Senja selalu menerima langit apa adanya.
Hanya senja yang tau cara berpamitan dengan indah. Setidaknya mengajarkan kepada kita bahwa keindahan tak harus datang lebih awal.
Kenapa senja terdengar lebih romantis dari fajar? Karena sebuah perpisahan akan lebih mudah dikenang dari pada sebuah pertemuan.
Senja paham bahwa kita adalah sepasang insan yang merajut kisah namun belum bisa terselesaikan. Sebab senja lebih tau bagaimana cara permisi tanpa ada sedikit pun insan yang merasa tersakiti.
🌺
Tiga perempuan belia yang usianya hanya berseling sekitar dua tahunan, berlarian dibibir pantai dengan bahagianya. Becanda dengan ombak yang terus mendekati mereka, menyentuh lembutnya hamparan pasir, pantai tersebut sangat terjaga kebersihannya, jadi bisa dinikmati dengan nyaman oleh para pengunjung. Suasana pantai ramai karena musim liburan, tapi sore ini tampak agak lengang karena banyak para tamu yang bermain sedari pagi, jadi sorenya memilih untuk beristirahat. Para warga sekitar juga tidak banyak yang bermain ke pantai karena sedang ada hajatan di rumah sesepuh kampung.
Keluarga Pak Sanjaya sedang menikmati liburan akhir tahun didalam negeri saja untuk kali ini, biasanya mereka akan pergi keluar negeri selama dua minggu full, karena banyak kerjaan yang tidak bisa ditinggal lama oleh Pak Sanjaya dan kesehatan istrinya yang kurang baik selama dua bulan belakangan ini, membuat mereka memutuskan hanya berlibur disalah satu pulau dari Kepulauan Seribu. Mereka menginap di Resort yang merupakan salah satu gurita bisnis milik keluarga Pak Sanjaya.
Pak Sanjaya memiliki tiga orang putri, mereka saling menyayangi satu sama lain dan sangat kompak. Terkadang juga memakai baju yang sama untuk menunjukkan kekompakan mereka.
Secara medis, istri Pak Sanjaya tidak diketahui pasti penyakitnya. Sudah berupaya untuk melakukan pengobatan di Rumah Sakit ternama baik diluar dan didalam negeri, puluhan dokter sampe taraf profesor, dari pengobatan medis hingga alternatif, ga mampu mendeteksi dengan pasti penyakitnya. Berbagai alat canggih serta metode pengobatan paling mutakhir sudah dilakukan tapi ga ada perbaikan kondisi kesehatannya. Setahun yang lalu, istrinya Pak Sanjaya secara tiba-tiba kakinya ga bisa berjalan dan badannya gampang lelah tanpa ada sebab musabab. Bahkan bisa pingsan seketika tanpa diketahui juga penyebabnya.
"Lexa.. tolong dorongin Bunda keujung Dermaga disana ya, Bunda mau liat senja, keliatannya senja kali ini sangat berbeda" pinta Bundanya Lexa.
Lexa sang putri bungsu, anak kelas enam SD ini pun mendorong kursi roda secara perlahan diatas jembatan kayu menuju ujung Dermaga.
"Mau kemana Bun?" tanya Mba Flo, kakaknya Lexa, anak tertua Pak Sanjaya.
"Mau liat senja diujung Dermaga" jawab Bunda sambil menunjuk kearah tujuannya.
Lexa terus mendorong kearah ujung Dermaga dengan perlahan.
"Sebentar aja ya Bun... anginnya agak lumayan besar, nanti Bunda kedinginan malah tambah sakit" saran Lexa pelan.
Bunda mengangguk.
Pak Sanjaya menyusul begitu melihat Lexa mendorong Bundanya, Pak Sanjaya menemani istri dan putri bungsunya diujung Dermaga. Lexa mengunci roda kursi roda yang diduduki Bunda, Lexa duduk di jembatan sambil berpegangan dibatas Dermaga, Pak Sanjaya duduk disamping kursi roda istrinya. Mereka bertiga berbincang hal ringan disertai canda tawa, apalagi Lexa sebagai bungsu sangat manja, jadi sering jadi hiburan buat keluarga. Sesekali Lexa mengabadikan momen kebersamaan mereka bertiga di ponsel canggih milik Ayahnya.
"Inget ga Yah... dulu kita menikah dibibir pantai dalam suasana senja dan sepertinya semesta mendukung karena dikemudian hari semua anak-anak kita pun lahir dikala senja" ingat Bunda sambil tersenyum manis kearah suaminya.
"Ingatlah... kita juga pertama ketemu disebuah pantai dikala senja.... tujuh belas tahun yang lalu ya... Dan enam bulan kemudian kita langsung menikah. Cinta pada pandangan pertama saat di Pantai Krakal Jogja" jawab Pak Sanjaya sambil mengusap tangan istrinya.
"Ceritanya lagi mengenang masa lalu ya Ayah dan Bunda ... Lexa tinggal sebentar ya, Bunda sama Ayah silahkan berduaan dulu" goda Lexa sambil bangkit dari duduknya.
"Disini aja Lexa... Bunda sudah lama ga kamu pijitin kakinya. Udah ga sayang ya sama Bunda sampe ga punya waktu buat Bunda lagi?" tanya Bunda dengan suara lembutnya.
"Maaf ya Bun.... Lexa sibuk ikut les, kerja kelompok sama ngerjain tugas sekolah. Maklumlah udah kelas enam SD, banyak ujian yang harus dilalui mulai dua bulan yang akan datang. Lexa kan mau lanjut di sekolah yang bagus itu loh Bun .. seleksi masuk kesana ketat banget, jadi Lexa mau usaha buat masuk kesana. Do'akan ya Bun" pinta Lexa sambil memijit kaki Bundanya.
"Tanpa kamu minta juga Bunda pasti do'akan yang terbaik buat anak-anak tercinta Bunda" ucap Bunda penuh kasih sayang.
"Senja itu selalu setia... Ga pernah janji buat kembali, hanya butuh waktu buat menepati. Karena senja tau jika meninggalkan bukan berarti mengakhiri, tapi meninggalkan hanya untuk menguji sebuah kesetiaan" kata Pak Sanjaya sambil menatap senja.
"Itu kalimat yang ga asing deh, kalimat yang pernah Ayah ucapin kalo mau kerja jauh dan Bunda ga ikut" ingat Bunda.
"Ya... kalimat sakti saat kita baru nikah tapi Ayah diminta almarhum Papa buat ngawasin project di Mandalika. Kan Bunda saat itu masih kuliah dan akan ujian semesteran. Jadi tiga minggu ya kita berjauhan.. ngalamin LDR an yang beraaattt banget" ujar Pak Sanjaya sambil tersenyum.
"Iya.. Ayah paling ga bisa jauh-jauhan dari Bunda .... nanti kalo Bunda jauh dari Ayah kira-kira Ayah bisa ga ya?" tanya Bunda tiba-tiba.
"Ngomong apa sih Bun.. jangan begitu ngomongnya.. pamali" ujar Pak Sanjaya.
Kemudian mereka pun melanjutkan berbincang tentang rencana sekolahnya Lexa. Kali ini Mba Flo dan Mba Qisha (anak kedua Pak Sanjaya) baru ikut bergabung.
Mba Flo mengambil kamera DSLR lengkap dengan tripodnya, dia mengatur kamera tersebut untuk mengabadikan kebersamaan mereka dikala senja saat ini. Namanya punya anak perempuan, pasti mulutnya rame, jadilah sesi foto menjadi ajang saling berdebat tentang pose yang bagus. Yang satu maunya berdiri, yang lainnya maunya jongkok, ada yang mengusulkan berbaris sesuai urutan umur dan masih banyak lagi idenya. Kedua orangtuanya hanya melihat sambil tertawa kecil.
Tepat pukul lima lewat tiga puluh menit, sore hari ... badan Bunda kembali lemas dan langsung tidak sadarkan diri. Semua kaget dan saling berteriak panik.
"Bun....Bun.." Pak Sanjaya coba mengguncang tubuh istrinya.
Mba Flo juga memeriksa hembusan angin dari hidung. Tampak mukanya sudah sedih.
"Ayah... cepat kita ke klinik terdekat" ide Mba Flo dengan tanggapnya.
Pak Sanjaya mendorong kursi roda dengan kencang, kearah perkampungan warga di Pulau tersebut. Mba Flo membantu disampingnya. Mba Qisha membenahi kamera yang tadi dipakai kemudian ikut berlari tanpa melihat kearah Lexa yang masih diam terpaku. Seakan Lexa terbius oleh suasana panik yang terjadi didepan matanya, dia hanya bisa menangis melihat kejadian didepan matanya yang berlangsung dengan cepat.
.
"Dek... Kenapa nangis? Keluarganya dimana?" tanya anak laki-laki yang diperkirakan sepantaran Mba Flo.
"Ke klinik Kak.... saya ga tau klinik yang mana. Bisa tolong antar saya kesana?" tanya Lexa sambil mengusap air matanya.
Remaja muda itu mengantar Lexa kearah perkampungan. Dia bukan penduduk disana, tapi tiap akhir pekan selalu ke Pulau ini. Membantu Bapaknya mencari rejeki sebagai tukang reparasi elektronik, pasang listrik dan rekanan pemeliharaan instalasi listrik di Resort milik Pak Sanjaya.
.
"BUNNDAAA.... bangun Bun... Jangan tinggalin kita" suara Mba Flo terdengar histeris.
Mba Qisha pun menangis dan memeluk Pak Sanjaya. Lexa yang baru sampai didepan pintu klinik langsung lemas seketika melihat pemandangan didepan matanya.
Tidak ada yang menduga jika liburan kali ini adalah liburan keluarga terakhir bersama Bunda. Isak tangis keluarga Pak Sanjaya tidak bisa terbendung lagi. Kakak beradik saling berpelukan, menguatkan satu sama lain. Pak Sanjaya masih berbincang sama dokter di Klinik tersebut.
🌷
"Abis darimana Can? Ga keliatan sholat Magrib berjama'ah tadi di Mesjid" tanya Bapaknya Candra.
"Ada Pak, tapi di shaf paling belakang, datangnya pas udah mulai raka'at pertama soalnya abis antar anak perempuan ke Klinik yang deket sini" jawab Candra, lelaki abege kelas tiga SMP, yang tadi mengantar Lexa ke Klinik.
"Kenapa emangnya sampe kamu yang anter kesana? kamu abis buat dia luka? atau kalian abis berantem?" cecar Bapaknya Candra.
"Masa berantem sama anak perempuan Pak. Ibunya dia dibawa ke Klinik, nah dia ketinggalan dari keluarganya. Tapi kasian deh Pak.. pas kita sampe di Klinik, ibunya udah meninggal dunia" jelas Candra.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun... udah yuk kita siap-siap buat pulang. Tadi Bapak tanya kalo ada kapal nelayan yang mau kearah daratan Jakarta jalan sekitar satu jam lagi" ajak Bapak.
"Ya Pak" jawab Candra sambil merapihkan tas yang berisi alat-alat buat reparasi elektronik.
💐
Para karyawan Resort sedang berkoordinasi untuk pemulangan jenazah istrinya Pak Sanjaya menuju daratan Jakarta, mereka menghubungi kapal untuk memulangkan jenazah. Kapal khusus ini milik paguyuban warga Pulau Tidung yang berjarak sekitar lima belas menit dari Resort ini.
Ada dua kapal bersandar di Dermaga, satu kapal jenazah dan satunya lagi kapal pesiar yang disewa Pak Sanjaya untuk mereka balik ke daratan Jakarta.
.
"Kamu mau balik malam ini Can?" tanya Mas Akmal, Manager Resort yang sudah akrab sama Candra.
"Iya Mas, saya mau balik sama Bapak. Besok ada acara karang taruna buat persiapan hari kemerdekaan. Oh ya Mas.. Yang meninggal siapa Mas? pengunjung Resort?" tanya Candra penasaran.
"Istrinya Pak Sanjaya, pemilik Resort ini. Kamu ikut aja di kapal mereka, cuma keluarga mereka aja kok sama Mas yang akan ikut ke Marina Ancol. Daripada kamu naik kapal nelayan yang kecil, ombaknya lagi agak gede" ajak Mas Akmal.
"Ga enak lah Mas ... ga kenal tapi ikut-ikutan di kapal mereka" jawab Candra lagi.
"Udah gapapa... tapi kamu di kapal jenazah ya .. kalo kapal pesiar isinya keluarga Pak Sanjaya sama barang-barang bawaan mereka" ucap Mas Akmal.
"Makasih sebelumnya Mas.. nanti coba saya bilang ke Bapak dulu" jawab Candra.
"Ya udah sana.. kan lumayan bisa irit sekitar lima puluh ribuan" ujar Mas Akmal.
.
Keluarga Pak Sanjaya naik ke kapal pesiar, hanya Lexa yang ngotot mau ikut di kapal lain untuk mendampingi jenazah Bundanya.
Mas Akmal mendampingi Lexa duduk disamping jenazah almarhumah. Tangisnya tidak kunjung berhenti. Bahkan suara tangisnya melebihi kencangnya suara deburan air terkena mesin speedboat.
Candra sedang mengaji bersama Bapaknya, setelah selesai mengaji dia menghampiri Lexa, kemudian duduk disampingnya.
"Daripada kamu nangis kencang, lebih baik kamu ngaji aja yang kencang. Bunda kamu udah tenang dan baiknya kita ngaji biar kita juga tenang" ide Candra dengan gaya anak muda yang rada cuek.
Lexa langsung menghentikan tangisnya dan melihat kearah Candra dengan pandangan penuh amarah.
"Kakak ga ngerasain apa yang Lexa alamin sih. Jangan sok tau jadi orang" ucap Lexa dengan ketus sambil mengusap air matanya.
"Hargai lawan bicaramu Dek .. Bunda kamu pasti ngajarin yang baik-baik kan? Pikir deh kalo kamu sejutek ini, orang pasti akan bilang emang ga diajarin sopan santun sama ibunya? Jangan sampe dengan sikap kamu malah bikin jelek nama orang tua" kata Candra tegas.
Lexa tampak makin ga suka sama jawabannya Candra.
Mas Akmal kaget mendengar ucapan Candra dan muka penuh amarahnya Lexa. Melihat kondisi yang ga kondusif sedangkan didepan mereka ada jenazah, Mas Akmal coba memberi kode tangan dimulut agar Candra ga ngomong apa-apa lagi ke Lexa.
.
"Pa Akmal.. ini siapa sih? Kok bisa naik di kapal ini" tanya Lexa dengan nada ga suka melihat kehadiran Candra.
"Namanya Candra, dia bantu Bapaknya buat reparasi alat-alat elektronik di Kampung dekat Resort dan bantu maintenance listrik di Resort kita" jelas Mas Akmal.
"Suruh dia keluar ke geladak kapal, jangan disini, ga tau apa orang lagi berduka. Ga ada perasaannya segala sok nasehatin orang" ucap Lexa.
Tanpa basa basi Candra langsung menuju keluar setelah mendengar ucapan Lexa. Mas Akmal mengikuti Candra keluar menuju ujung kapal.
"Itu kan putri bungsunya Pak Sanjaya, kamu bisa ga sih bicara sopan. Selama ini kamu bisa kok sopan sama orang, kenapa sekarang kaya ga punya perasaan gitu? mereka sedang berduka Can" protes Mas Akmal.
"Maaf Mas.. abisnya saya kesel, lagi ngaji eh malah dia nangis mulu, mana makin kencang lagi nangisnya" gerutu Candra.
"Maklumlah.. anak bungsu kan gitu tabiatnya, manja pasti sama orang tua terutama Bundanya. Dan sekarang harus kehilangan secara mendadak. Pasti mentalnya juga jatuh dan jadi sensitif" tengah Mas Akmal.
Mas Akmal masuk kembali menemani Lexa. Bapaknya Candra tengah berbincang dengan nahkoda kapal.
Candra masih berdiri diujung depan kapal memakai jaket kontingen lomba O2SN (Olimpiade Olahraga Siswa Nasional) saat kelas enam SD dulu. Dia menikmati hembusan angin malam diatas kapal. Bulan purnama nampak indah sekali menghiasi langit. Perjalanan ini memakan waktu hampir satu jam.
💠
Candra dan Bapaknya biasa datang ke Pulau Sabtu siang, setelah sampai di Pulau biasanya mereka akan menitipkan barang bawaan termasuk tenda buat tidur di tempat Mas Akmal. Setelah rehat sejenak, Candra akan berkeliling bersama Bapaknya menjajakan jasa service barang elektronik di perkampungan warga. Jika beruntung ada yang memakai jasa, tapi kalo lagi ga beruntung maka bisa pulang tanpa hasil. Untuk ke Pulau mereka naik dari pelabuhan Muara Angke, kemudian naik perahu nelayan biayanya tergantung negosiasi, bisa antara dua puluh lima ribu sampai tiga puluh lima ribu. Tapi tentunya tidak ada jaket pelampung dan tidak nyaman di kapal tersebut karena terbuat dari kayu yang dipasang mesin sebagai penggeraknya.
Sejak kelas satu SMP, Candra ikut Bapaknya ke Pulau, dia bisa menyervis alat-alat elektronik yang dipelajari secara otodidak dengan hanya melihat cara kerja Bapaknya. Malamnya mereka akan tidur di tenda atau di Mesjid, keesokan harinya mereka akan kembali berkeliling lagi dan baru akan pulang malam hari. Karena kerjanya rapih dan apik, Mas Akmal menggunakan jasa keduanya buat bantu mengecek alat-alat listrik di Resort. Mereka akan dibayar per jumlah alat yang diservis. Karena sudah setahun terakhir rutin seperti itu, makanya Candra sangat akrab sama Mas Akmal yang menganggap Candra seperti adiknya sendiri.
💠
Suara tangis Lexa masih jelas terdengar, menyayat hati memang, tapi Candra mencoba untuk tidak protes lagi. Dari jendela kaca dia melihat Lexa masih menangis sambil memegang peti jenazah Bundanya. Ada rasa kasihan tiba-tiba menyeruak di hati kecil Candra.
"Sabar ya Dek ... semoga kamu jadi anak yang kuat setelah cobaan ini. Kamu masih punya Ayah dan kakak-kakak yang pastinya sayang sama kamu" ujar Candra dalam hati sambil memandang kearah Lexa.
Sehari-hari Bapaknya Candra berjualan bubur ayam keliling di komplek perumahan dan mangkal disebuah SD. Kalo weekend ga dagang karena biasanya orang-orang komplek akan masak di rumah atau bepergian, sekolah pun libur, jadi sepi dagangan.
Sejak empat tahun yang lalu, Bapaknya Candra diajak tetangganya buat jadi tukang servis keliling di Pulau tiap weekend, hingga hari ini hanya dia yang melakoni pekerjaan tersebut karena tetangganya sudah tidak kuat lagi untuk pergi-pergi jauh.
🌷
Kapal sudah merapat di Dermaga Marina Ancol. Jenazah istrinya Pak Sanjaya diturunkan dari kapal dan dimasukkan ke sebuah ambulance yang sudah disiapkan oleh pihak keluarga untuk menjemput, isak tangis keluarga yang menyambut pun pecah. Semua larut dalam duka yang sama. Ada bus juga yang sudah disewa untuk membawa keluarga dan kerabat yang ikut menyambut kepulangan jenazah.
Sekali lagi Mas Akmal menawarkan pulang bareng karena rumah mereka searah. Sama-sama tinggal di didaerah Cinere, tapi Pak Sanjaya di Komplek dekat Mall, kalo Candra di perkampungan yang berbatasan dengan jalan tol.
Karena sudah jam satu dinihari, maka Candra pun setuju. Dia dan Bapaknya turun didekat Mall, dari sana mereka melanjutkan jalan kaki sekitar lima belas menit. Setelah sampai di rumah, Candra langsung mandi karena berasa gerah. Ibu, adik dan kakaknya sudah tampak tertidur pulas.
🌺
Satu persatu pelayat datang memenuhi kediaman Pak Sanjaya. Karangan bunga dan makanan silih berganti datang dari rekan kerja dan handai taulan Pak Sanjaya. Pak Sanjaya tampak tegar menerima ucapan dukacita dari para pelayat yang hadir.
.
Sesuai dengan pesan Bunda dimasa hidupnya, beliau ingin dimakamkan berdampingan dengan makam orang tuanya, sebagai penghormatan terakhir yang dapat dilakukan keluarga hanyalah memenuhi pesan terakhirnya itu, mengantarkan Bunda ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Jasad Bunda kini terbaring sendiri di pusaranya, keluarga melepasnya dengan kesedihan yang teramat sangat.
Ketiga putri Pak Sanjaya masih tampak terpukul. Semenjak tiba di rumah, mereka terus menangis disamping jenazah Bundanya, hingga kini di pusaranya yang telah tertimbun tanah pun ketiganya masih juga menangis. Betapa anak-anak sangat dekat sama Bundanya, jadi suatu hal yang menyakitkan kehilangan secara tiba-tiba sosok Bundanya.
"Bun... Setelah ini ga akan ada lagi yang akan bangunin Lexa tiap jam dua dini hari buat mengajak sama-sama sholat tahajud" ucap Lexa dalam hati sambil mengusap nisan kayu yang baru tertancap.
"Bunda .. kenapa tinggalin Mba secepat ini, siapa yang nanti akan memeluk Mba kalo lagi ada masalah?" ratap Mba Flo.
"Bun... Mba ga ada yang nasehatin tiap kali salah.. kalo Ayah jarang sama kita semua karena sibuk kerja" ucap Mba Qisha dalam hati.
.
Acara pemakaman telah selesai dilaksanakan, satu persatu para pelayat meninggalkan pemakaman, tempat Bunda dibaringkan untuk selamanya, tinggal keluarga inti Pak Sanjaya yang masih tetap terpaku memandangi gundukan tanah merah, makam Bunda.
Sesekali Lexa melihat Ayahnya menyeka air matanya sedangkan Mba Qisha masih tertunduk dalam do’a-do'a yang khusyu dia panjatkan. Lexa dan Mba Flo pun tidak berusaha menutupi kesedihan, dibiarkan butir-butir hangat itu terus mengalir di wajah mereka tanpa bisa tertahan.
Hari semakin terik, dengan hati berat, akhirnya semua meninggalkan pemakaman dengan membawa pulang semua kenangan tentang Bunda. Kenangan yang tidak akan mati walaupun jasad telah berpisah dari raga.
💠
_Beberapa bulan kemudian_
Candra berhasil lulus dari sebuah SMP negeri favorit di kotanya. Dia pun sudah mendaftarkan diri di sebuah SMA negeri favorit juga lewat jalur lomba olahraga yang sering dia ikuti. Bukan karena nilai tidak mencukupi untuk masuk ke sekolah tersebut, tapi dia cukup sadar diri jika zonasi masih jadi polemik, tempat tinggalnya jauh dari sekolah manapun jadi kans diterima lebih kecil. Bisa saja dia pakai jalur raport karena statusnya sebagai pelajar dengan peringkat tertinggi di sekolahnya, tapi dia ingin memberikan kesempatan kepada temannya yang lain untuk memakai jalur prestasi raport. Ada memang sebuah SMA negeri di kecamatan dekat tempat tinggalnya, tapi masih sekolah rintisan baru dan masih menumpang disekolah lain, sehingga belum bisa menerima banyak siswa. Jadilah dia memakai jalur prestasi agar memudahkan lolos ke SMA negeri yang sudah lama diincarnya. Prestasinya pun bukan kaleng-kaleng, dia sudah pernah ikut PON saat usianya tiga belas tahun dan memenangi berbagai lomba-lomba renang hingga tingkat nasional. Kepiawaiannya dalam olahraga renang dan lari marathon membuat dia menjadi atlet andalan Kota bahkan Propinsi sejak usia tingkat junior. Makanya badannya lebih tinggi dari anak-anak sepantarannya karena rutin berolahraga.
Mungkin terdengar menjadi suatu hal yang janggal, bagaimana seorang anak dengan keterbatasan ekonomi tapi mampu menekuni olahraga renang yang merupakan salah satu olahraga mahal?.
Jadi ceritanya, dulu sewaktu kecil dia pernah tinggal di Jawa Tengah bersama Mbahnya sampai dia kelas empat SD. Dibelakang rumah Mbahnya ada laut. Jadi dia terbiasa bermain dengan arus, belajar renang bareng teman-teman sebaya di Pantai, sesekali suka diajak pakleknya ke kolam renang, pas masuk kolam renang gerakannya bisa lebih cepat karena ga ada arus yang dilawan. Sejak pindah ke SD di bilangan Cinere, ada kegiatan renang sebulan sekali dari sekolahnya. Saat teman-teman sekelasnya baru bisa meluncur bahkan takut buat berenang, Candra sudah bisa renang bolak balik, sehingga guru olahraga memintanya menjadi asisten untuk kegiatan renang. Dia bertugas membantu mengawasi dan mengajarkan berenang ke teman-teman lainnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, dengan kemampuan renangnya Candra dan rupanya guru olahraganya juga salah satu pengurus Persatuan Olahraga Renang ditingkat Kota. Jadilah Candra bisa direkomendasikan untuk mempelajari teknik renang dengan baik secara gratis berstatus atlet Kota.
Saat kelas enam SD dia sudah mengantongi berbagai gelar kejuaraan renang hingga tingkat Propinsi, hal inilah yang membuat dia masuk ke dalam squad yang diberangkatkan ke PON. Dari kejuaraan tersebut, Candra bisa membeli baju renang dan perlengkapan renang lainnya yang sesuai SNI. Sisanya dia tabung, karena keinginannya buat sekolah yang tinggi demi mengubah nasib keluarga sudah dicanangkan sejak lama. Bisa dibilang dia juga getol cari duit tambahan asalkan halal. Sejak SD sudah membantu Bapaknya berdagang bubur tiap libur sekolah, ditingkat SMP dia ikut Bapaknya menjadi tukang reparasi.
Walaupun ditengah himpitan ekonomi yang bak gali lobang tutup lobang, keluarga Candra hidup bahagia dan tetap memegang teguh agamanya. Bapak sangat keras mendidik agama kepada keempat anaknya. Bahkan Candra pernah merasakan sabetan sapu lidi dari Bapaknya karena bolos mengaji di Mesjid tiap ba'da Maghrib. Inilah yang membuat sebagai anak kedua tetapi merupakan anak lelaki tertua, kakaknya perempuan, Candra menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan bisa mengayomi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!