Happy reading 😘🙏
Bantu Like , komen , Vote, rate lima dan favoritkan.
Di pedalaman Sulawesi Selatan, tepatnya di desa terpencil, sangat terpencil dari keramaian kota kabupaten J. Rumah pun berjarak jauh satu sama lain, tidak seperti rumah rumah yang ada di kota kota besar yang begitu himpit himpitan bangunannya, KATANYA. karena aku tidak pernah melihatnya secara langsung bagaimana rupa kota metropolitan itu?.
Inilah hidup ku, di sini, di desa yang sepi yang jauh dari kata keramaian apalagi kemewahan, aku terlahir di keluarga yang kurang mampu, bahkan sangat kurang dalam hal ekonomi tapi aku bahagia setidaknya keluarga ku begitu hangat dan menyayangi ku.
""Mak...."" Teriak ku memanggil ibu ku dengan logat khas daerah tempat ku.
Umur ku 18 tahun tepat hari ini, dan hari inipun aku baru Lulus di sekolah menengah ke atas, walaupun ekonomi kami kurang tapi sang ibu sangat mementingkan masa depan ku, beliau menyekolahkan anak anaknya dengan begitu gigih. Beliau adalah pahlawan ku, pahlawan tiada tara, ibu ku juga berperan sebagai ayah bagi ku dan kakak ku karena kami anak yatim sedari aku duduk di bangku SD.
Mentari Putri Batara, nama ku. aku sedang mencari cari sosok sang ibu seraya berteriak....
""Mak...omaleee...Mak, Mentari minroma, ngerang kabara gaga' "" teriak ku dengan khas logat bahasa suku ku, Jeneponto.
adakah yang tahu arti dari ucapan ku, artinya adalah....
"" ibu...oh ibu...ibu, Mentari sudah pulang, bawa kabar bagus.""
Sang ibu yang aku panggil panggil keluar dari arah dapur dengan pakaian lusuh serta kain sarung yang terlilit di pinggangnya, seakan akan sarung itu adalah roknya. sedih memang melihatnya, tapi inilah keadaan kami yang sangat kurang mampu.
""Teoko accarioki, Amma nu inne gaga inje tolingku, tenapa naku togeang. Kabara apa ?"" Ucap sang ibu dengan nada halusnya. ( Jangan berteriak, ibu mu ini masih bagus pendengarannya, belum mengeluarkan congenya. kabar apa ?)
Aku cengengesan bak ambasador odol yang kuning berubah seketika menjadi putih kinclong mendengar ucapan ibu ku. ibu hanya mengerti bahasa daerah jadi sehari hari kalau di rumah aku pun menggunakan bahasa kebesaran daerah kami. Begitu pun aku, bahasa Indonesia ku masih plepotan antara bahasa indo dan bahasa logat daerah tercampur aduk.
Aku pun memberi kan map coklat ke ibu, namun ibu langsung menaruhnya di atas meja yang terbuat dari plastik khusus.
Seketika aku paham dengan kondisi ibu yang tak pernah makan kursi sekolah, aku dengan cepat membacakan isi map tersebut yang isinya aku lulus dengan nilai terbagus, dan ada rekomendasi untuk ku, kuliah di luar daerah.
ibu hanya menggeleng sedih, bukannya senang mendengar anaknya lulus dan akan masuk ke universitas terbaik di daerah kami, ibu malah membuang nafas beratnya.
""Mak nu bangga nak, erokja ku surohko lanjut, tapi Mak nu tena doena."" ( ibu mu banggah nak, ibu mau sekali menyuruh mu untuk lanjut, tapi ibu tidak punya uang.)
ibu ku berucap pun dengan mata berkaca-kaca sedih, aku mengerti dengan keadaan hidup kami yang tidak mendukung.
""teaki ngarruki Mak, Tena nangapa, nakke Tena ku lanjut kuliah "" ( jangan nangis Bu, aku tidak apa, tidak melanjutkan kuliah.)
Aku melempar senyum menenangkan ke ibu, agar beliau tidak merasa bersalah, justru aku bangga mempunyai ibu yang begitu tangguh bagi aku dan sang kakak.
Beliau tiap hari menggarap sawah sendiri tanpa adanya campur tangan seorang pria, mengeluarkan peluh demi peluh di bawah terik matahari hanya untuk mencari sesuap nasi bagi kami, kadang kala aku sengaja terbangun di tengah malam hanya untuk menatap hangat wajah keriput halus nan sedikit terbakar ulah sang terik matahari sebab beliau tiada hari tanpa berpanas-panasan di sawah.
""Apa nupare ri balla punna tena nu lanjut ?""
Aku menyeringai saat ibu bertanya ' apa yang akan kamu perbuat di rumah jika tidak melanjutkan pendidikan?'
Dengan cepat aku menyahut kalau aku akan bekerja keras untuk mendapatkan uang supaya ibu bisa nyantai di rumah tanpa harus bertaruh dengan terik matahari, Mentari akan melawan matahari untuk ibu karena namaku mentari mempunyai tekad seperti matahari yang berporos menyinari bumi sedangkan Mentari akan berporos menyinari ibu dan kakak.
""Sebelum ko dapat kerjaan, pergi mako dulu rawat ki bembea.""
Suara Kaka perempuan ku yang cantik bernama-Senja Putri Batara terdengar memberi titah dari belakang yang baru menaiki tangga yang terbuat dari kayu sebab rumah kami bermodel rumah panggung yang tidak ada kata layak, terkena angin kencang pasti akan terhempas hancur.
Aku mengangguk patuh. ""Bembe, I am coming."" (Kambing, aku datang.) ucapku dengan logat daerah ku.
Aku di suruh untuk mengembala kambing oleh Kaka ku, emang itu kerjaan yang bisa aku bantu, setiap hari sepulang sekolah tugas ku hanya mengembala kambing di Padang rumput, eeeeitss..padang rumput desa kami itu lhooo....luaaaaaas...bisa untuk membangun bandara, itulah desa ku, masih Asri tak tersentuh oleh orang orang yang berburu tempat untuk di jadikan keuntungannya sendiri.
Aku sudah berada di Padang rumput yang lumayan jauh dari rumah, panas terik tak terasa padahal mentari lagi di atas kepala Mentari (Aku). Sejuk, damai dan tenang yang aku rasakan di tempat ini, tempat di mana aku menghabiskan waktu kecil ku seraya mengembala kambing bersama teman teman sesama penggembala.
Namun teman yang aku maksud entah kemana saat ini, kambing kambing dan orangnya pun belum terlihat batang hidungnya.
""Mbeee...mbeeek..""
Aku terkejut saat mendengar salah satu teriakkan kambing milik ku. apa jangan-jangan....
""Okaraeng.....bembe ku na manami."" ( oh tuhan... kambing ku akan melahirkan.)
Aku heboh sekaligus panik, bagaimana tidak panik, kambing itu sedang tidak terlihat baik baik.
Mbeee...mbeee..mbeee...
Kambing itu berteriak, Jika saja manusia mungkin dia berteriak...tolong aku, tolooooong...tolong panggilkan dukun beranak, aku sudah tidak tahan.
aku semakin panik saat melihat di Va**na kambing itu ada ujung kepala kambing kecil yang sudah terlihat.
""Aduh... bagaimana mi ini, tidak bisa ka ku bantu, bembe, nakke tiayi dukun beranak. ."" ( aduh... bagaimana nih, aku tidak bisa membantu mu kambing, aku bukan dukun beranak.)
""Woiiii...Mentariii,? apa nupare?."" ( hey... Mentari ? apa yang kamu lakukan?)
Suara itu suara teman ku, namanya Jum seumuran denganku, ia baru datang dengan lima ekor kambingnya.
""Jum, bantuah, bembe ku napasuluki anakna."" ( Jum, tolong aku, kambing ku akan mengeluarkan anaknya.)
Aku begitu panik, heboh, seraya iba melihat kambing ku sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan anaknya, mata kambing itu pun terlihat sedang menangis menahan rasa sakit di bagian intimnya.
Seketika aku berpikir, apakah begitu pengorbanan ibuku yang melahirkan ku ke dunia ini, penuh pengorbanan dan sakit begitu hebat. Syukur Alhamdulillah aku pancatkan ke pada mu Tuhan, telah memberi ku ibu yang begitu tangguh dalam segi bidang hal.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
..
.
.
.
.
Hay...Hay.. !!!
dukung Novel author yang masih jauh dari kata bagus.
ini itu cerita Gadis kampung dari luar pulau Jawa, bahasa daerahnya pun pasti sangat asing di telinga kalian, suku budaya kita memang Ok, begitu banyak bahasa dan budaya yang tersirat di dalamnya.
Jadi... please...beri dukungan mu dan tinggal kan jejak mu....kritik pedas boleh, saran positif pun sangat boleh...
Like..favoritkan, komen dan Vote 😘
Teman ku yang bernama Jum malah semberiwing melihat aku terheboh heboh karena kepanikan melihat kambing yang kesakitan dengan santainya Jum mendekati kambing itu.
""Mentari, sini mako a'jariki doktoro hewan dadakang."" (Mentari, ayo kita menjadi dokter hewan dadakan.).
Jum sangat antusias, Gadis itu tidak ada ngeri ngerinya sama sekali padahal aku sudah tegang melihat penderitaan kambing ku
""Eeeeh...Jum ! janganko tarik tariki Kepalanya, mati salla..""( eeeeh..jum ! kepalanya jangan di tarik tarik. Nanti bisa mati.)
Protes ku, saat Jum tanpa ngeri langsung mendekat ke kambing itu dan dengan santainya dia menarik kepala bayi kambing yang baru keluar separuh dari intim sang induk kambing.
""Wah.. bembe nu, anak na Burane."" Senang Jum setelah bayi kambing itu sudah keluar dari rahim sang induk. ( wah.. kambing mu , berjenis kelamin jantan.)
Aku pun tersenyum senang, bayi kambing itu insyaallah akan menjadi penyambung hidup di keluarga.
Jum membersihkan tangannya dari bekas darah bayi kambing itu hanya menggunakan Padang rumput dengan cara melap lapkan tangannya di rerumputan tersebut.
""iiih..jorok sekali kau, Jum. sana cuci tangan mu."" Logat ku.
Jum hanya cengengesan, seraya menggeleng tidak mau. Dia menatap ku penuh selidik. Entah ada apa di wajah ku, apa kah jelek ? kumel atau... entah lah.
""Kenapa kao melihatku seperti itu, Jum.?"" Tanya ku.
""Kita sudah maki lulus, di manaki akan lanjut.""( kamu sudah lulus, kamu akan melanjutkannya di mana ?)
Aku menatap lurus lurus ke depan yang hanya ada rerumputan yang luas, mendengar pertanyaan Jum, hati ku sedih, aku ingin sekali mencapai cita cita ku setinggi langit agar bisa membanggakan Amma ku, namun keadaan ekonomi yang tidak mendukung bagi ku.
"" tidak lanjutka, jum. Amma ku tena doena, ero'mama anjama timae, bingung tonga."" (Aku tidak melanjutkan, Jum. ibu ku tidak mempunyai uang, aku ingin kerja tapi Bingung, dimana ?)
""Ri kota jakarta mo dompla, naka na tawwa, jai jama kanjo, pasti Jai nu gappa doe kanjo."" Saran Jum. ( di kota Jakarta saja, bodoh. kata orang orang, banyak kerjaan di sana, pasti kamu akan dapat uang yang banyak.)
Aku langsung memikirkan masak masak saran dari Jum, Emang iya, sih. kata orang orang di sana sangat cepat mendapatkan uang, katanya.
Apa aku harus merantau saja demi mendapatkan uang yang banyak ? biar ibu tidak terlalu terbebani ? Tapi aku belum pernah keluar desa, boro boro keluar pulau, ke inti kabupaten saja aku tidak pernah, tapi demi cita cita ku , ibu dan kaka , aku harus bertekad, nekad dan harus mencoba memperuntung kan hidup di kota.
""Ku pikir pikir Ki dulu, Jum. terimakasih sarannu."" ( akan ku pikir pikir dulu, Jum. terimakasih sarannya.)
Jum pun mengangguk tersenyum tulus, dia adalah gadis baik nan sopan tidak memilih teman seperti anak sebaya kami, tidak ada yang mau berteman dengan ku, mungkin aku miskin... mungkin, jadi.....ya udah lah, aku pun tidak mengambil pusing akan hal itu, toh aku dan keluarga susah tidak harus merengek kepada orang lain.
Hari sudah senja, ini waktu aku balik dari Padang rumput, kambing tanpa di giring pun bisa mencari arah nya sendiri, aku dan Jum hanya mengekor di belakang, seraya aku menggendong bayi kambing ku yang baru lahir di dunia.
""Mbeeek...Mbeeek.""
Aku hanya tersenyum kecut saat suara dari seorang cowok sebaya ku yang orangnya nyebelin, belagu, sok ganteng dan sok kaya di kampung kami, terdengar meledek ku yang tukang pengembala kambing.
""Mentari, Lo bau kambing, Manis si manis tapi sayangnya tubuh indah mu hanya di takdirkan untuk menjadi pengembala saja.""
Lukman. Pria tengik itu, berbicara sombong dengan logat Jakartanya mentang mentang sering bolak balik ke kota, jadi bahasa daerahnya sendiri di lupakan, dia menghina diriku karena......dulu sewaktu sekolah aku perna menolaknya.
""Apa ? biarmi botto ka, tapi tena ku sombong singkamma kau, tapi... botto kamanne lebak jako ku tolak cintanu."" (apa? biarin saja tubuh ku bau, yang penting aku tidak sombong seperti dirimu, tapi....bau bau begini, aku pernah menolak cinta mu.)
ketus ku ke Lukman, dengan sengaja bayi kambing yang ada di gendongan ku, ku sodorkan ke wajahnya dengan sangat agresif, Lukman pun lari ngeberit dengan wajah terlihat marah, entah marah karena perkataan ku perihal penolakan ku, atau karena si ulah bayi embe. aku pun bodo amat.
""Dasar...tanja Tedong."" (dasar....muka kerbau) Umpat ku berteriak ke Lukman.
Jum hanya terbahak saat Lukman kabur hanya karena takut dengan bayi kambing yang aku gendong. kami pun terpisah karena arah rumah kami berbeda.
******
Siang ini aku berada di sawah bersama ibu sedang beristirahat di pondok sawah yang kecil, sawah kami sekarang di tanami pohon cabe rawit setan yang pedas pool itu lho...
""Amma, eroka mange ri Jakarta, anjama."" Pinta ku memohon. ( ibu, aku pengin ke Jakarta untuk bekerja.)
ibu ku langsung terkesiap dengan raut wajah terlihat sedih seraya berkata.
""Nangapa na bella mamo nak, teamako anjama i, ku kulle ja appakanre ko."" ucap ibu yang sudah berlinang air mata sedihnya. (Kenapa harus jauh sekali, Nak. tidak usah bekerja, ibu mu masih bisa memberi mu makan.)
Ku usap air mata ibu ku yang berlinang di pipi kusamnya. aku pun meyakinkan ibu dengan secara halus keinginan ku yang ingin mencari modal kuliah demi cita cita ku kelak, dan demi keluarga kita juga.
Tapi...ibu malah menyampaikan hal yang mengejutkan bagiku. ibu menyampaikan bahwa ada lamaran untuk ku, yang tidak lain dari keluarga Lukman.
Dasar si pria tengik, bukannya dia begitu sombongnya menghina ku dengan mengataiku bau kambing, tapi kenapa malah melamarku...mmm...aneh, pasti ada udang di balik piring. ( batu.).
Dengan tegas aku menyampaikan penolakan ku ke ibu, walaupun Lukman mengiming-imingi uang seserahan begitu menggiurkan serta barang barang mewah lainnya, tapi aku ogah..aku tahu kalau dia tidak bersungguh sungguh dalam niatnya.
umur ku masih muda, cita cita ku begitu tinggi, aku tidak akan mau menikah sebelum aku belum membanggakan ibu ku.
ibu pun pasrah dengan keinginan ku, keputusan ku sudah bulat dengan penuh tekad demi keluarga ku, aku harus menjadi orang sukses dan awal ke suksesanku adalah kota metropolitan, Jakarta. MUNGKIN...
Sebelum kepergian ku untuk merantau di kota orang, hari ini aku akan membantu ibu di sawah sampai petang datang.
Dengan ku ucapkan basmalah, kupejamkan mataku di bawah terik mentari seraya berdoa di dalam hati, Semoga hari ini, esok dan seterusnya kehidupan ku akan baik baik saja di rantau sampai ke suksesan hidup menghampiri ku. Amin....
Kekurangan ekonomi plus banyaknya hinaan dan hutang piutang Keluarga, membuat Mentari membulatkan tekadnya untuk merantau di kota besar.
Kini restu sang ibu pun sudah di kantongi Mentari, Walaupun sangat berat hati untuk meninggalkan sang keluarga tercinta, Namun Mentari harus memilih jalan ini demi cita citanya yang ingin menjadi orang sukses dan membanggakan orang tuanya serta demi memberi hidup layak keluarganya.
Di sini, Mentari di atas kapal laut besar yang khusus untuk membawa penumpang menujuh ke kota Jakarta selama dua hari tiga malam perjalanan. ia memilih kapal laut dari pada harus memilih transportasi udara yang sangat mahal tiket pembayarannya.
kini Mentari sedang terlihat celingak celingukan mencari tempat tidur kelas ekonomi lantai dua yang tertuju seperti yang tertera di tiket Pelni yang telah di belinya.
""aduh...di manami ini tempat ku."" Bingungnya bermonolog sendiri dengan khas logat daerah.
Mentari terlihat bingung dengan tempat tidur yang panjang bersejajar terlihat sama semua sehingga ia tidak bisa membedakan tempatnya di mana?
""Pak, mau ka minta tolong."" ucap Mentari ke petugas kapal berseragam nahkoda yang berpapasan dengannya. Tak lupa logat kampungnya ia pakai.
Pria yang di panggil pak itu, seketika berhenti. pria itu menyerinyit menatap mentari dengan tatapan susah di artikan.
""Apa aku terlihat bapak bapak sehingga kamu memanggilku 'pak' ?"" Ucap sang Nahkoda berparas tampan dengan suara tegas nan beratnya, lingkaran matanya terlihat hitam seperti panda yang belum tidur beberapa hari. Pantes saja Nahkoda tidak mau di panggil bapak bapak orangnya aja seperti pangeran, tampan nan berkarisma.
Di dalam hatinya, Mentari sedikit takut dengan pria yang di panggil pak, yang aslinya Nahkoda tampan nan muda, bersosok tinggi putih.
""Galaknya."" gumam Mentari dalam hati.
Mentari menggeleng. "" cai bapak bapak, tapi Tedong."" (Bukan bapak bapak tapi kerbau) Mentari yang kesal di galakin hanya karena perihal bertanya, ia pun mengumpat terang terangan dengan bahasa planet buminya.
""Hah. todong...?"" Bingung sang Nahkoda. ""Apa tuh artinya.""
""Bukan Todong, tapi Tedong..Artinya, bapak keren."" Celetuk Mentari asal asalan
Mentari pun tersenyum kikuk lalu pergi meninggalkan sang Nahkoda sebelum mendapat suara berat lagi.
""Gadis Manis tapi aneh."" ucap sang Nahkoda. ""Aku Tedong.?"" (Aku kerbau.) Nahkoda itu tersenyum simpul di bilang keren oleh cewek manis, padahal tidak tahu saja jika Mentari malah mengumpatinya ia mirip kerbau.
*******
Senja pun tiba menyapa kapal laut yang Mentari tumpangi.
Anak desa itu terlihat merenung di pinggir kapal lantai paling atas yang berpengaman pagar besi.
indah laut yang berwarna emas akibat pantulan cahaya senja yang berwarna oranye tidak mampu menghipnotis Mentari seperti penumpang lainnya yang terlihat menikmatinya.
Gadis itu hanya sibuk merenungi nasibnya bagaimana setelah sampai di ibu kota. Tidak ada rumah yang di tujunya di sana, ia hanya bermodalkan nekad tanpa ada persiapan apapun, modal uang pun sangat tipis.
Senja berubah gelap seutuhnya, Mentari masih tak beranjak dari tempatnya, sementara penumpang lainnya sudah kembali ke tempat istirahat masing masing sebab pintu lantai itu akan di tutup jika malam sudah menyapa.
Dingin angin laut menerpa tubuhnya dan seketika tersadar dari lamunannya, ia terlalu asyik merenung sehingga tidak tahu jika di sekelilingnya sudah tidak ada siapapun.
""Yaa... sudah malam."" lirihnya tersadar.
Mentari menuju pintu yang akan mengantarkan dirinya masuk ke dalam badan kapal. Namun....
""ah, terkunci sih.."" kaget Mentari.
Ia pun menggedor gedor pintu yang terbuat besi seraya minta tolong untuk di bukakan.
dor..dor...dor.. Mentari menggedor gedor pintu masuk ke badan kapal.
""Woy... adakah orang di dalam.?"" panik Mentari. Namun tak ada sahutan.
Malam semakin larut, angin laut semakin terasa dingin masuk ke tubuh Mentari, Gadis manis itu sekarang meringkuk di sebelah pintu yang masih terkunci.
Ceklek...
Pintu yang terkunci tiba tiba terdengar terbuka, terlihat sosok tinggi yang berseragam putih berlambang khusus petugas kapal melangkah dari dalam.
Mentari yang mendengar pintu terbuka langsung bangkit dari ringkuknya.
""hey, nangapa pintu na ni kunci, nakke dingin ri kanne."" Oceh Mentari tanpa ba bi bu langsung berceloteh. ( hey, kenapa Pintunya di kunci, aku kedinginan di sini.)
Seketika sang petugas kapal tersentak terperanjat kaget, saat tiba-tiba ada suara cewek yang lagi mengoceh.
""Hai, Cewek Tedong, kita bertemu lagi."" Ucap sang Nahkoda yang sebelumnya Mentari tanyai beberapa jam yang lalu, kini wajah sang Nahkoda itu terlihat fresh, mata pandanya pun sudah tak nampak sebab kantuknya sudah di obati dengan tidur yang panjang dan sekarang giliran Nahkoda Tedong ini yang akan mengendalikan kapal atau ganti sif.
""He,"" Mentari melengos, ia di namai cewek kerbau oleh Nahkoda yang di julukinya sebagai kerbau.
""Kamu ngapain di sini ? bukannya di larang jika sudah malam berada di luar kapal?"" Heran sang Nahkoda Tedong.
""Aku...aku terkunci di luar, pasti kamu kan Tedong yang menguncinya."" tuduh Mentari.
""Yee...nuduh ! aku saja baru bangun tidur, dan baru keluar dari kamar untuk bertugas sudah di todong tuduhan."" protes Nahkoda.
""Maaf."" Sesal Mentari. "" kalau begitu saya permisi dan terimakasih sudah membuka pintunya."" sopan Mentari, tersenyum miring memperlihatkan bolongan kecil dari pipinya.
""Manis."" puji Nahkoda Tedong dalam hati yang terhipnotis lesung pipi Mentari.
Nahkoda itu langsung melayangkan tangannya sebelum Mentari melewati tubuhnya yang berdiri di tengah tengah pintu.
""Langit, nama ku Langit."" Ucap sang Nahkoda mengajak berkenalan dengan Mentari.
Seketika Mentari terngiang petuah temannya,Jum.
" Mentari, di sana harus pintar pintar jaga diri, katanya, orang orang yang ada di kota itu penuh dengan muslihat, apalagi seorang laki laki, baik jika ada maunya.""
""Maaf."" Ucap Mentari menangkup kedua tangannya di depan dada.
Gadis desa itu monalak untuk berkenalan.
""saya permisi."" Tambah Mentari berlalu melewati sisi tubuh sang Nahkoda muda yang bernama Langit.
""Ais...Langit Syaputra di kacangin, Menarik !"" Nahkoda yang memiliki gelar sebagai play boy seketika tertarik ingin mengetahui lebih dalam lagi soal Mentari.
""Gadis pertama yang menolak di ajak berkenalan dengan orang setampan diriku, tapi sangat di sayangkan, kita hanya bertemu di kapal ini, jika bertemu di darat aku akan berusaha mengetahui nama mu. ""
Nahkoda yang bernama Langit menggeleng geli setelah sadar sudah memuji ketampanannya sendiri, ia pun pergi menuju ke tempat dinasnya.
Sementara Mentari sudah berjalan cepat, menuju tempat tidurnya, tidak ada kekaguman untuk memuji ketampanan sang nahkoda, yang ia pikirkan jauh jauh dari kata bahaya dari orang orang asing.
Mentari bernafas lega, setelah mendudukkan dirinya di atas tempat tidur khusus kelas ekonomi, bukan hanya ia yang terlihat di situ melainkan banyak orang yang sudah pada terlentang di tempat tidur yang berjejer rapih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!