Veli tengah duduk di gazebo taman belakang, ia memandang bunga-bunga yang cukup indah. Ia tersenyum dan mengingat kenangan yang bisa di bilang terburuk tapi mungkin juga terindah, sebab karena hal bodoh itulah mereka malah menikah dan cinta pun hadir, hingga saling melengkapi dan takut kehilangan. Setiap kata-kata yang dulu ia ucapkan semua masih bisa ia bayangkan dengan jelas.
FLASHBACK ON.
"Heh.....lu mau apa?" tanya Veli sebab Aran terus mendekatinya.
"Bisa nggak kamu bicara sopan sama saya!" Aran menatap tajam Veli karena tak suka dengan Veli yang selalu ketus padanya.
"Yeee.....siapa anda?" Veli malah memutar bola matanya dengan jenuh, sambil mengejek Aran.
"Saya calon suami kamu, saya pastikan kita akan menikah!" jelas Aran dengan tegas.
"Aku tau aku itu cantik tuan Aran Rianda, tapi maaf level saya bukan anda, saya suka cowok yang maco dan juga tampan, di tambah ada manis-manisnya seperti dokter Farhan, jelas," kata Veli dengan angkuh berharap Aran akan membencinya dan tak lagi mengganggunya.
"Kamu pikir saya nggak maco," Aran melempar jasnya dan membuka beberapa kancing kemeja bagian atasnya, Veli gemetar melihat apa yang Aran lakukan. Ia mundur selangkah demi selangkah karena takut, namun kakinya tanpa sengaja tersandung.
"Aaaaaaaa," teriak Veli.
Dengan reflek Aran malah memeluk pinggang Veli, posisi keduanya adalah Veli di bawah namun Aran masih memeluknya agar tak terjatuh.
"Heh, jangan cari kesempatan!" ketus Veli saat menyadari posisi mereka kini.
"Sialan, bukannya berterima kasih," jawab Aran melepaskan Veli.
"Aaaaaa," karena Veli takut terjatuh akhirnya ia reflek memeluk leher Aran.
BUUUK.
Keduanya akhirnya terjatuh tepat di sofa, dengan Veli yang di tindih Aran.
Sementara dalam waktu bersamaan di luar ruangan kini telah datang seorang peria paruh baya, pria itu sudah lama menjalin kerja sama dengan perusahaan Aran dan hari ini mereka ada meeiting. Lama pria itu menunggu hingga kini ia bertemu dengan Asisten Aran yaitu Marni.
"Tuan Satria, sudah lama menunggu?" tanya Marni dengan sopan, karena ia baru kembali dari toilet dan tak tau ternyata Satria sudah di sana.
"Iya, Marni.....saya baru saja sampai, apa tuan Rianda ada di dalam?" tanya Satri.
"Belum tuan, karena saya tak melihatnya masuk dari tadi," Marni melihat jam yang melingkar di tangannya, ia pergi selama lima belas menit dan ia yakin Ceo mereka belum datang sampai saat ini. Lagi pula kalau Aran sudah datang harus melewati ruangannya dulu.
"Apa masih lama?" tanya Satria, sebab dua jam lagi sudah waktunya berbuka puasa.
"Tidak tuan, tadi tuan Aran mengatakan dia akan segera datang dan saya yakin beberapa menit lagi dia pasti sampai," jawab Marni dengan sopan.
"Iya, saya harap tidak terlalu lama," kata Satria lagi.
"Ya tuan....begini saja. Anda tunggu di dalam saja," kata Marni sambil mengarahkan Satri pada pintu lalu membukanya, "Silahkan masuk tuan Satria," Marni langsung mempersilahkan Satria masuk tanpa melihat ke dalam terlebih dahulu.
"Iya," jawab Satria ia masuk bersama sekretarisnya, keduanya melangkah masuk. Namun saat Satria masuk matanya tepat menatap Aran yang menindih Veli.
TAP TAP TAP.
Aran dan Veli menyadari suara langkah kaki, mata Aran melebar ternyata Satri masuk bersama sekretarisnya, dan Marni juga melongo melihat posisi Aran saat ini yang menindih seorang wanita. Marni shock ternyata Ceo mereka sudah berada di ruangan itu.
"Aku ceroboh sekali," gumam Marni dengan ketakutan, "Tamat sudah karir ku," Marni menunduk dengan perasaan harap-harap cemas.
"Maaf tuan Aran, saya tidak tau....." Satri tersenyum kecut saat memergoki Aran.
"Tuan Satria," Aran dengan cepat bangun, dan Veli juga ikut bangun.
"Veli," Mata Satria menatap wanita yang sangat ia kenal, sementara Veli yang belum menyadari siapa orang yang menyebut namanya.
"Papah," kata Veli dengan rasa takut.
Satria menatap penampilan Veli yang acak-acakan selanjutnya menatap Aran dengan kemeja yang sudah tidak terkancing lagi, Satri tentu saja dapat menebak apa yang barusan di lakukan oleh putrinya dan juga rekan bisnisnya.
"Papah?" tanya Aran terkejut, "Tuan Satria, Veli ini putri anda?" tanya Aran untuk memastikan.
"Iya," kata Satria menatap tajam Veli, "Apa yang barusan kalian lakukan tadi?" tanya Satria dengan emosi, pikirannya kini meyakini jika anaknya baru saja berbuat tak senonoh bersama Aran.
"Ve....Veli....em," Veli tau sang Papah kini tengah marah dan ia takut walau hanya menjawab pertanyaan sang Papah. Pria yang paling ia hormati dalam hidupnya.
PLAK.
Tangan Satria melayang begitu saja dan mendarat di pipi sang anak, dengan reflek pipi Veli terbawa ke samping dan tangannya memegan pipi mulus itu yang kini terlihat sedikit lembam.
"Tuan Satria," Aran shock dan kasihan melihat Veli yang mendapatkan hal sedemikian, ia mencoba berbicara namun Satri dengan cepat memotongnya.
"Apa yang sudah anda lakukan dengan putri saya, kalian bahkan berbuat itu di bulan yang suci ini, menjijikan!" kata Satria berkabut emosi.
"Pah, Veli bisa jelaskan, ini tidak seperti yang Papah pikirkan," kata Veli dengan melas dan mencoba bernegosiasi.
"Apa masih ada yang perlu di jelaskan?" tanya Satri, "Apa kalian sudah sering melakukan itu?" tanya Satria lagi, Veli adalah anak perempuan satu-satunya dan anak kesayangan. Jadi Satri takan mau terjadi sesuatu pada putrinya.
"Iya tuan Satria, saya mohon maaf. Lebih baik saya mengakuinya saat ini dari pada Veli sudah hamil terlebih dahulu," jawab Aran tersenyum penuh misteri pada Veli.
BUUUK.
Satria memukuli Aran dengan membabi buta, karena mendengar apa yang di katakan Aran. Dengan cepat Veli memeluk Satria di bantu oleh asisten Satria juga, agar tak terjadi perkelahian.
"Heh, kangan ngaco! Kita memang tinggal satu atap. Tapi kita nggak pernah ngelakuin itu, gw juga ogah sama lo jangan ngarang!" kesal Veli meneriaki Aran dengan penuh kekesalan bagaimana pun Aran sudah memfitnahnya.
"Apa? Veli kamu tinggal sama Aran? Bukannya kamu tinggal di apartement?" tanya Satria semakin shock.
"Iya tuan Satria, kami tinggal satu atap, bahkan satu kamar tidur," kata Aran merasa ini adalah kesempatan agar Veli menikah dengannya, sedikit lagi.
BUUK.
Satria lagi-lagi memberi bogem mentah.
"Pah, dia bohong Pah, Veli nggak pernah ngelakuin apa yang dia ucapkan," kata Veli menatap Aran dengan tajam.
"Anda tau siapa saya tuan Satria, kalau memang anda merasa saya berbohong saat ini tidak apa. Tapi saya tidak akan bertanggung jawab bila suatu hari anda butuh pertanggung jawaban saya," Aran mengusap cairan berwarna merah di sudut bibirnya.
"Veli kamu sudah buat Papah kecewa, kalian harus menikah!" kata Satria tanpa bisa di bantah lagi.
Aran tersenyum samar, senyum kemenangan tentunya. Karena tak sia-sia ia mengorbankan sedikit tubuhnya untuk di hajar calon mertuanya, karena keberhasilan yang ia rasakan sangat sempurna.
FLASH BACK OF.
"Sayang," Aran menepuk pundak Veli, hingga ia tersadar dari lamunannya.
Veli menatap Aran dan tersenyum, "Mas."
"Kamu kenapa?Kamu lagi mikirin sesuatu?" tanya Aran sambil tersenyum lalu duduk di samping Veli, dengan perlahan Veli menyandarkan dirinya pada pundak Aran.
Hari ini Veli merasa moodnya tidak baik-baik saja, sebab di luar sana masih tersebar berita tentang dirinya di kamar hotel. Aran tentunya tak diam saja, ia sudah meredam berita itu namun ia tak dapat meredam mulut tetangga dan orang-orang di luar sana yang sudah terlanjur tau akan berita itu. Sementara orang yang menyebarkan berita tersebut pun sudah tertangkap.
"Sayang kamu jangan mikirin masalah berita itu terus dong," Aran mengelus kepala Veli, karena ia dapat melihat kecemasan di wajah sang istri.
"Mas kira-kira Papi marah nggak ya.....sama Veli?" Veli sedikit takut mengingat wajah mertuanya itu, namun mau bagaimana lagi semua sudah terlanjur, "Mas, Veli nyesel banget," Veli menatap Aran dan menitihkan air mata.
"Khumairah sayang," Aran mengusap air mata Veli yang membingkai di pipinya, "Mas udah cerita semua ke Papi, dan semuanya wajar karena waktu itu kamu juga sedang kesalkan sama Mas?" tanya Aran.
Veli menggangguk membenarkan apa yang di katakan oleh Aran, "Veli janji nggak akan ulangin lagi," ucap Veli lagi-lagi penuh penyesalan.
"Sayang ku, udah ya, jangan nangis terus. Kasihan anak kita," Aran tersenyum menatap wajah Veli.
"Mas, apa Papi ragu kalau Veli hamil anak Mas?" lagi-lagi Veli mengutarakan pertanyaannya yang terasa mengerikan.
"Enggak lah, Mas kan udah bilang Mas yang itu," kata Aran menaik turunkan alis matanya.
"Mas!" Veli mencubit pinggang Aran, karena kesal dengan jawaban Aran yang tak pernah benar, "Ngaco banget sih!" Veli menaik turunkan nafasnya.
"Ahahahaa," Aran sengaja berkata demikian, karena ia ingin menghibur Veli yang terus di landa kecemasan. Dan ia terlalu takut untuk meninggalkan Veli bila keadaanya Veli masih bersedih, "Kan kamu tanya Khumairah sayang, ya Mas jawab lah. Salahnya di mana coba?" Aran merasa tak bersalah sama sekali di hadapan Veli.
"Iya tapi kan nggak gitu juga," Veli memiringkan senyuman menatap Aran.
"Terus Mas bilang apa Khumarah sayang, istri ku tercinta. Bidadari surga ku?" Aran menarik kedua pipi Veli.
Veli mendadak diam saat mendengar perkataan Aran, rasanya ia ingin melayang lebih tinggi setinggi-tingginya. Sungguh mantan musuh bebuyutannya itu kini telah bersarang di hatinya, yang mampu membuat hari-harinya terasa lebih indah dan penuh cinta.
"Sayang, kenapa diam?" tanya Aran yang menatap keanehan pada sang istri, "Sayang kamu cinta nggak sih sama aku?" tanya Aran.
DEEG......
Pertanyaan Aran membuat Veli tak karuan, ingin berkata ia masih merasa malu. Berkata tidak rasanya tak mungkin nanti Aran pergi meninggalkan dirinya, jangan sampai itu terjadi. Namun untuk mengungkapkannya bibir terasa berat.
"Khumarah sayang, istri ku, kamu nggak cinta ya sama Mas?" tebak Aran.
"Eh.....nggak gitu!" kata Veli dengan cepat.
Aran menaikan sebelah alisnya, tak lupa bibirnya juga membentuk sebuah senyuman.
"Terus?" tanya Aran mendekatkan wajahnya pada Veli.
"Mas, jauh-jauh," Veli mendorong wajah Aran, sebab dadanya semakin tak karuan saat Aran mendekatinya, "Nggak usah tanya yang itu," Veli tau ia menyukai Aran dan mencintai Aran. Tapi ia masih terlalu malu untuk mengungkapkannya, ia pikir dengan perlakuannya saja sudah cukup.
"Mas pengen denger dari kamu, Kalau nggak Mas pergi aja," Aran berpura-pura berdiri dan beranjak pergi.
"Mas," dengan cepat Veli menahan lengan Aran dan menatapnya.
"Apa?"
"Veli......" Veli mendeguk saliva, sungguh sulit rasanya mengatakan cinta.
"Mas pergi."
"Jangan."
"Kenapa?"
"Karena Veli nggak mau di tinggalin, Veli udah sayang sama Mas," terang Veli.
Aran dengan cepat memeluk Veli.
"Sayang Mas kepanasan," Aran dengan cepat membuka jas yang melekat pada tubuhnya.
"Mas mau ngapain?" Veli panik dan menjauh.
"Mau lepas rindu," Aran dengan cepat menarik Veli naik keranjang.
"Mas, Veli belum bisa. Kandungan Veli masih lemah," terang Veli.
"Sayang," dengan terpaksa Aran turun dari ranjang, padahal Anggia sudah mengatakan keadaan Veli. Namun Aran lupa saat mendengar kata cinta dari Veli.
"Mas sayang nggak sama Veli?"
"Sayang dong."
"Alasannya apa?" tanya Veli yang ingin mengalihkan pembicaraan, sebab ia dapat melihat wajah kesalnya Aran saat ini.
"Karena ini," jari telunjuk Aran mengarah pada hidung Veli.
PLAK....
Veli kesal dan ia langsung memukul tangan Aran, "Veli serius Mas," tutur Veli.
"Mas juga serius yang, besar. Bikin Mas nggak bisa beralih pada yang lain."
Veli menggaruk kepala yang tidak gatal, "Mas ngomong apaan sih," Veli semakin di buat kesal dengan perkataan Aran.
"Aduh yang," Aran menutup mata dan membayangkan sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya.
"Mas!" Veli turun dari ranjang dan mencuci wajah Aran dengan air yang ada di dalam gelas, terletak di atas nakas, "Sadar Mas, sadar. Heh.....setan keluar dari tubuh suami ku," Veli kini seolah tengah menyadarkan Aran dari gangguan jin.
"Aku nggak akan keluar dari tubuh suami mu, kecuali kamu," Aran seolah benar-benar kerasukan jin dan ia mengutarakan keinginannya, sambil menunjuk pipinya dengan jari telunjuk.
"Kalau kamu nggak mau keluar dari tubuhnya, biar aku yang keluar dari kamar ini," Veli berbalik dan melangkah keluar namun dengan cepat tangan Aran memegang lengan Veli, hingga Veli tak bisa melangkah keluar.
"Sayang, kalau keluar aja nggak enak. Enakan keluar masuk gitu," ucap Aran sambil menatap Veli.
"Mas!" Veli benar-benar tak bisa menahan rasa kesalnya pada Aran, ia mengambil kemoceng dan memukulnya pada kaki Aran.
"Sayang kamu kenapa sih," Aran berusaha melindungi diri dengan kedua lengannya, karena Veli terus memukulinya.
"Mas yang kenapa kalau ngomong nggak pernah bener!" Veli berkacak pinggang di hadapan Aran, dan sejenak berhenti memukul Aran.
"Emang salahnya di mana? Keluar masuk. Kan emang enak yang, o......jangan-jangan kamu mikir yang itu ya......" jari telunjuk Aran menunjuk wajah Veli dengan penuh selidik.
"Enak aja!" elak Veli.
"Sabar sayang, Mas pasti kasih tapi setelah kandungan kamu kuat ya," Aran malah memutar balikkan keadaan, membuat seolah Veli yang berpikir jorok.
"Mas," Veli berteriak karena tak mampu lagi menghadapi Aran yang sangat suka menggodanya.
"Ahahahaa," Aran sangat gemas pada istri cantik nya, lebih tepatnya mantan musuh yang ia benci itu kini sudah menjadi istri kesayangannya yang sangat ia cintai.
"Mas, ih.......nggak jelas banget deh....." Veli kesal karena ia selalu kalah dengan Aran yang sangat suka menggoda dirinya, setelah kini hubungan mereka sudah layaknya pasangan suami istri pada umumnya sejak itu semua tingkah romantis Aran mulai keluar dengan sendirinya. Bahkan orang-orang mungkin tidak akan pernah bisa percaya jika hubungan mereka dulunya sangat buruk sekali.
PLAK......
Satu tamparan mendarat di wajah Farhan yang tengah terikat tali, siapa yang menghajarnya dan menyekapnya? Tentu saja Aran. Siapa lagi yang menaruh dendam pada istrinya Veli kalau bukan sang mantan kekasih nya itu. Hari ini Aran berhasil menemukan Farhan yang bersembunyi di luar kota, cukup sulit menemukan pria itu. Namun karena Aran begitu ingin menemukan siapa yang sudah berani mencoreng nama baik keluarganya, kemanapun akan tetap di cari.
"Aran cukup!" kata Bilmar, ia tidak mau Aran sampai terbakar emosi.
"Aku ingin menghabisinya saat ini juga!" tegas Aran yang ingin kembali menghajar Farhan.
"Aran cukup," Bilmar menarik Aran menjauhi Farhan, begitu juga dengan Vano dan Arman.
"Ingat, istri mu sedang mengandung. Jangan kotori tangan mu itu!" kata Vano mengingatkan Aran, sebab Sinta dan Ratih mengajarkan mereka ketika istri mengandung tidak boleh membunuh hewan atau pun menyiksa. Apa lagi manusia.
Aran mengusap wajahnya dan meredamkan emosi yang tengah membuncah itu, seketika ia mengingat wajah Veli lalu menjauhi Farhan agar ia tidak terbakar emosi.
"Kalau kau ingin sesuatu katakan pada ku Aran, aku suka kalau mendapat bagian seperti ini," tutur Arman sambil mendekati Farhan.
"Kau mau apa?" tanya Farhan dengan berlumur keringat saat melihat senyum misterius Arman.
"Aku sudah lama sekali tidak bertemu dengan orang seperti mu, dan aku sudah sangat merindukan hal seperti ini," jelas Arman, pria berdarah mafia itu tampaknya cukup handal membuat setiap lawannya tak berkutik lagi.
"Tapi aku lebih tertarik bila aku yang menangani pria ini, pria yang membuat nama baik keluarga kita hampir rusak. Kau itu hanya abu bagi ku. Tapi kau sangat bernyali bermain dengan ku!" Aran lagi-lagi mendekati Farhan, tangannya ingin melayang lagi dan lagi pada Farhan.
"Aran, Veli sedang mengandung. Ingat anak mu," kata Vano lagi-lagi berusaha menyadarkan Aran, "Aku tau rasanya bagaimana saat ini perasaan mu, sebab aku pun dulu pernah ingin menghajar seseorang saat Ziva mengandung. Tapi aku sadar istri segalanya, dan anak adalah jauh lebih berharga. Jadi serahkan saja pada Arman. Arman jauh lebih tau harus apa dan bagaimana," lanjut Vano lagi.
"Iya......" Aran menatap Vano, ia mengangguk membenarkan apa yang di katakan oleh Vano. Keluarga mereka memang sangat kompak dan tidak ada yang boleh menyakiti maka yang lainnya akan ikut murka.
Arman tau apa yang harus ia lakukan, bahkan tanpa di perintahkan sekalipun hingga kini Farhan sudah bermandikan cairan berwarna merah yang keluar dari beberapa bagian tubuhnya.
"Maaf, aku tidak akan melakukannya lagi, aku minta maaf," ucap Farhan dengan tubuh lemah yang kini sudah terduduk lemah di lantai.
"Maaf?" tanya Aran yang sedari tadi hanya menjadi penonton saja.
"Iya......" jawab Farhan lagi dengan yakin dan suara bergetar.
"Untuk apa kau melakukan itu semua?" tanya Aran lagi.
"Aku tidak terima dia meninggalkan aku begitu saja, aku sudah sangat mencintainya. Dan aku pun sudah memberikannya banyak barang-barang," Farhan ingat, ia bukan hanya memberi mobil untuk Veli. Tapi ia juga membeli perhiasan juga banyak pakaian untuk Veli, dan itu semua tanpa di minta oleh Veli. Dan Veli tidak mungkin menolak apa yang di berikan oleh Farhan, sebab saat itu Veli juga mencintai Farhan dan berharap Farhan menjadi suaminya.
"Berapa uang yang kau habiskan untuk memberikan semua itu pada istri ku, aku akan mengembalikannya dan aku akan bembayar 4 kali lipat," tegas Aran. Aran tidak mau merendah di hadapan Farhan, hanya uang tidak masalah bagi Aran. Yang terpenting adalah harga dirinya yang saat ini tengah di bahas oleh Farhan, dan kalau Aran tidak membayar mungkin Farhan merasa ia tidak bisa membahagiakan istri nya.
"Aku tidak tau berapa, tapi untuk saat ini aku ingin di bebaskan. Dan aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, aku khilaf," jelas Farhan dengan wajah pucatnya, tak ada yang dapat di lakukan oleh Farhan selain memohon agar Aran mau melepaskannya, sebab tubuhnya sudah tak kuat menerima pukulan Arman.
"Kau benar-benar tidak waras, siapa yang akan membebaskan manusia seperti mu. Tidak ada sejarahnya yang sudah menjadi tawanan ku terbebas," timpal Arman dengan suara berat dan tertahannya.
"Tidak ada yang bebas, lolos, bila berani masuk ke tempat ini," Vano juga tersenyum miring mendengar permintaan Farhan, karena ruang bawah tanah itu memang sudah di khususkan untuk orang-orang seperti Farhan.
"Aku mohon Aran, aku berjanji tidak akan mengganggu kalian. Istri ku sedang mengandung dan akan segera melahirkan, aku mohon kasihani aku Aran," Farhan tak kehabisan akal, ia terus berharap pada Aran. Farhan benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa.
"Istri ku juga sedang mengandung, tapi tetap saja kau berani mengusik nya!" Aran belum terpengaruh atau pun kasihan pada Farhan.
"Aku tidak tau, aku benar-benar tidak tahu. Aku mohon Aran, ini demi anak dan istri ku," Farhan menunduk dan bersimpuh di bawah kaki Aran, berulang kali Aran menjauh dan menghindar tapi Farhan tetap memohon dan meminta untuk di kasihani.
"Baiklah, aku memberikan mu waktu spai istri mu melahirkan. Tapi setelah itu kau harus menyerahkan diri!" kata Aran.
"Aran kau bicara apa?" Bilmar tanpaknya tak setuju dengan apa yang di katakan oleh Aran.
"Kau kenapa membebaskan manusia seperti ini. Dia ini sudah menghianati istrinya secara tidak langsung juga bukan?" ucap Arman yang juga tidak ingin meloloskan Farhan.
"Iya, kau benar Arman. Dia ini sudah menipu Veli, berhiyanat pada istrinya yang sedang mengandung. Aku yakin kalau istrinya tahu dengan perbuatannya, istrinya pasti meminta kita menghajarnya sampai habis," terang Vano.
"Aku hanya kasihan pada anak yang masih di kandung istrinya, aku kasiha anak itu punya ayah sebajingan dia. Biarkan dia bebas tapi awasi setiap gerak-geriknya. Dia bebas sampai istri melahirkan saja, setelah itu......" Aran mengangkat alis matanya menatap Farhan dengan senyuman penuh misterinya, tapi hal itu justru membuat Farhan semakin takut dengan wajahnya yang membiru karena ulah Arman.
"Baiklah, karena kami mengasihani ku. Jadi manfaatkan sisa waktu mu yang sedikit itu. Jangan sampai kau berulah, jika kau berulah kau akan habis di tempat mu tanpa ampun!" terang Vano.
"Terima kasih.....aku berjanji dan tidak akan melakukan itu lagi," jawab Farhan dengan terbatuk-batuk, dan susah payah.
"Buktikan, ingat kau tidak sepenuhnya bebas. Tapi kau di awasi, jangan kau pikir kau bisa mengulangi semua itu," ucap Arman.
Keluarga Rianda mau pun Bilmar,memang sudah berjanji tidak akan melakukan hal yang sekejam dulu lagi. Sebab mereka sudah berjanji pada istri-istri mereka untuk tidak melakukan itu lagi, karena para istri mereka sudah tahu siapa mereka yang sebenarnya. Dan mereka lebih memilih memenjarakan lawan mereka dari pada harus bertindak sendiri, begitu pun pada Farhan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!