Tangan tak tahan lagi untuk memegangi payung yang sembari tadi selalu bergerak-gerak akibat tiupan angin yanng begitu kencang. Hujan yang begitu derasnya telah menguyur membasahi tubuhku, saat diri ini tengah mematung atas pilihan hidup ini. Air sungai yang begitu derasnya mengalir tak membuat nyaliku ciut untuk segera mundur. Lelehan airmata telah mengalir bercampur baur menjadi satu dengan tetesan air hujan. Kutatap langit-langit awan kelam yang nampak begitu gelapnya, dengan cara mendongakkan kepala ke atas mencoba bertanya-tanya atas dorongan hati yang ingin bunuh diri.
"Wahai langit dan hujan, apakah aku harus melakukan ini semua demi kebahagiaan orang lain? Apakah aku bisa menjalani ini semua disaat umurku belum bisa menjalankan ini semua? Aku begitu rapuh sekarang, aku benar-benar tak bisa menghadapi lingkaran kehidupan yang kujalani dimasa depan nanti. Oh hujan, bantulah aku menjawab semua kegundahan ini!" gumanku dalam hati saat risau akan melakukan bunuh diri.
"Kenapa engkau diam saja, hujan? Apakah diamnya engkau juga binggung memberikan solusi untukku? Suara hembusan angin oleh aura hujanmu, kini telah berhasil membisikkan sesuatu padaku hingga aku mengerti jawaban apa yang tepat untiuk semua ini?" tutur hati telah mantap.
"Aku harus melakukan ini semua, agar semua orang bahagia dan tak tersusahkan oleh orang hina sepertiku, yaitu yang selalu saja membuat mereka kerepotan karena tingkah polahku? Iya, aku harus melakukan ini," ucapku dalam hati dengan lelehan airmata yang sudah menganak sungai, yang tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi bersamaan dengan rintikkan hujan.
Kebimbanganku telah lenyap seketika, saat bisikan-bisikan ditelinga telah hadir untuk membantuku melakukan tindakan bunuh diri segera. Kaki sudah melangkah melewati pembatas besi sungai, yang terlihat sungai kian lama kian mengkeruhkan airnya. Netra mencoba melihat sekali lagi ke arah dasar sungai yang sudah mengalir begitu cepatnya bercampur oleh air hujan. Badan sudah mulai bergemetaran saat menatap bawah, namun niat hati yang begitu mengebu tak mengurungkan niatku untuk segera bunuh diri. Sebelum benar-benar terjun kebawah, tangan masih sibuk memegang pembatas besi milik sungai.
"Maafkan aku Ma, pa, kak Adrian. Jasa-jasamu yang telah merawat dan menyayangiku tak akan pernah kulupakan walau kita nanti sudah berada dialam yang berbeda yaitu atas kematianku," ucapku dalam hati dengan hati sudah tersayat pilu kembali mengenang keluarga tercinta.
"Maafkan aku kak Adrian, yang tak bisa menjaga amanah yang telah engkau tanamkan padaku. Aku sungguh mencintaimu tapi nak berkata apa lagi, saat kak Yona telah dipilih oleh tuhan untuk dijadikan pasangan hidupmu. Maafkan aku kak, aku menyayangimu melebihi hidupku, tapi inilah jawaban atas semua kisah jalinan hidup kita akibat tak bisa bersatu. Mungkin aku tak akan bisa menyentuhmu lagi, tapi semoga saja aku bisa berdampingan denganmu walau dunia kita telah berbeda. Terima kasih kak Adrian, aku mencintaimu," ucapku pilu sedih dengan bulir-bulir airmata yang tiada henti-hentinya terus mengalir.
Hati tampak hampa dalam keheningan suara.
Hanya hembusan nafaslah yang bisa kudengar kini.
Aku terbakar, aku haus, aku tersiksa.
Aku begitu memiliki nafas yang tercekik.
Benci dan cinta merupakan kenangan yang terindah dalam sanubariku.
Namun semua telah hancur berkeping-keping saat dia tak bisa kegenggam erat tangannya.
Hati yang terbakar kini telah berubah warna oleh kebencian.
Oh, cinta. Dimanakah engkau berada? Hingga aku tak bisa menyentuhmu lagi.
Semua orang-orang telah datang dan pergi.
Dan inilah kisah cinta bertepuk sebelah tangan kita, yang terhenti dari dunia fana ini.
Kamu dan akulah yang telah ikhlas terhenti oleh perpisahan ini.
Aku tak akan bisa lagi mengapaimu dan menyentuhmu.
Maafkan aku dan terima kasih kakakku tersayang, kak Andrian.
Hujan terus saja bergulir menguyur tubuhku. Namun aku tak pedulikan itu semua, sebab tujuan utama sudah didepan mata untuk mengakhiri semuanya. Tangan perlahan-lahan telah kulepas dari gangang besi, dengan langkah perlahan-lahan mulai maju. Tatapan kosongpun telah hadir hanya bisa melihat kearah pepohonan pinggiran sungai.
Tiupan angin begitu kencangnya, hingga tubuh yang ringan ini telah goyah kekiri kanan, yang seakan-akan ingin mendukungku untuk segera mengakhiri hidup ini. Kaki kanan telah kumajukan duluan agar tubuh ini hilang keseimbangan supaya cepat mencebur ke dalam sungai.
"Maaf ... maaf ... maaf ... maafkan aku orang yang menyayangiku. Selamat tinggal semuanya. Aku akan merindukan kalian, i miss you," ujarku yang kini siap-siap untuk melepaskan kaki kanan supaya bisa masuk ke dalam sungai secepatnya.
**********
Di Novel ini ada sambungan karya
ISTRIKU YANG HILANG
Cerita tak kalah menarik. Banyak bucin cinta seorang suami pada istrinya yang sudah enam tahun tidak bertemu akibat sang suami telah tega berselingkuh dengan pacarnya.
Yuk ikuti terus novel ini, dijamin tambah seru dan banyak kisah cinta yang haru.
Saat hidup mulai rapuh, nyawapun akan jadi taruhan untuk mengakhiri semuanya. Tiada kata lagi yang bisa terucap saat diri ini benar-benar telah berancang-ancang akan menceburkan diri. Mata kuusakan terpejam, dengan nafas menghirup udara sebanyak-banyaknya agar bisa melepaskan segala sesak didada yang sudah lama tertahan. Tangan sudah terbentang lebar-lebar, untuk mencoba mengenggam tiupan angin untuk yang terakhir kalinya.
"MAAF," Satu kata yang terlontar dari mulutku saat detik-detik siap akan meluncur ke bawah.
Kaki sudah terjuntai siap untuk melompat segera.
"HENTIKAN! Apa yang kamu lakukan?" teriak seseorang yang kini telah memegang tanganku, yang sudah ingin jatuh bersiap menyentuh air.
"Lepaskan aku, lepaskan!" pintaku menangis pilu.
"Aaaah, kamu jangan gegabah begini. Saya tak akan pernah melepaskan tanganmu ini," balas cakap orang yang sedang berusaha sekuat tenaga memegang tanganku disebelah kiri.
Tubuh sudah bergoyang-goyang terjuntai ingin segera jatuh, namun sayangnya tak bisa.
"Aku mohon, pak. Biarkan aku mati saja!" ucapku memohon.
"Ngak bisa, nak!" cakap beliau dengan raut wajah mringis kesusahan, akibat menahan berat badanku.
"Lapaskan aku, pak!" pintaku lagi.
"Aaah ... ayo ke sini, cepaaat. Angkat tubuhmu mengikuti tarikan tanganku," ujar beliau berusaha menyelamatkanku.
Hanya geleng-gelengan kepala secara kuat yang dapat kulakukan sekarang, sebab tak ingin bapak-bapak yang menahan tanganku untuk menolong nyawaku.
"Aku mohon, pak. Aku mohon ... aku mohon, biarkan aku mati saja. Jadi jangan selamatkan aku. Lepaskan 'lah tangan ini," pintaku lagi saat tubuh kian lama kian ditarik kuat keatas, oleh orang yang berusaha menyelamatkanku.
"Kamu ngak usah banyak meminta. Haaaah ... heeeh, ayo ... ayo naaaaiiiiik. Sedikit lagi ini, supaya kamu bisa terselamatkan," ucapan bapak itu kelelahan saat masih sibuk berusaha menyelamatkan nyawaku.
Mata kini hanya bisa melihat takjub, saat bapak-bapak yang mau menolong telah kewalahan menarik tubuhku. Netra tak luput juga melihat ke arah bawah sungai yang masih mengalir deraskan air, dimana lama-kelamaan air itu telah jauh dari terjuntainya tubuhku akibat tarikan orang yang mau menyelamatkan.
"Bismilah, heeeh ... heeeh! Alhamdulillah ... heeeh, akhirnya neng terselamatkan juga," ujar beliau kelelahan dengan nafas tersengal ngos-ngosan, sebab sudah berhasil menarik tubuhku keatas lagi.
Badan sudah luruh terduduk. Diri ini hanya bisa menangis pilu dengan tersedu-sedunya, sebab tak jadi meninggal. Kudongakkan kepala keatas mencoba mencari jawaban atas takdir apalagi yang terjadi padaku sekarang.
"Haaaah ... aaaa'aaa!" teriakku sekencang-kencangnya dengan tangisan yang kian menjadi-jadi.
"Neng ... neng, sudah ... sudah, kamu jangan menangis begitu lagi. Tak baik menangisi takdir yang sudah ditentukan oleh tuhan, bahwa kamu masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup didunia ini. Janganlah menyesali semua kejadian bahwa kamu tak jadi mati. Tenangkan dirimu, ambil nafas perlahan-lahan dan dalam-dalam biar tenang," ujar bapak yang menolongku.
Hujan yang sempat lebat telah turun, kini seketika terhenti juga. Namun baju kami berdua telah basah kuyub akibat guyuran yang tadi sempat tak berhenti-henti.
"Tapi pak. Seharusnya bapak tadi tak usah menolongku. Beban hidupku begitu berat sekali, yang akan kutanggung sekarang! Jadi aku tak akan sanggup menjalaninya nanti dan sekarang biarkan aku mati saja," ujarku yang kini sudah berdiri lagi, mencoba berjalan ke jembatan untuk bunuh diri lagi.
"Tunggu ... tunggu, neng. Jangan lakukan itu, bapak mohon!" cegah beliau mencekal tanganku agar tak melompat bunuh diri lagi.
"Tenang ... tenang dulu, neng. Kamu jangan gegabah begini. Tak ada masalah yang tak bisa diselesaikan, semua harus dilakukan dengan sikap bersabar agar kita bisa melewati badai ujian dari Allah. Neng jangan patah semangat begitu, ada bapak yang akan siap membantu kamu, ok. Kalau begitu tenangkan pikiran kamu dulu, dan kamu bisa ikut bapak pulang ke rumah sekarang, agar pikiran kamu lebih jernih lagi, gimana?" tanya beliau dengan sifat mencoba menenangkanku.
"Tapi pak---?" jawabku ragu.
"Ayolah neng. Bapak bukan orang jahat, kok! Mari ikut kerumah saya, ngak jauh cuma dekat-dekat sungai ini. Mari ikut bapak!" tawar beliau menyuruh.
"Tapi, pak. Bapak tidak kenal sama sekali diriku, apakah aku ini orang jahat atau tidak. Yang jelas bapak ngak takut kalau aku ini orang jahat?" jawabku mencoba menolak secara halus.
"Percayakan semua pada Allah. Bapak yakin sekali kalau kamu ini orang yang baik, sebab dalam bathin hati bapak mengatakan bahwa kamu ini orangnya kelihatan ramah dan jujur" jawab beliau yakin terhadapku.
"Tapi, pak!" jawabku ragu.
"Ayolah neng, jagan takut sama bapak. Kamu kelihatan sudah mengigil sekali, mari ikut saya dulu. Kalau kamu sudah ganti baju, neng bisa melanjutkan langkah apa yang diambil selanjutnya termasuk bunuh diri itu," tutur kata beliau ramah sambil sumringah tersenyum.
"Baiklah, pak!" jawabku lemah menurut saja atas perintah bapak-bapak yang baru kukenal.
Langkah berjalan perlahan-lahan mengiringi dari belakang bapak yan telah menolongku barusan. Tangan dari tadi hanya bisa bersedekap diatas perut, atas dinginnya tubuh yang sudah terlalu lama terkena air hujan. Mata terus saja melirik kanan kiri mencoba melihat rumah-rumah kecil namun kelihatan damai, tidak seperti hiruk pikuk kota yang sempat menjadi tempat tinggalku.
"Nah, neng. Kita sudah sampai kerumah bapak. Mari masuk!" perintah beliau menyuruh.
"Hemm," jawab senyuman kecutku akibat mengigil dingin, sambil mata mencoba menerawang rumah yang bangunannya kecil namun cukup bersih sekali.
"Assalamualaikum!" ucap salam bapak yang tak tahu namanya, sedang mencoba masuk ke rumahnya sendiri.
"Walaikumsalam," jawab suara perempuan dari dalam rumah beliau.
Ceklek, pintu telah dibuka perlahan-lahan dari dalam.
"Eeh, bapak sudah pulang. Bapak baik-baik saja 'kan, habis menerobos hujan? Maaf ya pak, tadi ibu tidak menyiapkan jas hujan sebelum bapak berangkat," cerocos wanita paruh baya menyambut bapak yang menolongku.
"Ngak pa-pa, bu."
"Oh ya. Mari sini neng, masuk rumah bapak," tawar beliau.
Hanya tatapan heran saja yang dapat kulakukan sekarang, yaitu saat netra telah mencoba menjelejah pemandangan sekitar rumah.
"Siapa neng ini, pak?" tanya perempuan yang kemungkinan istrinya.
"Nanti bapak ceritakan. Yang penting sekarang ajak neng ini masuk dalam rumah dulu. Kasihan dia, lihat! Bajunya telah basah kuyup sekali, pasti itu dingin sekali," ujar bapak itu memberikan keterangan pada istrinya.
"Oh iya ... iya, pak. Mari neng, kesini! Ibu akan memberikan pakaian ganti, supaya kamu ngak kedinginan lagi," ujar istri beliau ramah, sambil cekatan menarik tanganku segera.
"Sini neng ... sini!" ajak ibu itu langsung mengandeng masuk rumah.
Kaki hanya bisa berjalan pelan saat ibu yang punya rumah masih tetap ingin menyuruh mengikuti langkahnya.
"Kamu tunggu disitu. Ibu akan ambilkan pakaian yang pas sesuai tubuh kamu, tunggu ya!" ujar beliau ramah.
Diriku hanya bisa terdiam tanpa banyak kata dari sembari tadi, yang mencoba menatap menjelajahi sudut demi sudut rumah orang yang berbaik hati padaku.
"Ini neng, pakailah. Pasti ini cocok ditubuh kamu," ujar beliau menyodorkan kaos berwarna merah dengan rok pendek dibawah lutut.
"Makasih, bu."
"Iya, sama-sama. Ya sudah, kalau begitu. Ibu tinggal dulu sementara kamu ganti baju. Oh ya, kalau ada apa-apa kamu bisa panggil ibu sama bapak," terang beliau.
"Iya, bu."
"Ya sudah, cepatlah ganti baju dulu, sebab nanti kamu akan sakit akibat baju basah itu," suruh beliau sebelum benar-benar pergi dari kamar ini.
"Iya, bu. Makasih," jawabku.
"Heeem," senyum ramah beliau.
Dengan segera aku telah menganti pakaian basah ini. Baju yang basah sudah kutepikan, agar tetesan bekas kena hujan tak mengotori lantai rumah ini. Dirasa agak tenang, kini aku duduk diatas ranjang sempit sambil wajah melamun, disaat bayangan-bayangan akan bunuh diri telah datang meracuni otakku lagi.
"Ya Allah, apakah tindakanku tadi adalah salah, hingga Engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan perantara orang lain? Tapi, apakah aku bisa menjalani kehidupan ini semua, sementara aku tak punya siapa-siapa lagi? Oh tuhan, berikanlah pertolonganmu agar aku bisa melewati masa-masa sulit ini, disaat tak ada lagi orang-orang yang mendukungku," gumanku dalam hati dengan lelehan airmata yang kembali menganak sungai lagi.
Tok ... tok ... tok, pintu kamar tiba-tiba diketuk seseorang. Seketika tangisan kuhentikan dan mencoba menghapusnya saat lelehan airmata telah jatuh dipipi.
Ceklek, pintu telah terbuka.
"Kamu cepat sekali ganti bajunya, neng!" cakap ibu itu.
"Iya, bu."
"Kamu kenapa?" tanya beliau sambil mengelus-elus rambutku yang masih basah, yang seakan-akan beliau tahu atas kegundahan hati ini.
"Aku ngak pa-pa, bu?" jawabku berbohong.
"Ya sudah, kalau kamu tidak mau cerita. Yang jelas sekarang, ayo ikut ibu kedepan. Kita akan makan bersama bapak didapur," ajak beliau.
"Maafkan saya, bu. Saya sedang tidak lapar," tolakku berbicara halus.
"Jangan begitu neng. Walau kamu tak lapar atau sedang banyak pikiran, parut harus tetap diisi supaya bisa memulihkan tenaga," bujuk beliau.
"Tapi, bu."
"Ngak ada tapi-tapian, ayo mari ikut bergabung makan sama kami," pinta beliau menyuruh.
"Heeh ... baiklah bu, kalau kamu memaksa," Kepasrahanku menurut.
"Naaah, gitu dong dari tadi."
Akhirnya kami bertiga makan bersama-sama disebuah dapur yang ada meja makan dan beberapa peralatan sederhana milik mereka. Kehidupan mereka cukup sederhana tak ada barang-barang mewah, namun aku begitu menyukai suasana ini sebab bersih dan terhindar dari kebisingan hiruk pikuk kota.
Rasa lapar dalam perut seketika hilang saat beberapa menu makanan telah terhidang dimeja begitu menyelerakan. Aku hanya melihat seksama, tak berani langsung ambil serobot makanan yang sudah disediakan.
"Ayo, neng makanlah!" ucap bapak yang menolongku.
"Iya, pak. Terima kasih," jawabku yang sudah membubuhkan nasi dalam piring.
"Bubuhkan yang banyak-banyak, neng. Pasti kamu lapar 'kan?" cakap istri bapak yang duduk disamping beliau.
"Iya bu, makasih."
"Oh ya, neng. Nama kamu siapa?" tanya ibu yang duduk depanku, yang kini ikut membubuhkan nasi dipiring beliau sendiri.
"Nama saya Karin, bu."
"Ooh ... nak Karin. Oh ya, kenalkan nama saya bu fatimah dan ini suami saya namanya pak Samsul. Salam kenal dari kami," terang beliau memberitahu.
"Iya, bu Fatimah."
"Kamu masih sekolah 'kah? Kok wajah kamu masih imut-imut seperti masih pelajar?" imbuh tanya beliau.
"Iya, bu. Sudah kelas 3 SMA," jawabku singkat malu-malu.
"Oh, begitu rupanya. Suami saya tadi sudah menceritakan apa yang barusan kamu lakukan, jadi kamu ngak usah sungkan-sungkan untuk tinggal disini sementara. Anggap saja kami ini adalah keluarga kamu sendiri, mengerti!" cakap bu fatimah ramah.
"Iya, bu Fatimah. Terima kasih," tutur kataku masih malu-malu.
"Bubuhkan makanan banyak-banyak tidak usah malu-malu, sebab lauk dibelakang masih banyak tersisa," cakap beliau memberitahu.
"Iya, bu. Terima kasih."
Perut yang awalnya terasa lapar sekali, entah mengapa kini tiba-tiba bengas sakit terasa kenyang, dan rasa-rasanya ingin memuntahkan semua isi yang sempat aku makan barusan.
"Eee'km ... emm," Suaraku tertahan dengan menutup mulut segera, membekap memakai tangan supaya semuanya tak keluar begitu saja.
"Maafkan saya, bu Fatimah. Rasanya aku ingin muntah. Saya izin ke kamar mandi dulu," pamitku ingin pergi.
Sebab isi makanan yang sempat termakan sudah sampai ujung tenggorokan, tak membuang-buang waktu langsung saja kaki telah berlari secepat kilat menuju ke kamar mandi yang dekat dengan dapur.
"Huuek ... uuuk ... hueeek," Suaraku telah berhasil memuntahkan semuanya.
Tangan kini berusaha mengambil gayung untuk mencedok air, supaya secepatnya bisa menghanyutkan sisa-sisa muntahan. Tak henti-hentinya semua yang ada diperut tadi telah keluar semua. Badan kini terasa gemetaran lemah sekali, hingga rasanya kaki sudah tak bisa menopang tubuh sendiri dan diri inipun seketika terduduk tak kuat.
"Astagfirullah, nak Karin. Ada apa dengan kamu? Apa kamu baik-baik saja?" tanya bu Fatimah yang kini telah menyusul ke kamar mandi, dengan tangan beliau sudah mengelus-elus belakang punggungku.
"Aku ngak pa-pa, bu!" jawabku sudah meneteskan airmata.
Tiba-tiba rasanya perut mulai kambuh mual lagi, untuk segera memuntahkan semuanya. Hingga bu Fatimahpun merasa kasihan melihatku, yang tak henti-hentinya telah muntah terus-menerus.
"Ayo kesini! Biar ibu bantu kamu kasih minyak, untuk menghangat perut kamu yang sakit itu," cakap beliau yang kini mencoba menuntun tubuhku yang lemah pergi menjauh dari kamar mandi.
"Gimana keadaan nak Karin, bu?" tanya pak Samsul menyusul, yang terlihat telah khawatir padaku.
"Parah, pak! Sepertinya nak Karin benar-benar sakit akibat lama kena kehujanan tadi," tutur beliau memberitahu.
"Ya sudah. Ibu bawa saya neng Karin masuk kamar dan bantu dia untuk digosokkan minyak," suruh pak Samsul.
"Iya, pak. Pasti itu," jawab bu Fatimah setuju.
Bu Fatimah terus saja menuntunku perlahan-lahan masuk kamar, yang kini dibantu pak Samsul yang ikut membantu memapah juga disebelah kanan.
"Kalian tunggu disini, biar bapak saja yang ambilkan minyak itu," ujar pak Samsul yang kini tengah berjalan keluar kamar.
"Iya pak, cepatlah ambilkan minyak itu," jawab bu Fatimah.
Aku yang lemah tak ada tenaga, kini hanya bisa berbaring tanpa ada pergerakan tubuh sama sekali. Bu Fatimah berulang kali terus-menerus mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang, dengan raut wajah mengekpresikan sudah begitu khawatir atas keadaanku.
"Ini, buk. Ambilah dan oleskan segera, biar sakitnya cepat mereda," ujar pak Samsul sudah kembali sambil menyodorkan minyak telon segera.
"Iya, pak."
"Buka baju diperut kamu, nak Karin. Biarkan ibu membantu kamu mengoleskan dan mengurut pelan memakai minyak ini!" suruh beliau.
"Jangan, bu!" jawabku tak setuju sambil mengeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa? Ini hanya minyak saja, nanti tak sampai panas dan ibu tak akan kuat-kuat memijit perut kamu," tanya beliau merasa kebingunggan.
"Aku ngak sakit, bu. Hanya ... hanya--?" jawabku tertahan tak bisa meneruskan kata-kata.
"Hanya apa? Ngak mungkin kamu tidak sakit, kalau tidak sampai muntah-muntah parah kayak tadi," ujar beliau tak percaya dan masih binggung.
"Beneran, bu Fatimah. Karin beneran ngak pa-pa, sebab ini semua bukan penyakit," jawabku lemah sudah menitikkan airmata.
"Maksudnya apa, nak karin?" tanya pak Samsul yang kini ikut-ikutan binggung.
Mulut rasanya begitu kelu dan berat sekali atas ingin menjawab pertanyaan mereka. Hanya airmatalah yang kini bisa mengiringi dan menjawab atas kebingungan mereka. Dengan sabar dan telatennya tangan kasar bu Fatimah terus saja mengelus-elus perlahan rambut hitamku.
"Ceritalah, nak Karin. Kami akan menjadi pendengar setia untuk kamu dan semoga saja bisa membantu masalah-masalah yang kamu hadapi sekarang, yaitu ketika kamu tadi sempat bisa nekat ingin bunuh diri," tutur halus bu Fatimah mencoba merayuku.
"Benarkah kalian akan menjadi pendengar setia yang mau membantuku?" tanyaku polos sebab ada keraguan atas kebaikan mereka.
"Iya, nak Karin. Percayalah pada kami, sebab kami ini adalah orang baik yang siap membantu kamu," jawab pak Samsul meyakinkanku.
"Sebenarnya, saya ... sa ... saya sedang tidak sakit, tetapi saya sedang hamil!" jawabku lemah sambil menundukkan kepala sebab malu.
"APA?" jawab pak Samsul dan bu Fatimah kaget.
"Benarkah itu semua?" tanya bu Fatimah tak percaya.
"Iya, bu!" jawabku sudah menangis tersedu-sedu akibat mengingat nasib yang kurang beruntung.
"Sudah ... sudah. Kamu tidak usah pikirkan itu lagi. Kamu jangan sedih lagi, sebab mulai saat ini kami akan membantu masalah kamu itu. Hapus kesedihan kamu itu dan sekarang istirahatlah, sebab pasti kamu begitu lelah dan capek atas semua masalah yang kamu hadapi sekarang," ujar bu Fatimah menenangkanku, dengan tangan beliau telah mengusap perlahan airmata yang terus menerus kian menderaskan airnya mengalir dipipi.
"Benar itu, nak Karin. Kamu istirahatlah sekarang. Tentang masalah kamu sekarang, biar besok-besok saja kamu ceritakan," cakap pak Samsul yang ikut memberi saran.
"Iya pak, bu. Terima kasih atas semuanya," jawabku menyetujui.
"Ya sudah, kamu tidurlah sekarang. Aku sama bapak akan keluar sekarang, supaya kamu isirahatnya lebih tenang," pamit bu Fatimah yang ingin pergi meninggalkanku sendirian, dengan tangan sudah merapikan selimut yang tadi sempat berantakan.
"Iya bu."
"Ayo pak kita keluar, biarkan nak Karin istirahat," ajak bu Fatimah.
"Iya bu," jawab sang suami menyetujui.
Pintu telah ditutup rapat oleh dua orang yang menurutku hati mereka begitu baik terhadapku. Tanpa terbendung lagi bayangan tentang nasib yang menimpaku telah kembali membayangi, hingga tak terelakkan airmata kini terus saja mengalir tanpa bisa dicegah lagi.
"Ya Allah, apakah nasibku akan terpuruk selamanya seperti ini? Apakah aku bisa kuat menjalani cobaan ini, disaat aku tengah berdiri sendirian tanpa ada orang-orang dikitarku yang dulu menyayangiku? Oh tuhan, sungguh malang nasibku sekarang ini, yaitu disaat aku harus belajar menuntut ilmu, harus nelangsa menerima beban berat yang belum tentu aku kuat menjalaninya. Aku tak sanggup membawa rasa malu ini untuk kuberitahukan pada dunia, sungguh aku begitu rapuh tak kuasa mananggung ini semua?" guman hati yang begitu sedih atas malangnya nasib yang kuderita kini, hingga bulir-bulir airmata terus saja menyeruak keluar tanpa terbendung lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!