Kemarin ia masih bisa menghirup udara segar. Menikmati hidup dan sedikit kebahagiaan yang Avram berikan, kesempatan kedua yang pernah sang ayah lakukan untuk kesembuhannya
Kemrin semuanya masih baik baik saja meski ia harus terbaring lemah di atas tempat tidur. Kemarin masih bisa melihat wajah Avram, senyumannya, suaranya. Kerinduannya akan sentuhan hangat, belaian lembut dari tangan Ibunya. Kini Yang Maha Kuasa sudah mengambilnya kembali sebelum Rafa menyecap kasih sayang dari sang Ibu yang ia rindukan.
Kini di manakah sang Ibu saat ia merindukannya walau sekedar untuk menyapanya. Kini harapan terbesarnya musnah, padam juga sisi cahaya dalam hati Rafa. Yang tersisa adalah kegelapan, kebencian pada segala hal yang ada di dunia ini.
Saat kepercayaan, keyakinan, harapan telah musnah bersama kenyataan yang berkali kali menghempaskannya kedalam jurang terdalam. Adakah cahaya terang mampu menyentuh sisi gelap Rafa yang muncul dalam dirinya?
Kini, Rafa benar benar sendirian
Sudah satu bulan Rafa tinggal di tempat rehabilitasi bersama seorang psikiater. Ia mulai menikmati pribadinya yang baru, bukan lagi Rafa yang polos. Rafa bukan lagi anaj yang harus selalu mengalah pada keadaan. Rafa bukan lagi anak yang harus selalu menekan perasaannya demi orang lain. Rafa bukan lagi anak yang selalu bersikap baik pada semua orang. Dia tidak lagi menganggap semuanya penting. Kini di mata Rafa segala hal sudah tidak ada nilainya lagi, kecuali kebencian.
Kemarahan yang terus menggeliat layaknya ular raksasa di dalam dada yang kelaparan mencari mangsa. Kehampaan kian menyebar, Kegelapan semakin bertahta di dalam jiwa Rafa. Tak ada lagi napas kebaikan dalam diri Rafa yang sudah membeku, dingin, yang begitu keras layaknya batu hidup yang telah diajari untuk tak lagi lunak terhadap ketulusan yang selama ini Avram ajarkan.
Kebencian lahir dari jiwa Rafa yang tak lagi tahu caranya menjalani hidup. Bertahan dalam kemunafikan panjang. Memegang erat kehidupan yang sebenarnya tak lagi Rafa inginkan. Kenangan masa kecil, di buang dan tak di inginkan orangtua sekedar kepalsuan lalu di biarkan tersungkur dan sekarat. Berharap kasih sayang dari sang Ibu, yang ternyata lebih mementingkan perasaannya di banding putra yang telah lama ia tinggalkan. Bagai kisah tak beraturan dan entah kapan akan berakhir dan diam.
Berjuang untuk lepas dari kenangan masa lalu, semua terjadi hanya karena pertengkaran kecil yang seharusnya tidak terjadi, keserakahan. Perselingkuhan harus berakhir pada kehilangan. Membawa kembali perasaan yang coba di kuatkan kembali runtuh.
"Hahahahaha!" Rafa tertawa terbahak bahak, di kamarnya sendiri. Hanya lampu kecil yang tiap malam menemani kesepiaannya.
Rafa semakin membenci hidupnya, ia merasa sudah benar benar di buang oleh orang tuanya. Kesalahan orang tua adalah membiarkan sang anak di bawah pengawasan orang lain. Bukan kesembuhan yang di dapat, tapi semakin dalam mereka membuat jurang pemisah di antara mereka.
Lima bulan sudah, Rafa menjalani terapi. Menjadikannya memiliki kepribadian ganda, mampu mengelabui lawan bicaranya. Satu jam ia bisa berubah pendiam, satu jam kemudian ia nampak rewel dan menyenangkan, satu jam kemudian ia bisa berubah tempramental, satu jam kemudian ia bisa berubah mengerikan, tergantung siapa lawan bicaranya.
Lima bulan sudah Rafa mampu mengelabui sang psikiater. Sikapnya berubah manis dan menyenangkan.
Rafa yang memiliki kecerdasan di atas rata rata anak anak, mampu menjawab semua pertanyaan yang di ajukan psikiater dengan benar.
Di bulan yang ke enam, Rafa di perbolehkan pulang kembali pada keluarganya.
"Kalian baik, aku bisa seribu kali lebih baik lagi. Satu kali kalian jahat padaku, maka aku akan seribu kali lebih jahat."
"Selamat pagi anak manis." Sapa psikiater yang selama ini merawat Rafa tersenyum bangga karena merasa telah berhasil menyembuhkan putra pewaris tunggal harta kekayaan milik Avram.
"Pagi Tante.." jawab Rafa memberikan senyum terbaiknya kepada wanita yang bernama Vanila.
"Bagaimana? apa kau sudah siap pulang?" tanya Vanila tersenyum lalu mengacak rambut Rafa sekilas.
"Tentu saja Tante!" sahut Rafa.
"Ayo kita keluar!" Vanila menggenggam erat tangan Rafa lalu mereka berjalan bersama menuju ruang pengunjung.
Di sela sela langkahnya ia terus tengadahkan wajahnya menatap Vanila dengan senyum seringai.
"Sayang? kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya Vanila mengerutkan dahinya menatap wajah Rafa.
Rafa menggelengkan kepalanya, tersenyum tipis dan berkata. "Tante cantik."
"Aih kau sudah bisa mennggodaku." Vanila mencubit gemas hidung Rafa.
Rafa hanya tersenyum, wajahnya terus tengadah menatap Vanila. Yang ada dalam benaknya bukan memuji Vanila, tapi bagaimana dulu wanita itu pernah mencubit lengan Rafa hingga membiru hanya karena kesal.
"Kecantikanmu sebentar lagi akan pudar.." ucap Rafa dalam hati.
Sesampainya di ruangan, yang pertama kali ia lihat adalah Avram. Rafa berlari menubruk pria itu dan memeluknya.
"Dad.."
Avram jongkok lalu memeluknya dengan erat. "Sayang, akhirnya kau pulang. Aku sangat merindukanmu.."
"Dad, seberapa besar rasa rindumu padaku. Aku lebih merindukan kebebasanku." Jawab Rafa.
Avram melepaskan pelukannya, menatap dalam dalam kedua bola mata Rafa. Ia tidak melihat lagi sosok putranya yang dulu, itu yang Avram rasakan. Mungkin naluri seorang Ayah tak setajam naluri seorang Ibu. Namun Avram adalah Ibu sekaligus ayah buat Rafa. Sedikit banyak, ikatan batin telah terikat dengan kuat.
"Apakah kau baik baik saja?" tanya Avram.
"Kemarin aku baik baik saja Dad, sekarang aku jauh lebih baik lagi." Kata Rafa tersenyum melirik ke arah Livian dan Quenby yang berdiri tak jauh dari sampingnya.
"Aku mau, kau ikut bersamaku lagi, biar aku yang menjaga dan merawatmu." Pinta Avram.
"Tidak sekarang Dad..aku ikut Momy." Sahut Rafa lalu ia berlari ke arah Quenby dan memeluknya erat.
"Rafa sayang, apa kabarmu?" sapa Quenby mengangkat tubuh Rafa dan menggendongnya.
"Momy..turunkan aku, sekarang aku bukan anak kecil lagi..lihatlah kakiku!" serunya sambil melorot turun ke bawah. "Halo Om, apa kabarmu? apakah kau bahagia?" sapa Rafa.
"Kabarku baik sayang, bagaimana? kau sudah siap pulang?" tanya Livian.
"Tentu saja Om!" sahut Rafa.
"Jangan panggil aku, Om. Panggil Ayah kalau kau tidak keberatan." Pinta Livian.
"Baiklah, Ayah. Aku mau menjadi anak baik, baik sekali." Jawaban Rafa membuat Avram yang memperhatikan merasa aneh dan terdengar tidak wajar untuk seusianya.
"Terima kasih sayang."
Rafa menganggukkan kepalanya. "Iya Ayah!"
Kemudian Avram dan yang lain mengucapkan terima kasih pada Vanila yang selama ini telah membuat Rafa kembali normal. Kemudian mereka berpamitan pulang. Vanila tersenyum bangga lalu mengantarkan mereka sampai halaman rumah.
Baru saja mereka hendak masuk ke dalam mobil masing masing, tiba tiba Vanila menjerit kesakitan memegang wajahnya sendiri. Avram melihat seorang pengendara motor menyiramkan air keras ke wajah Vanila lalu kabur begitu saja.
"Aaaaaaahkkkk!" jerit Vanila.
Avram bergegas membantunya, begitu juga Livian. Namun Avram mencegahnya, dan meminta Livian untuk segera membawa Rafa pulang.
Di dalam mobil, Rafa tersenyum menyeringai memperhatikan Avram membantu Vanila membawanya ke rumah sakit.
"Adil bukan?" ucap Rafa dalam hati.
Rafa duduk termenung di balkon kamarnya. Ia masih tidak bisa percaya hidupnya berubah. Ya, harusnya dia senang memiliki orang tua tapi hati kecilnya tidak bisa berbohong. Meski kedua orangtuanya mengakui dia sebagai putranya, tapi apa hanya cukup dengan sebuah pengakuan?
Ia sangka akan bahagia bila bertemu dengan orangtua dan tinggal bersamanya. Tapi kenyataan berkata lain, mengapa hidup ini sudah tidak adil?. Semua ucapan orang orang, Livian dan Quenby begitu menyakitkan hatinya. Tidakkah ada secuil kasih sayang untuknya? begitu burukkah anak haram di mata mereka? hingga kedua orangtuanya sudah memperlakukannya tidak adil. Atau khayalan Rafa yang terlalu tinggi? berharap bahagia dan mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya?
Rafa masih duduk dikursi kamarnya menghadap meja, tangan mungilnya menayalakan lalu mematikan wall lighting yang ada di atas meja dengan tatapan kosong.
Dalam benaknya, di telinganya, yang ia bayangkan dan dengar hanyalah penghinaan baik dari teman sekolah atau orang di sekelilingnya yang seringkali membuly dan menggosip tentangnya yang seorang anak haram.
"Aku dilahirkan karena sebuah kesalahan, apakah aku juga harus menanggung kesalahan itu?" gumamnya pelan.
"Klik!" lampu menyala terang.
"Begitu piciknya pikiran orang orang menganggap aku sebagai mahluk menjijikan yang tak pantas hidup layaknya anak anak lainnya?" tanyanya pada diri sendiri.
"Klik klik!" lampu menyala terang lalu kembali gelap.
"Mengapa mereka begitu mudah membedakan aku anak haram? kenyataannya aku di lahirkan bersih tanpa noda seperti anak lainnya?" senyum sinis tersungging di sudut bibirnya.
"Klik klik!"
"Aku anak baik, sangat baik. Tapi ternyata mereka menilaiku buruk, baiklah. Aku ikuti permainan takdir sampai di mana batas kemampuanku menaklukan takdirku sendiri. Hahahaha!"
"Klik!" lampu kembali terang saat pintu kamar terbuka. Rafa menoleh dan tersenyum sangat manis saat melihat Quenby masuk ke dalam kamarnya dan tersenyum lalu duduk di kursi berhadapan dengan Rafa.
"Momy.."sapa Rafa.
"Sayang, kau belum tidur?" tanya Quenby menatap wajah putranya. "Tidurlah, aku sudah mengantuk dan besok banyak pekerjaan yang harus kukerjakan. Bisa kan kau bekerjasama denganku?" pinta Quenby supaya Rafa cepat beristirahat karena ia juga merasakan lelah.
"Bukankah besok kau sekolah lagi?" tanya Quenby.
"Aku mau pindah sekolah," jawab Rafa.
"Apa maksudmu?" tanya Quenby lagi.
"Aku pintar mom, aku mau sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Aku bosan sekolah di sana!" sahut Rafa.
"Nak, kau jangan aneh aneh."
"Apa permintaanku terlihat aneh?" tanya Rafa mencengkram tangan Quenby kencang.
"Hey sayang, kau menyakitiku." Quenby menarik tangan Rafa yang mencengkramnya.
"Maaf Mom..aku tidak sengaja..sakitkah? sakit mana dengan hatiku.." ucap Rafa pelan nyaris tak terdengar.
"Kau bilang apa sayang?" tanya Quenby.
"Tidak apa apa Mom..aku hanya bilang maaf." Jawab Rafa.
"Ya sudah, sekarang kau istirahat. Soal keinginanmu, aku bicarakan dengan ayahmu."
Quenby mencium kening Rafa lalu beranjak pergi meninggalkan kamar putranya menuju kamar pribadi Quenby. Sesampainya di kamar, Quenby langsung menceritakan keinginan Rafa kepada Livian.
"Bisa saja dia pindah ke sekolah menengah atas, tapi apakah dia bisa menjawab semua soal soal pelajaran sekolah menengah atas dengan benar?" tanya Livian balik.
"Bagaimana kalau kita coba? aku takut Rafa menjadi seperti kemarin kalau kita larang." Usul Quenby.
"Iya, besok kita coba." Jawab Livian lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Terima kasih, kau mau mengikuti keinginan putraku." Kata Quenby, lalu berbaring di samping Livian bersiap untuk tidur.
Di luar kamar, Rafa tengah menguping pembicaraan mereka dengan mendekatkan kupingnya di pintu kamar.
"Jika orang tua saja tidak mempercayaiku, apalagi orang lain?" gumam Rafa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!