NovelToon NovelToon

Semesta Untuk Langit Dan Bumi

DIBUANG

BUK! BUK! BUK!

“Dasar anak haram!”

Seluruh tubuhku terasa remuk. Aku menyeringai. Bahkan rasa seperti ini sudah terasa nikmat bagiku. Darah mengucur dari pelipis dan ujung bibirku.

“Kalau kau berulah lagi, aku tak akan segan-segan menyiksamu.” Lelaki itu pergi dengan menggebrak pintu kamar.

“AHAHAHAHA.” Aku sudah tak bisa menahan tawa lagi. Dia berkata seolah-olah tak pernah berperilaku kasar padaku. Lantas yang barusan itu apa bukan penyiksaan? Atau dia tak sadar telah melakukan penyiksaaan? Hei ini bukan pertama kalinya dia melakukan itu padaku.

Diluar terdengar suara orang berbisik. “Kau memukulnya lagi?”

“Biar saja.”

“Bagaimana kalau Ibu tahu?”

“Ibu tak akan datang secepat itu. Besok dia juga akan sembuh.”

Hening sejenak.

“Apa yang kau lakukan?!”

“Aku ingin mengobatinya! Aku takut jika Ibu menemukannya dengan kondisi seperti itu.”

Terdengar suara derit pintu. Seorang perempuan masuk, dia adalah kakak perempuan tiriku. Aku membuka mata perlahan, samar-samar aku bisa melihatnya mencoba memapahku, menidurkanku di atas ranjang dan mulai mengobati. Begitulah rutinitas yang dilakukan saat Ibu dan Ayah tiriku pergi.

“Harusnya saat mereka pergi, kau pergi saja.” Gumam perempuan itu. “Tidur di rumah temanmu misalnya.”

Aku tahu itu. Dia selalu mengatakan hal itu. Mereka semua memang berniat membuatku meninggalkan rumah ini. Kakak laki-laki tiriku dengan cara memukuliku, kakak perempuan tiriku dengan berbicara seolah-olah dia peduli padaku, dan ayah tiriku yang bahkan selalu melihatku seperti seonggok sampah. Mungkin hanya Ibu harapanku satu-satunya yang bisa membuatku bertahan sampai sejauh ini.

Sejauh ingatan yang tersimpan, Ibu selalu memperlakukanku seperti anaknya yang lain. Kata saudara tiriku, aku adalah anak hasil selingkuhan Ibu. Dan itu terbukti benar saat aku bertanya pada Ibu sendiri. Dengan mata berkaca-kaca, dia mengangguk mengiyakan nasib pahitku itu.

Aku juga sedikit lega mendengar kenyataan itu. Aku jadi tahu alasan kakak laki-lakiku sangat membenciku. Aku tahu alasan kakak perempuanku saat memberiku makan dengan porsi yang lebih sedikit dibanding yang lain. Aku tahu mengapa Ayah tak pernah berbicara padaku bahkan tak pernah menegurku sekalipun.

“Tapi kau tetap anak Ibu.” Kata Ibu membesarkan hati.

Pernah sekali Ibu membawaku ke tempat Ayah kandungku. Aku menginap disana selama beberapa hari, menginap di neraka itu. Ayahku itu seorang pemabuk, kerjanya hanya terus menerus berjudi. Jika kalah judi, dia akan melampiaskannya padaku, memukuliku, menghajarku. Hampir setiap hari dia kalah judi. Suatu hari Ibu berkunjung untuk melihat keadaanku, saat melihat tubuhku babak belur, dia langsung membawaku lagi.

Aku tidur meringkuk. Diluar sudah gelap. Baru saja kakak perempuan tiriku datang membawakan makanan dengan porsi seperti biasa namun sampai saat ini makanan itu belum kusentuh sama sekali. Bukan karena ingin memberontak, hanya saja tubuhku tak kuat bahkan hanya untuk mengangkat sendok.

“Nak…” Suara yang amat kukenal, menyentuh lembut telingaku. Membuat kesadaranku kembali.

Mataku perlahan terbuka. Pemandangan pertama yang kulihat adalah raut wajah Ibu. “Ibu… sudah… datang…?”

Ibu mengangguk. “Kakakmu memukulimu lagi ya?” Ibu berusaha keras untuk tersenyum.

Aku menggeleng. Bukan karena takut, hanya saja aku tak ingin memperburuk suasana keluarga ini. Disini, aku hanya dianggap sebagai benalu bagi mereka.

“Ibu sebenarnya sudah tahu. Sejak dulu.” Suara Ibu bergetar, dia lembut membelai rambutku. “Maafkan Ibu…”

Aku hanya diam menatapnya.

“Ibu… tak bisa berbuat apa-apa lagi. Maafkan Ibu, ini semua kesalahan Ibu tapi kau yang terkena imbasnya. Ibu benar-benar minta maaf.” Ibu sudah tak dapat membendung lagi air matanya. Dia memelukku, tangisannya pun pecah.

Aku hanya bisa diam sambil menunggu tangisannya reda.

“Ibu pesan makanan?” Teriak kakak perempuanku dari luar.

Segera Ibu mengusap air matanya. “Iya. Bawa kemari.”

“Buat apa Ibu pesan makanan malam-malam begini?” Bisik kakak perempuanku yang bahkan masih bisa kudengar samar-samar.

“Buat adikmu, dia belum makan apapun. Makanan yang kau beri itu sudah dingin.” Ibu segera mengambil makanannya dan menutup pintu kamar. Dia tersenyum menatapku. “Ibu suapin ya.”

Jika ada sesuatu yang bisa menggambarkan Ibu, bagiku dia bagaikan malaikat. Ibu setiap hari merawatku sampai semua luka sembuh. Saat aku bertanya mengapa dia tak bekerja, Ibu menjawab Paman yang menggantikan Ibu untuk sementara.

“Kita mau kemana?” Kami pergi menaiki kereta.

Ibu tersenyum. “Jalan-jalan. Bukankah kau tak pernah menaiki kereta sebelumnya?”

“Apa tak apa, tak mengajak kakak-kakakku?”

Ibu menggeleng. “Tak apa.”

Kami menghabiskan waktu seharian berkeliling kota yang tak pernah kukunjungi sebelumnya. Kata Ibu ini adalah Ibukota. Taman hiburan, kebun binatang, museum, bangunan bersejarah, semua lengkap disini. Aku semakin bersemangat saat mengunjungi bioskop. Film yang diputar di layar lebar dengan volume besar. Sensasi itu belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku hanya pernah mendengar teman sekolah perempuanku bercerita.

“Tadi seru sekali.”

Ibu lagi-lagi tersenyum. Senyum yang belum pernah kulihat sebelumnya. “Kau senang?”

“Tentu saja.” Jawabku cepat.

“Syukurlah.”

“Apa kita akan pulang? Sudah sore juga.”

Ibu menggeleng. “Ada satu tempat lagi yang harus kau kunjungi.”

Aku bersorak riang dalam hati. Saat itu juga aku ingin waktu berhenti, agar aku bisa merasakan kesenangan itu lebih lama lagi. Di dalam perjalanan, aku bertanya-tanya tempat seperti apa yang akan Ibu tunjukkan padaku. Setelah sekali lagi menaiki kereta dan bus, hari sudah gelap, mataku sudah sayup-sayup.

“Kita sudah sampai, Nak.” Ibu mengembalikan kesadaranku.

Kami turun di sebuah bangunan besar. Karena gelap, aku tak bisa membaca tulisan besar diatas bangunan itu. Kami akhirnya berjalan mendekat. Seorang satpam menyambut hangat Ibu, dia mengantarkan kami untuk masuk lebih dalam. Saat tiba di depan pintu masuk, aku baru bisa membaca tulisan itu.

Aku terpaku, menatap Ibu yang sedang berbincang dengan pemilik bangunan itu. “Ibu…”

Mata Ibu sudah berkaca-kaca, dia memelukku. “Mulai sekarang, kau akan tinggal disini, Nak. Di panti asuhan ini. Ibu benar-benar minta maaf.” Ibu beralih menatap pemilik panti asuhan. “Saya titip anak saya.”

“Dengan senang hati, Hana.” Pemilik panti itu menggandeng tanganku. “Kau punya banyak teman disini.” Dia tersenyum menatapku.

Aku masih terpaku dengan semua yang terjadi begitu cepat. Padahal tadi aku masih bisa merasa senang, berpikir bahwa masih banyak tempat di dunia yang harus kukunjungi sebelum kehidupan berakhir. Lalu sekarang seakan-akan aku terkena pukulan bola telak. “Ibu…”

Ibu memelukku erat-erat sambil menangis sebelum dia meninggalkanku, pergi begitu saja. Bahkan aku tak sempat bertanya apakah dia akan mengunjungiku lagi atau tidak.

Jika ada seseorang yang bertanya hal apa yang paling kuinginkan, mungkin dulu aku masih belum bisa menemukan jawabannya. Namun jika sekarang aku diberi pertanyaan itu, mungkin aku sudah punya jawabannya. Sesuatu hal yang paling kuinginkan adalah mati.

BERANDALAN

BUK! BUK! BUK!

Lagi dan lagi aku mendapat pukulan. Tadi salah satu teman pantiku mengajakku mengamen di stasiun. Katanya untuk tambahan uang sangu dan menabung. Saat hari sudah sore, kami memutuskan untuk pulang karena sudah banyak uang yang kami dapat. Namun di perjalanan kami dihadang oleh sekelompok berandalan. Mereka memalak kami namun aku menolak memberikan uangnya, dan hasilnya tubuhku babak belur dan uangnya diambil, lengkap sudah.

“Kau tak apa ?”

Aku mengangguk. “Aku sudah biasa seperti ini.” Aku menoleh. “Kak Jay bagaimana?”

Dia menggeleng. “Tak apa.”

Aku mengernyit. Segera membantunya duduk. “Kau tak baik-baik saja.” Aku menyobek sebagian bajuku. Tak ada uang tersisa untuk membeli obat-obatan dan perban. Aku tak punya pilihan, darah yang mengucur dari pelipis kak Jay harus dihentikan. Syukurlah aku masih mengingat cara-cara kakak perempuan tiriku saat mengobatiku dulu.

Aku berusaha membantu kak Jay berdiri.

“Kau mau apa?” Tanyanya.

“Kita harus segera pulang.”

“Tubuhmu kurus. Kau tak akan kuat memapahku.”

“Tak ada pilihan lain.” Aku berusaha keras mengangkat tubuhnya yang hampir dua kali lipat dari besar tubuhku.

Hari sudah semakin petang. Keringat mengucur di seluruh tubuhku, membuat luka terasa makin perih. Namun aku harus bisa bertahan sedikit lebih lama lagi, panti asuhan berada di ujung jalan ini. Sejak tadi kak Jay yang menuntun arahnya, aku masih belum hafal betul kota yang sangat asing di mataku ini.

“Kau sepertinya kelelahan.”

Aku menggeleng.

“Aku minta maaf. Harusnya tadi aku tak mengajakmu saja.”

“Kalau aku tak ikut, mungkin kak Jay sudah ditemukan dalam keadaan pingsan.”

Kak Jay tertawa. “Kau mengejekku.”

Aku hanya diam. Secara fisik, aku sangat berbeda dibanding kak Jay, namun pengalamanku tentang kekerasan lebih banyak darinya. Kak Jay adalah orang yang pertama kali mengajakku bicara di panti asuhan. Saat yang lain masih canggung menyapaku, kak Jay bersikap seolah-olah sudah mengenalku sejak lama. Syukurlah disana tak ada yang tahu latar belakangku.

“Hei kalian kenapa?!” Teriak satpam panti asuhan. Dia segera membantu memapah kak Jay.

“Kami habis digebukin.” Kata kak Jay santai.

“Kau pasti yang buat onar kan, Jay?”

Kak Jay terawa. “Pak satpam tau aja.”

Anak panti yang sedang bermain di halaman sejenak tertegun saat melihat kami kembali dengan penuh luka. Ada yang meringkuk takut, ada yang bisik-bisik, dan ada yang buru-buru masuk panti asuhan, kemudian kembali sambil menggandeng Ibu panti, bu Arum namanya. Dia terkejut melihat kondisi kami. Dia segera mengobati kami dibantu dengan anak panti yang lain.

“Apa yang terjadi, Jaya?”

“Kami dipalak.” Jawab kak Jay singkat.

“Memang kalian mengamen dimana?”

“Eh, itu, stasiun.” Kak Jay menggaruk kepalanya.

Wajah bu Arum merah padam. “Ibu kan sudah bilang jangan mengamen disana. Kau bandel sekali. Padahal Angkasa baru saja pindah kemari, tapi kau membahayakannya.”

“Aku baik-baik saja, Bu. Tak usah khawatir.” Kataku.

Bu Arum beralih menatapku, ekspresi penuh rasa bersalah. Kemudian dia pergi mengambil makanan untuk kami. “Kau harus makan banyak, Angkasa.”

Dua hari kemudian lukaku telah sembuh meskipun sisa luka masih terlihat. Namun kak Jay masih sedikit pincang. Lemak tubuhnya menghambat proses kesembuhannya. Lambat laun anak-anak panti mengajakku berbicara.

“Ngomong-ngomong namamu terlalu panjang, Angkasa.” Celetuk Fajar. Dia seumuran denganku. Biasanya dia yang menemani kak Jay mengamen, tapi waktu itu dia harus mengikuti lomba sepak bola di sekolahnya. Fajar dan kak Jay adalah teman sekamarku.

Aku tersenyum tipis.

“Bolehkah aku memanggilmu ‘Ang’ saja?” Kak Jay yang sedang memetik gitar ikut-ikutan.

Aku mengangguk. “Boleh.”

“Baiklah. Ang, apa kau tak ingin sekolah?” Tanya kak Jay.

Aku diam sejenak. Aku punya kenangan buruk di sekolahku dulu. Disana aku terkenal dengan julukan ‘anak haram’. Tentu saja yang menyebarkan fakta itu adalah kakak laki-laki tiriku sendiri. Aku tak mengerti mengapa dia sangat membenciku. Dia mengajak teman-temannya menjahiliku mulai dari merobek tugasku, mencoret-coret bangkuku, menyiramku dengan air selokan, dan tentu saja mereka telah berkali-kali menghajarku.

Fajar yang mengerti maksud diamku berkata. “Tak apa, tak usah buru-buru.”

“Benar. Oh ya, apa kau tak tertarik bermain gitar?” Tanya kak Jay.

Aku mengangguk. Aku sedikit tertarik saat melihat kak Jay dengan kerennya bernyanyi sambil memainkan gitar di depan orang-orang saat mengamen.

“Biar aku ajari.” Kak Jay tampak bersemangat. Dia duduk di sampingku, mulai menjelaskan kunci-kuncinya. “Dulu Fajar juga pernah belajar tapi tak bisa-bisa.”

Pipi Fajar memerah. “E-Enak saja! Aku memang tak niat melakukannya!”

“Tuh kan benar dia memang tak bisa bermain gitar.” Kak Jay tertawa, mengejek. Aku juga ikut tertawa karena ekspresi Fajar yang sedang malu terlihat lucu.

“Tapi Fajar jago di sepak bola, bukan?” Tanyaku.

“Tentu saja.” Kata Fajar membanggakan dirinya.

“Apaan, dua kali pertandingan kalah melulu. Aku menyesal sudah dukung timmu.”

Ekspresi Fajar seketika berubah, sepertinya dia membenarkan perkataan kak Jay. “Mereka yang beban, jangan salahkan aku.”

“Kau kan ketuanya, harusnya kau yang bisa mengatur mereka.”

Akhirnya perdebatan mereka terus berlanjut hingga hampir waktu makan malam. Aku memutuskan mencoba memetik gitar, mengingat kunci-kunci yang diberitahu kak Jay sembari menunggu mereka selesai berdebat.

Tiba-tiba perdebatan mereka terhenti. “Eh, Ang, bagaimana kau bisa menyusun nada itu?” Tanya kak Jay dengan ekspresi tertegun. “Aku belum pernah mendengar nada itu sebelumnya.”

Aku mengangkat bahu. “Aku hanya coba-coba.”

“Itu bagus Ang, lanjutkan!” Fajar tampak antusias. “Aku menantikan versi fullnya!”

Aku tertawa.

Aku sendiri tak tahu jika senar yang kupetik menjadi nada yang bagus. Kata kak Jay, aku berbakat bermain gitar, dia mengusulkanku agar meneruskan langkahnya mengamen. Fajar langsung menolak, dia lebih memilih menyuruhku untuk ikut audisi. Aku tertawa. Padahal aku hanya bisa memetik gitar, tak bisa menyanyi.

Saat aku berhasil memainkan beberapa nada, aku bisa sedikit menyanyi meskipun masih fals. Aku memutuskan untuk mengamen sembari yang lain pergi sekolah. Bu Arum melarangku untuk mengamen di stasiun, aku menurut. Daripada aku harus merepotkan mereka lagi untuk merawatku.

Aku mulai mengamen dari bus ke bus. Ada bus yang mengizinkan pengamen masuk, ada yang mengusirku mentah-mentah. Penumpangnya pun begitu, ada yang mau menerima laguku, dia membiarkanku menyanyi hingga selesai kemudian memberiku uang. Ada pula mereka yang langsung memberiku uang tanpa mendengar laguku, bahkan aku belum memetik gitar sekalipun. Ada juga yang hanya melambaikan tangan, menyuruhku pergi.

Aku tersenyum puas saat melihat uang yang kukumpulkan selama tiga hari memenuhi celenganku. Kak Jay berulang kali memujiku karena selama ini dia tak pernah mendapat uang sebanyak itu. Fajar malah antusias menyanyakan reaksi orang-orang yang mendengar laguku. Yah memang ada beberapa orang malah memintaku menyanyikan tiga sampai empat lagu.

Ini hari kelima. Aku memutuskan hasil hari ini untuk membeli banyak jajan untuk anak-anak panti. Uang yang kudapatkan hari ini cukup banyak, cukup untuk membelikan mereka semua jajan meskipun hanya satu-satu. Aku yang berjalan riang tiba-tiba langkahku terhenti. Mataku membelalak saat melihat kelompok gerombolan yang memalak kami waktu itu.

Mereka tersenyum sinis melihatku. “Hei kita ketemu lagi.”

GADIS ITU

Aku memutuskan terus berjalan, tak menghiraukan mereka. Lagipula ini masih di tempat umum, banyak orang melihat jadi mereka tak akan memukulku.

“Kau tuli ya?” Salah satu dari mereka menghampiriku. Mereka ada lima orang. Tentu saja tubuh mereka jauh lebih besar dariku. “Hei dia beneran tuli, kita langsung saja.” Teriaknya memanggil teman-temannya.

Salah satu dari mereka menarik bajuku. Aku sempat memberikan perlawanan namun sia-sia, temannya yang lain saling bahu membahu menyeretku. Mereka juga pandai berakting. Orang-orang yang melihat kami dibuat mengira bahwa aku bagian dari mereka.

Mereka melemparku di salah satu lorong di antara bangunan. Aku mengernyit kesakitan karena tubuhku menghantam keras tembok. Gitar milik kak Jay terlepas dari tanganku. Salah satu dari mereka langsung mengambilnya.

“Wah ini jika dijual akan laku mahal.”

“Kembalikan!” Aku berusaha berdiri.

“Oh kau menginginkan ini? Baiklah akan kuberikan tapi dengan satu syarat.” Dia tampak seperti pemimpin berandalan.

“Kubilang kembalikan!” Aku berusaha meraihnya namun mereka malah mempermainkanku.

Pemimpin berandalan itu mencengkram mulutku. “Kau benar-benar tuli ya? Baiklah tak usah basa-basi, aku akan beritahu syaratnya.” Dia tersenyum sinis. “Syaratnya yaitu kau harus menang berkelahi melawan kami berlima. Jika kau menang, kami akan mengembalikan gitarmu, tapi jika kau kalah, kami akan mengambil gitar dan uangmu. Bagaimana? Mudah kan?”

Aku meludahi wajahnya. “Kembalikan bodoh!”

Sontak mereka berlima terkejut melihat ulahku. Pemimpin berandalan itu wajahnya merah padam, cengkramannya semakin kuat hingga membuat bibirku terluka. “Dasar kurang ajar!” Dia melemparku di tanah. “Cepat hajar dia!”

Lagi dan lagi aku dihajar. Dipukul, ditendang, diinjak, aku sudah sangat familiar dengan itu semua. Padahal selama ini, sejauh yang aku ingat, aku bahkan tak pernah melakukan kesalahan. Tapi kenapa aku dipukul? Darah keluar dari mulutku. Seketika terlintas kenangan-kenangan saat aku tinggal bersama keluarga Ibu.

Ibu… dulu dia pernah merawatku selepas kakak tiriku menghajarku. Dia selalu baik padaku seperti malaikat penyelamat. Dia juga membawaku keliling Ibukota, menyenangkanku. Tapi… kenapa Ibu mengirimku ke panti asuhan? Bukankah aku masih punya orangtua yang lengkap? Aku juga masih punya keluarga meskipun tiri. Apa aku melakukan kesalahan sehingga Ibu membuangku? Atau aku tak sebegitu diharapkannya oleh mereka? Lalu mengapa aku dilahirkan?

Penglihatanku sudah semakin samar. Aku tak tahu seberapa banyak luka yang kudapat. Semua rasa sakit itu sudah terasa hambar, aku tak merasakannya lagi. Apa aku akan mati? Aku akan sangat lega jika itu benar. Dimana malaikat mautnya?

“BERHENTI!”

Seketika pukulan mereka berlima terhenti. Wajah mereka tegang, menoleh ke arah sumber suara. Aku tak bisa melihat siapa yang berteriak itu, namun suara itu terdengar seperti seorang Gadis.

“Siapa kau?” Tanya salah satu diantara mereka. “Jangan ikut campur jika tak ingin di hajar juga.”

“Silahkan saja tapi aku tak kemari dengan tangan kosong.” Gadis itu sepertinya sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

“A-Apa itu?” Seketika wajah berandalan itu berubah, mereka ketakutan.

“Pistol. Aku jago menembak loh.”

“Kau akan ditangkap polisi! Kau akan dipenjara!”

“Itu tak akan terjadi, aku masih di bawah umur.” Gadis itu tertawa. “Justru kalian yang akan dipenjara. Oh tidak ya, kalian kan akan mati.”

Berandalan itu saling menoleh. “Itu pistol mainan kan? Kau jangan coba-coba menipu kami.” Mereka berlima tertawa, mengejek.

“Oh jadi kalian tak percaya. Coba salah satu maju kemari, akan aku tembak. Pistol ini akan terbukti asli jika teman kalian mati.”

Mereka lagi-lagi berbisik. Kini mereka saling bertengkar, tak ada yang mau menjadi tumbal. Meskipun aku tak dapat melihat, mungkin keringat mereka sudah mengucur deras. Mereka mendorong salah satu diantara mereka yang paling kecil tubuhnya.

“Silahkan tembak dia.” Pemimpin berandalan itu menantang.

Si tumbal sudah menangis ketakutan. Aku bisa melihat kakinya gemetar dan… eh? Apa itu? Ada cairan yang mengalir darinya.

“Bagus.” Kata Gadis itu.

DOR!

Dia benar-benar menembaknya! Kini si Tumbal sudah jatuh terkapar di tanah. Teman-temannya yang lain tertegun. Mungkin kini wajah mereka pucat.

“Ayo siapa selanjutnya?” Kata Gadis itu.

“Kau benar-benar gila!” Teriak pemimpin berandalan itu.

“Aku tak akan menembak kalian jika kalian mengembalikan gitarnya lalu pergi.” Ancam Gadis itu. “Jika kalian coba-coba menyentuhnya lagi, aku akan menarik senapan. Cepat pilih!”

“Bos kita pergi saja. Aku tak ingin mati.” Bisik salah satu diantara mereka.

Si Bos berpikir sejenak. “B-Baiklah kita akan pergi. Jangan tembak kami!”

Tanpa perlawanan lebih lanjut. Mereka pergi begitu saja sambil mengumpat sebagai salam perpisahan.

Aku berusaha mengambil gitar kak Jay, namun tubuhku yang remuk tak dapat melakukannya. Gadis yang menyelamatkanku tadi berjalan mendekat, dia mengambil gitar kak Jay, memberikannya padaku. Samar-samar aku bisa melihat wajahnya sejenak sebelum kesadaranku hilang.

***

Aku mengernyit, kepalaku terasa pening. Aku membuka mata perlahan, bau apek seketika tercium.

“Kau sudah bangun?”

Pemandangan pertama yang kulihat seketika membuka mata adalah wajah seorang gadis yang memasang ekspresi khawatir. Dari jarak yang sedekat ini aku bisa melihat bentuk wajahnya, hidungnya lancip, bibir merahnya sedikit tebal, rambut panjangnya berantakan, dan yang membuatku terpaku adalah mata lebarnya yang berwarna cokelat begitu mempesona. Sepertinya dia seumuran denganku. Aku sedikit tersentak dan refleks bangun.

“Eh maaf aku mengagetkanmu.” Dia sedikit mundur.

Aku memperhatikan ruangan sekitar. Ruangan ini tampak seperti bangunan yang tak terpakai. Mungkin dulu ini adalah mal karena ada banyak pilar berjejer rapi dan meskipun aku tak melihat bangunan ini dari luar, kupikir ada beberapa tingkatan lantai.

Aku memperhatikan tubuhku yang sudah tak terasa sakit lagi. Ada beberapa bagian memar ringan dan ada bagian lain yang terpasang perban. Aku ingat, Gadis itu adalah orang yang menolongku tadi. Dia yang mengusir para berandalan itu.

“Dimana gitarku?”

“Oh, ini.” Dia mengambil gitar yang disandarkannya di termbok ruangan, memberikannya padaku.

Gitarnya tak rusak sedikit pun. Berandalan itu benar-benar menuruti perintahnya. “Kenapa… kau menolongku?”

“Eh?” Dia mengernyit. “Apa yang kau katakan?! Bagaimana aku bisa diam saja melihatmu dihajar?” Nada suaranya mulai meninggi.

“Aku sudah terbiasa dengan itu. Jadi harusnya kau biarkan saja daripada kau harus terlibat dengan mereka.”

Dia marah. Tangannya mencengkram ujung baju. “Kau akan mati!”

“Biarkan saja. Itu yang kuinginkan.”

Dia diam sejenak, menunduk. “Kau…” Tiba-tiba dia berdiri, tangannya terkepal dan kemudian tangannya itu menghampiri pipiku dengan cepat.

BUK!

Dia memukul pipiku, keras sekali. Aku mengernyit, luka yang baru saja dibuat oleh berandalan itu masih belum sembuh sepenuhnya dan sekarang dia malah memukulku lagi. Padahal tadi dia yang mengobatiku.

Aku tertegun saat melihat matanya yang mempesona menatapku dengan penuh amarah.

“Dasar bodoh! Bodoh, bodoh, bodoh!” Teriaknya. “Kalau kau sebegitu inginnya mati, kenapa tak langsung saja bunuh diri? Jawab!”

Aku hanya diam melihatnya yang mencengram krah bajuku. Jujur saja aku tak tahu jawaban dari pertanyaannya.

“Kenapa diam? Kau tak tahu jawabannya kan?” Dia tersenyum kecut. “Biar kuberitahu jawaban yang tepat.” Dia menarikku, berbisik. “Itu karena kau pengecut.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!