil selesai.
Aku mengangkat wajah dan melihat sekitar, bayangan berkelebat cepat di depan mata, bayangan orang sedang duduk di pinggir nisan, bayangan orang sedang menangis di rerumputan, bayangan orang sedang bergelantungan di pohon Kamboja dan ada beberapa bayangan lain yang tertangkap dengan ekor mata. Semuanya tembus pandang dan hanya terlihat sepersekian detik di waktu menjelang magrib ini.
Dad memberi perintah untuk mencuci tangan dan kaki setelah keluar dari makam. Pengelola makam menyediakan fasilitas itu dengan membayar uang senilai ke kamar mandi umum.
Hatiku sedikit gundah, pandangan mataku yang bercampur dengan hal lain jadi sangat jelas sore ini.
***
Om Aji dan Mom sedang mengenang kebersamaan mereka berdua dulu dengan bercerita sembari memilih batik di dekat pasar Beringharjo, bersama pasangan masing-masing tentunya.
Aku, Ara dan Nabila tidak mau ikut berdesakan di sana, toh tidak ada juga yang ingin kami beli. Kami hanya ikut meramaikan acara keluarga ini sebagai anak-anak penurut sesuai keinginan para orang tua. Sebagai gantinya kami menunggu mereka berbelanja di depan Samijaya, makan lumpia enak yang direkomendasikan Nabila.
"Iki lumpia legendaris, Dab. Enak nggak menurutmu?" tanya Nabila padaku.
"Hemm ya… enak. Mom bilang dulu juga sering makan ini. Dulu ada yang cuma isi sayur kalau nggak salah, soalnya Mom nggak mampu beli yang isi ayam…." Aku terkekeh, bersyukur hidupku tidak sesulit Mom dulu.
"Iya, mungkin udah beda generasi jadi ada pembaharuan. Lebih inovatif dari segi isian tapi tetap menjaga cita rasa yang tinggi."
"Bawangnya aku suka…" Tiara menimpali. "Aku pesan buat di rumah ya, buat nanti malam panjang, drakor lagi Bil? atau kamu mau malam mingguan sama pacarmu?"
"Nggak dikasih pacaran sama Mama," jawab Nabila tersenyum masam.
Mendengar itu Tiara langsung iseng meledek, "Soalnya Tante dulu nggak pake pacaran, ujug-ujug nikah sama Om ya?"
"Begitulah…." Kami tertawa cekikikan membayangkan kisah itu. Jodoh emang mudah bertemunya.
"Nggak sekalian cari oleh-oleh buat pacar kalian di Surabaya?" tanya Nabila. Wah, ini bakal panjang kalau dibahas bersama para wanita, jadi mending aku undur diri. Biar Tiara aja yang jawab. Toh juga nggak ada yang akan aku ceritakan dari pacarku.
Pacar? Tentu saja aku sering punya, tapi tidak pernah serius. Daftar penggemarku juga tidak sedikit, mulai yang cuma titip salam sampai yang titip bunga juga ada. Tapi tetap saja aku memacari mereka sekedarnya saja. Mereka selalu cemburu dan tidak suka pada Tiara. Akhirnya kisah cinta tidak pernah bertahan lama dan aku punya predikat yang tidak baik di kampus soal wanita. Yah, tampan itu kan memang petaka buat wanita. Apa aku salah? Salahkan saja Dad sama Mom yang begitu kompak mewariskan banyak pesonanya itu padaku.
Setelah jalan-jalan membeli gelang warna hitam kombinasi merah dari prusik yang dijalin sedemikian rupa aku kembali menghampiri Tiara dan Nabila yang masih menunggu antrian lumpia untuk dibawa pulang.
Aku lihat Dad dan rombongan juga sudah ada di sana sedang makan lumpia juga. Aku memesan kopi di angkringan yang tidak jauh dari sana, mengamati aktivitas Malioboro dengan semua pengunjungnya. Mulai dari turis lokal sampai bule banyak terlihat, juga penuh dengan siswa yang sedang karya wisata dan muda mudi yang mungkin sedang menuntut pendidikan di sini. Kota pelajar sangat tepat sebagai julukan kota ini, kota yang juga pernah menjadi ibukota negara pada tahun 1946.
"Besok mau kemana Al?" Tanya Om Aji yang duduk di sampingku dan ikut memesan kopi.
"Belum ada rencana Om, terserah Mom sama Dad aja. Al paling juga jadi supir yang baik."
"Om rasa kalau tempat wisata biasa kalian pasti sudah beberapa kali mengunjunginya."
"Begitulah, Mom sudah merekomendasikan semua tempat di sini. Biasanya Dad suka mengunjungi kenangan indahnya sama Mom, biar berkali-kali juga nggak ada bosannya," sahutku terkekeh. Menertawakan sikap Dad yang sering membuatku cemburu.
"Kamu sedang menertawakan Dad, Al?" Aku menghembus nafas keras, Dad sudah nimbrung ke dalam arena. Ini akan jadi obrolan sesama laki-laki dewasa.
"Jadi Dad sama Mom ada rencana apa atau kemana buat besok?"
"Mom yang punya rencana, bukan Dad."
"Dad kan pasti sudah tau rencananya apa, tidak ada rahasia. I remember it…." Ujarku menggoda Dad yang langsung diikuti ledakan tawa dari Om Aji.
"Mom ingin ke Imogiri," ungkap Dad tentang rahasia kecil rencana Mom buat besok.
"Tempat apa itu Dad?" Aku penasaran karena belum pernah mengunjungi Imogiri walaupun cukup sering ke Yogya.
"Anggap saja wisata religi, karena Mom juga berencana ziarah ke makam Syekh Maulana Maghribi di Bantul."
"Eh… kirain mau tour de beach ke Gunung Kidul, Dad!" Aku terkejut, jauh dari dugaanku ternyata.
"Baron? Kukup? Krakal? Siung? Kita kan udah pernah ke sana Al," sahut Dad. Walaupun Kakek sudah tidak ada, kami memang selalu berkumpul di Yogya pada saat hari raya. Dan selanjutnya menghabiskan waktu liburan dengan berwisata keliling Yogya.
"Hemm iya sih…." Aku mengangguk sembari menggaruk kepala yang tidak gatal.
***
Malam makin larut sehingga masing-masing memilih untuk pergi beristirahat di kamar. Aku sendirian menonton film horor di televisi. Kopiku habis dan aku enggan membuatnya, Tiara asisten pembuat kopi sedang tertawa cekikikan bersama Nabila. Kebetulan kamar Nabila bersebelahan dengan ruangan ini sehingga samar-samar aku masih mendengar acara gosip mereka. Aku yakin mereka bicara cukup keras saat ini.
Demi menyambung mulut yang mulai kecut, aku terpaksa berdiri dan membuat kopi sendiri. Mengambil setoples biskuit sebagai teman. Ketika aku kembali ke depan televisi, Tiara sedikit membuka pintu dan menegurku.
"Kak, suara televisinya kecilin dikit dong! Serem suaranya, horor nih jadinya suasananya. Aku sama Nabila udah mau tidur," protesnya cerewet.
Aku tidak menjawab, hanya mengambil remote dan memencet tombol untuk mengurangi volumenya yang memang cukup keras. Tadi kan untuk mengimbangi suara mereka juga.
Suasana sedikit sepi setelah lewat tengah malam, hanya ada suara televisi dan aku yang sedang menyeruput kopi. Suara lain seperti desis entah apa sesekali terdengar. Aku tidak menghiraukan karena masih asyik mengikuti film yang hampir selesai. Mungkin itu suara penyejuk udara atau sesuatu dari dapur.
Akhirnya acara selesai, aku mematikan televisi dan meletakkan gelas bekas kopi di dapur. Aku berjingkat kaget, bahkan hampir melompat karena tiba-tiba ada suara nafas berhembus dekat dengan telingaku dan desis aneh yang sangat keras lewat disampingku. Aku tidak tahan untuk tidak memaki kasar, "Cuu*kk…."
Aku segera naik ke kamar dengan rasa deg-degan yang masih tertinggal. Tidak mungkin rumah ini jadi berhantu. Kalaupun iya, Om Aji pasti sudah bercerita dan aku pasti tidak akan melewatkan informasi tersebut. Tapi desisan dan suara nafas tadi itu apa?
Jendela dan pintu kamar aku biarkan terbuka dan aku tidak tidur, duduk di pintu memandang keluar kamar menunggu sesuatu. Mungkin suara-suara itu akan lebih jelas berasal dari mana jika aku mendengarnya dalam kondisi penuh kesadaran.
Sialnya mereka tidak muncul sama sekali selama 1 jam lebih. Aku yang frustasi akhirnya merebahkan diri dan tertidur. Suara orang berjalan mondar-mandir di depan kamar begitu mengganggu, ditambah suara nafas besar dan desisan mengurangi nyenyak tidurku. Aku enggan membuka mata meskipun telingaku tergelitik berontak karena suara-suara aneh itu. Mengapa mereka baru muncul saat aku sedang tidak ingin diganggu?
Aku mengabaikan semua suara itu dan fokus untuk tidur lebih dalam. Kakung menyambutku di dalam ruangan seperti pendopo dengan senyum hangatnya. Mempersilakan aku duduk di depannya, kami dibatasi meja kayu kecil dengan model yang ketinggalan jaman.
"Ini namanya keris Kebo Dengen atau Mahesa Dengen, luknya ada 13. Keris ini milik kakek buyutmu. Diwariskan secara turun temurun di keluarga kita. Keris ini dulu kekuatannya untuk menjaga tanah pertanian buyutmu di Jombang, biar tidak ada yang nakal membuat tanaman jadi gagal panen. Suara nafas besar yang kamu dengar itu berasal dari sini, Cah bagus," Kakung menunjukkan betapa bagus dan elegannya keris dengan warangka kayu jati berukir itu. Membiarkan aku menyentuh dan mengamati.
"Kalau ini namanya tombak sepuh Pandowo, Cah bagus. Luknya hanya 5. Ini juga warisan leluhur, Kakung simpan karena tidak boleh dijual. Dulu ini dipakai leluhurmu untuk menjaga diri. Isinya naga, suara desis yang kamu dengar tadi dari pusaka ini. Sejatinya mereka yang mengeluarkan bunyi hanya ingin berkenalan denganmu."
Kakung menyerahkan tombak berwarna hitam pekat itu, ukiran sisik naga dan kepalanya yang menghadap ke bawah menghipnotisku. Aku menyentuh ujungnya dan tersengat, ada energi yang masuk ke dalam tubuhku, membuatku terbangun dan langsung duduk di tengah ranjang dengan keringat dingin membasahi dahi.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!