Seorang suster dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan seorang Dokter, raut wajahnya nampak tegang.
"Dokter!! Pasien dari ruang 301 sedang melakukan usaha bunuh diri di lantai paling atas rumah sakit ini! Cepat Dokter sebelum terlambat!!" seru sang perawat itu.
"Apa?? Bunuh diri?" tanya Dokter itu.
Dia adalah Dokter Dicky, berusia 27 tahun yang menjabat sebagai dokter anak di rumah sakit itu, kepala rumah sakit memintanya untuk merawat seorang pasien korban pemerkosaan.
Dua bulan setelah kejadian itu, ternyata di ketahui bahwa korban sedang mengandung, hal itu membuat Fitri, gadis korban pemerkosaan yang berusia 24 tahun semakin depresi dan trauma.
Dokter Dicky dengan tergesa-gesa segera naik ke lantai paling atas.
Fitri sudah berdiri di ujung gedung berlantai tujuh itu, semua orang di bawah sudah berkerumun menyaksikan momen percobaan bunuh diri itu.
Di lantai paling atas gedung juga sudah banyak orang yang berusaha mencegah tindakan wanita itu.
"Turunlah Neng, masa depanmu masih panjang, jangan bunuh diri! Eling Neng, bunuh diri itu sakit lho!" kata seorang kepala perawat yang terlihat senior, berusaha mencegah tindakan Fitri.
"Tidak!! Jangan ada yang mendekat! Aku sudah hancur! Aku tidak punya masa depan! Pergi kalian semua!" jerit Fitri histeris.
Beberapa orang yang berusaha mendekat kini mundur teratur.
Fitri mulai menapakan kakinya di batas ujung gedung itu.
Di bawah terlihat orang-orang yang mulai banyak berkerumun menyaksikan aksinya, di bawah juga beberapa orang sudah menyiapkan alat keselamatan jika Fitri terjun ke bawah.
Air mata gadis itu mulai mengalir, jiwa sosialnya, sifatnya yang ramah dan pemberani seolah luntur.
Kejadian pemerkosaan terhadap dirinya yang sadis menorehkan luka yang begitu dalam, tidak ada lagi senyum di wajahnya.
Terlebih setelah dia tau, ada benih yang tumbuh dari hasil pemerkosaan yang di lakukan oleh tiga orang yang tidak jelas siapa.
Hidupnya seolah telah hancur tak tersisa, harapan akan masa depan yang indah musnah seketika, menyisakan suatu trauma dan luka batin seumur hidupnya.
Tangisannya terdengar pilu dan menyayat hati.
Dokter Dicky yang belum lama tiba di lantai atas menghentikan langkahnya saat melihat Fitri yang menangis sambil berdiri di ujung lantai itu, selangkah lagi maka ia akan di pastikan jatuh dari lantai paling atas gedung itu.
"Fitri! Turunlah, jangan mengambil tindakan bodoh seperti itu!!" seru Dokter Dicky.
"Minggir Dok! Kau tau usah capek-capek mengurusiku! Aku ini hanya menjadi bebanmu! Aku tak punya harapan dan masa depan lagi, minggir!!" jerit Fitri.
"Siapa bilang kau tak punya harapan dan masa depan? Pikirkan perasaan orang tuamu, mereka sudah susah payah membesarkanmu, masa kau mau membuat mereka bersedih?!" tanya Dokter Dicky.
"Lebih baik membuat mereka bersedih dari pada membuat mereka malu!! Aku malu!! Aku kotor!! Aku tidak layak jadi anak mereka! Tidak akan ada laki-laki yang mau dengan wanita yang sudah ternoda seperti aku!!" Fitri perlahan berjalan makin ke ujung, semua orang yang menyaksikan menahan nafasnya.
Mereka semua sudah tidak bisa lagi mencegah Fitri dengan perkataan.
Wanita itu terlihat semakin depresi, harapan untuk hidup pun sudah tidak ada lagi di wajahnya. Tekadnya cuma satu, yaitu mengakhiri hidupnya.
Dokter Dicky kemudian maju selangkah mendekati Fitri.
"Siapa bilang tidak ada laki-laki yang mau denganmu?? Aku akan menikahimu!!" seru Dokter Dicky dengan lantang.
Fitri terlihat terkejut, orang-orang yang mendengarkannya pun tidak kalah kaget mendengar perkataan Dokter Dicky, seorang Dokter muda yang tampan dan di gandrungi anak-anak.
"Gila Dokter Dicky! Otaknya sedang tidak beres!" cetus Dokter Dimas, seorang Dokter ahli gigi.
"Menyelamatkan orang stress bukan begitu juga kali, masa sekelas Dokter Dicky mau menikahi wanita seperti itu!" timpal Dokter Nani, Ahli penyakit dalam.
"Bayi yang di kandung wanita itu sangat tidak jelas siapa ayahnya, bayangkan saja, di rudapaksa sekaligus tiga orang!" lanjut Dokter Mia, Dokter kandungan.
Fitri yang masih berdiri di pinggir lantai itu tertegun menatap Dokter Dicky, kakinya sedikit bergetar.
Dengan sigap Dokter Dicky maju dan menangkap Fitri, Kemudian Dokter Dicky langsung memeluk dan membawanya ke tengah lantai.
"Lepaskan!" seru Fitri yang tersadar sudah menjauh dari ujung lantai maut itu.
"Tidak! Mana mau aku melepaskan calon istriku!" sahut Dokter Dicky.
"Dokter bohong! Mana mungkin Dokter mau menikahiku! Aku tidak mau! Kau hanya berpura-pura untuk menyelamatkan ku!!" jerit Fitri histeris.
"Aku akan membuktikannya padamu!" bisik Dokter Dicky sambil menatap Fitri dengan tatapan hangat.
****
Readers yang baru membaca jangan lupa favoritkan ya ...
Baca juga karya author yang terbaru yang berjudul "Papi Untuk Mami"
Di tunggu dukungannya selalu 🥰🙏
Dokter Dicky masuk ke dalam ruangan Dokter Rizky, kepala rumah sakit. Dia langsung duduk di hadapan Dokter Rizky yang terlihat sudah senior.
"Aku dengar kemarin kau akan menikahi pasien korban pemerkosaan itu, benarkah?" tanya Dokter Rizky.
"Benar Dok!" sahut Dokter Dicky singkat.
"Apa keputusanmu itu sudah bulat? Bukan karena upaya untuk menyelamatkan dia? Apa yang mendasari mu untuk menikahi dia?" tanya Dokter Rizky lagi.
"Entahlah, aku juga tidak tau Dok, mungkin karena rasa belas kasihan, rencana siang ini saya akan membawanya pulang ke rumah!" jawab Dokter Dicky.
"Baiklah, keputusan ada di tanganmu Dokter, aku berharap keputusanmu ini tidak salah!" ucap Dokter Rizky.
"Mudah-mudahan Dok, kalau begitu saya mohon diri!" Dokter Dicky segera beranjak bangkit dan keluar dari ruangan itu.
Sebenarnya Dokter Dicky juga bingung, kenapa dia bisa mengatakan hal seperti itu, entah karena spontanitas atau karena apa, tapi yang jelas, dia ikhlas melakukan semua itu.
"Dokter! Fitri kembali memukul-mukul perutnya, saya sudah berusaha menenangkannya, tapi sepertinya dia sangat membenci janin yang ada dalam rahimnya itu!" kata seorang suster saat Dokter Dicky hendak masuk ke dalam ruang perawatan.
Dokter Dicky dengan cepat masuk ke dalam ruang perawatan itu.
Fitri nampak sedang memukul-mukul perutnya sendiri, terlihat dia kembali menangis, bayangan kejadian tragis itu terus menghantuinya.
"Fitri! Jangan pukul perutmu, kasihan janin yang tidak berdosa itu!" ucap Dicky lembut.
"Aku ingin dia mati! Aku benci dia!" seru Fitri. Dia kembali memukul-mukul perutnya.
"Ssst, siang ini kita pulang ke rumah ya, suasana rumah akan lebih nyaman untukmu!" ucap Dicky sambil merengkuh bahu Fitri.
Fitri mengangkat wajahnya, di tatapnya wajah Dokter yang tampan dan rupawan itu, sampai saat ini dia masih belum percaya, kalau laki-laki di hadapannya itu akan menikahinya.
"Kenapa kau begitu baik padaku Dokter! Kenapa kau membuang energimu hanya untuk mengurusi ku?" tanya Fitri dengan mata yang basah.
"Karena aku perduli padamu, besok kita akan menemui orang tuamu, aku akan melamarmu!" ucap Dicky.
"Aku tidak layak untukmu Dokter!" lirih Fitri. Air matanya kembali mengalir.
"Bukan kau yang menilai layak atau tidak layak, bersiaplah, aku akan membawamu pulang bersamaku!" ucap Dicky sambil mengelus rambut Fitri.
Kemudian Dicky segera keluar dari ruangan itu.
"Suster, tolong bantu Fitri untuk mengemas barang-barangnya, siang ini aku akan membawanya pulang!" titah Dicky.
"Baik Dokter!" jawab sang perawat itu.
Dokter Dicky kemudian berjalan menuju ke ruangannya sendiri.
"Dicky!" panggil seseorang dari belakang.
Dicky menghentikan langkahnya lalu menoleh kebelakang.
Dokter Mia, Dokter spesialis kandungan sudah berdiri sambil menatapnya sendu.
"Dicky, apa keputusanmu untuk menikahi Fitri sudah bulat?" tanya Mia.
"Ya, apa yang sudah aku katakan tidak mungkin aku menariknya lagi!" sahut Dicky.
Dokter Mia terdiam, sesungguhnya sudah sejak lama dia menyimpan rasa pada Dokter Dicky,
Dokter Dicky yang di kenal cuek dan dingin terhadap wanita kini telah mengambil keputusan yang begitu mengejutkan.
"Ta-tapi Dicky, dia itu wanita yang ..." Mia menghentikan ucapannya.
"Tidak akan ada yang mau menikahinya kalau bukan aku, dan aku berharap bahwa keputusanku ini tidak salah!" ucap Dicky yang kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Mia yang masih berdiri menatapnya.
****
Siang itu Dicky membawa Fitri pulang kerumahnya, rumah yang besar dengan taman bunga dan kolam ikan yang terlihat asri.
Perlahan Dicky membimbing Fitri untuk masuk ke dalam rumah besarnya itu.
"Kau akan aman di sini Fitri!" ucap Dicky.
Seorang wanita paruh baya keluar dari arah belakang rumah itu.
"Pak Dokter sudah pulang?" tanya Bi Sumi, seorang asisten rumah tangga.
"Sudah Bi, tolong siapkan kamar tamu untuk Fitri, mulai hari ini dia akan tinggal di sini!" kata Dicky.
Bi Sumi nampak mengerutkan keningnya.
"Tinggal di sini Pak?" tanya Bi Sumi bingung.
"Iya Bi, aku akan segera menikahinya, besok aku akan ke kampung Fitri untuk melamar, tolong layani dia ya Bi!" jawab Dicky.
"Baik Pak!" sahut Bi Sumi patuh.
Fitri kemudian di bawa Bi Sumi menuju ke kamar tamu, Fitri diam saja, pandangannya masih kosong, raut wajahnya masih menyiratkan kesedihan dan keputusasaan.
"Ini kamarnya Mbak, silahkan istirahat dulu, semua sprei dan selimut baru bibi ganti!" ujar Bi Sumi.
"Trimakasih!" sahut Fitri datar.
"Kalau begitu Bibi permisi dulu ya Mbak, mau menyiapkan makan siang!" kata Bi Sumi sambil beranjak meninggalkan kamar itu.
Fitri merebahkan tubuhnya di sebuah tempat tidur besar, kamar itu cukup luas, Fitri masih belum bisa meraba, bagaimana nasib masa depannya, apakah ini hanya mimpi di siang bolong.
"Aaaarrrghh!! tiba-tiba bayangan itu datang lagi.
Fitri berteriak histeris sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Dicky yang kaget langsung bergegas ke kamar Fitri. Dia langsung merengkuh bahu wanita itu, berusaha menenangkannya.
"Sssssh, tenanglah! Kau aman bersamaku!" bisik Dicky.
"Pergi kau!! Pergi! Jangan sentuh aku! Jangan dekati aku!!" jerit Fitri.
Bi Sumi yang melihat itu langsung terpana, sebelumnya Dicky tidak pernah membawa wanita manapun, kecuali Ranti, mantan kekasih Dicky yang kini sudah menikah dengan orang lain.
"Fitri, kau tenanglah, di sini tidak akan ada orang yang menjahatimu, kau percaya padaku kan?" bisik Dicky.
Fitri spontan langsung memeluk Dicky, raut wajah ketakutan masih terpampang jelas di wajahnya.
Dicky lalu membimbing Fitri ke tempat tidurnya dan mencoba membaringkan wanita itu.
"Kau istirahatlah Fitri, tenangkan pikiranmu, setelah ini kita akan makan sama-sama, tentunya kau sudah lapar bukan?" tanya Dicky.
Setelah di rasa tenang, Dicky kembali meninggalkan kamar itu.
"Kenapa wanita itu suka berteriak-teriak?" tanya Bi Sumi.
"Ada kejadian yang membuatnya trauma Bi, makanya dia perlu terus di awasi, sehingga dia tidak bertindak yang membahayakan!" jawab Dicky.
Drrrt ... Drrrt ... Drrt
Ponsel Dicky bergetar, dia lalu langsung mengusap layar ponselnya itu.
"Halo!"
"Halo Dokter, pelaku pemerkosaan itu sudah tertangkap, sekarang mereka ada di kantor polisi!" kata seseorang dari sebrang telepon.
"Baik, aku akan kesana, akan aku buat perhitungan pada mereka!" geram Dicky.
****
Dicky menatap 3 orang laki-laki di hadapannya, matanya merah menyiratkan kemarahan.
Tiga orang laki-laki yang berseragam warna oranye terlihat berdiri sambil menunduk.
"Laknat kalian semua!!"
Bugghh!!
Dicky memukul wajah ketiga orang itu bergantian, bahkan kini pukulannya terlihat membabi buta, kemarahan Dicky sudah tak terbendung lagi.
Seorang polisi datang menghampirinya untuk menenangkannya.
"Sabar Pak Dokter, walaupun anda memukulnya sampai pingsan, toh tidak akan mengembalikan keadaan seperti sedia kala!" sergah sang polisi itu.
"Mereka semua bahkan lebih rendah dari binatang!! Perbuatan mereka sangat keji dan biadab!! Hukuman penjara seumur hidup juga tidak akan sebanding dengan penderitaan lahir batin seorang wanita!!" dengus Dicky.
Setelah puas menghajar para pelaku pemerkosaan itu, seorang polisi lalu memasukan kembali mereka ke sel tahanan.
Dicky lalu kembali pulang kerumahnya, setelah dia memarkirkan mobilnya, dia bergegas masuk ke dalam rumah besarnya itu.
"Apa semua sudah siap Bi?" tanya Dicky saat melihat Bi Sumi yang sedang mengepel lantai.
"Sudah Pak, Mbak Fitri juga sudah siap dan berganti pakaian, tapi sepertinya dia tidak bawa persediaan pakaian Pak!" kata Bi Sumi.
"Iya Bi, semua pakaiannya ada di tempat kosnya yang lama, biarlah, nanti biar aku belikan saja yang baru!" ujar Dicky.
Dicky kemudian berjalan menuju kamar Fitri, wanita itu nampak duduk di tepi ranjangnya sambil membelakangi Dicky menghadap ke arah jendela luar, pandangannya menerawang dan nampak kosong.
Perlahan Dicky mendekati Fitri dan menyentuh bahunya lembut.
"Kau sudah siap Fitri?" tanya Dicky.
Fitri menganggukan kepalanya tanpa menoleh.
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang ya, aku hanya mendapat cuti tiga hari dari rumah sakit!" ucap Dicky.
Kemudian Dicky menuntun tangan Fitri keluar dari kamarnya, kemudian mereka berjalan menuju ke arah mobil.
"Titip rumah sebentar ya Bi, aku pergi hanya 3 harian!" kata Dicky.
"Iya Pak, hati-hati Pak Dokter!" sahut Bi Sumi.
Dicky segera membimbing Fitri naik ke mobilnya dan segera melajukannya menuju ke kampung halaman Fitri.
Alamat kampung halaman Fitri ada di KTP Fitri yang masih menggunakan alamat yang lama, Fitri selalu tidak menjawab jika Dicky menanyakan alamat orang tuanya di kampung.
Dicky sangat paham perasaan Fitri, dia pasti belum siap menghadapi kedua orang tuanya, apalagi dalam kondisi seperti sekarang ini.
"Dokter ... " panggil Fitri lirih saat mereka dalam perjalanan.
Dicky menoleh ke arah Fitri dan memperlambat laju kendaraannya.
"Ya Fitri ..."
"Jangan katakan pada orang tuaku kalau aku ..." Fitri menghentikan ucapannya, dia kembali menangis.
Dicky langsung menghentikan laju mobilnya dan menepi di pinggir jalan itu.
"Aku mengerti, aku tidak akan mengatakan apapun, kau tenang saja, aku datang adalah untuk melamar mu dan menikahi mu, itu saja!" ucap Dicky.
"Terimakasih ... Aku berhutang Budi padamu!" lirih Fitri, wajahnya nampak menunduk, menyimpan kepedihan yang amat dalam.
"Aku tak pernah menganggap apa yang aku lakukan sebagai hutang Budi, aku ikhlas melakukan ini, yang penting kau kembali ceria dan punya semangat hidup!" ujar Dicky.
"Kau yang membuat aku hidup untuk yang kedua kalinya Dokter!" ucap Fitri.
Dicky lalu menggenggam tangan Fitri. Hangat.
Ada desiran aneh di dada Fitri, namun dengan cepat dia menepiskannya, walau bagaimana Fitri merasa dia sangat tidak layak untuk Dicky, seorang laki-laki tampan dan baik hati yang nyaris sempurna itu.
"Nanti saat kau bertemu dengan orang tuamu dan kerabat mu, bersikaplah biasa terhadap mereka, jangan tunjukan kesedihanmu pada mereka, tunjukanlah kalau kau bahagia akan menikah denganku!" ucap Dicky.
"Baik!" sahut Fitri.
Dicky kemudian kembali melanjutkan perjalanannya, kampung halaman Fitri ada di daerah Jawa barat, tepatnya di daerah Sukabumi.
Di tengah perjalanan mereka, Dicky lalu berbelok arah ke sebuah mall yang cukup besar di kota itu.
Dia lalu membimbing Fitri ke sebuah toko pakaian.
"Kau pilihlah pakaian yang kau suka, juga pakaian dalamnya, aku tau pakaianmu terbatas, pilihlah beberapa, nanti di Jakarta aku akan membelikan lagi untukmu!" ucap Dicky.
"Tapi Dokter, kau terlalu berlebihan padaku, aku masih punya banyak baju di rumah orang tuaku!" sergah Fitri.
"Tidak Fitri, kau adalah calon istriku, wajar aku membelikannya untukmu, ayo pilihlah!" sahut Dicky.
Akhirnya Fitri tidak punya pilihan lain, dia mengambil beberapa potong pakaian beserta pakaian dalamnya.
Ada sedikit rasa malu di benak Fitri, Dicky memperlakukannya dengan sangat lembut, padahal Fitri tau dalam hati Dicky, belum ada rasa cinta untuknya.
Bagi Fitri cinta hanyalah impian belaka, cinta yang indah hanya ada di negri dongeng.
Setelah selesai berbelanja, mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka.
Saat hari menjelang sore, mereka baru tiba di kampung halaman Fitri, sebuah desa dengan hamparan sawah yang luas, yang berada persis di kaki gunung, dengan anak sungai yang mengalir dengan air berwarna jernih.
Dicky memarkirkan mobilnya di depan halaman rumah Fitri yang cukup luas itu.
Bu Eni dan Pak Karta, kedua orang tua Fitri, nampak keluar dari dalam rumah saat mendengar ada suara mobil yang terparkir di depan rumahnya.
Mereka nampak heran dan tertegun saat melihat Fitri pulang dengan membawa seseorang di hadapannya. Fitri berusaha memberikan senyuman untuk kedua orang tuanya.
"Fitri! Akhirnya kau pulang kampung juga Neng, Bapak dan Ibu hampir saja menyusul mu ke Jakarta!" seru Bu Eni sambil memeluk Fitri, begitu juga Pak Karta, dia juga nampak memeluk Fitri seolah meluapkan rasa rindunya.
Pandangan mata Bu Eni dan Pak Karta beralih kepada Dicky yang masih berdiri di belakang Fitri.
Dicky langsung beranjak menghampiri mereka dan menjabat tangan mereka.
"Saya Dicky, calon suami Fitri!" ujar Dicky memperkenalkan diri tanpa basa-basi.
Pak Karta dan Bu Eni terkejut dan saling berpandangan.
"Calon suami?" tanya Pak Karta.
"Jadi di Jakarta teh Fitri sudah punya pacar?" tambah Bu Eni.
"Saya datang kesini adalah untuk melamar Fitri, sekaligus menikahinya dengan segera!" ucap Dicky.
Pak Karta dan Bu Eni makin terkejut.
"Menikah? Kenapa harus terburu-buru? Kalau di kampung mah biasanya pasti ada persiapan dulu, masa mendadak begini?" tanya Bu Eni bingung.
"Ayo masuk dulu, kita mengobrol di dalam saja!" ajak Pak Karta.
Mereka lalu beranjak masuk ke dalam rumah itu.
Bu Eni lalu membuat minuman hangat untuk mereka, kemudian kembali duduk di ruang tamu itu.
"Sekarang coba jelaskan, kenapa kau ingin menikahi Fitri secepat itu? Kalian tidak melakukan hubungan yang terlarang kan?" tanya Pak Karta.
"Tidak Pak, justru saya ingin cepat menikahi Fitri supaya kami aman, lagi pula saya hanya mendapat cuti 3 hari dari rumah sakit, Oya, saya adalah seorang Dokter, dokter spesialis anak-anak!" ucap Dicky.
Pak Karta dan Bu Eni membulatkan matanya kaget.
"Dokter? Wah, beruntung sekali kau Fitri, di nikahi oleh seorang dokter, mana ganteng lagi! Kalau begini mah, nikah hari ini juga ibu setuju saja!" cetus Bu Eni sambil tersenyum bangga.
"Hush ibu!" sergah Pak Karta.
"Lah iya dong Pak, nanti sore mau kasih tau ibu-ibu arisan kalau calon menantuku itu dokter anak! Pasti mereka semua pada iri padaku!" ujar Bu Eni sambil tersenyum.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!