NovelToon NovelToon

A Psychopath'S Obsession

Seorang penguntit

Seperti biasa aku berbelanja di toserba dekat dengan asrama di kampusku. Membeli keperluan bulanan, serta beberapa makanan ringan untuk aku makan. Aku juga memilih beberapa buah dan sayuran.

"Totalnya berapa?" tanyaku saat selesai memilih.

"Pe-percuma..." ucapnya dengan nada gemetar.

Aku mulai mengerutkan dahi dengan jawaban dari penjaga toko. Sekarang aku cukup banyak belanja, entahlah jika sekarang di katakan promosi itu juga tidak masuk akal.

"Ahaha... Pak kamu pasti akan di marahi bos mu nanti jika memberikan gratis pada seseorang" ujarku sambil tersenyum dan memberikan beberapa uang seratus ribu.

"Ti-tidak perlu! Anda cepatlah bawa semuanya ini percuma!" kata penjaga toserba itu dengan nada yang cukup tinggi.

Aku cukup terkejut, apalagi aku serasa di usir dari sini. Aku sering kesini, dan aku tidak pernah mencuri bukan? Aku juga tidak pernah hutang ataupun yang lainya, kenapa justru dia seperti tidak suka melihatku.

Awalnya aku ingin mengembalikan barang belanjaan ku, tapi entah kenapa penjaga toserba itu justru menutup tokonya setelah aku pergi. Dia sepertinya sangat takut kepadaku. Aku merenung sebentar, sambil berjalan ke arah asrama. Aku memang bukan anak orang kaya, aku juga tidak cantik seperti anak-anak di kampusku lainnya. Tapi, apakah aku juga harus di takuti?

Tak berselang lama ponselku mulai berdering. Aku cukup gelagapan saat akan mengangkatnya, apalagi dengan belanjaan yang aku bawa.

"Halo..." ujarku menyapa terlebih dahulu. Tapi anehnya tidak ada jawaban apapun dari si penelepon.

Entahlah ini hanya telepon iseng, ataupun telepon salah sambung. Tapi yang pasti tidak ada jawaban apapun dari balik telepon.

"Hallo? Jika anda tidak mengatakan apapun saya akan menutupnya!" kataku dengan nada yang cukuplah tinggi.

Hanya menghela nafas panjang, baru satu hari ini rasanya sudah sangat melelahkan. Banyak sekali hal absurd yang menimpa diriku. Ayolah apa aku terlihat seperti orang yang bisa di permainkan?!

Sampai di asrama aku langsung merebahkan diriku di kasur. Rasanya sangatlah nyaman, saat aku seharian pusing karena materi kuliah, lalu di kasih barang gratisan oleh toko toserba, dan mulai lagi telepon salah sambung.

Aku mulai berdiri dan berjalan ke arah jendela. Saat sadar aku belum menutupnya. Cukup berangin sekarang, bahkan tirainya terhempas angin ke dalam. Cukup lembab, tapi tidak basah. Hanya dingin mungkin juga karena anginnya cukup kencang.

Lagi-lagi hal aneh mulai menimpaku. Melihat seseorang memakai jaket dan masker. Dia melihatku dari arah bawah, dan terus menatapku dalam waktu yang lama. Beberapa saat kemudian saat aku terus menatapnya, dia justru membuka maskernya dan tersenyum lebar ke arahku. Sontak aku langsung menutup jendelanya, dan menutupnya dengan tirai segera.

"Dasar orang gila" ujarku dengan nafas tersengal sambil berdiri di jendela.

Aku langsung masuk ke kamar mandi, menyalakan air dan bersiap untuk mandi.

Keesokan harinya seperti biasa aku tengah menunggu teman ku di halte. Sebenarnya aku bisa sampai ke kampus hanya dengan jalan kaki, mengingat aku tinggal di asrama kampusnya. Tapi temanku yang satu ini pasti akan memarahiku jika aku tidak menunggunya.

Namanya adalah Bila, Nabila Zauza. Aku kenal dengannya sudah sekitar satu tahun ini..Aku mengenal dia karena kami pernah satu proyek bersama. Dia cukup cerita dan aktif, meskipun aku kadang tidak meresponnya dia tetap baik kepadaku.

"Emilia!!!" teriak Bila sambil melambaikan tangan.

"Selamat pagi!" Lanjutnya sambil memelukku.

"Bila jangan seperti itu, kamu lupa kita pernah di panggil Yuri sebelumnya" jelasku sambil menyingkirkan tangan Bila dari badanku.

"Utututututututu, mereka hanya iri karena Emilia yang cantik ini tidak mau sama mereka" kata Bila girang sambil memampatkan pipinya.

Aku hanya tersenyum saat melihat kelakuan Bila. Dia memang seseorang yang asyik untuk di ajak berbicara, tapi kadang dia juga membuatku kerepotan dengan sikapnya. Tapi tak berselang lama bila mulai menghentikan aksi konyolnya itu, dan mulai serius melihat ke arahku. Sebenarnya mungkin bukan menatapku melainkan menatap apa yang ada di belakangku.

"Dia melihat kita, dalam waktu yang lama" ucapnya sambil bersisik tanpa dengan terus menatap tanpa bergeming.

Aku cukup penasaran dengan apa itu. Aku juga ikut menatap ke arah yang bila maksud. Dia, dia adalah laki-laki yang sama saat menatapku kemarin malam. Dia juga tersenyum padaku lebar, sama seperti tadi malam.

"Ayo pergi, di dalam kampus kita akan lebih aman" kata bila sambil membawaku pergi.

Sebelum benar-benar pergi aku kembali melihat ke arah belakang. Dia yang semula menatap kami dengan senyuman, kini di gantikan dengan amarah. Bibirnya yang tadi tertawa lebar, kini telah di tekuk ke bawah. Matanya yang semula terpejam karena gembira, kini menatap kami dengan tatapan kosong dan amarah.

Bulu kudukku seketika berdiri, melihat ada orang seperti itu di sekitar kami. Apalagi aku sudah melihatnya dua kali, dan itu cukup banyak untuk sebuah kebetulan.

Setelah aku dan bila sampai di kampus, aku menceritakan semuanya kepada bila. Dia hanya mengangguk paham, sambil terus menatap ke bawah. Entah apa yang bila pikirkan, aku belum pernah melihat wajah seriusnya.

"Kamu sedang di ikuti seseorang, dan itu tidaklah baik. Kita akan meminta bantuan sekolah terlebih dahulu, setelah itu lapor. Tapi jika dia bahkan sudah berani menampakkan wajahnya seperti itu, aku harap..." ucapan bila terhenti saat melihat ponselku, dimana kemarin terdapat nomer tidak di kenal.

"Dia bahkan menelpon mu, Emilia kamu tau itulah tidak enaknya memiliki wajah cantik. Dan sekarang kamu punya fans yang bahkan berubah menjadi penguntit" jelasnya dengan nada gurauan.

Seketika aku langsung memukul pundak bila. Dia bahkan tidak tau kapan saat yang tepat untuk bercanda. Aku menatapnya dengan wajah kesal dengan pipiku yang memerah.

"Maaf-maaf... Aku tau kamu sedang ketakutan di sini, jdi... Bagaimana jika kamu menginap di kamarku sementara waktu" ujar bila sambil mengembalikan ponselnya.

"Bukankah kos-kosan kamu itu kecil ya"

"Aku tau.... Tapi tidak apa-apa, jadi kamu bisa menambah beban di sana"

"Tapi aku merasa tidak enak bil, kamu ju-"

"Ah! Aku telat masuk kelas! Bye Emilia aku akan menghubungimu nanti!!!" teriak bila sambil meninggalkan ku pergi.

Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan, saat aku mulai berjalan ke arah kelasku yang pertama. Saat hari mulai sore, aku bahkan tidak melihat Bila. Aku mulai berkeliling untuk mencarinya. Ini adalah hal yang aneh, bila tak biasanya selalu datang saat jam istirahat tapi sekarang berbeda.

Aku menekan nomer ponsel yang bertuliskan Bila di sana. Cukup aneh saat bila tidak mengangkat panggilanku, bahkan aku harus menggilnya berkali-kali.

"Halo~" ucap Bila dengan nada gemetarnya.

"Bila? Kamu ke-"

"Ayahku kecelakaan... Sumpah aku gak tau apa yang harus aku lakukan, aku langsung pulang saat mendengarnya" sergah bila sambil menangis. Tangisannya kuat, apalagi aku tau bila sudah tidak mempunyai ibu.

"Tidak apa-apa, bari kabar nantinya ya bila. Aku harap om baik-baik saja" jawabku dengan nada sedih.

"Emilia... Maafkan aku" ujarnya terakhir dan langsung menutup panggilannya.

Aku tidak tau kenapa Bila minta maaf kepadaku. Mungkin karena dia langsung pulang tanpa memberitahu padaku, tapi itu tidaklah masalah jika aku di posisi Bila, aku juga akan melakukan hal yang sama.

Malam harinya tiba, aku sedikit lega karena ini adalah hari yang lebih normal dari kemari. Meskipun aku juga masih merasa cemas dengan apa yang Bila katakan.

Aku mulai meregangkan badanku, saat mulai terasa berat di atasnya. Saat aku membuka mata, aku mulai melihat seseorang di atasku. Dengan seringai lebar dia tersenyum puas. Dia adalah laki-laki yang sama saat aku melihatnya kemarin malam, dan tadi pagi.

"A-" mulutku di bungkam seketika dengan tangannya saat aku akan berteriak. Dia mulai mengacungkan jari telunjuknya, dan di letakkan di depan bibirnya tanda aku tidak boleh berbicara.

"Sssstttt.... Remember me? Emilia?" ujarnya dengan tawa.

Mencari kunci

Mataku mulai terbelalak, saat melihat entah siapa sedang duduk di atasku. Dua juga sudah membekap mulutku, dan mengunci pergerakan tubuhku.

"Hamph! Hmph!" teriakku sambil mencoba memberontak.

"Sssstttt... Jangan berisi" kata laki-laki tersebut sambil mengangkat jari telunjuknya di tangan sebagai tanda aku harus diam.

Entah apa yang sedang terjadi, tapi yang pasti aku tidak baik-baik saja sekarang.

"Diam... Ya? Emelin...." katanya lagi dengan nada pelan.

Beberapa saat kemudian dia membuka mulutku, aku masih diam sekarang melihat dia yang tengah beranjak menuju ke dapur. Dengan bergegas aku berlari keluar kamar, saat aku tau dia tidak akan bisa menangkap Ki.

"To-" ucapanku terhenti saat melihat beberapa orang berjaga di luar kamarku.

"Apa yang kamu lakukan... Sudah aku bilang Dian bukan? Dasar wanita yang tidak patuh...." ujarnya lagi saat tiba-tiba ada di belakang.

...BRAK!...

Tiba-tiba aku pingsan, saat merasakan sakit di bagian kepala belakang. Entah apa yang terjadi, aku juga tidak ingat apapun. Hanya seorang dengan senyumannya yang mengerikan.

"Mine...." suara badgas menjalar di telingaku.

Aku sungguh tidak ingat apapun, yang aku ingat hanyalah aku di bawa oleh seorang laki-laki entah siapa. Aku sedikit teringat saat dia membawaku pergi, lalu beberapa orang yang di depan kamarku juga mulai mengikutinya.

Apa yang sudah aku lakukan? Atau apa yang sebenarnya terjadi aku juga tidak tau. Yang aku tau hanya-lah kini aku sedang tidak baik-baik saja, dengan orang gila yang membawaku keluar dan Pergi entah kemana

...***...

Matahari pagi mulai menyeruak masuk ke dalam kamarku. Aku mulai menerjapkan mataku pelan, saat cahayanya cukup menganggu waktu tidurku. Seketika aku berdiri, mengingat apa yang telah terjadi.

Nnggg.... Sebuah dengungan yang aku rasakan akibat tiba-tiba terbangun dari tidur. Aku mulai memijat pelipisku perlahan sambil melihat keadaan sekitar.

Ini bukanlah kamarku dan aku yakin itu, saat aku tau ternyata orang yang semalam bukanlah mimpi. Sejujurnya aku ingin Raid siapa, bahkan tidak ketauan saat aku tidur di asrama. Bagaimana cara dia masuk itu juga menjadi hal yang aku tanyakan.

"Aku harus pergi sekarang!" kataku dengan semangat.

Tapi ada yang berbeda di sini, semuanya berubah. Saat aku sadar ternyata aku menggunakan lingerie seksi hampir transparan dengan rendra yang menjadi penghalang nya. Aku bergegas berdiri dari kasur, dan mulai berlari keluar.

...BRAK!...

Bunyi tubuhku yang tiba-tiba tersungkur ke lantai. Inilah hal yang tidak aku sadari sebelumnya, jika kakiku tengah di rantai sekarang. Aku juga mulai memijat pelipisku pelan, dimana aku cukup pusing karena terjatuh tadi. Sepertinya sedikit terluka, tapi tidak apa-apa.

Aku melihat sekeliling, dimana disini juga banyak cermin. Aku memegangi rantai yang mengikat si salah satu kakiku, menariknya kuat berharap aku bisa mematahkan nya. Tapi sungguh itu adalah hal-hal bodong yang pernah aku lakukan. Hanya sebuah pemikiran dari seorang anak bodoh yang Serdang ketakutan.

Aku berdiri perlahan, sambil menahan sakit yang ternyata lutut ku juga terluka. Aku meniupnya perlahan, sambil berjalan mencari ujung dari rantai ini.

"Apa-apaan in!" gumamanku dengan kasar dan kebingungan saat melihat rantainya terhubung di bawah kasur.

Aku mendengus kesal, lalu masuk ke bawah kasur untuk melihatnya. Sepertinya bisa aku buka, dengan sedikit bantuan kebodohan yang aku punya. Aku menariknya kuat, berharap itu bisa di lepas. Tapi sayangnya ini malah di gembok sehingga aku harus mencari kuncinya.

Aku kembali keluar dari bawah kasur, dimana aku langsung menggeledah nakas yang ada di bawah kasur.

"Apa yang sedang kamu cari?"

"Sebuah kunci"

"Aku ada di sini, untuk apa kamu butuh kunci?" ujar seseorang lagi yang membuatku langsung membalikkan badan.

Seketika aku tersungkur di lantai, saat menyadari orang itu sudah ada di sini. Aku membulatkan mata lebar dengan nafas yang sudah tersenggal.

"Selamat pagi...." kata orang itu sambil tersenyum padaku.

"GILA!"

Are you remember me?

Aku menatap lekat, sambil memundurkan badanku. Hingga tanpa sadar, kini badanku sudah terpojokan di tepi ranjang. Nafasku mulai memburu, apalagi dengan hal seperti ini. Dia mulai berjongkok menyejajarkan dirinya denganku.

"Siapa namamu...." ucapnya panjang sambil mengusap kepalaku.

Sungguh aku ketakutan, dengan apa yang aku lihat semalam. Belum lagi saat dia mulai mengusap rambutku, mengambilnya beberapa helai lalu mencium aromanya.

"Hm... Siapa? Aku tak dapat mendengarnya...." ujarnya lagi sambil tersenyum melihat ku.

Seketika aku mengalihkan pandanganku, dengan nafas yang masih memburu juga ketakutan.

"Emelin kan... manis sekali...." ujarnya lagi sambil memegangi wajahku.

Dia menatap ku penuh, dimana terlihat senyuman manis dari wajahnya. Senyuman yang sama saat aku melihatnya di malam itu, juga saat bersama dengan Bila.

"Maafkan saya..." ujarku dengan penuh gemetaran, saat dia tidak kunjung melepaskan wajahku dari dekapan tangannya.

"Hm... Maaf kenapa?" tanyanya dengan wajah yang mengejeknya.

"Ma-maaf... Ma-maafkan saya..." ujarku kembali.

Rasanya aku sudah gila sendiri, meminta maaf berkali-kali dengan orang yang tidak aku kenal. Melihat senyumannya saja sudah membuatku merinding.

"Manis sekali..." ucapnya gemas sambil tersenyum dan memainkan pipiku.

Tak berselang lama, dia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dengan mata yang tertutup sambil menyatukan ujung hidung kami. Sejujurnya aku bukanlah anak yang memiliki hidung mancung, dimana kami sudah benar-benar dekat saat dia melakukan ini.

Menahan wajahku dengan tangannya, dan memainkan hidungku gemas dengan hidungnya. Aneh, sungguh aneh aku bahkan hanya bisa melihat kelakuannya sambil terus berharap ini segera berakhir.

"Emelin... Katakan sesuatu...." ujarnya setelah bermain-main dengan wajahku.

"Ma-maaf... Maafkan saya...." jawabku dengan mata yang sudah memerah dan nafas yang memburu.

Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan, dengan semua ini membuatku tak tenang. Aku harap semuanya akan baik-baik saja tapi... Aku bahkan tak bisa menatap wajahnya. Aku terus menunduk saat dia terus bertanya, atau mengatakan sesuatu. Nafasku semakin lama semakin memburu, orang ini... Siapa dia bahkan aku tidak mengenalnya.

"Emelin...." ujarnya lagi sambil mengangkat wajahku yang tertunduk, lalu mengecup bibirku singkat.

Aku hanya membulatkan mata terkejut, dengan kecupan singkat di bibirku yang pertama. Apakah ini sebuah gurauan atau candaan, melihatnya legam sambil tersenyum puas.

"Maaf... Tapi apakah kebiasaan mu terus diam saja saat orang lain mengajakmu berbicara? Manis... Manis sekali sungguh... Bisakah aku melakukannya lagi...." ujarnya sambil mengusap bibirku.

Mataku mulai sendu, saat dia mengambil kecupan pertama dariku. Mataku mulai memerah, dan tanpa sadar mulai menangis dan terisak sesaat. Aku ketakutan dengan kaki yang masih di rantai, dan pria cabul di depanku. Aku cemas tidak dapat berpikir apa yang harus aku lakukan. Hanya sebuah dekapan yang aku lakukan di bibirku, menahan agar suara tangisanku tidak keluar.

"Eh-! E-Emelin! A-apakah aku membuat kesalahan? Aku hanya menanyakan nama!" ujarnya dengan nada panik sambil mengusap air mataku yang keluar.

"Ma-maaf... Maafkan saya... Saya ingin pulang sekarang... Siapa anda... Ji-jika... jika ada masalah bisa tolong beritahu kepada saya... Agar saya bisa memperbaikinya...." ujarnya dengan sesenggukan mencoba untuk berkata-kata.

Tak ada lagi jawaban darinya. Hanya sebuah tatapan datar yang sudah tak bisa di artikan. Lekukan bibir senyum yang tadi dia tampilkan, kini lenyap seketika.

"Kenapa kamu mau pulang? padahal kamu sudah di rumah...." ujarnya dengan nada yang datar dan tak suka.

Seketika aku melihatnya, terlihat aura tak acuh dari dia. Hanya tatapan merendahkan, juga raut wajah yang tidak suka.

"Ta-tapi... i-ini bu-" perkataan ku terhenti seketika saat dia mulai kecekukku dengan tangannya.

"Eh-!" kataku mencoba melepaskan cengkraman tangannya. Aku tak tau, sangat kuat bahkan aku mulai kehabisan nafas.

Dengan kuat aky memberontak, merasakan sebuah genggamannya tambah kuat.

"Aku bilang kamu sudah di rumah... Paham kan? sayang?" tangannya lagi sambil berbisik di telingaku.

Sesaat setelah itu dia mulai melepaskan tanganku. Nafas tersengal aku lakukan, dengan mata yang memerah akibat menahannya. Genggaman apa itu, bahkan nafasku harus mulai ku atur ulang.

Terbatuk sesaat, sambil melihatnya berdiri dan keluar kamar. Aneh juga menyebalkan, bahkan aku tidak bisa berbuat apapun. Sungguh menjijikkan saat aku tak tau kesalahanku apa, tapi di paksa untuk tinggal.

Aku mulai melihat ke arah cermin yang ada di kamar ini. Melihat sebuah bekas cengkraman tangannya. Jujur aku tambah menggelidik ngeri saat melihat bekas tanganya, melingkar dan lebam.

"Orang aneh...." gumam ku perlahan.

Aku mulai duduk di tepi ranjang, sambil memenangkan pikiranku. Melihat keadaan sekitar yang mulai kacau, dengan orang gila yang berada yang aku temui tadi. Jangan lupakan kakiku juga di borgol, membuatku lebih berpikir keras akan hal itu.

"Apa-apaan ini... Kapan semua ini terjadi, perasaan... Baru saja kemarin semuanya baik-baik saja..." kataku dengan diriku sendi.

Aku hanya bisa menangis sambil mengacak kuat rambutku. Dengan teriakan yang aku lakukan tanda aku frustasi dengan keadaan yang aku alami sekarang.

"Kenapa?" ujar Seseorang yang tiba-tiba datang.

Ternyata orang itu adalah laki-laki tadi yang pergi. Dia datang kembali dengan membawa nampan berisi makanan, dan sebuah kotak di salah satu tangannya.

"Tidak apa-apa... apakah ini sakit?" tanya dia kembali sambil mengusap bekas lebam cengkraman nya tadi.

"Haruskah aku jawab? Haruskah? Aku tidak mengenal mu... Sungguh... Jika ada masalah bisa tolong bicarakan denganku, tapi aku mohon... Aku tak mau di sini..." kataku sambil menatapnya kuat.

Dia hanya menaruh nampan di atas nakas, lalu membuka kotaknya dimana berisi obat-obatan di sana. Saat aku masih sibuk berbicara, dia hanya diam sambil mengusapkan salep lalu lalu melilitkan perban di leherku.

"Permisi... Apakah kamu mendengarkan aku?" tanyaku sambil menahan tangannya yang masih sibuk melilitkan perban.

"Pfftt... Apakah kamu melihat wajahmu sendiri? Kesal bukan orang yang diajak bicara diam saja, jadi... Saat aku berbicara atau bertanya lebih baik kamu menjawabnya..." ujarnya justru menahan daguku dengan salah satu jarinya.

"Theo... Theo Walcott... Ingat nama saya ya? Jangan sampai lupa, tak perlu bertanya yang lainya... Hanya perlu diam dan Ingat nama saya... Jadilah perempuan yang penurut, karena saya lebih suka perempuan yang diam tanpa harus banyak bicara...." lanjutnya lagi sambil duduk di sebelahku.

Aneh, sungguh orang yang aneh. Bahkan aku tidak bisa menjawab apapun saat dia berkata-kata.

"E-Emelin...." ujarnya sambil tiba-tiba memeluk tubuhku dari samping.

Rasanya seolah meremang, dia Theo memelukku dengan sangat kuat dan membenamkan wajahnya beberapa saat kemudian. Nafasnya mulai teratur, dengan sesekali terasa dia mencium aromanya.

"Ah-! A-"

"Sssttt... Diamlah... Miss you... Are you remember me?" gumam Theo sambil menambah pelukannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!