Siapa yang tidak memiliki musuh di sekolah? Rasanya tidak ada. Hampir semua siswa maupun siswa memiliki musuh, walau tidak mengemukakan secara langsung tapi pasti ada saja seseorang yang kita kurang sukai di sekolah. Tapi mungkin lebih memilih diam.
Bugh
Tubuh seorang gadis terjatuh ke tanah dengan posisi tengkurap, karena tersandung sesuatu. Lebih tepatnya, seseorang sengaja menaruh kakinya untuk menghalangi langkahnya. Bibirnya bahkan bertubrukan dengan lantai keramik lorong sekolah. Jontor sudah daging kenyal yang jarang dia hiasi lipstik itu.
Padahal hari masih pagi, tapi moodnya sudah dibuat hancur oleh seseorang. Matanya memejam, jelas ia memendam amarah yang mengebul di kepalanya. Apalagi tawa itu seperti tanpa rasa bersalah.
"Ups, aku kira kamu bakal ngehindar," katanya sambil memegangi perutnya. Wajahnya merah karena tertawa.
Ia berjongkok, menatap wajah perempuan di hadapannya yang yang kini merah padam.
"Hahaha. Sorry, sebenarnya nggak baik ya kejahatan di balas kejahatan tapi ... sesekali kamu emang butuh di beri pelajaran."
"Aku nggak nyesel udah laporin kamu. Emang pantes dapat hukuman itu!" Gadis itu -Ghina Izzati- bangkit berdiri, merapikan rok abu-abunya yang sedikit kusut. Untunglah tadi tidak tersingkap, ia juga mengenakan celana panjang di dalamnya. Ia celingukan, khawatir ada yang melihat insiden memalukan tadi.
"Denger," Laki-laki berperawakan jangkung itu maju beberapa langkah mendekat. Membuat Ghina mundur selangkah. "Benda itu punya Riki!"
"Bodo amat, keluarnya dari kantongmu kok! aku liat sendiri," Ghina tak mau kalah.
Ya, dia tahu inilah pembalasan dari seorang -Fatih Rafasya- mungkin sakit hati dengan laporan sengaja yang Ghina lakukan kemarin.
“Aku nggak habis pikir, seorang anak Kyai bisa juga ya nggak ada akhlak. Hari ini mungkin aku sabar, tapi besok-” belum selesai kalimat Ghina, Fatih sudah memotong dengan logat mengejeknya.
“Udah jatuh aja masih berani ngancam. Heran aku, cewek yang aku kira alim luar biasa, tapi ternyata bar-bar luar biasa. Berani ngelawan cowok. Inilah yang akan terjadi kalau nyepelein peringatan.”
“Aku nggak berniat melawan kamu Fatih. Kelakuanmu itu yang bikin aku nggak tahan untuk nggak buka suara. Lagi pula, jelas kamu melakukan kesalahan.”
"Bukan tempat ceramah disini," ucap Fatih datar dan melengos lebih dulu meninggalkan Ghina yang masih merenggut di dekat parkiran.
Ghina mengelap bibirnua, merasakan sesuatu di sana. Ia merasakan perih. Lalu lebih memilih masuk ke koridor kelas jurusan TAB untuk pergi ke toilet.
Langkah kakinya berhenti di depan wc sekolah yang terletak tepat di belakang kelas TAB. Matanya kini berair. Dapat dia lihat di layar cermin datar itu. Tangan itu memegang pelan bibir yang sedikit membesar dan ada goresan kecilnya.
“Fatih memang keterlaluan,” gumamnya. Rasanya jika begini terus, lebih baik dirinya berhenti menjadi musuh Fatih. Ia tiba-tiba menyalahkan dirinya sendiri yang berani mengawali untuk berantem hampir setiap hari dengannya. Ini semua karena kejadian hari itu. Sungguh, waktu memang tidak bisa di putar. Takdir tak bisa diubah paksa. Tuhan sudah berkehendak. Semuanya sudah terjadi.
Setelah merenung dan menyesali diri di dalam wc. Ghina keluar dengan langkah gontai, hampir saja menabrak seseorang.
“Astaghfirullah.”
“Eh Maaf, aku nggak sengaja.” Ghina buru-buru meminta maaf pada seseorang itu. Tangannya yang kekar memegang tangannya karena tubuh Ghina tadi yang hampir terjatuh.
Sejenak tatapan mereka bertemu, namun Ghina segera sadar dan menarik tangannya cepat, begitu pula laki-laki itu. Yang wajahnya tak bisa menyembunyikan senyum simpul.
“Maaf, aku juga nggak lihat kalau ada kamu tadi,” sesal laki-laki itu. Suaranya begitu lembut.
“Iya nggak papa. Ini salahku juga yang nggak fokus."
"Emangnya apa yang lagi kamu pikirin?" tanya laki-laki itu. Ghina memutar bola mata, Ilham jelas tengah berusaha membuat dirinya dan laki-laki itu berbicara lebih lama.
"Aku nggak ada niat ngasih tahu," ucap Ghina kemudian dan berjalan melewati Ilham.
“Kamu nggak papa? Bibir kamu merah gitu?” tanyanya membuat Ghina membalikkan badan Lantas melipat bibirnya ke dalam.
“Ini sudah nggak papa kok, tadi aku menabrak sesuatu. Alhasil gini jadinya.” Ghina memegang bibirnya sendiri.
“Hati-hati.” Ghina mendongak menatap mata laki-laki itu. Meneduhkan, tapi dia tahu yang di lakukannya saat ini adalah dosa. Memandang yang bukan mahram, lantas Ghina membuang muka. Hanya mengangguk mengiyakan.
“Ya Allah kenapa bibir kamu Na?” tanya Renata -teman Ghina-. Saat dia baru saja tiba di sekolah, namun sudah mendapati wajah Ghina yang tidak baik-baik saja membuatnya khawatir, kini tangannya meraba-raba tubuh Ghina. Mereka sedang nongkrong di teras Lab Mini yang letaknya tepat di depan kelas mereka. Seperti biasa, rutinitas untuk menunggu bel masuk.
“Jangan bilang ini gara-gara dia? Tuh ‘kan apa aku bilang. Jangan mulai deh berurusan sama cowok nyebelin itu. Minta maaf aja deh sama dia, biar nggak neror kamu terus. Kamu juga yang terluka. Liat, bibir kamu.” Renata yang sering menasehati Ghina itu mengusap lembut bibir Ghina dengan tisu.
“Resiko lah Ren. Orang berbuat baik ‘kan nggak mudah. Apalagi membongkar kejahatan, pasti banyak yang membenci," lirih Ghina dan beranjak dari sana, ia berjalan ke arah teras kelasnya lalu melepas sepatunya dan menaruhnya di rak. Begitupula Renata yang mengikut di belakang.
“Iya aku tahu, tapi kalau gini jadinya ya kasian diri kamu. Jadi cewek kok berani banget sih.” Renata justru memanyunkan bibirnya, seperti kesal dengan Ghina yang mencari pembenaran.
“Siapa yang ngajarin? Kamu kan’?” Ghina justru seperti menyalahkan Renata.
“Sejak kapan ish." Renata tidak terima." Oh ya PR Kimia dari Miss Omigod sudah?” tanya Renata mengalihkan topik. Ia lebih khawatir dengan pekerjaan rumah yang barangkali Ghina lupa mengerjakannya. Walau, kecil kemungkinan.
“Sudah dong, ya seadanya sih.”
“Hahaha, takpe lah yang penting nggak ketinggalan. Bisa-bisa penderitaanmu dobel hari ini.”
Mata Ghina melirik ke arah bangku sesorang yang terletak di ujung barisan kedua dekat jendela. Jika tidak mengenalnya, mungkin tidak akan tahu jika Fatih adalah anak dari seorang Kyai.
Melihat kelakuannya yang jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh seorang pemuka agama. Akhlak mahmudah tentunya, sepertinya laki-laki itu tidak memilikinya.
Tanpa ia sadari, si empu yang ditatap justru kini menatapnya balik dengan tajam. Mulutnya yang mengunyah permen karet sepertinya, itu bergerak. Lantas membuang muka dan kembali bercengkrama dengan teman-temannya.
“Wah keterlaluan kamu Fath. Beraninya nyakitin cewek, dosa loh.” Terdengar suara Riki yang suka pecicilan dan suaranya yang sepertinya sengaja ia kencangkan. Matanya mengerling ke arah Ghina dan Renata yang sudah duduk bersebelahan. Ghina mendengus, sepertinya Fatih sudah menceritakan semua kejadian tadi pagi kepada teman-temannya.
Setelah selesai dengan mata pelajaran Miss Omigod yang membuat keringat dingin bertebaran. Kini, saatnya jam pelajaran Miss Ingrid di mulai. Setelah mengucap salam dan basa-basi, Miss Inggrid memberi instruksi kepada murid kelas XII TKJ IV untuk membuat kelompok.
“Ogah kelompokan sama dia!” Ghina menghela nafas kasar, “pokoknya jangan dia!” Suaranya memekik lebih kencang dari sebelumnya. Tugas kelompok bahasa Inggris kali ini benar-benar terasa menyebalkan bagi gadis itu. Bukan karena ia malas atau tidak suka dengan pelajaran atau tugas yang diberikan Miss Ingrid. Hanya saja, persoalan mengenai kelompok yang tidak disukainya.
Renata yang duduk tepat di sebelah Ghina menghela nafas. “ Sudahlah, tinggal dia doang laki-lakinya. Nggak papa, yang penting dia bisa ngomong nanti pas kita maju.”
“Lagi pula, semua cowok yang ada di kelas sudah di boking semua tuh.” Telunjuk Renata bergerak ke arah wajah-wajah cowok yang sudah terduduk manis di setiap kelompok.
Ghina mendengus, merasa menyesal karena sudah menjadi bagian dari anak TKJ IV yang murid laki-lakinya hanya berjumlah delapan orang. Miss Ingrid membagi kelompok menjadi delapan dengan aturan masing-masing kelompok memiliki satu personil cowok.
“Ada apa Ghina Izzati?” suara Miss Ingrid menginterupsi. Membuat Ghina yang wajahnya masih cemberut itu mengangkat dagunya. Bibirnya membentuk senyum sumir.
“Nggak ada apa-apa Miss. That’s okay.”
Matanya melihat seseorang yang masih di pojokan, tengah mengemut Lolipop dengan tampang santai. Dan sialnya Miss Ingrid tidak mempermasalahkan itu.
“Fatih, where are your team?” tanya Miss Ingrid yang kini sudah berdiri di depan papan tulis. Matanya memindai. Dengan segera Ghina membuka suaranya, “Fatih is our team Miss!”
“Okay, Fatih please come on your team!”
“Now, your team can start your job. Right now!” perintah Miss Ingrid yang dihadiahi anggukkan para murid.
Laki-laki yang bernama Fatih itu mengangguk dengan senyuman di bibirnya. Tangannya membopong kursi miliknya mendekat ke arah tim Ghina dan kawan-kawan.
“Ketemu lagi,” sapa Fatih sembari memindai satu-satu wajah teman-teman satu kelompoknya. Saat matanya ke arah Ghina, laki-laki itu menggigit Lollipopnya sampai terdengar suara 'krek'
"Hai, Na!"
Fatih memberikan seringaiannya yang menyebalkan, membuat Ghina lantas membuang muka.
NB.
TAB : Teknik Alat Berat
TKJ : Teknik Komputer Jaringan
Hai....
Kalau kalian suka ceritanya jan lupa vote, tap love dan coment yaa. Biar aku makin semangat. Nggak bakal kok jari kalian patah cuma untuk klik love, atau curcol di kolom komen ya 'kan?😂
Untuk up aku usahain 2x tiap minggu, tapi bisa lebih sering atau setiap hari.
oh ya share juga ya ceritanya sama teman-teman kalian🤗
bye bye
"Hai, Na!"
Fatih memberikan seringaiannya yang menyebalkan, membuat Ghina lantas membuang muka.
“Wah, kamu ganti gaya rambut Fath?” tanya Sella yang diam-diam memperhatikan penampilan Fatih yang berbeda hari ini. Rambutnya yang biasa menutup kening, kini dibiarkannya ke atas. Memperlihatkan jidat kuning langsatnya. Ghina dan Renata ikut memperhatikan sekilas.
“Iya dong. Gimana? Makin ganteng ‘kan?” Fatih berkata dengan percaya diri.
“Di sini bukan tempat untuk pamer ketampanan. Tapi untuk ngerjain tugas.” Interupsi dari Ghina membuat Fatih menoleh ke arahnya.
“Cewek se-alim Ghina aja ngakuin ketampananku," godanya
“Iya kamu emang tampan banget sih Fath. Dengan gaya rambut baru kamu itu, bisa-bisa adek kelas klepek-klepek,” ucapan Fatih ditanggapi Sella dengan tatapan berbinar.
“Haha, kamu juga sekarang lagi klepek-klepek ‘kan sama aku? Tapi maaf Sel, kita hanya teman sekelas nggak lebih.” Fatih mengibaskan tangannya di depan. Ghina yang sejak tadi sudah menahan amarahnya menggebrak meja. Semua murid yang tadinya ribut dan berbicara masing-masing terdiam. Miss Ingrid yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sembari tersenyum-senyum sendiri juga turut terdiam. Lalu menatap ke salah satu kelompok yang letaknya paling ujung.
“What’s wrong guys?” tanyanya. Miss Ingrid memang selalu memanggil muridnya dengan ‘guys’. Katanya agar lebih santai dan dekat dengan murid-muridnya.
“Not Miss, that’s okay. Just, we just litle discuss and felt greget,” balas Ghina dengan senyuman meringis.
“Oh, you’re so fighting guys. Stay calm.”
“Yes Miss.”
“Fatih, sekali lagi kamu ngomong nggak penting. Aku bikin kamu kebagian dialog satu kali doang!” Ghina mengancam, sedangkan Fatih hanya menggedikkan bahu tidak peduli.
“Udah Na.” Renata berusaha menghentikan kemarahan Ghina. Bahunya naik turun dan Rena hanya menepuk-nepuknya pelan. Sedangkan Sella hanya menatap Ghina kurang suka.
“Udahlah, kalau mau cepet. Ya segera di kerjakan, jangan cuma ngomel,” ketus Sella yang dihadiahi tatapan datar dari Ghina.
Setelah selesai mendiskusikan tentang dialog yang akan mereka peragakan di depan kelas, akhirnya sampailah pada saat-saat mendebarkan. Satu-satu masing-masing kelompok dipanggil secara acak oleh Miss Ingrid. Beberapa kelompok sudah berjingkrak pelan dengan dada membusung, memperlihatkan pada kelompok lain bahwa mereka telah hafal script yang sudah mereka rancang.
Sedangkan kelompok Ghina, masih berputar dalam pembuatan script karena beberapa kali Ghina melakukan revisi, menurutnya dialognya masih banyak yang keliru dan kurang tepat.
“Astaga, cepetan Na. Kamu tuh nggak usah terlalu perfeksional, bikin capek aja.” Sella menghela nafas kasar karena merasa dirinya ingin segera menyudahi diskusi berkepanjangan itu.
“Agree! Mending langsung praktik aja.” Fatih ikut berkomentar.
“Bentar, masih di cek,” kata Ghina, matanya tidak beralih dari selembar kertas yang sudah berisi coretan script.
“Kayanya udah deh Na.” Renata juga ikut menyela. Ingin segera menyelesaikan.
“Ini udah bener pake ed karena past tense. Ini juga udah bener pakai tobe am karena present. Udah, dari tadi aku baca. Udah pas semua.” Fatih kembali berucap dengan tangannya yang menunjuk-nunjuk kertas di tangan Ghina, kepalanya sedikit miring karena ia duduk tepat di sebelah Ghina walau sedikit mengambil jarak.
“Iya tahu. Ayo segera prakek.”
“Team six!” pekik Miss Ingrid membuat Ghina, Renata, Sella dan juga Fatih seketika berdiri. Mereka berjalan ke depan dan berdiri menghadap murid-murid lain. Dengan dialog berbahasa Inggris yang sudah mereka buat akhirnya tidak sia-sia. Mereka mengucapkannya dengan lancar tanpa terbata.
“Applause for team six!” seru Miss Ingrid membuat suasana kelas riuh dengan tepukan tangan.
“Hidup Fatih!” suara Riki –teman dekat Fatih- nyeletuk.
“Riki, next time please correct your speak," sela Miss Ingrid.
Riki yang tadi mengangkat kepalan tangan girang sembari menatap Fatih hanya merengut. Di antara sekian banyak temannya, memang hanya dirinya yang kurang fasih dan tentunya terbata dalam pengucapan dialog berbahasa Inggris.
“Yes Miss,” lirihnya dan kembali terduduk.
Memasuki jam istirahat, seperti sudah menjadi kebiasaan. Ghina dan Renata pergi ke toilet untuk menuntaskan hajat buang air kecil.
"Fatih itu paling bagus deh speak-nya kalau di kelas." Renata mulai bicara. "Nggak rugi kelompokkan sama dia," pujinya lagi.
Ghina menoleh dengan cebikkan, "Sekarang kamu jadi bagian pengagum dia?" Ghina tersenyum sebelah, "Ck, kalengan juga ternyata."
"Eh, siapa bilang aku nggak kagum. Aku salut sama dia, tapi ya nggak kaya cewek-cewek lain atau adik kelas yang sampe ngejar-ngejar cintanya," ralat Renata tak terima.
"Kalau dia cinta sama kamu? nembak kamu? mau?" berondong Ghina. Renata menggeleng-geleng.
"Ya nggak lah, bukannya kita udah komit nggak pacaran?" Renata kembali mengingtkan Ghina bahwa dirinya sudah benar-benar berubah, tidak seperti dulu asal mengagumi banyak cowok lalu berhayal ingin jadi pacar mereka.
"Nah, bagus dong. Jangan muji dia didepanku."
"Ih kamu iri nih?"
"Nggak lah, ngapain juga."
"Ck, sudahlah damai aja sama Fatih. Dia orangnya enjoy aja menurutku. Selama kita sekelas, aku liat dia baik-baik aja. Ya walau nyebelin sih."
"Aku nggak ngajak musuhan."
"Faktanya gitu."
"Itu kan gara-gara rokok doang. Lagian udah masa lalu."
"Lah yang kamu nggak sengaja nabrak dia setelah dari kantin belakang, terus seragamnya kena minuman kamu. Itu 'kan masalah juga?"
"Dianya aja yang lebay. Masalah kecil di besar-besarkan." Ghina mendengus, "Ya seharusnya aku minta maaf waktu itu. Tapi ya sudahlah."
"Nah 'kan nyesel? akhirnya harus terus berurusan sama dia." Renata menyeringai.
"Sudah terjadi." Ghina menggedikkan bahunya.
Usai berkaca sekitar lima menit, bergantian tentunya. Ghina dan Renata pergi menuju kantin yang letaknya di belakang kelas mereka. Walau di belakang kelas TAB juga ada, lebih dekat dari posisi mereka sekarang. Namun, mereka tidak mau. Khususnya Ghina, karena ia tahu kantin di sana langganan Fatih. Mengapa ia tahu? karena setiap ia ingin makan menu yang tidak ada di kantin Pak Suryo dan memilih ke kantin Pak Mamat -langganan Fatih- Ghina pasti menemukan Fatih dan Riki tentunya di sana.
"Mau makan mie?" tanya Renata yang hendak memesan Mie goreng. Mereka kini sudah duduk di kursi panjang dengan menghadap meja yang panjang pula.
"Aku gorengan aja," tunjuk Ghina pada nampan di depannya. Ada bakwan, tahu isi dan mendoan. Masih mengepul. Memang sengaja langsung di sediakan di meja oleh Pak Suryo, agar siswa-siswi yang datang ke kantinnya lebih mudah untuk mengambil jajanan gorengan. Tentunya, ia juga ingin agar masyarakat sekolah jujur, membayar sesuai dengan jumlah yang dimakannya. Jadi, ia tahu saja beberapa siswa yang diam-diam tidak jujur. Walau jarang.
"Oke. Bu Mie goreng satu, es teh satu," ucap Renata pada istrtinya Pak Suryo. "Minumnya es teh ya Bu, Na kamu mau minum apa?" tanya Renata.
"Es teh juga.
"Es tehnya dua Bu." Ibu kantin mengangguk dengan senyuman.
"Mana Pak Suryo Bu?" tanya Renata. Celingkukan, karena tidak melihat laki-laki tua itu.
"Lagi ngambil pisang, kehabisan."
"Oh." Renata manggut-manggut. "Lah, pegawai laki-laki kemarin kemana?" tanyanya.
"Dia nggak setiap hari kerja di sini. Saat nggak sibuk aja," ucap Ibu Mari. "Kenapa nyariin? Ibu bilangin nanti."
"Hah? jangan-jangan. Saya cuma tanya doang." Renata menggaruk kerudungnya dan cengengesan lalu kembali duduk di samping Ghina.
"Kamu kangen sama karyawan cowok itu?" tanya Ghina sembari mencomot mendoan.
"Ih apaan, nggak ah." Renata berkilah.
"Susah ya kalau orang mudah kagum mah," komentar Ghina.
"Nggak kagum, cuma tanya-tanya aja tadi. Nggak ngeliat, kan rasa ada yang kosong." Renata menyadari ucapannya, ia menggeleng cepat. "Dia 'kan tiga hari sudah kerja di sini, selama itu pula kita ngeliat dia wara-wiri disini, ya aku heran lah tiba-tiba nggak ada."
Ghina tertawa, "alesan," decaknya.
Setelah Mie Goreng dan es teh tersaji. Renata menyantapnya, juga Ghina yang sudah menghabiskan dua mendoan dan satu pisang goreng. Mereka masih mengobrol sampai tiba-tiba datang geng songong -menurut Renata- dan tentunya dia sangat tidak suka.
"Gila, sok perfek banget dia. Dia siapa sih sok-sokan nggak mau kelompokan sama Jenius Fatih." Suara Sella kencang yang duduk bersama Fitri dan Melani.
"Pencitraan doang." Fitri berkomentar. Ghina menghentikan acara makannya. Ia tahu mereka menyindir siapa.
Renata hanya menggeleng, "Kalau aku nggak lagi makan, udah aku ubek-ubek mereka."
"Pesan apa guys?" tanya Sella.
"Aku Mie soto banjar," ucap Fitri sembari mengangkat kakinya.
"Aku makan manisan buah aja. Diet." Melani berjalan ke arah meja yang di sana sudah ada beberapa manisan buah yang dibungkus plastik.
Sella berjalan melewati Ghina dan Renata yang fokus makan. "Astaga, gimana bisa Ilham bisa suka sama dia."
Masih bisa di dengar Ghina. Namun, Ghina tetap tidak menggubris. Malas.
Setelah pesanan Sella dan kawan-kawan tersaji, mereka melanjutkan mengobrol.
"Terus pas bikin script lama banget lagi. Koreksinya berkali-kali. Padahal dialognya ringan banget. Astaga."
"Hah? masa'?" Fitri seperti antusias. Hanya ingin ikut mengejek. "Nggak becus kayanya dia sebenarnya."
"Iya, padahal dialognya cuma harus ada past tense sama present aja. Hadeh parah," ejek Sella dengan matanya yang mengerling ke arah Ghina.
"Gaya-gayaan kali di depan Fatih," ucap Fitri.
Sedangkan perempuan yang bernama Melani tampak malas menimbrung dan hanya fokus dengan buah mangga yang sudah dijadikan manisan itu.
"Caper gitu?"
"Barangkali."
Renata menepuk meja. "Oi Na, telingaku lama kelamaan sakit di sini. Udah selesai kan makannya? Yuk pergi!" ajak Renata, lalu berjalan ke arah Ibu Mari, membayar tagihan makanannya dan juga Ghina.
"Dasar cewek-cewek lamtur," katanya sebelum benar-benar pergi.
"Sebel banget sama mereka," kesal Renata.
"Udahlah, aku males ngeladenin juga," ucap Ghina dan mereka kembali ke kelas.
Hingga mata pelajaran usai, Renata pamit pulang lebih dulu, karena akan menjemput Ibunya di pasar. Sehingga ia tidak bisa menemani Ghina piket.
"Maaf ya Na, Ibuku jualan sampe sore soalnya."
"Iya nggak papa. Minggu ini, aku bantu jualan lagi."
"Tapi Na."
"Nggak ada tapi-tapi."
Renata mengangguk pasrah, Ghina memang keras kepala. Ia menyalami sahabatnya itu dan pergi.
Ghina memang lebih suka mengerjakan piketnya di waktu sore, karena besoknya jika dirinya terlambat, hatinya akan lega karena sudah menunaikan kewajiban.
Tugas piket memang terlihat sepele, tapi menurut gadis itu tidak. Karena hal tersebut merupakan nilai pendidikan yang secara tidak langsung di terapkan sekolah kepada setiap murid. Dengan begitu, siswa maupun siswi dapat belajar bertanggung jawab terhadap tugasnya. Jika dibiasakan sejak sekolah, maka setelah berlanjut ke jenjang selanjutnya dan tugasnya tentu lebih besar, maka akan mudah saja untuk menjalankannya.
Disamping itu, Ghina juga mengindari piket bersama Fatih. Dia satu tim dengan Fatih. Ghina bangkit dari duduknya, semua teman sekelasnya sudah pulang. Saat ia hendak mengambil sapu ke belakang, ia terkejut mendapati seseorang yang masih duduk dengan santai di kursinya.
“Kenapa kamu masih di sini? Jangan bilang kamu masih ingin belajar Fath?” tanya Gbina bertaya padanya yang masih setia memandangi sesuatu di lantai bawah sana.
Seolah tahu kebiasaan Fatih yang getol sekali belajar untuk mata pelajaran yang di sukainya, Matematika. Ya, jika Mister Arif mulai memberikan materi, dia selalu aktif bertanya, bahkan sering membuat guru laki-laki itu pusing sendiri karena pertanyaan Fatih yang bertubi. Walau Matematika berisi rumus, tapi tetap saja, kesulitan dalam mengaplikasikan rumus atau mencari rumus yang tepat pasti ada. Tapi, Fatih seperti jagonya. Selalu maju di garda terdepan.
“Apa peduli kamu? Ah ya, masih belum puas dengan hadiahnya?” telunjuknya mengarah ke bibir Ghina yang mendelik kesal. Berurusan dengan Fatih memang hanya akan menjadi boomerang dalam hidupnya.
“Ya udah deh aku nggak pengen basa-basi. Yang jelas, aku mau piket. Besok kan jadwal tim kita. Kalau aku telat, aku sudah piket duluan. Jadi kamu minggir, silahkan keluar dari kelas. Aku mau menyapu kolong kursimu.”
Ghina mengambil sapu dan mulai menyapu debu-debu dilantai.
“Suka-suka aku dong.”
Ghina mulai kesal meladeninya. Lantas menyapu dengan kasar kolong kursi Fatih. "Dari pada bengong, mending ikut piket," sindir Ghina. Fatih yang menengok ke jendela kembali menolehkan kepalanya ke arah Ghina, alisnya terangkat sebelah.
“Kalau kamu masih suka ikut campur. Aku nggak akan berhenti bertindak seperti tadi pagi lagi. Jangan jadi cewek sok berani. Kalau kamu sakit, aku nggak akan bertanggung jawab.” Dia berkata dengan nada dingin dan menusuk.
“Selama yang aku lihat keburukan. Aku akan tetap buka suara. Nggak peduli dengan ancamanmu. Fath, kamu itu anak Kyai, kenapa kelakuanmu buruk begitu. Apa sih yang kamu inginkan?”
Fatih menatap Ghina tajam. Mulutnya masih setia mengunyah permen karet.
Ghina tidak peduli, ia tetap melanjutkan aktivitasnya. Mereka hanya terdiam sampai Ghina sudah sampai menyapu di teras depan kelas.
Fatih sudah mengenakan ranselnya bersiap untuk pulang.
Ia menoleh ke arah Ghina yang berdiri di depan pintu.
"Keras kepala," cibir Fatih yang membuat Ghina menatapnya kesal.
"Awas!"
Tiba-tiba Fatih mengurung Ghina di depan sebelah daun pintu yang tertutup. Sampai-sampai tubuh Ghina terbentur.
Wajah Fatih bahkan sangat dekat dengan wajah Ghina.
Sebuah suara kembali terdengar berdegum. Fatih justru semakin hampir menempel. Ghina juga terkejut, ia melihat dua bola kasti yang bergelinding-gelinding.
“Aaa, astagfirullah.” Ghina berteriak, lalu mendorong tubuh Fatih dengan sapu. Fatih terkesiap sambil memegang perutnya.
“Aku nggak sengaja,” katanya sembari menjauh beberapa langkah. Lantas menoleh ke samping kanan dan kiri.
Ghina merapikan seragamnya, tidak luput dari memperhatikan tangan Fatih yang memegang pundak.
Fatih melihat ke arah lantai dua, tempat dimana ruangan kelas TKR berada.
“Argh. Sialan. Siapa yang main curang gini. Awas aja kalau ketangkep orangnya.”
NB.
TAB : Teknik Alat Berat
TKJ : Teknik Komputer Jaringan
TKR : Teknik Kendaraan Ringan
“Argh. Sialan. Siapa yang main curang gini. Awas aja kalau ketangkep orangnya.”
Fatih menatap tajam ke arah gedung berlantai dua yang terdapat di seberang kelasnya. Hanya terhalat oleh lapangan multiguna -Lapangan basket yang sekaligus dijadikan lapangan Voly dan Futsal- Dari sana ia dapat melihat empat orang laki-laki cengengesan.
Sedangkan Ghina, ia masih terkejut dengan kejadian memalukan tadi. Dan memilih masuk, tidak ingin membahasnya. Apalagi Fatih sudah mengatakan tadi jika tidak sengaja. Memang benar, tadi terlalu tiba-tiba.
Terdengar gesekan sepatu yang berlari cepat, Ghina melongok dari pintu. Fatih sudah berlari ke arah gedung TKR. Sedangkan beberapa orang siswa yang tadi berdiri di sana sudah tidak ada.
Fatih berlari menyusuri lorong dengan nafas ngos-ngosan. Tangannya terkepal, ia ingin melabrak siapapun yang berani-beraninya berbuat hal seperti tadi. Sayang, ia kalah cepat. Empat orang laki-laki itu justru turun bersamaan dari tangga dan melangkah ke lorong yang berlawanan dengan dirinya
"Sial!" umpat Fatih saat justru dirinya yang me-ngerem mendadak dan tidak jadi menaiki tangga.
"Woi!" panggil Fatih, terus mengejar.
"Mampus kamu Fatih!" teriak salah seorang siswa berseragam jurusan TKR yang masih dapat di dengar oleh telinga Fatih. Tangannya memasukkan ponselnya ke saku celana. Wajahnya menyeringai puas.
Mereka masih kejar-kejaran sampai di parkiran yang terletak tepat di belakang gedung Alat Berat. Parkiran di sekolah memang ada dua. Satu di belakang gedung Lab, dua di belakang gedung Alat Berat.
Drum
Suara dua motor berkejaran, mereka tertawa-tawa dan hanya memicing ke arah Fatih yang menatap mereka kesal.
"Haha, urusan kita belum selesai! besok lagi ya bye!" ucap salah seorang siswa yang bernama Lukman.
"Kurang ngajar kalian!" desis Fatih tertahan.
Fatih mengusap wajahnya kasar. Sebenarnya apa yang tengah Geng Lukman rencanakan untuknya. Lalu, kejadian tadi. Apakah mereka memanfaatkan kejadian tadi untuk mengoloknya?
"Huh." Fatih membuang nafas kasar, ia segera menaiki sepeda motor N-maxnya dan melenggang pergi meninggalkan parkiran sekolah.
Sesampainya di depan gapura sebagai gerbang menuju pesantren Abinya. Fatih memelankan laju kendaraan. Terlihat santri seumuran anak SMP dan SD berlalu lalang. Ada juga yang tengah mengaji di amben kobongnya. Abinya memang pemilik pesantren yang sebenarnya tidak begitu banyak santrinya. Hanya sekitar seratus orang. Memiliki kobong (tempat tidur santri) sejumlah sepuluh kamar. Di tambah Masjid yang letaknya tepat di samping kobong.
Ia memarkir sepeda motornya di bawah pohon Mangga yang rindang, tepat di sebelah kanan rumahnya.
Dengan segera ia masuk ke rumah setelah mengucap salam.
Tidak ada yang menjawab salamnya. Karena Abinya sedang ada acara di pesantren Babussalam di Kintap. Sedangkan Umminya, ia tidak tahu keberadaannya. Mungkin di dapur. Ia langsung ke kamar dan memeriksa ponselnya.
Tangannya menggeser layar. Matanya membesar melihat gambar yang terpampang disana.
"Sudah aku duga." Fatih merebahkan diri di kasur.
"Ini masalah besar. Lukman sialan!" umpatnya.
Tok Tok
"Iya, Fatih ada," ucap Fatih sambil melirik ke arah pintu kamarnya.
"Udah pulang ternyata anak Ummi." Umminya Fatih melongok ke dalam.
"Ada apa Mi?" tanya Fatih sembari melepas seragam sekolahnya.
"Sehabis solat Ashar, Ummi minta kamu ambil gamis Ibu yang dijahit di tempat Ibu Muslimah."
"Harus sore ini ya Mi?" tanya Fatih, merasa enggan sebenarnya. Tapi, ia tak bisa menolak keinginan Umminya.
"Iya, besok mau di pakai untuk pengajian Ibu-ibu."
"Iya, tapi Fatih mau makan dulu ini. Laper."
"Ya udah ayuk ke ruang makan. Bibi Asih tadi sudah masakin balado Ikan nila kesukaan kamu."
"Oke."
Usai makan, Fatih ke Masjid berbaur dengan para santri untuk melaksanakan salat Ashar. Setelahnya, ia bersiap untuk ke rumah Bu Muslimah Narsih, penjahit langganan Ummi.
"Ayo Mi."
"Ummi nggak ikut, kamu nggak liat Ummi lagi ngapain?" Ummi Fatih yang bernama -Zainab- itu tampak tengah asyik menganyam tas dari plastik semacam kopi-kopi kemasan. Duduk di sofa ruang tengah dengan televisi yang menyala.
"Ini uangnya, kamu inget 'kan masih rumahnya?" tanya Umminya Fatih.
"Iya inget."
Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, kini sepeda motor Fatih berhenti tepat di halaman sebuah rumah yang sisi-sisinya banyak di tumbuhi bunga Lily berwarna putih.
Di depannya ada pohon Jambu Air yang buahnya sudah merah-merah.
"Assalamualaikum," Fatih mengucap salam.
"Wa'alaikumussalam." Seorang gadis dengan kerudung navy sedada keluar. Matanya membesar begitu melihat Fatih yang berdiri tegap di hadapannya.
"Ternyata ini rumahmu Na. Baru tahu aku, deket aja ternyata dari pesantren."
"Iya, mau ngapain kamu?" tanya Ghina datar dan tidak mau basa-basi dengan Fatih. Ia tahu letak pesantren milik Abi Fatih, ia juga tahu Kyai Zafran yang beberapa kali mengisi kajian di Masjid dekat rumahnya. Dan ia juga tahu, Fatihlah anaknya. Ayolah, Kyai Zafran itu cukup terkenal. Juga, murid-murid sekolah seringa membucarakan perihal Fatih yang ternyata anak Kyai tapi kelakukan -Naudzubillah- Hanya saja, Fatih yang tidak tahu jika Ghina selama ini sudah kenal lebih dulu dengan Abi dan Umminya. Juga, kalau Ghina ternyata anak dari Bu Muslimah, seorang penjahit yang menjadi langganan Umminya.
"Mau ambil jahitan."
"Oh tunggu disini." Ghina mengisyaratkan dengan tangannya agar Fatih tetap bertahan di teras rumah..
"Kamu nggak mempersilakan aku masuk dulu?" tanya Fatih dengan senyuman
"Idih, ngapain juga."
"Siapa Na?" tanya Ibu Ghina yang keluar dari dalam rumah.
"Ini anaknya pelanggan Ibu."
"Oh Fatih, masuk dulu Nak. Kok Bu Nyai nggak ikut?" tanya Ibu Ghina
"Tadi lagi sibuk bikin tas anyaman Bu."
"Oalah. Rajin ya Bu Nyai."
"Ibu masih inget muka saya ya, padahal baru sekali ketemu," ucap Fatih menggaruk tengkuk.
"Ya ingetlah, wajahmu itu mirip Kya Zafran versi muda."
"Bentar Ibu bikinkan teh dulu. Na, ajak Fatih duduk."
"Eeh, nggak usah repot-repot Bu, saya cuma mau ambil gamis Ummi," tolak Fatih halus, apalagi ketika ia melihat tatapan Ghina yang jelas-jelas tidak suka jika ia berlama-lama.
"Yah, padahal main-main dulu di sini nggak papa. Kalian satu sekolah 'kan?" tanya Ibu Ghina menatap anak perempuannya dan Fatih secara bersamaan.
Belum sempat Ghina menjawab, Fatih mendahului.
"Iya, kami sekelas Bu," balas Fatih.
"Oh, jadi teman sekelas. Akrab dong. Ghina nggak pernah cerita-cerita kalau sekelas sama anak Bu Nyai."
"Ih Ibu, udah lah. Cepet ambilkan gamis Umminya biar dia cepet pulang," Ghina menghentikan obrolan basa-basi itu. Agar Fatih segera pergi dari rumahnya.
"Maaf ya, Ghina memang rada sensi kalau ada laki-laki ke rumah. Selain Kakaknya," tutur Bu Narsih seraya mendekat ke arah mesin jahit yang terdapat di dekat jendela rumahnya.
"Oh, Ghina punya Kakak?" tanya Fatih. Bu Narsih tersenyum.
"Iya, cuma jarang dirumah. Tinggal di Mess."
Fatih manggut-manggut. Ibunya Ghina memberikan gamis Bu Nyai yang dibungkus plastik kepada Fatih.
"Ini Bu." Fatih menyerahkan uang kepada Bu Narsih.
"Terimakasih ya Nak. Sampaikan salam ke Bu Nyai dan Pak Kyai."
"Iya Bu, kalau begitu saya pamit." Fatih menangkupkan tangannya di depan dada. Lalu keluar rumah diantar oleh Ghina.
"Aku pamit Na."
"Hm."
Fatih menaiki sepeda motornya. Ia menatap Ghina membuat gadis itu risih.
"Na, kamu udah tahu tentang..." Fatih menghela nafasnya. "Nggak jadi. Nanti kamu tahu sendiri," katanya seraya menyalakan motor.
"Ih mau ngomong apaan dia." Ghina berdecak kesal.
Ghina kembali ke kamarnya. Ia mengecek ponsel, ada pesan dari Renata.
Renatul : "Sudah sampai rumah 'kan?"
Ghina : "Iya udahlah, khawatir banget."
Renatul : Khawatir dong, kalau kamu kenapa-napa, btw aku liat Ilham tadi di pasar."
Ghina : "Lah apa hubungannya sama aku?"
Renatul : "Barangkali kamu rindu."
Ghina : "Ih dasar Renatul, nyebelin. Sotoy."
Renatul : "Dia beli gorengan tadi.
Renatul : "Sama Sella."
Ghina : "Ya biar aja, mereka 'kan saudara."
Renatul : "Sepupu kali! bisa jadi mereka ngedate!
Ghina : "Su'uzon."
Renatul : "Hehe, dia nanyain kamu tadi Na.
Ghina : "Terus?"
Renatul : "Ih, kamu gak pengen tahu gitu?"
Ghina : "Ya iya terus gimana, ngomong apa?"
Renatul : "Ada deh, hahaha."
Ghina : "Dasar, boong nih."
Renatul : "Hahaha."
Ghina menatap kesal layar ponselnya. Ia berbaring menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Pikirannya teringat kejadian tadi siang di sekolah. Ia menggelengkan kepala, sungguh kejadian memalukan menurutnya.
Keesokan harinya, seperti biasa. Narsih sudah menyibukkan diri di depan mesin jahit. Nasi goreng sudah tersaji di meja makan.
"Bu, makan yuk?" ajak Ghina yang memeluk Ibunya dari belakang.
"Nggak, Ibu sudah cukup minum susu tadi. Kamu aja."
"Ih, Ibu harus rutin sarapan. Biar nggak mudah pusing."
"Ibu nggak pusing. Sana sarapan, nanti telat."
"Ih Ibu!" Ghina berdecak lalu kembali ke meja makan. Ia pasrah saja saat Ibunya tidak mau dibujuk. Memang keras kepala menurutnya. Sebagai anak ia sulit sekali mengubah keputusan apapun yang Ibunya buat.
"Sepi," lirih Ghina karena setiap hari yang ada dirumah hanya dirinya dan Ibu. Ayah? Ghina tidak ingin membahasnya. Ia muak.
Kakaknya -Imran Sanusi- jarang pulang jika bukan hari offnya.
"Loh udah selesai?" tanya Ibu Narsih pada anaknya. Ia menghentikan gerakan kakinya.
"Udah, aku berangkat dulu Bu."
"Ini uang jajan." Ibu Ghina menyodorkan yang dua puluh ribu.
"Uangku masih ada Bu."
"Ambil, Ibu nggak mau tahu!"
"Iya, makasih Bu."
Ghina menyalami tangan Ibunya dan bergegas keluar. Ia menyetop angkot di tepi jalan raya. Lalu menaikinya. Penumpang hari ini cukup banyak, menjadikan tubuh kecilnya harus terdempet di antara dua Emak-emak gendut. Ia hanya menghela nafas, sambil sesekali tersenyum kepada keduanya. Ya, pulang pergi ke sekolah, dirinya memang memakai angkutan umum. Karena sepeda motor metic bermerek beat milik Imran, dibawa laki-laki itu ke Mess.
Sesamapainya di sekolah, benar saja. Ia melihat jam dinding yang tertera di pos satpam sekolah, menunjukkan hampir pukul delapan kurang lima belas menit.
Pak Samson sudah berdiri di dekat gerbang sembari menyilang tangan di dada.
"Hm telat," katanya kepada Ghina.
"Belum Pak, masih lima belas menit," ralat Ghina dengan senyuman.
"Hampir, ayo masuk. Mau saya tutup."
Ghina segera masuk dengan cepat bersama dua orang siswi yang mengekornya dari belakang. Mereka melangkah mendahului Ghina, menoleh sesaat dengan sinis.
"Ada apa?" tanya Ghina tak mengerti. Ia hanya menggedikkan bahu. Ia berjalan melewati parkiran guru yang letaknya di belakang gedung Lab. Namun, sebelum ia berbelok ke lorong. Seseorang memanggilnya.
"Na! Ghina!" Renata berlari-lari kecil ke arah Ghina, melewati kantin milik Pak Suryo yang memang letaknya di dekat parkiran dan tepat di belakang kelas XII TKJ IV.
"Gawat Na!" Renata ngos-ngosan. Ia sedikit membungkukkan badan di depan Ghina.
"Ayolah sambil jalan, bentar lagi bel," ajak Ghina.
Tangan Renata menahan, ia kini memposisikan diri di depan Ghina.
"Jangan lewat lorong depan bahaya!"
"Kenapa sih Na? bicara yang jelas, jangan buat aku kaya orang bego." Gina mendengus.
"Kamu nggak tahu kabarnya?" tanya Renata dengan matanya yang membesar.
"Kabar apa?" Ghina memutar bola matanya malas. Renata terlalu bertele-tele menurutnya.
"Broadcast yang tersebar ke seantero sekolah. Ramai juga dibahas di grup Rohis."
"Tentang apa?" desak Ghina tak sabaran.
"Eh bentar, kita lewat belakang aja." Renata berjalan memutar arah, melewati jalan belakang yang tadi di laluinya. Mereka tersenyum sekilas saat melihat Pak Suryo dan istrinya yang lagi sibuk menjajakan dagangan mereka.
"Aku tahu kamu itu tenang Na orangnya. Jadi, jangan kaget." Renata menghela nafas. "Broadcast itu isinya foto kamu sama Fatih lagi ciu***! oke, aku butuh penjelasan dari kamu Na, sekarang!"
Hai-hai...
kalau kalian suka ceritanya, vote dong, like + coment juga
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!