Jangan lupa ditambahkan ke Favorit kalian ya. Jangan lupa like dan vote kalian ya. Selamat membaca......
Banyak kata yang mungkin berantakan, harap maklumi ya. Akan diperbaiki dipart selanjutnya. Semoga tidak bosan.
FANIA duduk sofa apartemennya sambil menengguk segelas kopi. Bersamaan dengan membaca buku prosa kesayangannya. Sementara Reza masih sibuk dengan laptopnya untuk mengerjakan tugas kantor yang belum juga kelar sehingga membuat dirinya mengerjakan tugas di apartemen milik Fania.
"Za, nggak pulang lo? Bentar lagi gue mau tidur nih."
"Bentar, gue masih pusing. Ini ngerjain desainnya belum bisa nemu ide. Lo ada ide nggak?" jawab Reza sambil menggaruk kepalanya yang mulai gatal karena kehabisan ide.
"Lo kerjain di kamar lo deh. Sumpah gue ngantuk banget. Ngerti dikit kek jadi orang."
"Ya udah gue balik." Reza bangun dari tempat duduknya membereskan laptop dan juga berkas-berkas yang berserakan di meja ruang tamu milik Fania.
Apartemen Fania hanya berbeda satu tingkat dengan Reza. Tetapi lelaki itu lebih nyaman berada di kamar Fania karena di sana ia bisa memiliki teman untuk bercengkerama.
"Gue pamit ya. Lo tidur yang bener. Jangan kangenin gue.”
"Elah najis banget gue kangen cowok kayak lo." Fania memutar bola matanya dan mengerucutkan bibirnya.
Fania Zainal. Saudara dari Almarhum Fandi Zainal. Mereka berdua adalah saudara kembar. Akan tetapi Fandi lebih disayang oleh Tuhan. Sehingga dipanggil lebih cepat oleh Tuhan dengan cepat. Kini tinggal Fania sendiri. Kala itu Fandi mengidap penyakit mengerikan sehingga membuatnya meninggal. Reza telah berjanji pada Fandi untuk menjaga Fania dengan baik. Hingga kini lelaki itu masih setia menemani Fania. Bahkan mereka berdua bernasib baik berada di kantor yang sama. Selebihnya, karena perusahaan itu merupakan milik Ayah Reza.
Fania perempuan dengan tinggi badan 172 yang terbilang cukup tinggi. Dengan rambut sebahu dan kulit putih matanya yang cukup terlihat besar dan bulu mata yang lentik. Selain cantik, perempuan itu juga cerdas. Tak jarang juga ia menjadi perempuan bahan omongan karena begitu banyak laki-laki yang berusaha mendekatinya di kantor. Akan tetapi lebih nyaman untuk fokus pada pekerjaan.
Fania berusaha untuk tidur. Namun lagi-lagi waktu tidurnya terganggu oleh suara bel seseorang yang bertamu dan tidak memiliki adab untuk berkunjung di tengah malam begini. Pukul satu dini hari. Wajarkah bagi seseorang untuk datang?
Ia membuka pintu.
"Fan, pinjem laptop lo dong. Sumpah ya kesel banget gue malam ini. Tidur enggak tenang."
Fania mendorong kepala Reza dengan telunjuknya.
"Eh manusia kampret. Bisa nggak sih kalau mau datang itu nelpon dulu?" protes Fania yang begitu kesal oleh kelakuan Reza.
"Bisa. Sorry ya. Eh iya, ini terakhir gue ganggu tidur lo deh. Gue janji." Reza mengangkat telunjuknya sebagai kesepakatan dengan Fania
Fania menghela napas panjang. "Ya udah gue ambil laptop sama kopi buat lo. Sekali lagi lo ganggu gue. Lihat aja gue nggak bakalan ampuni lo."
"Iya bawel."
Fania melangkahkan kaki menuju kamarnya untuk mengambil laptop dan juga membuatkan lelaki itu segelas kopi sebagai peneman untuk begadang. Meski menyebalkan, tetapi ia tetap menurut kepada Reza. Sebab laki-laki yang kini bisa melindunginya hanya Reza. Orang tempat ia berbagi keluh kesah. Orang tua yang ia harapkan selalu berada jauh darinya untuk urusan pekerjaan. Sebenarnya, Fania sudah ditawarkan beberapa kali untuk bekerja bersama dengan orang tuanya di luar negeri untuk mengurus beberapa bisnis. Tetapi Fania menolak dan lebih nyaman bekerja di Jakarta, benar Jakarta. Kota tempat para pekerja keras yang tak kenal waktu.
Ia keluar dari dapur dan melihat Reza yang sudah terlelap di sofa. "Sialan, kebiasaan nih orang kalau capek ya capek aja. Nggak usah dipaksain." Gerutunya. Kesal karena sudah membuatkan kopi untuk Reza, namun justru ditinggal tidur.
Fania menggerakkan badan Reza dengan pelan. Takut laki-laki itu akan terkejut jika dibangunkan dengan cara yang tidak benar.
"Za, bangun." Beberapa kali berusaha membangunkan. Tetapi tidak ada reaksi sedikit pun.
***
Pagi tiba.
"Oh sial. Gue ketiduran." Ucap laki-laki itu sambil menggosok-gosok matanya
"Udah bangun lo, Kebo?"
"Lo lagi mengigau? Jam segini berangkat kerja. Hahaha."
"Ketawa aja sampai pada akhirnya kenyataan itu lebih menyakitkan. Za." Fania memberikan ponselnya kepada Reza untuk memperlihatkan pukul berapa hari itu.
"Shit, Kok lo tega banget nggak bangunin gue? Kerjaan gue belum kelar."
"Makanya lo kalau punya banyak tugas nggak usah kelayapan kayak kelelawar. Kelelawar masih mending pergi malam pulang tengah malam. Nah lo, pergi sore pulang larut malam." Balas Fania dengan jawaban yang tak kalah dari Reza.
"Daripada lo ngajak gue debat masih pagi gini. Mending lo ke kamar mandi, cuci muka terus siap-sial ke kantor. Untuk soal sarapan lo tenang aja. Gue masakin sekarang. Lo nggak lupa kan sama janji temu kita bareng klien yang akan tanda tangan kerja sama hari ini?"
Reza berusaha mengingat-ingat tentang jadwal hari ini yang telah dibuat oleh Fania sendiri. Seketika mata lelaki itu memerah dan menggelengkan kepala. "Lo nggak bercanda kan?" Reza yang bemar-benar lupa akan kejadian itu berusaha menolak kenyataan pada hari itu.
Ia bangkit dari duduknya segera keluar dari apartemen Fania menuju Apartemen miliknya. Lift yang masih saja belum turun membuatnya kesal setengah mati. Mengingat bahwa Reza takkan bisa bersabar dalam keadaan seperti ini.
"Ayolah, kalo bisa putar waktu. Gue mau detik ini berhenti. Biar gue ada waktu untuk siap-siap." Ucapnya sambil melihat ke arah jam tangan miliknya.
Ketika pintu lift terbuka.
"Sayaaaang." Seseorang langsung memeluk Reza dengan begitu agresif. Jangan terkejut jika pelukan langsung mendarat di tubuh pria tersebut. Bahkan ciuman pun seringkali mendarat di bibir pria itu dengan cepat. Bahkan pria itu akan menjauh bila dirinya merasa tidak nyaman.
"Kamu ngapain sih pagi-pagi ke mari? Aku tuh buru-buru."
"Kamu semalam main tinggal-tinggal gitu aja." Goda perempuan itu dengan nada bicara yang di buat-buat.
"Aku kan udah bilang lagi sibuk untuk kerjaan. Hari ini aku justru telat bangun gara-gara ketiduran. Tugas kantor juga belum selesai."
"Hmmm sayang berarti kamu sibuk banget har ini? Nggak ada waktu untuk nemenin aku?"
"Nggak bisa. Lain kali aja."
"Kok kamu gitu sama aku?"
"Aku lagi sibuk kerja. Kamu nggak bisa ngerti. Yaudah terserah." Ucapnya sambil menarik perempuan itu agar masuk ke lift . Ketika pintu lift tertutup perempuan itu dengan agresif menyerang bibir Reza.
"Udah untuk salam paginya?" sambil menjauhkan tubuh perempuan itu.
"Kamu kok jadi judes gitu sama aku?" protes perempuan yang datang ke apartemen Reza.
"Jadi gini ya. Ada waktunya kita bareng. Ada waktunya juga buat aku untuk kerja. Kamu pasti bisa paham sendiri gimana maksudku." Reza yang sedari tadi sudah terburu-buru justru diberikan beban pikiran sepagi itu. Ia dengan pelan berusaha menjelaskan dan meminta gadis itu untuk keluar dari apartemennya. Setelah keluar, Reza mandi untuk bersiap-siap menuju kantor yang sekiranya sudah sangat terlambat.
Reza berdiri di depan cermin sambil mengenakan dasi.
"Za, cepetan lo. Jangan dandan kayak cewek lo." Perempuan tersebut mengejutkan Reza. Tanpa suara apa-apa langsung masuk ke kamar Reza. Bagaimana jika Reza belum mengenakan pakaiannya tadi mandi. Tentu akan mengerikan bagi perempuan itu.
"Lo bisa kan nggak usah ngagetin gue?"
“Fan, jangan kebiasaan ya lo masuk ke kamar gue tanpa ngetuk pintu dulu.” tegur Reza pada Fania agar tidak mengulangi kesalahan seperti tadi.
“Za, lo itu gimana ya, bingung gue jelasinnya. Kalau gue datang ngetuk pintu yang ada lo enggak bakalan nyahut dikit pun.”
“Gini, gue bukannya enggak suka lo nyelonong masuk gitu aja ke kamar tapi lo emang enggak bisa masuk gitu aja ke kamar gue. Secara gue itu laki, lo perempuan. Kalau nanti gue lagi telanjang gimana?”
“Pikiran lo tuh ya.” Memukul bahu Reza.
Reza terkekeh dengan Fania yang sedari tadi tidak pernah mau mendengarkan apa yang dia ucapkan. Diperjalanan menuju kantor, Fania hanya sibuk dengan gadgetnya sedangkan Reza terdiam dan fokus menyetir. Sesekali matanya tertuju pada Fania yang tak menghiraukannya sejak obrolan tersebut selesai.
Setibanya di kantor. “Turun lo. Gue nyetir, lo malah gaya banget enggak ngehargai gue lagi malah sibuk sama gadget lo sendiri.”
“Dih bocah banget lo, sini gue perhatiin lo deh.” Ledek Fania yang melihat raut wajah Reza mulai terlihat masam.
Melihat raut wajah itu. Fania turun dari mobil Reza untuk mengejar laki-laki itu yang merasa tidak nyaman sebab diabaikan oleh dirinya. Tiba di lift, mereka masuk berdua. Fania yang berusaha menyapa tetap diabaikan oleh Reza.
“Cie, gitu aja ngambek. Gue tadi chat sama temen lama gue.” Ia mencoba menjelaskan kepada Reza. Namun sikap lelaki itu tetap saja tak acuh.
“Ya udah terserah lo deh. Mau marah atau kayak gimana. Lagian ya, gue punya hak mau ngapain aja.”
“Ya, lo punya hak. Bahkan untuk mengabaikan orang yang disamping lo juga enggak apa-apa kok. Bagus banget malah. Sekalian aja tuh, setiap kali kita ngobrol. Lo enggak usah dengerin apa yang gue bilang.”
“Kok lo jadi serius gitu sih marahnya?”
“Gue marah bukan karena lo chat sama siapa aja. Tapi seenggaknya lo itu jangan abaikan orang kalau lagi ngomong.”
Fania terdiam mendengarkan celoteh Reza yang tak kunjung usai. Sambil menunggu lift berhenti. Ia bersandar dan menatap lekat Reza.
“Lo enggak usah pasang raut wajah kasihan gitu. Gue jadi enggak tega.” Reza menjepit leher Fania dilengannya. Perempuan itu terus mengaduh berusaha melepaskan diri.
“Sekarang lo masih marah sama gue, Za?”
“Gimana gue mau marah sama lo. Gue mana tega marah sama lo. Sampai lo jadi istri gue juga gue enggak bakalan tega marahin lo. Gue lagi serius ngomong, jangan anggap gue bercanda.” Candanya kepada Fania. Membuat perempuan itu tertawa lepas. Ketika pintu lift terbuka. Seril berdiri di depan pintu lift sambil menatap mereka berdua.
“Kalian itu ya. Lama-lama kalian jodoh lho.”
“Jangan sampai Malaikat mengaminkan doa lo, Ril.”
“Ogah. Nikah sama dia?” ucap Reza sambil menunjuk ke arah Fania. “Enggak bakalan. Secara dia itu bukan tipe gue. Enggak ada yang menarik dari dia tahu enggak lo.” Sambungnya.
“Gue juga enggak minat sama laki-laki kayak lo.”
“Yang penting banyak yang suka. Daripada lo. Cantik, jomblo mah iya. Di mata laki-laki kayak gue nih ya. Perempuan seksi itu harus, cantik. Pokoknya ah enggak bisa gue ungkapin dengan kata-kata deh.”
“Iyalah. Otak lo kan mesum. Seksi nomor satu. Bokong besar adalah daya tarik lo.”
“Eh mulut lo sembarangan aja kalau ngomong, Fan. Gue itu ya walaupun suka perempuan seksi, enggak sembarangan gue itu naksir cewek.”
“Udah ah kalian ngomongin bokong melulu. Udah noh kerjaan nunggu kalian berdua. Jangan lupa absen, kalau kalian berdua enggak absen. Hati-hati dapat sanksi yaitu gaji di pending, dan selamat bersusah-susah ditanggal tua.”
Fania dan Reza segera berlari menuju sebuah alat untuk absensi. Mereka berdua saling dorong satu sama lain untuk berebut menjadi yang pertama.
***
Sekitar pukul enam sore. Fania masih setia menunggu Reza yang sedang meeting. Kebiasaannya adalah menunggu Reza sepulang bekerja. Laki-laki itu juga tidak mengizinkan Fania untuk pulang sendirian.
Janji Reza pada almarhum kakak Fania adalah hal yang paling utama. Meski seringkali menyebalkan. Akan tetapi Reza sungguh tidak bisa marah dalam jangka waktu yang lama pada Fania. Mengingat perempuan itu juga sangat baik padanya. hanya butuh waktu beberapa menit atau bahkan beberapa jam hanya untuk meredakan amarahnya.
Di ruang tunggu. Fania masih asyik dengan gadgetnya untuk sekadar menghilangkan kebosanannya.
“Sendirian aja. Boleh gue temenin?”
Fania yang melihat laki-laki yang menyapanya barusan. Seketika Fania melepaskan gadgetnya dan menyambut dengan hangat kedatangan laki-laki asing tersebut.
“Lo Fania, kan?”
Ia langsung mengangguk. Laki-laki yang baru saja menghampirinya adalah Raka. Yang tidak lain adalah orang paling dikagumi oleh beberapa perempuan di kantornya. Mengingat bahwa Raka tergolong makhluk yang diciptakan Tuhan dengan penuh kelebihan.
“Mimpi apa gue semalam. Hari ini bisa ketemu makhluk ganteng nan kece seperti dia. Ayolah siapa aja boleh nonjok gue kali ini, gue ikhlas.” Batinnya. Saking kegirangannya bertemu dengan Raka. Sebab tidak pernah disangka bahwa orang yang selama ini menjadi rebutan beberapa perempuan justru menghampirinya bahkan langsung bersalaman dengan Fania.
“Lo lagi nungguin seseorang?”
“Iya, gue nungguin Reza. Lama banget tuh orang.”
“Lo mau gue anter?”
“Sekali lagi, gampar gue. Tabok nih, tendang juga enggak apa-apa.” batin Fania mulai liar.
“Kalau lo keberatan sih enggak apa-apa. gue tahu kok lo itu pacarnya Reza kan. Secara gue itu bukan mau ngajak lo berkhianat, cuman mau nganterin lo pulang.”
Fania terkejut dan menelan ludahnya. Bukan satu orang saja yang menganggap dirinya dan Reza berpacaran. Akan tetapi beberapa orang yang seringkali menganggap bahwa mereka berdua pacaran karena terlalu dekat.
“Gue enggak pacaran sama dia. Dia cuman sahabat gue. Lagian dia udah punya pacar.”
“Kalau lo sendiri gimana? Belum punya pacar gitu?”
Fania mengangguk.
“Berarti enggak ada yang marah dong gue antar lo pulang?”
“Iya emang enggak ada.”
“Balik sama gue yuk.” Raka mengulurkan tangannya pada Fania. Dengan penuh bahagia perempuan tersebut menyambut tangan Raka.
Ketika diperjalanan. Canda tawa mulai tercipta. Seperti biasanya, Fania termasuk orang yang sangat cepat akrab dengan orang-orang sebab ia begitu mudah berinteraksi. Namun seringkali apa yang membuatnya bahagia justru dikekang oleh Reza. Bukan bermakna egois, melainkan karena begitu hati-hati tidak ingin membiarkan Fania terjatuh dalam kesalahan yang tidak diinginkannya yang tidak lain adalah patah hati.
Fania bukan lagi ABG yang berusia belasan tahun yang mengenal istilah cinta monyet. Akan tetapi tetap saja hal itu menjadi suatu kekhawatiran yang membuat cemas Reza. Beberapa kali hendak menjalin hubungan, Reza adalah penghalang terbesarnya sebab laki-laki itu tidak pernah bisa menerima siapapun yang dekat dengan Fania.
“Apartemen lo di sini kan?” tanya Raka.
“Iya. Makasih banget ya udah mau nganterin gue.” Ucapan terima kasih untuk Raka disertai dengan senyuman khas Fania yang membuat beberapa laki-laki tergoda. Manis, sungguh.
“Kalau ada waktu gue boleh dong main-main ke tempat lo?”
“Boleh kok.” Dengan begitu riang Fania menjawab ucapan Raka. Jika di tahu oleh Reza, berakhirlah bahagia yang dia impikan.
“Gue minta nomor telepon lo ya. Nanti malam gue telepon. Besok pagi gue juga yang jemput lo. Jadi lo enggak perlu berangkat bareng Reza lagi.”
Fania memberikan mengetik nomornya di ponsel Raka. Ia pun turun dari mobil laki-laki itu.
“Gue pamit ya. Lo jangan lupa istirahat.”
Fania segera menuju kamarnya. Mandi dan menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri. Ia termasuk tipe perempuan yang sangat suka sekali dengan masak. Lebih memilih masak sendiri dibandingkan dengan membeli makanan cepat saji. Itulah yang menjadi kelebihan Fania di mata Reza. Selalu pandai dalam membuat masakan yang teramat lezat.
Sekitar pukul delapan malam dan makan malam pun sudah selesai di masak oleh Fania. Terdengar suara bel berbunyi. Ia pun segera menghampiri pintu agar seseorang tersebut tidak menunggu lama.
Baru saja Fania membuka pintu. “Lo ngapain pulang sama Raka, hah.” Tidak ada angin, tiba-tiba saja Reza datang dengan penuh emosi.
“Gue nungguin lo lama. Lagian dia itu baik nganterin gue pulang. Lihat sendiri gue nyampe rumah kayak gini karena dia. Kalau gue nungguin lo, bakalan lama.”
“Lo jangan sampai kebawa perasaan karena kebaikan dia sama lo ya. Gue kenal sama tipe laki-laki brengsek macam Raka. Dia itu suka mainin perempuan, gue enggak mau dia itu manfaatin lo yang polos kayak gini.”
Fania menarik napas pelan. “Jika dia brengsek. Lalu lo sendiri apa? Lo seenaknya main sama cewek, lo bawa cewek ke kamar lo. Gue bahkan enggak tahu lo ngapain sama tuh cewek. Yang jelas gue juga tahu lo itu brengsek.” Dengan nada pelan namun sangat menusuk.
“Tapi… Jujur gue takut dia itu mainin lo doang. Lo enggak tahu akal belangnya dia.”
“Bukan kuasa kita menghakimi seseorang. Gue tahu Za, lo itu punya janji sama kakak gue. Tapi enggak gini juga caranya. Gue juga pengin banget bahagia. Nemuin kebahagiaan yang ada dalam diri gue. Tapi kebahagiaan itu seolah lo kekang dan enggak biarin gue ngerasain gimana rasanya gue jatuh cinta, gimana rasanya gue rindu sama orang. Bahkan gimana rasanya gue itu jalan bareng sama cowok gue sendiri. Gue enggak pernah Za. Jujur, gue salut sama lo yang udah jagain gue. Tapi enggak ada salahnya kalau gue milih bahagia gue sendiri. Dan kali ini, maaf gue enggak bisa nurutin kemauan lo. Gue punya hak untuk bahagia. Please Za. Jangan kekang gue kali ini.”
Mendengar ucapan itu, Reza yang tadinya sangat marah kini luluh oleh ucapan Fania yang disertai air mata. Ia benar-benar tidak tega membuat perempuan itu menangis.
“Maafin gue, selama ini memang egois. Tapi ini semua demi kebaikan lo. Gue enggak mau lo sampai nyesel dikemudian hari.”
“Siapa yang tahu kita akan menyesal atau tidak jika tidak mencoba.”
“Ya, kali ini terserah lo. Gue enggak ada hak buat ngelarang lo.”
Reza membalikkan tubuhnya dan melangkah maju meninggalkan kamar Fania. Ia tidak bisa terlalu memaksakan kehendaknya meski keinginannya untuk menjaga perempuan itu teramat besar. Jika Fania sudah membuat keputusan, ia tidak berani untuk menghancurkan keputusan tersebut.
Melihat punggung Reza mulai tenggelam dibalik pintu. Fania menyeka air matanya. “Maafin gue, tapi benar-benar kali ini gue berhak bahagia. Makasih selalu jagain gue layaknya adik lo. Gue tahu gue ngecewain lo, tapi… gue enggak bisa bohong sama perasaan gue sendiri yang benar-benar pengin bahagia.” Isak Fania.
Tambahin ke Favorit kalian dan like juga ya. Ceritanya bakalan panjang banget. Jadi silakan dibaca dengan santai, hehehe
"Fan, tungguin gue di sini ya. Pulang bareng gue," ucap Raka yang tengah berlari meninggalkan Fania seorang diri di parkiran kantor.
Malam itu sudah pukul sembilan. Sudah lima hari Fania tidak berangkat maupun pulang bekerja dengan Reza. Beberapa waktu yang lalu ucapannya menyakiti hati laki-laki itu. Bahkan setelah pulang dari kantor, tak ia dapati laki-laki itu menunggunya jika belum pulang. Namun, seperti yang ia katakan bahwa ia juga butuh kebahagiaan untuk bisa menemukan cinta sejatinya. Kali ini kepada Raka ia menaruh rasa yang begitu besar. Tidak peduli dengan apa yang dikatakan Reza mengenai Raka, yang ia percayai adalah bagaimana caranya menjalani hubungan dengan baik tanpa harus menyakiti dirinya sendiri dan orang lain. Padahal setiap orang yang memiliki ikatan hubungan selalu saja diterpa oleh masalah. Tergantung kita sendiri apakah mampu untuk menjalaninya atau tidak.
Beberapa saat kemudian Raka kembali dan masuk ke dalam mobilnya tempat Fania menunggu tadi.
"Sorry, gue lama enggak?"
"Enggak kok, Ka."
"Ya mungkin ini terbilang enggak romantis, tapi gue ngasih ini ke lo karena gue pengin ngungkapin perasaan gue ke lo Fa, selama dekat dengan lo, gue ngerasa hidup gue jadi lebih berarti dan gue jadi mampu ngehargai diri gue sendiri semenjak kenal sama elo. Gue emang dulunya suka banget mainin perasaan perempuan. Tapi semenjak gue ngerasain nyaman sama lo, gue jadi mikir selama ini gue udah nyakitin berapa perempuan. Memang enggak wajar aja kalau gue nyakitin, tapi kali ini gue mau memperbaiki itu semua sama lo, umur gue udah bukan anak SMP lagi, teman-teman gue udah nikah semua sedangkan gue masih kayak gini. Fa, gue mau memperbaikinya sama lo, lo mau kan temenin gue buat jadi manusia yang lebih baik lagi?" pintanya pada Fania yang dari tadi tidak berkata apa-apa hanya diam dan mendengarkan cerita Raka.
"Gue tahu, Raka. Gue tahu lo selalu di bilang enggak baik sama orang. Tapi gue kenal sama lo, dan selama ini yang orang lain lihat itu enggak pernah sesuai dengan yang mereka katakan. Mungkin mereka aja yang enggak pernah kenal sama lo yang bilang lo itu brengsek. Tapi gue percaya sama lo, Ka. Lo bukan manusia yang kayak gitu,"
"Thanks, Fa. Itu alasan kenapa gue beneran sayang sama lo."
"Ka, gue ngerasa enggak pantas aja sama lo. Gue emang sayang sama lo, tapi gue enggak bisa buat lo jadi manusia lebih baik lagi."
"please, Fa. Gue percaya sama lo kalau selama ini gue emang salah deketin perempuan tapi untuk kali ini gue enggak salah deketin lo dan milih lo sebagai perempuan yang terakhir bagi gue," Raka memohon sambil memegangi kedua tangan Fania yang tengah bergemetar karena tidak yakin dirinya mampu mengubah Raka menjadi lebih baik.
Beberapa kali Fania menarik napas panjang. Berusaha meyakinkan diri.
"Tapi gue butuh waktu untuk berpikir, Ka."
"Enggak gue enggak mau lo mikir lama-lama jawabannya gue mau sekarang, gue mau memastikan lo itu mau apa enggak jadi pacar gue, kalau elo enggak mau gue enggak akan ngajak lo pergi lagi atau secara akal sehatnya gue enggak bakal kenal sama lo lagi, Fa," paksa Raka.
Fania mengernyit.
"Iya, Raka. Gue mau jadi pacar lo. Tapi gue enggak janji bisa buat lo jadi orang yang lebih baik lagi dari ini. Mungkin lo yang bisa rubah diri lo, percuma kan gue udah capek berjuang untuk rubah lo tapi lo enggak ada niat buat rubah sikap lo."
"Hey, lihat gue. Enggak ada satu keraguan dalam diri gue milih lo, Fa. Maka dari itu jangan pernah simpan satu keraguan pun dalam hati lo tentang gue. Yang ada nanti gue malah jadi orang yang gila lagi. Biar gue aja yang gila sama lo, asal jangan gila ke hal yang lain."
"Apaan sih, gombal." Fania memalingkan pandangannya keluar jendela mobil.
"Kalau enggak gitu ya bakalan ditolak. Secara aku tuh kan sayang sama kamu."
"Idih, enggak main lo atau gue lagi?"
"Kan udah jadi pacar," goda Raka.
"Udah, antar gue... eh aku maksudnya. Antar aku pulang sayang," nada Fania mengecil ketika menyebutkan kata sayang di depan Raka.
"Aku main ke apartemen kamu ya?"
"Eeeeh?" mata Fania membelalak seketika.
"Enggak boleh?"
"Boleh, tapi ini kan udah malam banget."
"Ya udah kalau enggak boleh. Besok aja," ucap Raka dengan nada datar.
"Boleh, sayang boleh. Tapi aku harus mandi dulu."
"Aku tungguin."
"Aku juga harus masak untuk makan malam kita."
"Aku tungguin," ucap Raka penuh percaya diri.
"Kamu enggak kenapa-kenapa nungguin aku?"
"Memangnya kamu pernah protes kalau nunggu aku pulang kerja telat demi pulang bareng?"
Fania tersenyum.
Dalam batinnya kini sudah begitu bahagia apalagi di temani oleh Raka. Seseorang yang ia cintai. Sudah tidak ada lagi Reza yang mengekangnya untuk menjalin hubungan dengan Raka.
Raka melajukan mobilnya menuju apartemen perempuan itu. Sekitar pukul sepuluh malam mereka tiba di tempat itu. Mereka mengulur waktu di dalam mobil dengan pembicaraan mereka yang bisa saja mereka bicarakan di perjalanan.
"Aku mandi bentar, enggak enak banget lengket."
"Iya, aku tunggu di sini."
Fania melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Beberapa saat kemudian ia selesai mandi dan keluar menunggu laki-laki itu tengah asyik dengan game online sehingga tak menyadari dirinya yang sudah duduk disebelah laki-laki itu dan segelas minuman untuk melepas dahaga.
"Asyik banget ya. Sampai enggak sadar aku udah di sini?"
"Eh, maaf. Aku jadi asyik sendiri," Raka refleks dan langsung meletakkan gawainya di meja.
"Lanjut aja dulu, aku mau masak. Kamu mau di masakin apa?"
"Apa aja yang penting kamu yang masakin,"
Fania beranjak menuju dapur untuk memasak. Untuk urusan memasak memang ahlinya. Ia membuka kulkas dan melihat bahan masakannya cukup banyak yang tersisa mengingat bahwa kali ini ia jarang sekali masak untuk dirinya sendiri. Jika beberapa hari ia masak untuk Reza, kali ini ia akan memasak untuk laki-laki yang ia sayangi.
Ketika ia sedang memasak. Tangan Raka menyusuri perutnya dan memeluknya dari belakang. "Tiap hari nanti kalau sudah menikah masak kayak gini ya, kamu enggak usah kerja. Cukup di rumah, aku akan cepat pulang kalau kamu masak aromanya aja udah goda aku," bisik Raka.
"Sayang, bisa lepas enggak. Ini nanti kalau masakannya gosong memangnya mau makan?" ucapan Raka tadi cukup membuat raut wajah Fania memerah sehingga ia kehabisan tingkah.
"Enggak, kalau gosong kita bisa keluar cari makan."
"Raka, udah dong. Nanti beneran gosong lho."
"Nyaman sayang."
Fania mematikan kompor dan melepas kedua tangan Raka dari perutnya lalu berbalik ke arah laki-laki yang tengah mengenakan kemeja denim putih yang dilipat.
Sebuah ciuman mendarat dikening Fania. "Kamu perempuan istimewa, enggak salah aku ngejar kamu." Raka lalu mendekap tubuh Fania hingga perempuan itu tenggelam dalam dekapannya.
Baru pertama kali ini Fania merasakan dekapan seperti itu lagi. Terakhir kali dekapan itu diberikan oleh almarhum kakaknya. Kini ia merasakan hal itu lagi meski rasanya berbeda akan tetapi berhasil mengingatkannya kepada almarhum kakaknya.
"Makasi Ka, udah hadir di dalam hidup aku,"
"Justru aku yang harus bilang gitu, kamu udah nerima laki-laki seperti aku."
"Ya udah yuk kita makan, Ka." Pelukan yang tadinya begitu erat kini dilepas oleh Raka.
"Kamu duduk aja di situ, biar aku yang siapin."
Setelah selesai menyiapkan semuanya, mereka berdua menyantap makanan tersebut.
***
Pukul dua belas malam.
Reza terbangun dari tidurnya. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Biasanya setelah pulang bekerja ia akan menyempatkan diri untuk menyambangi apartemen Fania memastikan bahwa perempuan itu sudah pulang atau belum. Kini ia hanya bisa mengawasi dari jauh.
"Pukul dua belas lebih, mungkin dia udah tidur." Batinnya.
Ia mengurungkan niatnya dan menutup kembali pintunya. Akan tetapi sesuatu mengganjal di hatinya. Ia tidak melihat Fania pulang dari tadi, perempuan itu pulang sampai pukul delapan. Tidak mungkin lebih akan tetapi ia merasakan ada hal lain yang membuatnya merasa tidak enak hati. Dengan segera ia melangkahkan kakinya menuju kamar Fania.
Ketika ia hendak mengetuk pintu, perempuan itu membuka pintu dan seorang laki-laki yang dibencinya keluar dari kamar perempuan tersebut. Seketika sekujur tubuh Reza dikuasai amarah melihat Raka yang keluar dari kamar Fania.
"Lo punya otak enggak sih, berkunjung sampai jam segini ke apartemen cewek,"
"Lo sendiri ngapain di depan kamar pacar gue?"
"Pacar?" tatapan mengerikan Reza mengarah pada Fania yang tidak memberikan reaksi apa-apa.
Raka tidak peduli dengan ucapan Reza langsung berpamitan pada Fania yang berdiri disampingnya.
Punggung laki-laki itu mulai tenggelam.
"Lo makin berani, Fan. Gue enggak nyangka lo berani bawa cowok ke kamar lo. Dan itu pacar lo sendiri,"
"Za, lo juga sering ke kamar gue bahkan sampai larut malam. Gue enggak masalah. Tapi kenapa pas pacar gue berkunjung lo jadi orang aneh gini, gue salah apa, Za?"
"Iya terserah lo, gue enggak tahu mau ngomong apalagi sama lo. Tapi..."
"Enggak ada tapi, Za. Kali ini gue bisa jaga diri." Fania berlalu menutup pintu kamarnya.
Reza berdiri di depan pintu tak berpaling sedikit pun.
Fania berdiri di belakang pintu. "Gue tahu lo khawatir, Za. Lo harus tahu Za gue pengin banget kayak lo, bisa bahagia lihat pacar main ke tempat lo ngasih semangat tiap hari. Gue ngerasa kayak di penjara lama-lama karena lo." Air mata Fania jatuh tiba-tiba dan tubuhnya mulai bergetar yang pelan-pelan mulai tumbang hingga membuatnya duduk dibelakang pintu. Baru saja ia merasakan kebahagiaan dengan Raka kini harus merasa rapuh setiap kali ingin merasa lepas dari Reza. Suara tangiannya mungkin tidak terdengar hingga luar, akan tetapi ia sudah tak bisa menahan dirinya lagi.
"Gue tahu, lo enggak bahagia selama ini. Sekarang lo nemuin kebahagiaan sendiri, gue bisa apa selain jagain lo. Tapi ini pilihan lo, gue enggak bisa larang lagi. Terakhir kalinya gue ngomong gini lo." Ia tahu selama ini memang terlalu mengekang Fania. Ia pun menjauh meninggalkan tempat itu untuk kembali lagi ke kamarnya.
"Za, gue sayang Raka. Gue mohon lo bisa ngerti keadaan itu sekarang," suara lirih Fania yang masih berada di belakang pintu.
Jangan lupa tinggalkan jejak like dan masukin ke favorite kalian ya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!