Braaaaaaaaaaaak..........!!!
Bian menendang pintu kamar hotel yang dirinya curigai sejak beberapa waktu lalu, bahwa di dalam sana ada tunanganya yang tengah bersama dengan seseorang, tapi belum Bian ketahui identitasnya.
Wajah tampan Bian berubah merah, sorot matanya memancarkan amarah yang sangat luar biasa. Emosi dan rasa kesalnya kini tengah menguasai hati. Sebuah pemandangan yang tak pantas untuk dirinya saksikan
HANCUR.
Hanya kata itu yang kini pantas untuk melukiskan perasaanya. Pria tampan pemilik senyum paling menawan itu tak menyangka, bahwa seseorang yang sangat di cintainya kini tengah berdua dengan seseorang yang begitu Bian kenal.
"Vivi..." Suaranya lirih seraya mengepal kedua tanganya dengan raut wajah yang di penuhi emosi.
"Bi_bian..." Vivi segera berdiri dan beranjak dari ranjang dimana kini dirinya berada, lalu membalut tubuh dengan selimut tebal.
"Baji ngan, sialan! Apa yang kau lakukan pada calon istriku?!" Pekiknya dengan suara yang begitu menggema. Emosi Bian sungguh tak terkendali.
Bagaimana Bian tak murka, melihat wanita yang begitu sangat di cintainya, tega bermain gila dengan sahabatnya sendiri.
Buuuuuuuuuugh
Satu pukulan keras mendarat tepat di wajah Rendra. Membuat pria itu juga tersulut emosinya hingga keduanya berkelahi. Rendra adalah sahabat Bian sejak SMA bahkan sampai saat ini keduanya masih bersahabat dengan baik. Namun Bian tak menyangka, orang yang sangat dirinya percayai justru tega menikungnya dengan cara tak terpuji sama sekali.
"Ciih, sial...... Beraninya kau memukulku!" Rendra juga meluap emosinya hingga mendaratkan tinjuan tepat di perut Bian.
Bag. Bag. Bug. Bug....!!!"
Hantaman demi hantama sama-sama mereka daratkan. Pukulan demi pukulan saling mereka lakukan.
Tak ada lagi kata sayang, kasihan dan saling memahami. Persahabatan yang sudah sekian lama terjadi kini hancur hanya karena seorang wanita, yang sama-sama mereka cintai dan kagumi.
Buuuuuuuuuugh. Pukulan dahsyat yang Bian layangkan, membuat Rendra tersungkur ke lantai. Dengan sigap dan gagah, Bian coba kembali akan melanyangkan tendangan ke arah Rendra, lelaki sialan yang telah tega meniduri Vivi, wanita yang sudah berstatus sebagai tunanganya.
"H E N T I K A N......!" Pekik Vivi sekuat tenaga mana kala dirinya melihat Bian akan menyerang Rendra lagi. "Jangan pukul dia!" Titahnya dengan lantang lalu mendekati Rendra dan membantu lelaki itu untuk berdiri.
Pemandangan yang teramat menyakitkan bagi Bian. Manakala melihat wanita yang bagitu di jaganya dan di sayangi setulus hati, justru berpihak kepada Rendra, lelaki yang dengan sengaja merenggut kehormatanya.
"Gila.. Pergilah kau dari hadapan kami, Vivi sudah tak membutuhkanmu lagi!" Rendra dengan sengaja membuat luka di hati Bian semakin menganga.
"Dasar baji ngan....! Berani sekali dia membentaku," guman Bian lirih namun sorot matanya terlihat begitu menahan amarah.
"Cepatlah pergi....!" Usirnya lagi.
Rendra berkali-kali meminta Bian meninggalkan kamar hotel yang kini dirinya tempati bersama Vivi. Bahkan tak ada sedikit pembelaan yang Vivi lakukan demi Bian, malam itu Vivi justru menunjukan rasa tak sukanya kepada Bian, seseorang yang selama ini di sebutnya sebagai kekasih.
"Kau tau mengapa aku tak menyukaimu." Tatap Vivi tajam menghujam tepat di wajah Bian, ucapanya begitu lembut namun menyakitkan. "Kau itu pria sombong yang tak faham bagaimana cara membahagiakan wanita. Kau bahkan terlalu sibuk dengan semua urusanmu, kau tak romantis tapi selalu mengekang setiap pergerakanku...!" Cetus Vivi dengan expresi wajah yang sulit untuk di pahami. "Kau bukan kriteriku, dan aku tak mungkin menerimamu menjadi suamiku, aku sengaja melakukan ini, agar tak ada alasan lagi bagi mama, untuk tak merestui kami, sebab karena mama yang terlalu mempercayaimu, membuatku sulit berhubungan dengan pria lain." Tambah Vivi lagi.
Deeeeeeeeeg.
Ucapan demi ucapan yang sengaja keluar dari bibir Vivi, begitu melukai hati dan batin Bian saat ini. Hal itu membuatnya memundurkan langkah secara perlahan.
Air mata luruh tanpa di duga, membasahi wajahnya. Pria tampan itu mengusap muka dengan cukup kasar, lalu berjalan pelan menjauhi kamar laknat yang membuat batinya tercekat. Langkah Bian gontai, membawa tubuh gagahnya pergi, tubuh yang begitu sangat di kagumi banyak wanita, tapi semua itu percuma karena kenyataanya wajah tampan, tubuh gagah harta berlimpah tak membuat Vivi mencintainya. Padahal selama ini Bian selalu berusaha melakukan hal apapun yang Vivi minta. Namun apa, wanita itu justru menghancurkanya dab merusak perasaanya.
"Bodoh...!" Bian menyeka air mata di pipinya. "Kalian harus membayar tiap tetes air mata yang keluar membasahi wajahku malam ini," omel Bian lagi.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....!!!
Teriak Bian sekuat tenaga. "Rendra.... Kita lihat saja, jika aku tak bisa membuat Vivi jatuh cinta, maka jangan harap kau akan memilikinya. Kecuali kau langkahi dulu mayatku, tak akan pernah ku biarkan kalian hidup damai... Aaaaaaaaaa......!!
Braaaakkk. Gelaap..
"Mas Bian, sudah sadar," suara itu terdengar sayup-sayup.
Bian perlahan membuka matanya, dan menatap seseorang yang kini ada di hadapanya.
"Aku dimana?" tanyanya pelan dengan memegangi kepalanya yang masih terasa sedikit pusing.
"Anda ada di rumah sakit, mas Bian semalam tak sadarkan diri," jawab Dika sopir yang hampir 1 tahun ini sangat di percayainya.
Ya. Kejadian tadi malam menimbulkan luka yang teramat dalam. Terbayang wajah Vivi wanita yang amat dirinya cintai, justru melukai hati dengan perbuatan yang sama sekali tak terpuji.
"Memalukan...!" Batinya dengan segenap rasa sakit yang masih begitu menyiksa,
🕊
Sejak kejadian itu, hubunganya dengan Aluvi Tiana, atau di sapa Vivi kandas tanpa sisa. Bahkan dalam beberapa waktu Bian harus menyaksikan, Vivi dan Rendra sengaja bermesraan di hadapanya.
"Dasar baji ngan...!" Upat Bian dalam hati namun berusaha tak terlihat emosi.
Luka yang di rasakan Bian bukan hanya prihal rasa cinta saja. Tapi rasa percaya dan selalu memberi yang terbaik untuk keduanya justru di balas dengan pengkhiantan. Vivi, wanita yang begitu dirinya cintai sementara Rendara sahabat yang bagitu di percayainya. Namun mereka justru dengan tega menghancurkan hubungan itu dengan perbuatan yang begitu memalukan.
🕊
Namun meski hubunganya dengan Vivi sudah tak baik-baik lagi. Bian tetap menghormati Amira, wanita paruh baya yang telah menjodohkanya dengan Aluvi Tiana, wanita yang telah membesarkan Vivi penuh cinta, dialah ibu kandung Vivi sendiri.
"Aku harus tetap bersikap biasa saja di hadapanya, karena jika sampai bu Amira tau kelakuan putrinya itu, sudah tentu dia pasti akan kecewa," gumam Bian berkali-kali setiap kali menatap wajah ibu kandung mantan kekasihnya sendiri.
🕊
Hari-hari Bian lalui dengan batin yang masih cukup perih. Tapi dirinya harus tetap berdiri, sebab statusnya sebagai CEO muda di perusaahan yang di tinggalkan kedua orang tuanya, mewajibkan Bian harus sebijak mungkin dalam bersikap. Bedakan masalah pribadi dan pekerjaan kantornya.
Bian duduk di kursi kebangganya, dengan menatap keluar jendela kantornya. Sorot matanya begitu tajam memandangi taman bunga yang tertata indah di halaman kantor miliknya sendiri.
"Huuuuf.....!"
Bian membuang nafas secara kasar lalu menariknya perlahan.
"3 tahun aku telah bersamanya, menghabiskan waktu untuk mencintai wanita yang begitu memalukan seperti dia. Waktu yang sudah terbuang sia-sia.
Jika mengingat hal itu, Bian tak bisa memungkiri rasa kecewanya saat ini.
"Sabar Bian! Kau harus tetap kuat, jangan biarkan mereka tertawa di atas rasa sakitmu, balas, mari kita balas. Buat mereka lebih menderita dari apa yang kau rasakan saat ini." Ucap Bian untuk dirinya sendiri seraya menarik sudut bibir lalu tersenyum penuh kelicikan.
BANGKIT, BALAS.
Kata-kata itu selalu menjadi motifisi untuk Bian sendiri. Rasa sakit yang dirinya rasa karena wanita membuat jiwa pendendamnya kian meronta.
____
"Kau seharusnya sadar diri, mengapa Vivi justru memilih untuk mencintaiku dan memberikan segalanya padaku," ucap Rendra secara sengaja saat bertemu Bian dia sebuah Cafe.
"Tak usah ceramah! Aku tak butuh nasehatmu," jawab Bian ketus dengan sorot mata yang siap menerkam.
"Kau memang tak butuh, tapi aku hanya ingin menasehatimu. Apa kau tau, cinta sebesar apa pun akan kalah dengan orang yang selalu ada setiap dia butuh dan selalu ada saat dia mau kemana-kemana, yang pasti cinta itu akan berpaling pada orang yang selalu menemaninya," tambah Rendra dan semakin mendekati keberadaan Bian.
"Breng sek....! Kau kira aku tak punya pekerjaan. Aku selalu memenuhi apa yang Vivi mau, hanya waktu saja memang yang sulit untuk ku berikan," jelas Bian.
"Hahahahaha....!" Tawa Rendra menggema dan membuat wajah Bian memerah. "Kau tau, apa yang kau beri pada wanitamu itu, aku juga menikmatinya. Bahkan dengan gampangnya dan rayuan sedikit saja, Vivi sudah jatuh dalam dekapanku. Dan malam itu kau lihat sendiri apa yang dia beri." Tambah Rendra berucap dengan penuh rasa bangga.
"Kurangajar....!" Bian tersulut emosi, penjelasan Rendra membuat panas hatinya. Bahkan dari penjelasan tersebut, Rendra seolah mengatakan bahwa Vivi murahan.
"Jangan emosi kawan. Aku hanya memberi tahumu, kalau jadi manusia jangan terlalu polos, jika tak ingin di pecundangi." Ejek Rendra yang membuat Bian semakin marah.
"Bang sat......! Kau belum mengenal siapa diriku, kau belum paham siapa aku. Lihatlah dalam satu tindakan, aku bisa membuatmu jatuh dan tenggelam." Ancam Bian namun di sambut tawa oleh Rendra.
Mendengar tawa Rendra, membuat hati Bian kian kesal dan panas. Pria tampan itu segera berlalu dari hadapan seseorang yang sempat dirinya sebut sebagai sahabat. Bahkan saat Bian sudah berada dalam mobil miliknya. Rendra masih saja tertawa seolah mengejek mantan kekasih wanita yang kini bersamanya.
1 Bulan Kemudian
🕊
"Hamil........??!!"
Pertanyaan itu terdengar lantang, dari bibir Amira yang terkejut luar biasa, saat mendengar pengakuan dari anak satu-satunya. Ketika Amira menemukan benda di kamar Vivi dengan 2 garis biru.(Test Pack)
Pengakuan Vivi akan kehamilanya membuat Amira begitu murka. Pandanganya seketika berputar-putar, energi emosi beraura hitam memenuhi setiap jengkal pembuluh darah. Tekanan darah seketika terpompa kuat menghantar pasukan nutrisi untuk bala tentara setan di setiap pikiran.
EMOSI MARAH DAN KECEWA
Amira segera mendekati asal muasal penyulut batinya terbakar. Di tatapnya wajah Vivi begitu tajam dan dalam.
"Katakan pada, Mama! Siapa yang telah menghamilimu?!" Pertanyaan namun terdengar seperti bentakan.
Vivi memundurkan langkahnya, tatapan sang mama membuatnya bergidik ngeri. Saat ini Vivi hanya mampu terdiam, bahkan menatap wajah Amira pun tak kuasa dirinya lakukan. Terlebih lagi Vivi tak mengerti harus menjelaskan apa pada sang mama, sebab Rendra, lelaki yang telah berjanji akan bertanggung jawab atas perbuatanya, justru hilang entah kemana.
Sorot mata Amira kian tajam dan menghujam, bak singa betina yang siap menerkam. Rasa kecewanya semakin bertambah karena Vivi tak kunjung menjawab pertanyaanya.
"Bian... Apakah dia pelakunya?" suara Amira mulai melemah sementara Vivi hanya terdiam pasrah.
Dan di waktu yang tak tepat, saat rasa amarah memenuhi benak Amira. Bian justru datang berkunjung dengan senyuman menawan yang keluar dari wajah tampanya. Bukan tanpa tujuan Bian datang, awalnya dirinya berniat mengundang Amira di acara makan malam bersama, untuk merayakan kesuksesan peruasahaanya.
"Kau orangnya...!" Todong Amira seketika saat menyadari kehadiran Bian di rumah miliknya.
"A_ada apa ini?" Bian terlihat bigung dengan tatapan Amira yang tak bersahabat menyambut kehadiranya sedangkan Vivi masih menangis lirih.
Plaaaaaaaaaak.
Satu tamparan mendarat nyaman di wajah tampan Bian. Hal itù sontak menimbulkan keterkejutan yang luar biasa pada pria muda yang sebenarnya berniat baik datang kerumahnya.
"Heeey... Apa yang anda lakukan? kenapa anda menampar wajah saya?" tanya Bian dengan raut wajah yang memerah.
"Vivi hamil..."
"Hah lalu...?"
"Kau harus bertanggung jawab!" Seru Amira tanpa basa basi.
"Kenapa aku?" Bian menunjuk wajahnya.
"Tak usah sok polos. Berani berbuat kau juga harus bertanggung jawab.
Amarah sang mama tak kunjung reda bahkan Amira tak memberikan kesempatan kepada Bian untuk menjelaskan. Begitu pun Vivi dirinya pun tak mengelak saat sang mama menuduh Bianlah pelakunya dan meminta Bian bertanggung jawab atas kehamilanya.
Tertunduk lesu, itulah yang terjadi pada Vivi saat ini, sedangkan Bian berusaha menghadapi kemarahan Amira karena telah salah sangka.
"Nikahi Vivi hari ini juga!" Seru Amira dengan nada tinggi.
Bian tetap diam dan justru tersenyum simpul.
"Ta_tapi, ma," nada bicara Vivi pun terbata-bata.
Titah Amira membuat Bian terdiam sejenak. Tak ada penolakan yang dirinya lakukan.
"Baiklah. Aku akan menikahi Vivi hari ini," ucap Bian tegas bahkan tak ragu sama sekali. Entah apa yang di pikirknya yang pasti hanya Bian sendiri yang mengerti.
"Bagus. Saya akan menyiapakan semuanya saat ini juga, dan saya pasti akan memastikan kalian menikah sesegera mungkin." Tegasnya seraya meraih ponsel yang berada di atas meja. Tak jauh dari keberadaanya saat ini. Entah siapa yang akan Amira hubungi.
"Bian, kau tak perlu melakukan ini. Aku tak mau kau bertanggung jawab atas perbuatan yang orang lain lakukan," bisik Vivi lirih.
"Lalu. Apa yang akan kau lalukan? apa kau akan jujur pada mamamu bahwa itu bukan anakku. Dan dimana Rendra si baji ngan, kenapa dia tak datang lalu menikahimu, kenapa dia tak bertanggung jawab atas perbuatan bang satnya itu," balas Bian lirih dan berbisik sepelan mungkin.
Ssssssssttt
Ucapan Bian bak pisau tajam yang menyayat hati Vivi secara pelan, lembut tapi menyakitkan. Lagi-lagi saat ini, hanya jurus diam yang Vivi miliki sebab ucapan Bian memang benar adanya, tak ada jawaban untuk membantah, saat ini Vivi hanya bisa pasrah dan menerima. Karena hal buruk ini terjadi atas kecerobohanya sendiri. terlebih bagi Vivi, dirinya tak ingin sang mama kecewa atas luka yang Vivi torehkan di dalam hati dan perasaan Amira, wanita yang telah melahirkanya 23 tahun yang lalu.
🕊Yuk Tinggalkan komentar dan masukanya❤ Terima Kasih🕊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!