NovelToon NovelToon

Queen Of Time

Khronos, Kairos, Hora (One)

Trang!

Prang!

        Suara dentingan pedang yang beradu dengan baju zirah terdengar begitu berisik di tengah-tengah perang yang terjadi antara kerajaan Khronos dan kerajaan Diamond. Di barisan paling depan, raja Aiden dan raja Vaust saling menyerang satu sama lain untuk mempertahankan kerajaan masing-masing. Namun sekilas, raja Vaust tampaknya sudah begitu kewalahan untuk menangkis setiap serangan yang diberikan oleh raja Aiden. Raja muda itu tampak begitu ahli memainkan pedang, hingga tak berapa lama ia berhasil menjatuhkan pedang milik raja Vaust ke tanah. Kemudian Aiden segera menodongkan pedangnya tepat di urat leher raja Vaust. Sontak semua prajurit yang berada di medan pertempuran saling berhenti menyerang untuk melihat detik-detik kematian raja Vaust, pemimpin kerajaan Diamond.

        "Huh, kau tidak akan pernah menang melawanku raja Vaust. Setelah ini aku akan mengambil semua

isi kerajaanmu beserta semua selir dan permaisurimu." seringai Aiden jahat di depan raja Vaust. Pria tua yang cukup berumur itu kemudian meludah tepat di depan Aiden, hingga cairan kental berwarna merah yang keluar dari mulut raja Vaust mengotori jubah hitam yang dikenakan oleh Aiden.

        "Dasar kau raja menjijikan. Kau sengaja menyerang kerajaanku hanya untuk mengambil semua wanita di kerajaanku? Kau memang binatang. Kau ingin mengambil mereka semua demi memuaskan nafsu binatangmu saja bukan? Dasar pria menjijikan!" umpat Raja Vaust. Seketika wajah Aiden menjadi merah padam karena ia tidak terima dengan jenis penghinaan yang sangat kasar seperti itu. Namun, secepat kilat ia segera mengendalikan emosinya, dan ia justru menunjukan smirk mengerikannya pada raja Vaust. Smirk itu benar-benar mengerikan, hingga rasa Vaust tanpa sadar telah bergidik ketakutan di dalam cengkeraman Aiden.

        "Hmm, sebenarnya aku mengambil mereka semua bukan untuk memuaskan nafsu birahiku. Tapi, lebih kepada nafsu membunuhku. Mereka semua akan kubunuh satu persatu dengan siksaan yang begitu kejam, hingga mereka sendiri yang akan memohon kematiaannya padaku. Dan untuk permulaan, aku akan membunuhmu terlebih dahulu raja Vaust."

Sring!

Srak

        Dengan sekali tebasan, kepala raja Vaust langsung terlempar begitu saja ke tanah dengan tubuh yang sudah jatuh, merosot, terinjak oleh kuda yang dinaiki oleh Aiden. Seketika seluruh prajurit Khronos segera meluluhlantahkan seluruh prajurit kerajaan Diamond karena sekarang raja mereka telah mati. Aiden tampak tersenyum miring melihat jasad pria kurus yang kini sedang diinjak oleh kuda kesayangannya. Padahal

beberapa jam yang lalu raja itu tampak sombong dan penuh keyakinan ketika akan menghadapi serangan dari kerajaannya. Namun, ternyata kesombongannya tak berselang lama, kini kesombongan itu telah lenyap, ikut bersama jiwa mengenaskan raja Vaust yang terbang ke neraka.

-00-

        Setelah semua prajuritnya berhasil mengalahkan prajurit kerajaan Diamond, Aiden segera memerintahkan mereka untuk masuk ke dalam istana raja Vaust dan mengambil seluruh harta kerajaan yang tersisa.

        "Spencer, bawa semua wanita itu ke aula istana. Aku ingin melihat mereka satu persatu." Perintah Aiden tegas pada pengawal setianya, Spencer Grunt.

        Setelah mendapatkan perintah dari rajanya, Spencer segera bergegas untuk masuk ke dalam istana para wanita yang berada di sayap kanan. Ketika Spencer tiba di sana, seluruh pintu kastil tampak dijaga oleh prajurit kerajaan Diamond. Namun, semua pengawal itu bukan masalah besar bagi Spencer. Karena pengawal-pengawal itu hanyalah pengawal kelas rendahan yang sengaja ditempatkan di istana para wanita karena mereka tidak memenuhi syarat untuk berangkat ke medan perang.

        Setelah berhasil mengatasi para prajurit kelas rendahan itu Spencer dan beberapa prajurit Khronos yang lain mulai menyeret putri-putri kerajaan Diamond untuk dibawa kehadapan raja mereka yang agung, raja Aiden Altair. Putri-putri tersebut tampak meronta-ronta dan berusaha memberontak. Namun, sayangnya mereka semua hanyalah makhluk-makhluk lemah yang tidak akan bisa mengalahkan kekuatan para kaum pria yang sangat kuat itu. Apalagi bangsa Khronos adalah bangsa yang terkenal kuat dan kejam. Diantara ketiga kerajaan besar yang memimpin seluruh muka bumi, yaitu kerajaan Khronos, kerajaan Kairos, dan kerajaan Hora, kerajaan Khronos lah memiliki sumber daya manusia yang lebih kuat dan lebih baik. Oleh karena itu kerajaan Khronos begitu makmur dan juga sangat disegani oleh kerajaan-kerajaan yang lain. Selain itu, kerajaan Khronos juga memiliki seorang raja yang sangat kejam dan terkenal senang berperang. Sejak sepuluh tahun terakhir, kerajaan Khronos telah meluluhlantahkan sembilan kerajaan besar yang berada di bawah naungan kerajaan Hora dan Kairos beserta kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi sekutu dari kerajaan-kerajaan besar tersebut. Bahkan, kerajaan Kairos benar-benar telah hancur dan tak tersisa. Namun, menurut kabar yang beredar, raja dan ratu dari kerajaan Kairos telah menyembunyikan kesepuluh anaknya ke kerajaan lain agar raja kerajaan Khronos, raja Aiden, tidak dapat

menemukan salah satu putri mereka yang memiliki kemampuan istimewa. Sayangnya hal itu justru membuat Aiden semakin marah, dan menjadi lebih bernafsu untuk mengibarkan bendera peperangan dimana-mana. Dan sebenarnya tujuan dari perang tersebut adalah untuk menemukan salah satu putri dari raja Kairos yang memiliki

kekuatan istimewa. Sayangnya, meskipun Aiden telah membantai semua kerajaan yang menyembunyikan putri mahkota kerajaan Kairos secara kejam, mereka semua ternyata tidak menyembunyikan wanita yang dicarinya. Ia justru selalu mendapatkan putri biasa, yang menurut Aiden tidak berguna. Sehingga pada akhirnya putri-putri dari kerajaan Kairos pun mati satu persatu ditangan Aiden. Dan kali ini, Aiden sangat berharap jika ia dapat menemukan putri istimewa itu di kerajaan Diamond, karena ia sudah lelah melakukan pencarian yang sia-sia itu. Ia hanya ingin segera mematahkan kutukannya agar ia dapat hidup normal seperti manusia biasa, bukan seperti seorang iblis.

         "Spencer, apa kau sudah menemukan wanita yang kucari?" Tanya Aiden datar sambil mengamati wanita-wanita itu satu persatu. Lalu, ketika Aiden mulai membuka helm pelindung kepalanya, tatapan para wanita itu seketika berubah menjadi tatapan penuh memuja dan juga kekaguman. Mereka semua tampak tidak takut lagi pada Aiden. Mereka justru berlomba-lomba untuk menarik perhatian Aiden. Namun, Aiden sama sekali tak tertarik pada mereka dan justru memandang mereka dengan pandangan jijik yang mencemooh.

        "Yang Mulia, jika anda membutuhkan seorang pendamping atau selir, hamba bersedia untuk menjadi pendamping atau selir anda Yang Mulia. Hamba tidak keberatan jika harus berebut cinta dan kasih sayang dengan selir anda yang lainnya Yang Mulia."

        Seorang putri dengan wajah dingin, namun menggoda dengan berani mengajukan dirinya untuk menjadi pemuas hasrat Aiden. Sesekali wanita itu tampak mendongakan kepalanya sambil memberikan tatapan menggoda pada Aiden. Raja muda itu kemudian berjalan mendekat ke arah putri pemberani tersebut sambil memberikan senyuman manisnya yang menipu."Jadi, kau bersedia untuk menjadi selirku?" tanya Aiden lembut sambil membelai pipi mulus wanita tersebut.

        "Saya bersedia Yang Mulia. Saya juga sangat ahli dalam urusan ranjang." jawab wanita itu lantang dengan suara mendesah yang menggoda. Aiden kemudian semakin mendekatkan wajahnya pada wanita itu dan mulai menghirup aroma mint kental yang menguar dari tubuh wanita itu.

        "Jadi, siapa namamu putri cantik?" tanya Aiden seduktif. Bibir tipisnya mulai memberikan ciuman yang menggoda disetiap inci wajah wanita berambut blonde itu, hingga ia terlihat begitu senang dan lemas disaat yang bersamaan.

        "Nama saya Jessica Yang Mulia, putri sulung dari raja Vaust." jawab Jessica lancar. Mendengar wanita itu menyebutkan namanya,  seketika cumbuan Aiden di wajah wanita itu menjadi terhenti. Ia mengamati wajah wanita itu sekilas, sebelum akhirnya ia menarik pedang miliknya untuk menebas leher jenjang Jessica yang putih.

Srink!!

        Para putri dan wanita-wanita kerajaan yang lain tampak bergetar ketakutan ketika mereka harus menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana saudara kandung mereka dibunuh dengan keji oleh raja tampan yang sangat kejam itu. Aiden pun langsung melemparkan tubuh tak bernyawa Jessica begitu saja ke atas lantai. Baginya membunuh beratus-ratus nyawa itu tidak masalah, asalkan ia dapat menyalurkan nafsu membunuhnya yang tak tertahankan itu.

        "Apa masih ada yang ingin menjadi pasanganku?" Tanya Aiden dingin dan menggelegar di tengah-tengah ruangan. Semua wanita itu menunduk ketakutan tanpa berani mendongakan kepalanya untuk menatap Aiden. Mereka semua tampak begitu ketakutan, setelah beberapa saat yang lalu mereka sempat terhanyut dalam pesona raja Aiden yang mematikan.

        "Hmm, rupanya kalian memang tidak berminat untuk menjadi pasanganku. Baiklah, kalau begitu aku akan memilihnya sendiri. Kau, turunkan pakaianmu!" Perintah Aiden tegas pada seorang wanita yang berdiri di barisan paling belakang. Tubuh wanita itu seketika menjadi kaku dan tak dapat digerakan. Ia begitu syok dengan apa yang baru saja didengarnya. Padahal sejak tadi ia telah berusaha untuk bersikap biasa agar tidak terlalu mencolok di hadapan raja kejam itu. Namun, rupanya iris merah itu berhasil menangkap gerak-geriknya yang justru terlihat lebih mencolok dibandingkan dengan yang lainnya. Dengan gerakan pelan, wanita itu mulai mengakat kedua tangannya yang bergetar untuk membuka kait gaunnya. Tatapan Aiden yang begitu mengintimidasi seolah-olah sedang menelanjanginya di depan seluruh warga istana yang berada di sana. Namun, ia mencoba untuk mengabaikannya dan tetap berusaha untuk membuka pengait gaunnya yang terasa sangat sulit untuk dibuka.

        Cukup lama Aiden menunggu, hingga akhirnya raja itu kehilangan kesabaran dan memutuskan untuk melepas sendiri pakaian yang dikenakan oleh wanita itu.

        "Dasar lambat! Kau telah membuang waktuku yang berharga dengan percuma. Singkirkan tanganmu dari sana! Aku yang akan membukanya sendiri." Dengan sekali tarikan, gaun itu langsung robek dan terjatuh begitu saja di atas lantai, menyisakan sebuah gaun tipis tanpa lengan yang dapat mengekspos setiap lekuk tubuh dari wanita itu. Tapi Aiden sama sekali tak peduli. Pria itu justru sibuk menelusuri kedua pundak wanita itu dengan gusar sambil membolak-balik tubuh wanita itu dengan kasar.

        "Dimana tanda itu? Kau sembunyikan dimana tanda jam pasir itu?" Bentak Aiden murka. Ia kemudian mencengkeram rambut panjang wanita itu dengan kuat sambil menariknya ke belakang, hingga wanita itu tampak merintih kesakitan sambil memohon ampun pada Aiden.

        "Aaa ampun Yang Mulia. Tolong lepaskan saya."

        "Tidak! Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau menjawab pertanyaanku putri Tiffany. Dimana kau

sembunyikan tanda jam pasir itu?" Tanya Aiden sekali lagi. Kali ini cengkeraman tangannya lebih kuat menarik rambut panjang Tiffany, hingga wanita itu kini terdongak dengan paksa di hadapan Aiden.

        "Sss saya, tidak memilikinya Yang Mulia. Tanda itu ada pada adik bungsu kami."

        "Adik bungsu? Jadi, kau bukan keturunan terakhir dari kerajaan Kairos?" Tanya Aiden penuh selidik. Tiffany menggelengkan kepalanya dengan susah payah sambil terus memohon ampun pada Aiden agar pria kejam itu segera melepaskan cengkeraman tangannya dari rambut hitamnya yang panjang.

        "Kami masih memiliki seorang adik bungsu Yang Mulia. Dan saat ini anda pasti sedang mencari Calistha, adik bungsu kami yang disembunyikan oleh ayah dan ibu di kerajaan Hora." terang Tiffany sambil menitikan air mata. Sungguh sebenarnya ia sangat berat untuk mengatakan hal itu, tapi ia tidak memiliki pilihan lain. Bertahun-tahun ia berusaha menyembunyikan fakta itu dari siapapun agar mereka tidak dapat menemukan keberadaan Calistha. Namun, sekarang ia sendiri yang mengatakannya pada iblis jahat itu. Dalam hati Tiffany terus meminta maaf pada Tuhan, ayah, ibu, serta kedelapan saudaranya yang lain, yang telah mati terlebihdahulu di tangan Aiden untuk menyelamatkan Calistha. Ia merasa begitu berdosa karena telah membeberkan rahasia besar kerajaannya pada iblis kejam seperti Aiden.

        Sebenarnya sepuluh tahun yang lalu, ibu mereka memang sengaja mengirimkan putri-putrinya ke kerajaan lain agar Aiden tidak bisa mengambil salah satu putrinya yang memiliki bakat istimewa. Kesembilan putrinya yang tidak memiliki bakat istimewa itu telah diberitahu oleh ibu mereka tentang bakat istimewa yang dimiliki oleh Calista. Namun, si anak bungsu yang memilik bakat istimewa tersebut justru dibiarkan tidak mengetahui hal tersebut, karena ratu Kairos sangat mengkhawatirkan nasib putri bungsunya. Apalagi saat itu Calista masih berusa

tujuh tahun. Gadis sekecil itu pasti tidak akan paham dengan berbagai macam penjelasan aneh yang akan diberitahukan oleh ibunya. Akhirnya satu persatu putri-putri dari kerajaan Kairos dikirim ke kerajaan lain, yang merupakan kerajaan sekutu dari kerajaan Kairos. Dan pada saat Aiden tiba di kerajaan Kairos, semua putri itu telah menghilang, hingga membuat Aiden begitu marah dan memutuskan untuk menghancurkan seluruh kerajaan Kairos hingga tak tersisa sebutir debupun di sana. Raja dan ratu Kairos pun telah dibunuh oleh Aiden dengan pedangnya sendiri, tepat di atas singgasana mereka masing-masing. Dan setelah Aiden berhasil meluluhlantahkan kerajaan Kairos, Aiden mulai mencari, mencari, dan mencari kesepuluh keturunan Kairos yang disebar di berbagai kerajaan di seluruh penjuru bumi. Hari demi hari selalu dihabiskan oleh Aiden untuk berperang memerangi kerajaan-kerajaan yang lemah untuk mencari wanita yang ditakdirkan untuknya. Dan kini pencarian berhenti di kerajaan Diamond karena ia mendengar berita dari salah satu mata-matanya jika dulu ratu Kairos mengirimkan salah satu putrinya ke kerajaan ini untuk meminta perlindungan. Meskipun apa yang dikatakan oleh mata-mata itu benar, tapi Tiffany bukan wanita yang dicarinya selama ini. Wanita yang ditakdirkan untuk menjadi pasangannya adalah wanita yang memiliki tanda lahir berbentuk jam pasir dipundaknya. Dan setelah ia melihat pundak milik Tiffany dengan mata kepalanya sendiri, Aiden menjadi yakin jika Tiffany memang bukan wanita yang dicarinya. Ternyata ratu Kairos masih menyembunyikan satu putri bungsungnya di kerajaan Hora. Ia pastikan setelah ini, ia akan segera berangkat menuju kerajaan Hora untuk menjemput takdirnya. Bahkan, ia akan membawa seluruh pasukannya untuk mengepung tempat itu agar tidak ada seorangpun yang bisa membawa pergi pasangannya darinya.

        "Karena kau telah menunjukan sikap yang baik di hadapanku, maka kali ini kau akan kuampuni. Kau tidak akan kubunuh sekarang, tapi kau akan kujadikan sebagai jaminan. Jika kau kali ini menipuku, maka jangan harap kau akan mendapatkan kematian yang mudah. Bahkan kau akan menganggap kematian wanita murahan itu sebagai kematian yang lebih mudah daripada kematian yang akan kau terima, jadi jangan pernah coba-coba untuk menipuku." desis Aiden tenang dan datar, namun justru terdengar seperti nyanyian malaikat maut yang bersiap untuk mengambil nyawa Tiffany sekarang juga. Susah payah Tiffany mencoba mengumpulkan kekuatannya setelah

Aiden melepaskan cengkeraman pria itu dari kepalanya. Dengan sedikit limbung, Tiffany berusaha menyeimbangkan pijakan kakinya di atas lantai agar ia tidak jatuh terjerembam di atas lantai marmer kerajaan yang dingin.

        "Spencer, bereskan semua kekacauan ini. Umpankan mereka semua pada harimau-harimau peliharaanku. Kecuali Tiffany, kurung dia di penjara bawah tanah."

        Setelah meneriakan perintahnya, Aiden segera berjalan keluar dari istana Diamond yang mencekam itu dengan ekor jubahnya yang tampak menari-nari dengan indah mengikuti langkah arogannya yang mengerikan. Dibelakangnya, seluruh prajurtit telah bersiap dengan berbagai macam harta rampasan perang yang telah mereka kumpulkan dari bunker milik kerajaan Diamond. Setelah ini ia bersumpah akan menemukan pasangannya di kerajaan Hora. Apapun yang terjadi ia harus segera membawa takdirnya ke dalam pelukannya, sebelum kutukan itu semakin menggila dan semakin menghancurkannya dari dalam.

Khronos, Kairos, Hora (Two)

Seorang gadis dengan surai coklat panjangnya yang indah tampak sedang berlari memasuki sebuah kamar yang besar. Ketika ia memasuki kamar itu, sang pangeran tampak masih tertidur lelap di atas peraduannya yang nyaman sambil melipat kedua tangannya di atas kepala. Dengan lega, Calistha mulai berjalan mendekati pria itu untuk bersiap membangunkan pangeran tampan itu. Hari ini sebenarnya ia bangun kesiangan. Padahal ia adalah dayang utama di istana ini, dayang yang harus selalu siap memenuhi kebutuhan pangeran Max. Dan seperti pagi pagi biasanya, Calistha harus membangunkan pangeran Max pagi-pagi sekali, sebelum pangeran Max melalakukan rutinitas paginya. Namun, sayangnya hari ini Calistha bangun sedikit terlambat karena semalam ia harus membantu juru masak dapur untuk mengupas kentang. Sebenarnya sebagai dayang utama, Calistha tidak diharuskan untuk mengerjakan pekerjaan juru dapur atau pekerjaan yang lain. Ia hanya harus fokus pada pangeran dan seluruh kebutuhan pangeran. Tapi, Calistha adalah seorang gadis yang sangat ramah dan baik hati. Ia tidak akan tega ketika melihat orang lain dalam kesulitan. Apalagi semalam pekerjaannya telah selesai lebih awal, sehingga ia memutuskan untuk membantu juru dapur mengupas ratusan kentang yang akan dimasak pagi ini untuk menu sarapan keluarga kerajaan.

        "Pangeran, sudah saatnya anda untuk bangun." ucap Calistha pelan sambil menggoyang-goyangkan bahu Max. Namun, pria itu tampaknya masih enggan untuk membuka mata, ia hanya bergerak sedikit ke kanan untuk mencari posisi yang nyaman untuk kembali tidur.

        "Pangeran, raja akan marah jika anda masih tidur." Bisik Calista lagi di dekat Max. Padahal biasanya Max selalu mudah untuk dibangunkan. Bahkan hanya dengan sekali sentuhan lembut di pundaknya, pria itu akan langsung bangkit dari atas ranjangnya dan bergegas untuk membersihkan diri. Calisthapun mencoba membangunkan pangeran sekali lagi dengan membuka tirai keemasan itu lebar-lebar, hingga sinar matahari yang terik langsung menyorot wajah Max dengan ganas. Namun, pria itu tetap saja tidak mau membuka matanya dan justru kembali terlelap dengan nyaman di atas ranjangnya yang empuk dan nyaman.

        "Max, kenapa kau sulit sekali untuk dibangunkan hari ini! Kau menghambat pekerjaanku yang

lain." teriak Calistha kesal di sebelah Max sambil menyingkap selimut merah keemasan itu dengan kasar. Akhirnya ia kehabisan kesabaran juga. Biasanya Calistha akan menunjukan sikap tidak formalnya pada Max jika ia mulai kehabisan kesabaran dengan seluruh tingkah menyebalkan Max, atau disaat mereka sedang berdua saja di ruang baca. Selebihnya, Calistha selalu menggunakan bahasa formal pada Max. Namun, sebenarnya Max memang tidak suka jika Calistha harus menggunakan bahasa formal ketika di depannya, karena mereka berdua telah bersahabat sejak lama. Dulu Calistha memang diantarakan ke kerajaan Hora oleh kusir istana dengan membawa sebuah surat dari ratu Kairos. Kemudian saat Calistha berusia tujuh belas tahun, raja meminta Calistha untuk menjadi dayang

utama yang bertugas sebagai dayang pangeran Max agar keberadaan Calistha tidak langsung terendus oleh raja Aiden. Sesuai dengan surat yang diberikan oleh ratu Kairos, raja Hora harus selalu melindungi Calistha dari incaran raja Aiden. Namun, sebenarnya keputusan untuk menempatkan Calistha di sisi putranya adalah keputusan yang salah. Karena tanpa mereka sadari, kedekatan dua manusia berbeda jenis itu justru berubah menjadi sebuah perasaan emosional yang menarik satu sama lain untuk semakin mendekat. Terkadang Calistha merasakan jantungnya akan melompat keluar ketika ia melihat wajah Max dari jarak dekat. Apalagi ketika Max sedang tidur, Calistha selalu menyempatkan diri untuk mengagumi wajah Max selama beberapa menit sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membangunkan pangeran tampan itu. Dan karena hari ini ia sedikit kesiangan, maka ia tidak

bisa melakukan rutunitas paginya sebelum membangunkn pangeran Max. Namun, itu bukan masalah besar. Toh, ia masih bisa mengamati wajah Max disaat pria itu membuka mata. Lagipula, saat membuka matapun Max masih tetap terlihat tampan di mata Calistha.

        "Cal, kau mengganggu waktu tidurku." rrang Max malas sambil berguling pelan ke arah kiri. Pria itu terlihat sedang mencari posisi yang nyaman agar tidak terkena sorotan sinar matahari yang begitu menyilaukan matanya. Melihat sikap menyebalkan Max, Calista segera beralih ke sisi ranjang yang lain untuk menarik tangan Max agar pria itu segera berdiri. Sepuluh menit lagi pria itu harus melakukan latihan pedang dengan menteri perang, menteri Dannis. Ia tidak mau disalahkan oleh menteri tua itu karena ia dinilai tidak becus dalam mengurus pangeran.

        "Max, ayo bangunlah. Menteri Dannis akan memarahiku lagi jika kau terlambat mengikuti pelatihan berpedangnya. Kau tidak ingin membuatku bersedih bukan? Jadi cepatlah bangun!" teriak Calistha nyaring di sebelah telinga Max. Pria itu refleks langsung membungkam bibir Calistha dan langsung menarik tangan wanita itu

hingga jatuh tepat di atasnya.

        "Putri, kau sungguh berisik." bisik Max lembut di hadapan Calistha, hingga membuat pipi wanita itu langsung bersemu merah. Sejak awal Max memang mengetahui status Calistha yang sebenarnya. Dan pria itu terkadang senang memanggilnya tuan putri jika ia sedang ingin menggoda wanita cantik itu.

        "Max, lepaskan aku. Kau harus segera bersiap untuk berlatih pedang. Ah, kau tidak akan sempat untuk sarapan di bawah." desah Calistha frustasi. Jika Max tidak sempat sarapan bersama dengan raja dan ratu di meja makan, maka ia harus membungkus semua makanan itu agar Max dapat memakannya di ruang latihan pedang. Tapi, jika pria itu tetap bersikeras untuk menahannya seperti ini, maka pekerjaannya akan

semakin terganggu dan tidak akan selesai.

        "Aku tahu Cal, kau yang terlambat membangunkanku. Tapi, aku sudah mandi dan sudah rapi dengan pakaian kebesaranku, apa kau tidak memperhatikannya?"

        Sejenak Calistha tampak tertegun di dalam kungkungan Max sambil mengamati tubuh pria itu intens. Ternyata sejak tadi ia terlalu terburu-buru hingga ia tidak menyadari penampilan Max yang sudah rapi.

        "Maaf, aku tidak melihatnya. Sekarang bisa kau turunkan aku?" pinta Calistha lembut dengan senyum manisnya yang cantik. Sesaat Max merasa terpesona dengan senyuman cantik itu. Tapi, cepat-cepat ia mengalihkan perhatiannya dari wajah Calistha dan langsung menurunkan wanita itu dari atas ranjangnya. Sejak awal Max telah menyadari jika Calistha juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Tapi, ia tidak bisa menunjukan rasa cintanya pada Calistha, karena ia telah bertunangan dengan putri Victoria. Entah mengapa sejak awal ayahnya tidak tertarik untuk menjodohkannya dengan Calistha, dan justru menjodohkannya dengan putri dari

kerajaan lain, padahal di dalam kerajaannya sendiri terdapat seorang putri cantik yang sama berharganya dengan Victoria. Tapi, jika suatu saat ia memiliki kesempatan, ia ingin sekali menjadika Calistha sebagai isterinya, isteri yang sesungguhnya, bukan selirnya.

        "Tunggulah aku di meja makan, aku akan segera turun." perintah Max datar pada Calistha tanpa

menoleh sedikitpun pada wanita itu. Setelah mendengar kalimat perintah Max yang cukup jelas Calistha segera membungkuk hormat pada Max, dan pergi meninggalkan pangeran tampan itu sendiri di dalam kamarnya yang besar.

-00-

        Di meja makan, suasana tampak begitu ramai. Hari ini tunangan pangeran Max, putri Victoria, beserta dengan kedua orangtuanya datang berkunjung untuk membicarakan mengenai tanggal pernikahan putra putri mereka. Calistha yang melihat hal itu menjadi tidak bersemangat dan semakin lesu. Sekian lama ia memendam perasaan pada Max, tapi pria itu tidak pernah sedikitpun membalas perasaannya dan justru akan menikah dengan wanita lain. Padahal ia sendiri merupakan seorang putri, tapi raja Hora tidak pernah sedikitpun memintanya untuk menjadi pendamping putranya. Raja itu justru menyuruhnya menjadi seorang pelayan demi melindunginya dari raja iblis, Aiden Altair. Tiba-tiba seluruh bulu kuduk Calistha meremang merinding ketika ia membayangkan sosok raja kejam itu. Sebagai seorang putri, ia tentu tahu siapa itu raja Aiden Altair. Dulu ketika ia berusia sepuluh tahun, gurunya pernah menceritakannya mengenai kekejaman raja dari kerajaan Khronos itu. Menurut gurunya, raja Aiden menjadi seperti itu karena ia mendapatkan kutukan dari salah satu musuh mendiang ayahnya. Calistha kemudian kembali mengingat bagaimana kisah menyedihkan raja Aiden yang diceritakan gurunya dulu. Jadi, sebenarnya

raja Aiden menjadi sosok yang sangat kasar dan kejam seperti itu, karena kedua orangtuanya dibunuh oleh salah satu raja yang merupakan sekutu dari kerajaan Khronos sendiri. Bisa dikatakan jika raja Khronos dulu telah dikianati oleh salah satu kerajaan sekutunya. Selain pengkhianatan, raja tersebut rupanya juga telah memberikan kutukan pada keturunan raja Khronos agar keturunan itu nantinya yang akan menghancurkan kerajaannya sendiri. Namun, ternyata kutukan itu tidak menyebabkan kerajaan Khronos hancur, justru kutukan itu menyebabkan

raja Aiden menjadi sosok pria yang memiliki nafsu membunuh yang begitu kental dalam dirinya. Dan apabila raja itu tidak menyalurkan hasrat membunuhnya, maka seluruh tubuhnya akan terasa remuk dan sakit. Membayangkan sosok raja Aiden yang kejam membuat Calistha menjadi marah. Ia tahu jika bertahun-tahun yang lalu raja Aiden juga datang ke kerajaannya dan memporak-porandakan seluruh kerajaan milik ayah dan ibunya. Lalu setelah berhasil meluluhlantahkan kerajaanya, raja iblis itu juga membunuh kedua orangtuanya dengan sangat kejam. Sayangnya saat itu ia masih terlalu kecil untuk memahami semuanya, sehingga ia tidak bisa berbuat apapun selain pergi dari istana itu bersama kusir kerajaanya menuju kerajaan Hora.

        "Calistha, dimana pangeran Max berada?"

        Calistha langsung berjengit kaget sambil menundukan kepalanya takut. Sungguh ia sangat malu sekarang, karena ia baru saja ketahaun sedang melamun oleh raja Hora. Putri Victoria juga tampak menatap Calistha dalam, menunggu wanita itu untuk menjawab pertanyaan dari calon mertuanya. Sejak awal Victoria memang tidak begitu menyukai Calistha. Alasannya tentu saja karena Calistha adalah dayang pribadi tunangannya dan juga satu-satunya wanita yang begitu dekat dengan tunangannya selain Yang Mulia ratu, sehingga Victoria terkadang bersikap begitu sinis pada Calistha untuk mengintimidasi wanita itu. Namun, biasanya Calistha akan berpura-pura mengabaikannya dengan bersikap biasa saja di depan Victoria.

        "Maaf Yang Mulia, pangeran Max sedang bersiap di kamarnya." jawab Calistha apa adanya sambil

tetap menundukan kepalanya. Raja Hora mengamati Calistha sejenak, kemudian ia kembali beralih pada Victoria yang tampak sangat ingin bertemu dengan putranya.

        "Victoria, jika kau ingin bertemu dengan putraku, kau bisa menemuinya di kamarnya."

        "Tidak perlu ayah. Aku sudah hadir di sini."

        Tiba-tiba Max datang dengan jubah kebesarannya yang berwarna hijau zamrud. Jubah itu begitu pas membalut tubuh tegap Max, hingga kedua wanita muda yang berada di meja makan tampak begitu terpesona dengan penampilan Max yang sangat tampan. Namun, Calistha cepat-cepat memalingkan wajahnya ke arah lain dan bersiap untuk menyiapkan kursi untuk Max.

        "Biar aku saja. Kau makanlah di belakang." ucap Max lembut pada Calistha ketika ia akan menarikan sebuah kursi untuk Max. Melihat itu, Victoria menjadi sangat cemburu dan begitu membenci Calistha. Sejak awal ia bertunangan dengan Max, ia sudah dapat merasakan adanya benih-benih cinta yang muncul diantara mereka. Namun, Max begitu pintar dalam menyembunyikan rasa sukanya pada Calistha, sehingga Victoria tidak pernah memiliki bukti untuk mengusir Calistha dari sisi Max. Setidaknya jika raja tahu jika Calistha menyukai putranya, raja Hora akan langsung menurunkan kedudukan Calistha menjadi dayang kelas rendahan atau menjadi pelayan biasa.

        "Max, apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Victoria lembut dengan gaya anggun seorang putri. Max tersenyum singkat pada Victoria dan menggelengkan kepalanya perlahan sambil mengangkat piringnya tinggi-tinggi ke arah Victoria.

        "Tidak perlu, Calistha sudah menyiapkan makanan favoritku."

        "Kalau begitu, apa kau ingin mencicipi minuman anggur ini? Ini adalah anggur terbaik dari kerajaan kami. Kau pasti akan suka saat meminumnya." ucap Victoria lagi tidak mau menyerah. Ia harus bisa mengambil hati calon suaminya sebelum Max jatuh ke tangan Calistha.

        "Anggur? Sepertinya tidak. Aku lebih suka meminum segelas susu madu buatan Calista saat sarapan di pagi hari. Lagipula, anggur di pagi hari tidak bagus untuk kesehatan." balas Max sopan, namun berhasil membuat suasana hati Victoria menjadi memburuk. Wanita itu kemudian melanjutkan kembali acara makannya yang tertunda sambil bersumpah dalam hati, bahwa ia tidak akan kalah dari Calistha, apapun yang terjadi. Bahkan, jika perlu, ia akan menyingkirkan Calistha selama-lamanya dari kerajaan Hora jika wanita itu sudah berbuat melebihi batas.

        "Calistha, hidupmu di kerajaan ini tidak akan lama lagi." Batin Victoria kesal.

-00-

        "Spencer! Kemari kau."

        Aiden memanggil Spencer dengan keras dari dalam kamarnya sambil menyesap segelas anggur merah dengan nikmat. Di hadapannya telah terbentang sebuah peta yang menunjukan posisi geografis kerajaan Hora yang begitu strategis untuk melakukan penyerangan. Rupanya raja kejam itu benar-benar akan melakukan penyerangan ke kerajaan Hora dalam waktu dekat. Bahkan, beberapa jam yang lalu ia sudah membicarakan rencana penyerangan ini pada menteri perang. Dan menurut menteri perang, seluruh prajurit Khronos akan siap untuk berperang tiga hari lagi.

        "Yang Mulia memanggil saya?" tanya Spencer hormat sambil bersimpuh di depan Aiden. Pria kejam itu kemudian memberikan kode pada Spencer agar pria itu mendudukan dirinya di atas kursi di sebelahnya.

        "Duduklah, aku ingin membicarakan masalah kerajaan Hora dan Calistha." ucap Aiden dingin. Dengan patuh Spencer langsung duduk di sebelah Aiden sambil mengamati setiap sudut kerajaan Hora melalui peta yang dibentangkan oleh rajanya di atas meja.

        "Ada apa Yang Mulia? Apakah anda ingin mempercepat penyerangan?"

        "Tidak. Aku masih bisa menunggu untuk tiga hari kedepan. Lagipula, aku hanya ingin memberikan waktu pada wanita itu sebelum ia menjadi pendampingku di kerajaan Khronos."

        "Menunggu? Apa Yang Mulia yakin? Menurut salah satu mata-mata kita, saat ini putri Calistha sedang menyamar sebagai seorang dayang. Dan sepertinya putri Calistha juga memiliki hubungan khusus dengan pangeran Max. Apakah Yang Mulia tidak mengkhawatirkan hal itu? Maksud saya, putri Calistha telah mencintai pria lain. Akan lebih sulit bagi anda untuk membujuk putri Calistha agar bersedia menjadi pasangan anda Yang Mulia."

        Raja Aiden menoleh garang pada Spencer sambil membanting cangkir emasnya ke atas karpet dengan keras, menciptakan sebuah noda cipratan berwarna merah yang begitu mencolok di atas karpet yang berwarna keemasan.

        "Aku tidak peduli! Aku tidak perlu membujuknya untuk menjadi pasanganku, karena aku akan memaksanya. Dan jika ia berani menolakku, maka aku akan menggunakan wanita dari kerajaan Diamond itu sebagai ancaman. Bukankah mereka bersaudara? Aku yakin jika Calistha pasti tidak akan bisa menolak perintahku." geram Aiden marah. Spencer kemudian menunduk dalam di hadapan Aiden sambil menggumamkan kata maaf berkali-kali. Ia sungguh telah lancang karena berani mencampuri urusan Aiden yang seharusnya bukan menjadi urusannya. Tapi, sebenarnya ia mengucapkan hal itu karena ia merasa begitu khawatir pada rajanya. Bertahun-tahun ia hidup dan mengabdi pada Aiden, membuat Spencer menjadi begitu tahu dan mengenal kepribadian Aiden secara menyuluruh. Bahkan, mungkin Aiden tidak bisa mengenali dirinya sebaik Spencer. Oleh karena itu ia hanya ingin memperingatkan Aiden mengenai kemungkinan adanya pergolakan setelah pria itu berhasil mendapatkan Calistha nantinya. Karena menurut mata-matanya, Calistha adalah tipe wanita pemberani yang akan sangat sulit untuk dikalahkan. Wanita itu meskipun selalu menunjukan sikap lembut dan ramah saat berada di dalam istana, namun sebenarnya wanita itu adalah wanita yang sangat pemberani. Menurut mata-matanya, Calistha sering pergi diam-diam keluar dari istana saat malam hari untuk menemui sekelompok pemberontak yang berada di perbatasan kerajaan Hora untuk berlatih beladiri, karena di dalam kerajaan Hora, Calistha tidak diberi kesempatan untuk melakukannya.

        "Spencer, katakan pada menteri perang, jika waktu penyerangan dimajukan. Besok saat matahari tenggelam kita akan berangkat menuju kerajaan Hora."

        Tiba-tiba Aiden mengubah rencana penyerangannya setelah ia memikirkan lebih lanjut mengenai apa yang dikatakan oleh Spencer padanya. Ia memang tidak seharusnya mengulur-ulur waktu terlalu lama untuk menunggu Calistha. Putri itu sama sekali tidak pantas mendapatkan keistimewaan darinya. Oleh karena itu ia harus segera mencari Calistha dan membuat wanita itu menjadi istrinya agar wanita itu dapat menjadi penawar bagi kutukannya yang sangat mengerikan itu.

        "Baik Yang Mulia. Akan saya laksanakan."

        Spencer kemudian pamit undur diri dari hadapan rajanya sambil membungkuk dalam sebelum berjalan keluar dari tempat peraduan rajanya yang agung. Ia berharap, semoga penyerangan mereka kali ini akan membuahkan hasil yang benar-benar nyata, sesuai dengan apa yang selalu diinginkannya selama ini. Karena sejujurnya ia sangat lelah hidupnya. Lelah dengan semua peperangan yang memuakan ini. Ia hanya ingin hidup damai di tanah kelahirannya serta memiliki sebuah keluarga kecil yang bahagia. Meskipun ia tahu, jika keinginannya yang terakhir itu tidak akan pernah terjadi padanaya. Namun, setidaknya ia ingin harapannya yang pertama benar-benar terwujud agar dunia ini dapat kembali damai seperti dulu.

-00-

        Di kerajaan Hora, Calistha sedang melamun sendirian di taman istana sambil mengamati barisan bunga mawar yang begitu cantik dan indah, yang tertata dengan begitu apik di dalam rumah kaca. Setelah Max menyuruhnya untuk pergi, Calistha segera berjalan menuju kebun untuk menikmati indahnya bunga-bunga mawar yang sedang bermekaran di taman istana. Namun, sejak tadi pikirannya justru terus melayang pada Max.

Berkali-kali ia berusaha mengalihkan pikirannya dari Max, dengan membantu seorang tukang kebun untuk memetik bunga mawar, atau membanu tukang kebun yang lain untuk memetik buah beri di kebun istana, tapi tetap saja Calistha tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Max. Apalagi saat ini mereka semua sedang membicarakan rencana pernikahan pria idamannya dengan putri Victoria, pikirannya menjadi semakin tidak fokus dan terganggu. Ia kemudian menyandarkan punggungnya dengan frustasi pada sandaran kursi kayu yang sedang ia duduki. Andai saja raja Aiden tidak memporak-porandakan kerajaannya, pasti saat ini ia akan hidup dengan bahagia bersama keluarganya yang lain. Terkadang saat tengah malam ia begitu merindukan ibunya dan juga saudarinya yang lain. Sudah lama sekali ia tidak bertemu mereka dan hanya pernah berkirim surat dengan Tiffany, kakak perempuannya yang begitu perhatian padanya. Tapi, sudah lebih dari seminggu Tiffany tidak mengirimkan surat lagi padanya. Padahal ia begitu merindukan sosok Tiffany dan ingin berbagi keluh kesah dengan wanita itu. Calistha kemudian mengusap tengkuknya gamang sambil menghela napasnya pelan.

Pluk

Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang, membuat Calistha langsung menolehkan kepalanya dengan waspada.

        "Pangeran." ucap Calistha kaget. Ia refleks langsung berdiri dari duduknya sambil membungkuk pelan pada Max.

        "Apa pangeran membutuhkan sesuatu?"

         "Tidak. Aku sudah mencarimu sejak tadi. Sepertinya kau sedang memiliki masalah, ada apa?" tanya Max penuh perhatian. Calistha tampak mengalihkan pandangannya kearah lain dengan canggung. Sungguh ia merasa begitu gugup sekarang. Meskipun Max memang selalu memperhatikannya, tapi tetap saja ia selalu dibuat gugup dengan sikap Max yang sangat perhatian ini. Tapi, meskipun begitu ia tidak tahu, apakah Max benar-benar memperhatikannya sebagai seorang wanita atau hanya memperhatikannya karena ia adalah pelayan dari pria itu.

        "Aku.. baik-baik saja." jawab Calistha apa adanya, namun terdengar ragu. Max mengangkat alisnya bingung sambil mengelus kepala Calistha pelan, membuat Calistha merasakan sengatan listrik yang begitu besar mengalir dari puncak kepalanya, kemudian turun hingga berkumpul di kakinya, membuatnya merasa lemas dan ingin jatuh merosot di hadapan Max.

        "Sungguh aku tidak apa-apa. Apa kau hari ini tidak berlatih pedang?" tanya Calistha mengalihkan perhatian. Kali ini ia memutuskan untuk tidak menggunakan bahasa formal, karena ia hanya ingin mengenang masa kecilnya bersama Max yang penuh canda tawa tanpa dibatasi oleh status seperti saat ini.

        "Aku akan berlatih pedang sepuluh menit lagi. Apa kau ingin mencoba berlatih pedang bersamaku?"

        Calistha menggeleng pelan sambil tersenyum lembut pada Max. Selama ini, tanpa diketahui oleh Max dan anggota kerajaan yang lain, Calistha diam-diam sering menyelinap keluar dari dalam istana untuk berlatih pedang dan beladiri di hutan terlarang yang berada di perbatasan terluar kerajaan Hora. Biasanya ia akan keluar pada pukul dua belas tepat dengan berjalan kaki hingga rumah kakek pemilik kuda yang berada di ujung desa. Kemudian ia akan melanjutkan perjalanannya dengan kuda hitam milik kakek Errol. Meskipun apa yang ia lakukan selama ini cukup beresiko, tapi ia telah berhasil melakukan hal itu selama tiga tahun terakhir. Awalnya ia tidak pernah berpikir untuk melakukan perbuatan terlarang itu tanpa sepengetahuan Max ataupun seluruh penghuni kerajaan yang lain. Saat itu ia tanpa sengaja bertemu dengan Erika di pintu masuk hutan terlarang ketika wanita itu baru saja diserang oleh kucing hutan. Karena Erika terluka, akhirnya ia bersikeras untuk membantu Erika pulang ke rumahnya. Dan setelah ia masuk ke dalam hutan terlarang itu, Calistha menemukan banyak sekali penduduk desa yang tinggal di

dalam tenda-tenda kecil di sana. Rupanya mereka semua adalah para penduduk yang berasal dari berbagai kerajaan yang diserang oleh kerajaan Khronos. Bisa dikatakan jika semua penduduk yang tinggal di sana adalah penduduk-penduduk yang memiliki rasa benci yang begitu besar pada raja Aiden. Melihat bagaimana menyenangkannya kehidupan disana, Calistha kemudian meminta ijin pada Erika untuk mengunjungi wanita itu di sore hari, saat ia tidak memiliki pekerjaan untuk mengawal pangeran. Lalu, ketika ia melihat Erika dan teman-teman wanitanya yang lain sedang bermain pedang, Calistha menjadi semakin tertarik dan ingin bergabung bersama para wanita itu untuk berlatih pedang. Dan akhirnya Calistha menetapkan jadwal berlatih pedang dan beladirinya sendiri saat tengah malam, karena jika sore hari ia hanya memiliki waktu kosong satu jam, sehingga ia tidak mungkin berlatih beladiri dan seni pedang di sore hari.

        "Calistha." Calistha tampak mengerjap-erjapkan matanya berkali-kali sambil memandang Max dengan pandangan bingung. Sepertinya ia terlalu asik melamun hingga ia lupa jika saat ini ia sedang berbicara bersama Max di dalam kebun istana.

        "Kau sepertinya melamun." Ucap Max tampak kecewa.

        "Maaf." ucap Calistha pelan dan penuh sesal. Max kemudian mengusap kepala Calistha sekali lagi sambil berbisik pelan di telinga wanita itu jika ia baik-baik saja.

        "Sudahlah, masih ada banyak waktu untuk mengatakannya. Sekarang masuklah. Aku ingin segelas lemon dingin setelah selesai berlatih."

        "Baiklah, saya akan membuatkannya untuk anda. Selamat berlatih pangeran." ucap Calistha ringan sambil melambaikan tangannya ke arah Max. Pria itu tampak tersenyum sekilas kearah Calistha, sebelum ia berlari pergi menuju area berlatih pedang yang berada di dekat istana permaisuri.

         Dari kejauha, Victoria tampak menahan marah sambil mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat ke udara. Ia sungguh tidak suka dengan hubungan yang terjalin antara Calistha dan Max. Menurutnya Calistha sudah melebihi batas dan harus segera disingkirkan. Dengan licik Victoria mulai memikirkan bebagai macam rencana jahat yang dapat digunakannya untuk menyingkirkan Calistha dari sisi tunangannya selamanya.

        "Aku akan segera melenyapkanmu, Calistha!"

-00-

        Saat tengah malam, Calistha mulai bersiap untuk berangkat menuju hutan terlarang. Kemarin ia telah

berjanji pada Erika dan kawan-kawannya yang lain untuk berlatih pedang bersama dan juga menikmati segelas coklat panas buatan ibunda Erika yang sangat enak. Setelah ia memasukan seluruh perlengkapannya ke dalam tas kulit, Calistha segera berjalan mengendap-endap melalui pintu belakang istana yang biasanya tidak pernah dijaga oleh prajurit, karena pintu itu memang pintu khusus juru dapur yang biasanya digunakan oleh juru dapur untuk pergi ke pasar, karena memang letak pasar ada di belakang istana utama.

        Sambil menyusuri jalan setapak yang gelap dan dingin, Calistha mulai mengingat-ingat kejadian sore tadi ketika ia sedang mengantarkan minuman dingin pada Max selepas pria itu berlatih kuda. Ia hampir saja mati terinjak kaki Shine, kuda kesayangan Max karena Victoria yang tiba-tiba mengejutkannya dari belakang hingga minuman dingin yang ia bawa tumpah membasahi tubuh kuda coklat milik Max, dan membuat kuda itu meringkik terkejut dan langsung bergerak brutal hendak menginjaknya. Tapi, untung saja Max langsung sigap dan mengarahkan kudanya kearah lain, sehingga kaki-kaki Shine yang kuat itu tidak sempat menginjak tubuh Calistha

yang kecil dan rapuh itu. Tapi, ketika ia akan berjalan pergi untuk mengambil minuman yang baru, Victoria justru menatapnya sinis sambil berjalan dengan ponggah melewatinya.

        Sebagai seorang wanita, Calistha sangat tahu jika saat ini Victoria sedang cemburu padanya. Tapi, ia tidak bisa berbuat banyak karena ia sendiri juga memiliki perasaan lebih pada Max. Lagipula, hubungan antara dirinya dan Max memang mengharuskannya untuk selalu berada di dekat Max, sehingga Calistha benar-benar tidak bisa menjauhi Max untuk menjaga perasaan wanita itu.

        Tak terasa langkahnya sudah semakin dekat dengan rumah milik kakek Errol. Pria tua itu tampak sudah

menunggunya di luar kandang kudanya sambil melambaikan tangan keriputnya kearah Calistha. Ia pun menyambut dengan semangat lambaian tangan dari kakek errol, kemudian ia segera berlari kecil untuk mempercepa langkahnya agar segera tiba di depan kandang kuda milik kakek Errol yang bersih dan terawat itu.

        "Selamat malam, apa kudaku sudah siap?"

         "Tentu saja putri,

kuda anda sudah menunggu di dalam." balas kakek Errol dengan gelak tawa. Calistha menepuk bahu kakek Errol

pelan dan langsung melesat begitu saja memasuki kandang kuda milik kakek Errol yang bersih dan juga terawat. Disana ada empat kuda yang biasanya digunakan untuk membawa hasil kebun milik kakek Errol untuk ke pasar, termasuk kuda yang saat ini akan ia gunakan untuk mengunjungi Erika.

        "Kakek, aku pergi dulu. Terimakasih atas semuanya." pamit Calistha sopan pada kakek Errol sambil menuntun kudanya untuk keluar. Setelah itu ia segera menaiki kudanya dan langsung memacu kudanya dengan kencang, menembus jalanan hutan terlarang yang sudah dihafal oleh Calistha di luar kepala. Sepanjang perjalanan Calistha terus membayangkan bagaimana rasa coklat panas buatan ibu Erika yang begitu manis dan gurih. Ia merasa sudah tidak sabar untuk bertemu dengan teman-temannya yang lain dan juga penduduk desa itu. Selama ini mereka cenderung ramah pada Calistha dan langsung menerima keberadaan Calistha dengan tangan terbuka.

        Kuda yang ditumpangi Calistha terus melaju dengan kencang, hingga akhirnya Calistha telah sampai pada tenda milik tuan Nick yang berada sejauh seratus meter dari tenda penduduk yang lain, karena di sini tuan Nick bertugas sebagai penjaga, sehingga ia memang ditempatkan di tempat yang lebih jauh dari yang lainnya agar tuan Nick dapat memberikan peringatan bagi penduduk yang lain jika sekiranya ada suatu bahaya yang mengancam warga desanya.

        Setibanya di depan tenda milik tuan Nick, Calistha langsung menghentikan kudanya dengan curiga

sambil menatap was-was pada sekitarnya. Saat ini tenda milik tuan Nick tampak rusak dengan sedikit tetesan darah yang tercecer di sekitar tenda. Calisthapun langsung memandang keadaan disekitarnya dengan lebih waspada sambil berpegangan pada tali pelana yang ia gunakan untuk mengatur laju kudanya.

        Sembari tetap berhati-hati, Calistha mulai berjalan pelan, masuk ke dalam hutan terlarang yang lebih dalam untuk mencari teman-temannya yang lain. Meskipun sejak tadi pikirannya terus memikirkan hal-hal buruk, tapi sebisa mungkin Calistha segera menyingkirkan pikiran-pikiran buruk itu dari dalam kepalanya. Samar-samar Calistha melihat adanya sebuah cahaya yang begitu terang dibalik semak belukar lebat yang ada di depannya. Wanita itu dengan nekat, mulai berjalan mendekat sambil menyibak semak belukar itu sedikit demi sedikt. Namun, apa yang dilihatnya saat ini berhasil membuat Calistha menjadi panik, hingga ia hanya mampu mematung di tempat tanpa berniat sedikitpun untuk segera pergi dari sana, menyelamatkan dirinya.

        "Ya Tuhan. Itu... Kerajaan Khronos." bisik Calistha parau pada dirinya sendiri.

The King Of Khronos (Three)

        Calistha terus membungkam mulutnya dengan rapat agar ia tidak membuat kegaduhan dibalik semak-semak yang saat ini menjadi tempat persembunyiaanya. Wanita itu terus mengamati gerak-gerik pasukan Khronos dengan ngeri. Dari kejauhan, ia dapat melihat seorang pria dengan wajah yang sangat angkuh sedang berdiri di atas kudanya yang gagah sambil mengamati pasukannya satu persatu. Dalam sekali tebak, Calistha dapat menyimpulkan jika pria itu adalah raja Aiden, raja yang selama ini selalu menjadi buah bibir karena kekejamannya. Seketika darah Calistha menjadi mendidih mengingat betapa bengisnya pria itu selama ini. Pria itu dengan kejamnya telah memporak porandakan kerajaanya dan juga telah membunuh ayah ibunya, beserta seluruh saudarinya yang lain. Calistha mengepalkan tangannya kuat sambil meremas daun-daun kering yang ada di hadapannya hingga menimbulkan suara gemerisik yang nyaring. Tanpa diduga Aiden tiba-tiba telah berjalan mendekati semak-semak itu untuk melihat apa yang terjadi dibaliknya.  Semakin lama langkah Aiden semakin dekat ke arah semak-semak itu. Dan di tengah kekalutan batin yang sedang melanda Calistha, tiba-tiba seseorang menyergapnya dari belakang dan membungkam mulutnya dengan sebuah kain agar Calistha tidak dapat berteriak-teriak. Sekuat tenaga Calistha terus memberontak karena ia merasa dirinya sedang terancam. Namun, orang yang saat ini sedang membekapnya tampak terus menyeretnya dengan susah payah untuk bersembunyi dibalik sebatang pohon besar yang jaraknya cukup jauh dari semak-semak sebelumnya. Ketika dirasa telah cukup aman, wanita itu segera melepaskan Calistha dari cengkeramannya sambil berdiri dengan ponggah di hadapan Calistha. Namun, setelahnya wanita itu langsung tersenyum manis ke arah Calistha dan mengulurkan tangannya pada Calistha untuk membantu wanita cantik itu berdiri.

        "Gazelle!" pekik Calistha tak percaya. Wanita itu segera menghambur ke dalam pelukan Gazelle sambil memekik gembira.

        "Gazelle, dimana yang lainnya? Kenapa perkemahannya hancur?"

        Gazelle melepaskan pelukan Calistha dengan sedih sambil mendudukan dirinya di atas batu hitam yang sudah mulai lapuk. Sembari meluruskan kakinya yang pegal, Gazelle mulai menceritakan semuanya pada Calistha, semua hal mengerikan yang baru saja terjadi pada dirinya dan juga kaumnya yang lain.

        "Sebagian dari kami mati, dan yang berhasil selamat, mereka saat ini tengah bersembunyi. Bangsa Khronos, ia akan menyerang kerajaan Hora besok pagi. Mereka semua akan segera menghancurkan kerajaan damai ini." erang Gazelle frustrasi sambil menelungkupkan kepalanya di atas lututnya yang sedikit lecet. Calistha yang mendengarkan hal itu hanya mampu membungkam mulutnya tak percaya sambil memandang cemas pada kastil kerajaan Hora yang tampak terlihat samar-samar dari tempatnya berdiri. Seketika pikiran Calistha langsung tertuju pada Max. Jika besok pagi kerajaan Khronos akan menyerang kerajaan Hora, maka Max dalam bahaya.

        "Kenapa mereka datang ke kerajaan Hora? Lalu, bagaimana dengan Erika, apa ia baik-baik saja?"

        "Erika berhasil kabur dari prajurit bangsa Khronos, tapi ia mengalami luka tusuk yang cukup

parah di perutnya. Saat ini aku hanya dapat berdoa semoga Erika dan yang lainnya baik-baik saja. Cals, kita harus melakukan sesuatu." ucap Gazelle penuh tekad sambil beranjak berdiri dari duduknya. Calistha kemudian berjalan mendekati Gazelle dan memberikan usapan lembut di bahu wanita itu.

        "Apa yang akan kita lakukan setelah ini? Aku harus memberitahu Max, bahwa kerajaan Khronos sedang bersiap untuk menyerang kerajaan ayahnya."

         "Baiklah. Aku akan mengantarmu menuju istana. Saat ini pangeran Max dan raja Hora sedang dalam bahaya. Kudengar raja Khronos sering mengambil seluruh wanita di kerajaan yang diserangnya untuk dibunuh dan disiksa. Apa kerajaan Hora memiliki wanita yang berharga di dalamnya, maksudku permaisuri, selir, dan para putri?" tanya Gazelle memperingatkan. Pikiran Calistha langsung melayang pada ibunda pangeran Max dan Victoria. Saat ini hanya dua wanita itu yang tinggal di dalam kerajaan Hora, karena raja tidak memiliki selir. Raja yang budiman itu tidak mau memiliki selir karena ia hanya mencintai ibunda ratu.

        “Ya, kerajaan Hora memilik dua orang wanita yang sangat berharga, ibunda ratu Hora dan Victoria, tuangan pangeran Max.”

        “Kita harus segera memperingatkan mereka agar mereka segera pergi dari istana untuk mengungsi, karena nyawa mereka tidak akan selamat jika kerajaan Khronos besok pagi menyerang kerajaan Hora.”

        Akhirnya mereka berdua mulai berjalan kaki menyusuri gelapnya hutan terlarang tanpa adanya pencahayaan sedikitpun. Sembari berjalan, pandangan mereka juga terus awas mengamati setiap pergerakan yang sekiranya terlihat mencurigakan bagi mereka. Tidak ada yang membuka pembicaraan apapun saat ini. Semuanya tampak serius dengan pikiran mereka masing-masing sambil membayangkan apa yang akan terjadi besok pada kerajaan tempat mereka tinggal.

-00-

        Aiden menyipitkan matanya curiga pada semak belukar yang tumbuh begitu lebat di depannya. Beberapa saat yang lalu semak itu tampak berisik dan bergoyang-goyang aneh. Ia kemudian kembali melangkah mendekat sambil mengacungkan pedangnya ke depan. Dengan sekali tebasan, semak-semak yang berada di depannya langsung terbelah begitu saja dan menampilkan sebuah sisi kosong yang gelap, namun memancarkan aura hangat. Aiden kemudian mencoba mengulurkan tangannya pada semak-semak itu untuk mengambil sebuah benda yang tampak berkilauan di sana. Sebuah kalung dengan bandul bulat berwarna perak berhasil didapatkan Aiden dan membuat pria itu mengernyit seketika. Di dalam bandul kalung itu terdapat ukiran khas yang hanya dimiliki oleh bangsa Kairos. Dengan senyum licik Aiden bisa menebak, siapa pemilik dari kalung perak berkilauan itu.

Wanita terakhir kerajaan Kairos.

        "Hmm, rupanya kau sudah tidak sabar untuk menunggu kehadiranku my queen." gumam Aiden pelan, namun berhasil membuat Spencer bergidik ngeri dengan aura yang dipancarkan oleh rajanya. Beberapa saat yang lalu, ia tidak sengaja melihat tuannya sedang berjalan dengan tenang menuju semak belukar. Pria itu kemudian memutuskan untuk mengikuti langkah kaki rajanya untuk berjaga-jaga jika kaum pemberontak itu masih bersembunyi di sana dan berniat untuk menyerang rajanya saat lengah. Namun, ternyata semak belukar itu kosong. Tidak ada siapapun di sana, kecuali sebuah kalung perak yang berbandul ukiran-ukiran rumit di permukaanya. Dan ketika rajanya itu mulai berbisik pada kalung perak itu, seluruh tubuh Spencer langsung merinding ngeri pada aura membunuh yang dipancarkan oleh Aiden.

         "Yang Mulia, tenda anda sudah didirikan. Anda sudah dapat beristirahat sekarang."

        "Aku akan ke sana nanti. Periksa persediaan makanan dan senjata perang kita. Aku menunggu laporanmu

lima belas menit lagi." ucap Aiden dingin tanpa menoleh sedikitpun kearah Spencer. Pria berseragam merah itu kemudian mengangguk pelan dan segera berjalan pergi meninggalkan Aiden untuk menjalankan perintah sang raja.

Sedangakn Aiden masih berdiri di tempatnya sambil terus mengamati kalung perak itu dengan seringaian licik. Diingatnya setiap aroma khas tercipta dari kalung perak itu, aroma manis menenangkan khas wanita bangsawan Kairos. Pria itu kemudian memasukan kalung itu di dalam saku jubahnya sambil menggumam pelan pada dirinya sendiri.

            "Calistha, kau akan menjadi milikku."

-00-

            Setibanya di istana, Calistha langsung melangkah terburu-buru menaiki tangga untuk membangunkan Max. Ia harus segera memberitahukan pada Max perihal penyerangan yang akan dilakukan kerajaan Khronos pada kerajaan Hora. Wanita itu terus berlari dan berlari hingga napasnya terengah-engah. Ia kemudian berjalan dengan langkah berisik menyusuri setiap lorong gelap yang berada di istana Hora. Di ujung lorong, Calistha dapat melihat sebuah pintu besar yang menjulang tinggi, tempat dimana Max sedang beristirahat. Wanita itu dengan tergesa langsung membuka pintu itu dengan brutal tanpa mengetuk pintu itu terlebihdahulu, hingga dua anak manusia

yang sedang berciuman di dalam sana langsung terlonjak kaget dan langsung memisahkan diri mereka masing masing karena kedatangan Calistha yang tiba-tiba.

        "Ppa pangeran, maafkan saya. Saya tidak tahu jika..."

        "Tidak Calistha, ini tidak seperti yang kau lihat. Aku tidak melakukan apapun dengan Victoria." jelas Max gelagapan sambil mencoba mendekati Calistha. Namun, Calistha justru semakin berjalan mundur untuk menjauhi Max. Seluruh hatinya kini terasa sakit dan perih. Ia tidak pernah menyangka jika ia akan melihat hal yang sangat menjijikan itu tepat di depan matanya. Seharusnya kerajaan Khronos tidak menyerang di waktu yang tidak tepat seperti ini, sehingga ia tidak perlu menyaksikan pemandangan yang sangat menyakitkan hari ini. Tapi, tidak! Ia tidak boleh mencampur adukan perasaanya dengan kepentingan kerajaan. Saat ini kerajaan Hora dan seluruh rakyat Hora sedang dalam bahaya. Ini bukan saatnya untuk menangis dan meratapi perasaanya yang bertepuk sebelah tangan. Dengan wajah mendongak, Calistha mencoba menatap mata Max dalam dan setelah itu ia mulai menyampaikan berita mengenai penyerangan kerajaan Khronos pada pangeran tampan itu.

        "Pangeran, kerajaan Hora dalam bahaya. Kerajaan Khronos akan menyerang kerajaan Hora esok pagi. Saya harap pangeran segera menyiapkan para prajurit untuk melawan prajurit kerajaan Khronos yang sangat kuat itu."

        "Cals, maafkan aku."

        Max tampak tak merespon ucapan Calistha mengenai penyerangan kerajaan Khronos. Pria itu justru terus menatapnya dengan tatapan bersalah dan kembali meminta maaf padanya. Di atas ranjang milik Max, Victoria masih terduduk di sana sambil memandang sebal pada Calistha dan Max. Wanita itu kemudian berjalan cepat menghampiri Calistha dan langsung mendorong bahu Calistha keras, hingga Calistha hampir terjungkal ke belakang dan membentur tembok. Untungnya Calistha berhasil menyeimbangkan tubuhnya dan langsung berdiri tegap di depan Victoria.

        "Maaf putri, sebaiknya anda segera bergegas untuk pergi dari kerajaan ini karena raja Aiden akan menangkap anda untuk disiksa dan dibunuh. Anda sebaiknya..."

        "Dasar wanita munafik! Kau hanya ingin mengambil perhatian Max dariku bukan? Kau jangan pernah berpura-pura baik di hadapanku, karena aku sama sekali tidak percaya dengan semua omong kosongmu! Dasar ******!"

PLAK

        Satu tamparan keras mendarat dengan mulus di pipi kanan Victoria. Wanita itu kemudian langsung beralih pada Max sambil menatap pria itu dengan pandangan tak percaya. Sedangkan Max justru menatapnya marah karena wanita kurang ajar itu telah berani mengucapkan kata-kata kasar pada wanita yang dicintainya.

        "Kau menamparku! Bahkan ayahku sendiri tidak pernah menamparku, tapi kau justru menamparku. Dasar laki laki brengsek! Aku membencimu. Aku tidak mau lagi menjadi tunanganmu."

        "Silahkan. Aku justru merasa senang jika kau tidak mau menjadi tunanganku, karena aku sudah muak dengan semua sikap manjamu yang sangat kelewatan itu."

        "Berhenti! Kalian berdua berhentilah. Ini bukan saatnya untuk bertengkar dan mengedepankan ego kalian masing-masing. Kerajaan Hora sedang dalam bahaya. Jika kau tidak mengambil tindakan sekarang, maka kerajaanmu akan segera musnah." teriak Calistha kesal tepat di depan Max. Bahkan, wanita itu sudah tidak menunjukan sikap hormatnya lagi pada Max karena ia sudah terlalu jengah dengan sikap Max yang justru kekanak-kanakan disaat nasib kerajaanya sedang di ujung tanduk. Pria itu kemudian menatap Calistha dalam sambil bergegas pergi untuk menyiapkan prajurit dan memanggil ayahnya.

        Sementara itu, Victoria justru tengah menatapnya dengan sinis sambil mengepalkan kedua tangannya di

belakang punggungnya. Ia merasa begitu kesal dan marah pada Calistha. Apalagi ia telah dipermalukan oleh Max di depan wanita rendahan itu hingga kini ia merasa begitu marah dan sangat malu. Andai saja wanita itu tidak membawa kabar buruk itu, maka Victoria bersumpah, ia akan langsung membunuh wanita itu sekarang juga, tepat di depan Max. Tapi, sayangnya ia tidak bisa melakukannya sekarang. Apa yang dikatakan oleh Calistha sebelumnya tentang kerajaan Khronos yang datang untuk menyerang kerajaan Hora dan akan mengambil seluruh bangsawan wanita di istana ini lebih mengerikan daripada apapun. Ia sudah lama mendengar cerita yang sering beredar di kalangan kerajaan, jika kerajaan Khronos memiliki seorang pemimpin yang begitu keji dan haus akan darah. Banyak cerita dari kerajaan-kerajaan yang telah diserang oleh kerajaan Khronos mengatakan jika putri-putri kerajaan maupun selir dari kerajaan yang diserang tidak akan pernah kembali lagi setelah dibawa pergi oleh raja Aiden ke istananya. Kebanyakan dari mereka mengatakan jika bangsawan-bangsawan kerajaan itu telah dibunuh dan dijadikan santapan hewan peliharaan raja bengis itu. Membayangkan jika ia akan dijadikan santapan hewan buas membuat Victoria bergidik ngeri dan langsung berjalan begitu saja meninggalkan Calistha untuk bersiap-siap. Malam ini ia harus kembali ke kerajaanya, apapun yang terjadi. Ia tidak mau berakhir mengenaskan di kerajaan ini. Apalagi Max dengan terang-terangan telah menolaknya dan lebih memilih dayangnya yang memuakan itu.

        "Putri Victoria, maafkan saya." ucap Calistha tiba-tiba menghentikan langkah Victoria yang telah mendekati pintu kayu besar yang menjulan di depan kamar Max. Wanita angkuh itu kemudian menoleh sekilas pada Calistha sambil tersenyum sinis pada wanita cantik itu.

        "Huh, lupakan saja. Anggap semua ini tidak pernah terjadi." balas Victoria dingin sebelum ia berjalan pergi meninggalkan Calistha sendiri. Sebagai seorang wanita ia dapat merasakan bagaimana sakitnya perasaan Victoria saat ia ditampar oleh tunangannya sendiri. Tapi, dengan cepat Calistha segera melupakan kejadian itu dan segera berjalan turun untuk menyusul Max. Sebagai dayang kepercayaan Max, ia harus selalu mendampingi pria itu apapun yang terjadi, meskipun nyawa menjadi taruhannya sekalipun.

-00-

        Pagi telah menjelang. Seluruh prajurit kerajaan Hora tampak telah bersiap untuk menghadapi serangan

dari kerajaan Khronos. Sejak tadi raja Hora terus berjalan mondar-mandir kesana kemari dengan cemas sambil memikirkan nasib kerajaa Hora nantinya. Ini adalah peperangan yang paling mengkhawatirkan dalam hidupnya. Selama ini ia selalu melawan kerajaan-kerajaan kecil yang sangat mudah untuk ditaklukan. Namun, saat ini ia harus berhadapan dengan kerajaan Khronos yang terkenal akan keberingasannya dalam berperang. Sejak semalam saat Max tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya untuk memberitahukan berita mengejutkan ini, raja langsung bergerak cepat dengan memerintahkan seluruh pasukannya untuk bersiap. Para prajurit kemudian mempersiapkan senjata serta baju zirah mereka yang akan digunakan untuk bertempur dengan kerajaan Khronos. Ratu Hora pun berkali-kali menangis di dalam pelukan suaminya seakan-akan setelah ini hidupnya akan segera berakhir. Bahkan ratu juga telah meminta maaf pada seluruh warga kerajaan atas segala kesalahannya selama ini. Melihat hal itu, Calistha menjadi semakin sedih dan merasa dadanya sesak. Ia tak henti-hentinya meremas-remas kedua tangannya untuk menyingkirkan kegugupan dan kekalutan yang saat ini tengah melandanya.

        "Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja." ucap Max lembut untuk menenangkan Calistha. Para prajurit dan dayang yang melewati mereka hanya mampu menatap sedih mereka berdua. Mereka semua tampak tidak mau ikut campur dan lebih memilih untuk membiarkan dua manusia itu saling berbagi kehangatan sebelum seluruh kerajaan

ini hancur. Raja dan ratu pun yang melihat putranya sedang memeluk Calistha dengan penuh perasaan hanya mampu tersenyum getir satu sama lain. Sejak awal sebenarnya mereka telah mengetahui semuanya. Tentang perasaan Calistha maupun perasaan putranya yang telah berkembang menjadi sebuah perasaan cinta yang rumit. Tapi, raja tidak bisa membiarkan putranya bersatu dengan Calistha, karena wanita itu membawa ramalan yang buruk. Ketika Calistha berusia tujuh belas tahun seorang cenayang yang terdampar di kerajaan Hora mengatakan jika Calistha adalah putri yang terpilih, namun ia tidak bisa menentukan takdirnya sendiri karena sang penguasa telah menentukan takdirnya untuk Calistha. Barang siapa yang melanggar takdir dari sang penguasa dan mencintai Calistha, maka pria itu akan menanggung akibat yang sangat buruk. Awalnya raja tidak percaya dengan

ucapan dari cenayang itu. Namun, ketika perasaan Calistha dan Max semakin berkembang menjadi besar, sesuatu yang buruk tiba-tiba terjadi di kerajaan Hora. Dalam satu bulan penuh, kerajaan Hora mengalami kemarau panjang dan terserang berbagai macam wabah penyakit yang mematikan. Raja kemudian segera mengambil tindakan dengan cepat-cepat memisahkan Calistha dengan Max, lalu membuat wanita itu terus disibukan dengan berbagai macam pekerjaan istana, sehingga Calistha tidak akan sempat untuk memikirkan perasaan cintanya pada Max. Setelah itu semua wabah penyakit dan musim kemarau berkepanjangan yang terjadi di kerajaan Hora seketika berhenti dan berangsur-angsur kembali ke keadaan semula. Sejak saat itu raja dan ratu mulai mempercayai perkataan dari cenayang itu dan selalu berusaha memisahkan Calistha dan Max jika kedua anak manusia itu mulai dekat satu sama lain lagi. Meskipun sebenarnya mereka merasa iba pada Max maupun Calistha, tapi mereka berdua tidak memiliki pilihan lain lagi selain mengikuti saran dari cenayang itu untuk memisahkan Max dan Calistha.

        "Max, sudah saatnya kita berangkat ke medan perang." tegur ayahnya lembut sambil berjalan mendekati putranya. Max kemudian melepaskan pelukannya dari Calistha dan memberikan sebuah kecupan ringan di kening Calistha sebagai tanda perpisahan. Namun dalam hati Max terus berdoa agar Tuhan selalu melindungi dirinya dan Calistha agar kedepannya mereka dapat dipertemukan lagi dalam keadaan dan suasana yang lebih baik dari saat ini.

        "Hati-hati, kau harus pulang dengan selamat."

        "Pasti. Tunggu aku Cals. Aku pasti akan memenangkan peperangan ini." janji Max sungguh-sungguh. Tanpa diduga, raja langsung maju ke depan dan memeluk Calstha sambil berpesan pada wanita itu supaya ia menjaga ratunya selama ia pergi. Dan sebelum raja Hora pergi, pria itu berpesan agar Calistha sebaiknya membunuh ratu saja jika kerajaan Hora kalah saat bertempur dengan kerajaan Khronos karena ia tidak ingin tubuh isterinya menjadi santapan hewan-hewan buas peliharaan raja Khronos.

        "Tolong jaga ratuku, kau adalah satu-satunya wanita di kerajaan ini yang dapat kuandalkan untuk menjaga ratu. Jadi, kumohon lakukan yang terbaik untuk mempertahankan ratu dan martabat kerajaan."

        "Baik raja. Terimakasih banyak atas semua kabaikan anda selama ini." ucap Calistha pelan disertai dengan suara isakan yang menyayat hati. Raja kemudian mengangguk dan menepuk pundak Calistha pelan untuk menenangkan wanita itu.

        "Sampai jumpa."

        Kedua pria itu kemudian melangkah pergi dengan perasaan berat yang teris menggelayuti hati mereka.

Namun, sebisa mungkin mereka tidak menengok ke belakang lagi agar hati mereka tidak semakin hancur saat melihat Calistha dan ratu Hora yang sedang menitikan air mata untuk mereka. Saat ini mereka harus berjuang sekuat tenaga untuk membela kehormatan kerajaan dan juga membela seluruh rakyat kerajaan Hora yang berharga. Tak akan mereka biarkan kerajaan Khronos menginjak-injak tanah kelahiran mereka dengan seenaknya. Kali ini mereka akan benar-benar memperjuangkan tanah kelahiran mereka dengan taruhan nyawa dan darah mereka.

        "Sampai jumpa Calistha. Semoga Tuhan akan mempertemukan kita kembali." batin Max sedih sambil menggenggam ujung pedangnya kuat-kuat untuk menghalau perasaan getir yang bersemayam di hatinya yang kelabu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!