NovelToon NovelToon

Korban Kesirikan Desa Terkutuk

Part 1.

Hari itu sangat cerah dan sejuk. Matahari bersinar jernih sehabis hujan. Awan pun terlihat sangat putih bersih. Anton membajak sawahnya dengan bersemangat meskipun seorang diri. Dia tidak ditemani istrinya kerena telah hamil tua. Usianya sudah tinggal menghitung hari. Dia membajak sambil berharap anaknya yang akan lahir adalah anak laki-laki yang bisa membantunya kelak mengelola tanahnya yang bidang.

Siang itu, saat dia sedang fokus membajak, anak perempuannya, Siska memanggil-manggilnya dari benteng sawah. Namun Anton tidak mendengarnya, sehingga dia harus turun dan berlari di lumpur itu menghampiri bapaknya. Dia sangat terengah-engah dan wajahnya ketakutan. Namun bapaknya berusaha menenangkannya, tapi dia justru menangis sambil menyebut-nyebut, 'ibu...ibu...' berkali-kali.

"Kenapa Nak?

Ada apa?

Tenanglah dulu. Tarik nafas!

Bicara pelan-pelan!

Ada apa?" Tanya Sang Bapak sambil memegang pundak putrinya. Matanya menatap dengan penuh tanda tanya besar dan rasa ingin tahu.

"Ibu...

Ibu..." Balasnya terbata-bata.

"Ibumu kenapa nak? Ayo cerita pelan-pelan."

"Ibu meninggal pak." Ungkap Siska sambil terus menangis.

Mendengar itu, Anton pun terdiam sejenak seolah tak percaya dengan berita itu. Tapi dia duduk terhempas ke lumpur dan tubuhnya lemas. Yang ada di benaknya, apakah itu benar? Tapi tidak mungkin anaknya berbohong.

Meski begitu, dia tetap mencoba untuk tenang sambil menelan air liurnya dan memegang kedua pundak putrinya lalu berkata lagi,

"Apa katamu tadi nak?

Ibu mu meninggal? Kau serius? Kau sedang tidak bercanda kan?

Bagaimana bisa?

Tadi pagi ibumu masih baik-baik saja. Dia sangat sehat. Dan dia tertawa pada bapak.

Tidak nak! Jangan sembarang bicara."

"Aku berkata benar pak. Ibu sudah meninggal. Ibu meninggal saat melahirkan." Balasnya sambil terus menangis.

"Apa?" Teriaknya kaget tidak percaya.

Dia masih tak percaya. Dia memegang kepalanya dengan tangan yang masih berlumpur sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan berbicara pelan,

"Tidak mungkin."

Maka putrinya mendesaknya untuk segera bangkit dan pulang. Dia berkata,

"Ayo pulang pak. Ayo lihat ibu."

Dia menarik-narik tangan bapaknya seolah memaksanya untuk segera berdiri dan pulang.

Lalu tak lama, seorang pria lewat dan berseru padanya,

"Hei, Anton!

Ayo pulang!

Istrimu sudah meninggal."

Dia pun semakin tercengang dengan apa yang dia dengar. Maka dia segera bangkit dan berlari pulang tanpa membersihkan lumpur yang menempel di pakaiannya. Dia meninggalkan semua peralatannya juga putrinya dan berlari dengan kencang untuk memastikan berita yang dia dengar itu.

Lalu ketika dia sudah sampai di halaman rumahnya, dia melihat sudah banyak orang berkumpul di sana sambil menangis, dan membacakan doa.

Maka Anton segera buru-buru masuk ke dalam rumah dan melihat jasad yang telah terbaring dan ditutupi kain. Perlahan dia berjalan mendekat dan duduk di samping jasad itu. Dia mengulurkan tangannya yang gemetar untuk membuka kain penutup itu dan melihat wajah istrinya untuk terakhir kali. Lalu begitu kain itu terbuka, suara tangisnya pun pecah membelah riuhnya suara banyak orang yang saling berbisik. Seraya dia menangis, matanya tak henti memandang ke arah wajah istrinya yang masih muda itu dan terus menangis sejadi-jadinya. Perbedaan usia mereka terpaut cukup jauh 10 tahun. Karena tak kuasa menahan emosinya, dia menangis sambil memeluk jasad istrinya dan berkata,

"Bangun Nia!

Bangun!

Kau tidak boleh pergi begitu saja!

Jangan tinggalkan aku! Kumohon bangunlah!

Buka mata mu!"

Maka karena tak tahan melihat tangisannya, salah seorang pria dari kumpulan itu mendekatinya dan mencoba menenangkannya. Sambil menepuk-nepuk lembut pundaknya, dia berkata,

"Sabar Anton.

Sabar."

Juga tak lama, seorang wanita juga duduk mendekati dia sambil menggendong seorang bayi mungil. Bayi itu tidur dan terbalut kain dengan sangat nyaman dan hangat. Dia bertanya bayi siapa yang tengah digendongnya itu. Maka wanita itu mengatakan bahwa itu adalah putri bungsunya yang baru saja dilahirkan. Wanita itu juga mengatakan padanya bahwa bayinya terlahir cacat.

Melihat semua yang terjadi padanya saat itu, jiwanya semakin terpukul dan terguncang. Hingga dia nyaris pingsan karena tekanan emosi yang kuat. Tapi beberapa tetangganya terus berusaha menenangkannya dan menghiburnya.

**********

Lalu setelah beberapa waktu, keadaan Anton pun mulai tenang. Dia bisa duduk dengan tenang di samping jasad istrinya.

Kemudian seorang pria paruh baya bicara lembut padanya,

"Nak, pergilah dan ganti pakaianmu. Bersihkan dirimu karena sebentar lagi kita akan berdoa untuk istrimu. Maka dia pun segera beranjak dan pergi membasuh dirinya. Sementara orang-orang di sana saling sibuk. Ada yang saling berbisik satu sama lain, ada yang meratap, dan ada juga yang diam.

Kemudian setelah dia membersihkan diri dan berganti pakaian, dan duduk kembali di sisi jasad istrinya, salah seorang mendekat padanya dan menceritakan kejadian yang telah menimpa Nia, istrinya. Sehingga menyebabkan dia meninggal.

Dia menceritakan bahwa Nia meninggal saat melahirkan. Kondisi fisiknya yang lemah, membuat dia tidak kuat untuk mengantarkan sang bayi lahir ke dunia.

Setelah itu, dia berkata lagi,

"Ini anak mu, dia sangat manis seperti ibunya." Ujarnya sambil menyerahkan bayi itu ke tangan Anton.

Begitu dia menggendong bayinya, hatinya pun semakin hancur dan perih seperti tersayat-sayat oleh pisau yang tajam.

Dia tidak tahan melihat anaknya lahir cacat tanpa kedua kaki.

Hatinya sangat sakit menerima kenyataan pahit itu, hingga dia tak mampu lagi membendung airmatanya dan menangis lagi sejadi-jadinya untuk kedua kali.

Kemudian dia berteriak tanpa kendali untuk meluapkan emosinya,

"Kenapa?

Kenapa yah Tuhan?

Kenapa ini harus terjadi padaku?

Dosa apa yang sudah aku lakukan?

Lebih baik aku mati saja daripada harus hidup seperti ini?"

Kumpulan orang itu pun hanya bisa terdiam melihat Anton dan tak berani mendekatinya.

Sampai akhirnya, salah seorang dari antara mereka memberanikan diri bicara padanya untuk menguatkannya. Dia menghiburnya sambil mengusap-usap lembut punggungnya.

"Tabahlah Anton. Kuatkan dirimu."

Cuaca yang cerah saat itu, tak memberinya kebahagiaan. Kebahagiaan yang dinanti-nantikan oleh seorang ayah ataupun suami. Tapi justru kegelapan yang sangat pekat seperti awan hitam yang siap menjatuhkan hujan badai ke atas permukaan bumi.

Lalu ketika hari mulai gelap, Jenazah harus segera dimakamkan. Maka agar semuanya bisa berjalan dengan lancar, salah seorang di antara mereka terus berusaha menenangkan dan menghibur Anton. Dia berkata,

"Sudahlah Anton.

Ini memang berat, tapi kamu harus mengikhlaskannya. Sekarang hari hampir gelap dan kita harus segera memakamkan jenazah Nia.

Sudahlah. Biarkan dia beristirahat dengan tenang."

**********

Akhirnya proses pemakaman Nia pun dimulai. Nyanyian perkabungan pun dilantunkan, dan ditutup dengan doa.

Kemudian jenazah diangkat dan dibawa ke pemakaman umum. Di sana Anton dan putrinya tak henti-hentinya menangisi kepergian Nia. Dia terus mengucapkan kata-kata yang sama, 'Nia kenapa kau pergi meninggalkan ku dan anak-anakmu?'

Beberapa orang di sana pun tak henti-hentinya menghibur Anton dan Siska. Tak henti-hentinya mereka mengucapkan kata-kata yang sama berulangkali, 'sabar'. Sampai akhirnya Anton lelah dan diam melihat orang-orang memasukkan jasad Nia ke dalam kubur.

Lalu seorang pemimpin agama mulai memimpin doa untuk melepaskan kepergian Nia. Setelah semuanya itu, orang-orang satu persatu mulai menyalami Anton dan memberikan kata-kata penghiburan baginya.

Proses pemakaman pun berjalan baik dan lancar. Semua warga sangat berduka. Karena tak menyangka kepergian Nia yang begitu mendadak.

Part 2.

Beberapa hari setelah pemakaman itu, hari-hari mulai tampak berjalan normal seperti biasanya. Tidak ada lagi orang yang berduka ataupun membahas kematian Nia yang menyedihkan itu. Warga desa mulai sibuk bekerja di ladang mereka masing-masing. Dan sebagian lagi berdagang di pasar tradisional.

Tapi tidak dengan Anton. Dia masih belum bisa melepaskan kepergian istrinya. Cinta pertamanya yang dia dapatkan dengan penuh pengorbanan dan penantian panjang. Bagaimana tidak? Dia harus menunggu selama lebih dari sepuluh tahun untuk bisa menikahi Nia. Dia harus menunggu sampai dia lulus SMA. Dan orangtua Nia pun tak semudah itu memberikan Nia pada Anton. Mengingat dia masih sangat muda. Tapi karena Anton bersungguh-sungguh mencintainya dan telah membuktikan cintanya, dengan rela menjadi pesuruh selama ayah Nia hidup, maka ayahnya memberikan putrinya untuk dia nikahi.

Selama Anton menjadi pesuruh di rumah orangtua Nia, ayah Nia bisa melihat sendiri apakah Anton orang yang bertanggung jawab atau tidak atas pekerjaannya. Dan Anton melakukan semua yang ayah Nia suruh dengan rela. Anton bukanlah orang yang berasal dari keluarga miskin. Dia juga memiliki tanah yang bidang. Tapi karena cintanya yang besar, dia mau menerima posisi rendah itu, menjadi pesuruh sampai cintanya mendapat restu.

Seharian itu, hanya dia lewatkan dengan sibuk merenungi masa-masa indahnya bersama Nia. Sudah seharian dia mengurung diri di kamarnya meratapi nasibnya yang malang. Bayi kecilnya yang menangis sejak tadi pun tak dihiraukannya lagi. Karena dukanya yang dalam, telinganya seperti tertutup selaput tebal sehingga tidak mendengar tangisan bayinya yang kehausan. Apa yang bisa dilakukan anak perempuan sulungnya Siska? Anak yang masih berusia delapan tahun itu hanya bisa bernyanyi, dan membuat bayi itu tertawa agar dia berhenti menangis. Tapi bayi mungil itu tidak membutuhkan itu semua selain air susu ibunya yang kini tak bisa dia dapatkan lagi.

Maka karena melihat semua upayanya sia-sia, gadis kecil itu pun pergi menemui bapaknya di kamarnya. Berharap mendapatkan solusi. Tapi yang terjadi dia malah semakin bingung dengan situasi sulit yang dia lihat. Dia melihat bapaknya duduk menangis di sisi tempat tidur sambil melihat foto-foto masa lalunya bersama ibunya. Sesekali bapaknya berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri meluapkan kekesalan dan kesedihannya. Dia semakin bingung, karena di hadapannya ayahnya begitu depresi. Dan saat dia menoleh ke luar, dia melihat adik kecilnya masih terus menangis.

Maka karena tak tahu apa yang harus dilakukan lagi, dia pun ikut menangis. Dia duduk dan bersandar di daun pintu sambil terus menangis.

Tiba-tiba ada seorang perempuan yang lewat dari depan rumahnya dan mendengar suara tangisan itu. Perempuan itu tampak baru pulang dari pasar karena dia membawa keranjang berisi sayuran dan jenis makanan lainnya. Mendengar suara ribut itu, dia berhenti dan singgah ke rumah itu. Dia mengetuk-ngetuk pintu rumah itu tapi tidak ada yang mendengar. Akhirnya dia memutuskan masuk dan melihat bayi itu sedang menangis gemetar. Cepat-cepat dia berjalan menuju bayi itu dan langsung menggendongnya. Mengusap-usap kepalanya sambil terus mengatakan, "Cup...cup... diam yah sayang. Jangan nangis terus." Tapi tetap saja anak itu tidak berhenti menangis.

Belakangan perempuan itu merasa iba lalu membuka kancing bajunya dan memberinya susu. Meski dia melakukannya dengan berat hati karena khawatir sewaktu-waktu bapak anak itu akan melihatnya.

Sembari menyusui dia berkata sambil mengelus-elus lembut kepala bayi itu,

"Kasihan sekali kau nak. Kau ditinggalkan ibumu sekecil ini. Kau tidak sempat minum air susu ibumu."

Menyadari adiknya berhenti menangis, gadis kecil itu pun beranjak untuk melihat apa yang terjadi. Dia terkejut. 'Bagaimana bisa ada wanita yang masuk ke rumahnya dan memberikan air susu untuk adiknya?' Ujarnya dalam hati.

Dia melihat wanita itu memperlakukan adiknya dengan penuh kasih sayang. Tapi dia tidak bisa melihat rupa wanita itu karena wanita itu membelakanginya. Sehingga yang bisa dia lihat hanyalah bagian punggung wanita itu. Dan setelah adiknya tertidur, wanita itu membaringkannya dan menyelimutinya. Lalu sekali lagi wanita itu mengusap-usap lembut kepala bayi itu sebelum dia pergi. Namun gadis itu tidak berani mendekat padanya untuk mengucapkan terima kasih dan untuk mengetahui siapa wanita yang sudah berbaik hati itu, yang telah membuat adiknya tertidur.

Setelah wanita itu pergi dan menutup pintu, gadis kecil itu berjalan menuju bayi itu. Dia duduk di dekatnya sambil berbicara pelan,

"Berarti kalau adikku menangis, dia haus dan butuh minum. Tapi aku tidak punya susu. Aku pun tidak tahu siapa perempuan itu. Aku tidak bisa melihat wajahnya."

Karena masih penasaran, dia beranjak dan melihat dari jendela untuk mengetahui siapa wanita itu. Tapi wanita itu sudah tidak ada.

"Dia pergi cepat sekali." Ujarnya pelan.

Sementara adiknya tidur, gadis kecil itu pergi ke dapur untuk mencari makanan. Karena sejak dia bangun pagi, sampai matahari naik di puncaknya, belum ada sedikit pun makanan yang menyentuh mulutnya dan masuk ke lambungnya. Dia sangat lapar sehingga perutnya mengeluarkan bunyi yang nyaring. Dia mencari-cari ke berbagai tempat penyimpanan makanan namun tak menemukan apapun selain sepotong roti yang masih terbungkus, sisa yang dibawa oleh orang-orang yang datang menghibur ke rumahnya. Dia memakan lahap roti itu dan meneguk segelas air. Lalu suara sendawa yang keras pun keluar dari mulutnya karena dia telah kenyang.

Kemudian dia kembali ke kamar bapaknya untuk melihat apakah bapaknya masih bersedih atau tidak. Tapi sesampainya di sana, suasana yang dilihatnya masih tetap sama seperti beberapa saat yang lalu. Tidak ada perubahan.

Tak ingin situasi itu terus larut, dia memberanikan diri mendekati ayahnya yang sedang berduka dan mencoba menghiburnya dengan kata-kata yang sederhana.

"Bapak jangan sedih lagi. Kami sangat menderita karena bapak sedih."

Tangan kecilnya menggenggam pergelangan tangan bapaknya sambil berkata lagi, "Bapak jangan sedih lagi."

Namun usahanya itu tidak sia-sia. Anton menatap haru wajah anak perempuannya dan mencoba tersenyum sekalipun sangat berat. Mencoba tegar, dia mulai bangkit dan menggendong anaknya sambil berbicara dengan tersenyum,

"Bapak tidak akan sedih lagi. Lihat! Bapak sudah hapus airmata bapak. Karena itu, ayo kita makan. Bapak akan masak makanan enak untukmu."

"Sungguh pak? Siska sangat lapar. Roti yang tadi saya makan tidak cukup untuk membuat saya kenyang."

"Apa? Roti? Dimana?"

"Roti yang dibawa oleh ibu-ibu yang datang dua hari yang lalu."

"Astaga nak.

Maafkan bapak karena tidak memperhatikan kalian. Roti itu mungkin sudah berjamur. Kenapa masih kau makan nak?"

"Aku tidak tahu pak. Tapi aku sangat lapar. Jadi aku memakannya."

"Ya sudahlah. Di mana adikmu?"

"Dia sedang tidur. Tadi ada perempuan yang datang kemari dan memberi adik minum. Dia juga membuatnya tidur. Tapi aku tidak tahu siapa dia pak. Ketika aku ingin melihatnya dari jendela, dia sudah tidak ada."

"Ya sudahlah, lupakan saja. Sekarang ayo kita ke dapur."

Anton pun mencoba bangkit dari keterpurukannya, menegakkan bahunya sambil menghela nafas panjang dan berdiri dengan tegap. Dia mencoba bersemangat agar anak perempuannya juga bersemangat dan tidak sedih lagi. Dia juga melihat bayinya itu dan berkata,

"Nak, meski kau terlahir seperti ini, tapi aku bapakmu akan selalu membuatmu menjadi anak perempuan yang paling bahagia. Kau dan kakakmu Siska, adalah anak kesayangan bapak. Bapak sangat menyayangi kalian berdua. Bapak akan sekaligus jadi seorang ibu untuk kalian berdua."

Setelah itu dia meninggalkan bayi itu tidur di tempat pembaringannya yang nyaman dan pergi ke dapur bersama Siska untuk memasak.

Dia menyuruh anaknya duduk dan memperhatikannya memasak, agar kelak dia juga terampil melakukannya.

Part 3.

Anton memasak makanan kesukaan anak perempuannya dan menyuapinya sebagai pengganti ibunya. Seraya dia memasukkan suapan demi suapan ke mulut anak perempuannya itu, airmatanya perlahan keluar lagi karena memikirkan tanggung jawab besar yang kini dia hadapi. Dia harus memainkan dua peran sekaligus, sebagai seorang ayah dan ibu agar kedua anak perempuannya tidak kekurangan cinta meski hanya memiliki orangtua tunggal. Dia juga sedih karena memikirkan apakah dia bisa sanggup dan terampil mengurus seorang bayi yang masih membutuhkan air susu ibunya untuk bertahan hidup atau tidak?

Selama dia menangis, anak perempuannya itu hanya diam saja melihatnya. Sampai belakangan dia pun ikut menangis.

**********

Hari demi hari Anton lalui dengan penuh kerja keras untuk kedua anak perempuannya. Terkadang dia menggendong anaknya yang masih kecil itu di punggungnya sambil membajak sawahnya. Ketika anak itu sangat rewel, dia akan berhenti bekerja dan menimang-nimang anaknya sampai tidur. Dia hanya bisa fokus bekerja saat anak perempuannya yang sulung pulang dari sekolah.

Sepulang sekolah dia akan menemui bapaknya di sawah untuk menjaga adiknya. Mereka akan duduk bermain di benteng sawah, di dalam gubuk kecil yang dibuat bapaknya.

Anton sangat memanjakan kedua putrinya. Dia berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Anak-anaknya terlihat bahagia dan tidak pernah mengeluh tentang cinta seorang ibu. Dia melihat kedua anak perempuannya bertumbuh dengan baik.

Selama masa-masa sulit di awal itu, beberapa orang yang prihatin kepadanya mencoba mencarikannya seorang perempuan untuk menemaninya mengurus rumah tangganya menggantikan istrinya. Tapi dia selalu menolaknya karena mengingat janjinya kepada ayah mertuanya akan terus mencintai Nia istrinya selamanya. Hingga kedua anak perempuannya bertumbuh besar, Anton bisa menahan masa-masa kesepiannya dan menepis semua kerinduannya yang tak bisa lagi terlampiaskan dan tersalurkan pada tubuh istri tercintanya.

Para warga di desanya pun bisa melihat ketekunan Anton mengurus dan membesarkan kedua anaknya. Mereka bisa melihat bahwa keluarga itu bisa bahagia meski tidak lengkap. Tapi kebahagian itu tidak berlangsung lama.

Sampai suatu ketika awal kehancuran pun dimulai. Yang bermula saat salah seorang tetangga Anton memendam perasaan cemburu dan iri melihat kebahagiaannya dengan kedua putrinya. Dia tidak tahan melihat Anton bisa bahagia tanpa seorang pendamping di sisinya. Tetangganya itu adalah seorang wanita yang pernah ditolak cintanya oleh Anton. Maka dia mulai mengungkit-ungkit masa lalu mereka dan mengarang cerita bohong sehubungan dengan kematian Nia istri Anton. Dia juga menyebar cerita bohong itu kepada seluruh warga desa, bahwa Nia mati karena kutukan, dan Sisil putri bungsunya terlahir cacat akibat dari kutukan juga.

Awalnya warga desa tidak menghiraukan omongan itu karena mereka bisa melihat sendiri kelakuan Anton yang baik.

Tapi wanita itu tidak menyerah dan terus mengarang bukti palsu untuk memperkuat tuduhannya.

Hari demi hari dia selalu mengatakan hal buruk tentang Anton kepada setiap warga yang dia temui dan kepada setiap orang yang datang ke rumahnya. Dia menyebar gosip dan fitnah, seperti dia menebar bulu ke udara.

Belakangan seluruh warga desa akhirnya percaya dengan cerita bohong itu. Sehingga satu persatu di antara mereka mulai mengejek, menghina, dan menyindir Anton hari demi hari. Mereka juga memperlakukan Anton dan kedua anak perempuannya seperti orang yang terkutuk dan harus dijauhi dan dikucilkan. Meski Anton berupaya menepis semua fitnah itu, dan bersikap tegar, tapi orang-orang sudah terlanjur percaya dan sulit diubah pemikirannya.

Sampai suatu ketika dia tidak tahan lagi menanggung beban beratnya karena begitu tertekan dengan semua perbuatan warga desa yang semakin menjadi-jadi. Sehingga dia mulai berpikiran buruk kepada Sisil putri bungsunya yang cacat itu. Hatinya mulai membencinya dan bersikap kasar padanya. Dia juga menyalahkan Sisil atas kematian istrinya Nia. Hari demi hari kebencian Anton semakin bertambah seiring dengan tekanan emosi yang dihadapinya setiap hari. Sindiran tajam yang setiap hari dia dengar, membuatnya melampiaskan kekesalannya pada Sisil, anaknya yang tidak bersalah sama sekali. Sewaktu anak perempuannya itu mendapat pukulan dari tangan bapaknya yang dulu begitu memanjakannya, dia menangis merintih di hadapan bapaknya dan berkata,

"Kenapa bapak selalu menyalahkanku atas kematian ibu? Apa aku yang menyebabkannya? Apa aku senang dilahirkan cacat seperti ini pak? Apa aku juga senang tidak memiliki ibu? Aku juga ingin seperti anak-anak lainnya yang dapat berlarian dengan bebas kesana kemari. Tapi aku, aku sangat menyedihkan. Aku bahkan tidak kenal ibuku. Tapi bapak menggantikan posisi ibu sehingga aku tidak pernah sedih karena tidak punya ibu. Tapi sekarang, bapak terus menyalahkanku."

Namun jauh di lubuk hatinya, dia justru sangat menyesal dengan semua tindakannya itu. Kata-kata yang dia dengar dari anak perempuannya adalah benar. Terlahir dengan fisik yang cacat bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi. Tapi putrinya sangat tegar menjalani setiap keterbatasannya. Maka Anton biasanya akan menangis getir di kamarnya usai memukuli Sisil anaknya. Sedangkan Siska berupaya melindungi adiknya namun tidak mampu karena tangan bapaknya yang kuat mendorongnya hingga terjatuh dan tersungkur di lantai.

Namun meski Anton menyesal atas perbuatannya, namun tekadnya mudah goyah setiap kali dia mendengar tetangganya mencibirnya. Bahkan waktu itu dia juga pernah melihat anak perempuannya yang sulung, Siska diperlakukan dengan tidak adil oleh teman-teman sekolahnya. Dia diolok-olok dengan sesuka hati hingga kesabaran Anton habis dan memukul anak-anak yang mengolok-olok putrinya. Akibatnya orang-orang di desa semakin membencinya bahkan nyaris mengusirnya dari tanahnya sendiri.

Anton kini sudah tidak peduli lagi dengan Sisil. Entah dia sudah makan atau belum. Dia tak pernah peduli.

Beruntung Sisil punya kakak perempuan yang baik, yang bisa memberikan cinta dan perhatian sebagai ganti bapaknya. Dia setia merawat dan memberi adiknya makan hari demi hari.

Berulangkali Siska memohon pada bapaknya agar mengubah sikapnya terhadap Sisil, tapi selalu ditentang.

**********

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!