NovelToon NovelToon

Just A Professional Relationship

Prolog

14 Februari. Hari yang paling dinanti oleh sebagian besar pasangan. Entah sejak kapan tanggal tersebut menjadi begitu penting untuk dirayakan. Seakan rasa sayang hanya bisa diungkapkan dalam satu hari itu saja.

Banyak orang yang merasa tidak suka. Tapi bagi para pebisnis, tentu hari tersebut menjadi ladang uang yang tidak boleh disia-siakan. Bahkan pernak pernik yang ada di sepanjang jalan dan pertokoan sudah dipenuhi dengan simbol hati, ataupun berbagai benda yang lucu berwarna merah jambu.

Sebuah layar besar yang terpajang di depan gedung pertokoan, tak henti menampilkan acara tentang kasih sayang. Kebanyakan tentang beberapa pasangan di kalangan artis yang banyak dikenal. Entah mereka memang sengaja memperjualbelikan kemesraan, atau benar-benar saling sayang di belakang layar. Satu hal yang pasti, semua orang senang menontonnya.

Di tengah cuaca yang agak mendung, para pejalan kaki sengaja menghentikan langkah hanya untuk menyaksikan tayangan dari layar raksasa. Mereka berdiri di pinggir jalan, menduduki kursi panjang yang memang tersedia di sisi trotoar. Bukan hanya yang sudah berpasangan, orang yang tengah berjalan seorang diri pun menyempatkan diri untuk turut menonton sembari menyeruput kopi kalengnya.

“Itu tadi para bintang tamu yang sudah kami undang untuk menemani waktu Anda semua. Tapi pasti ada yang sadar, dong, kalau masih ada tamu spesial yang belum hadir. Dan saya yakin sudah banyak sekali yang menunggu mereka berdua. Sudah tahu kan siapa orangnya? Siapa lagi kalau bukan pasangan selebritis yang setiap hari selalu menebar kehangatan dari kisah cinta mereka berdua. Kita sambut saja langsung, Nadin dan Juna!” ucap sang pembawa acara wanita sembari berdiri, menyambut tamunya yang baru saja datang.

Tepuk tangan para penonton di studio mengiringi kehadiran sepasang kekasih muda yang berjalan sembari bergandengan tangan. Wanita bertubuh mungil dengan rambut panjang bergelombangnya melambaikan tangan kiri ke arah kamera. Namun tetap menggenggam erat tangan sang kekasih yang berjalan di sampingnya.

Sementara si lelaki bertubuh jangkung berambut panjang sebahu, tersenyum tipis. Berjalan dengan pelan, menyamakan langkah dengan wanita di sisinya. Perawakannya yang tegap dan dipenuhi oleh gumpalan otot kekar, membuat dirinya tampak seperti seorang bangsawan modern.

Keduanya kemudian duduk pada sofa yang telah disediakan. Senyuman tak pernah hilang dari wajah mereka.

“Aduh, aduh… kalian berdua ini gak pernah gagal bikin aku iri, deh,” komentar si pembawa acara. “Gimana kabarnya?”

“Kami berdua baik, Mba,” jawab Nadin. Mewakili Juna yang hanya mengangguk.

“Ini bukan pertama kalinya kan, kalian datang ke acaraku. Kayaknya tiap tahun selalu kami undang ya. Tapi aku selalu kagum karena kalian kelihatannya gak pernah berubah. Masih aja mesra kayak tahun-tahun sebelumnya. Betul gak, penonton?”

Penonton di studio pun bersorak serentak sembari bertepuk tangan. Membuat Nadin hanya tersipu malu.

“Oiya, hari ini juga kamu ulang tahun, ya? Selamat ulang tahun, Nadin!”

“Iya, makasih banyak ya.”

“Saya lihat di medsos, ada banyak banget yang mengirimkan kamu kado.”

“Iya, baru aku mau minta izin buat bilang terima kasih ke semua fans yang sudah mengirimkan aku hadiah. Aku benar-benar terharu waktu managerku bilang ada banyak paket yang datang. Sampai-sampai gak cukup disimpan di dalam kamar. Makasih banyak ya semuanya. Meski gak bisa membalas satu per satu, tapi aku lihat dan baca semua kartu ucapan yang kalian kirim.”

“Wah… senang sekali, deh kalau jadi Nadin. Eh, kalau dari Juna sendiri dapat hadiah apa, nih? Pasti semua pada penasaran, kan?”

Nadin tersenyum sembari melirik sesaat ke arah Juna yang duduk di sampingnya. Keduanya hanya saling membalas senyuman, seakan membicarakan sesuatu tanpa kata.

“Eh, eh, apa nih. Kok, malah kode-kodean. Aku jadi makin penasaran. Gak boleh dikasih tahu ya?”

“Aku cuma malu, karena hadiahnya tidak seberapa,” jawab Juna santai, dengan suaranya yang berat.

“Ah, masa, sih. Kalau aku lihat mukanya Nadih, kayaknya senang banget. Pasti hadiahnya spesial, dong. Semua pasti mau tahu, kan?”

Para penonton menjawab serempak, dan mulai bersahutan menyuruh Juna dan Nadin memberikan jawaban.

Akhirnya, Nadin hanya bisa mengangkat telapak tangan ke depan wajah, untuk memperlihatkan sebuah cincin permata yang bertengger pada jarinya. Membuat semua penonton semakin riuh.

“Wah... Sudah aku duga hadiahnya pasti spesial. Pantesan dari tadi Nadin senyum-senyum terus...”

“Sebenarnya sih yang paling bikin aku senang bukan hadiahnya. Aku merasa bersyukur karena sampai sekarang Juna masih ada di sisi aku. Hari ini kami berdua bukan cuma merayakan ulang tahunku saja, tapi anniversary kami yang kelima.”

“Waw… tahun ini sudah lima tahun? Bahkan kalian sudah jadian dari sebelum terkenal ya. Siapa sih orang yang gak ngerasa iri lihat kalian berdua? Sebenarnya apa sih yang bikin kalian bisa langgeng sampai sekarang?”

“Apa ya… kalau ditanya kayak gitu, aku sendiri gak tahu apa jawabannya. Dari awal aku udah ngerasa menemukan seseorang yang tepat, dan gak pernah punya pikiran akan cari orang lain lagi. Dan tiba-tiba sudah lima tahun berlalu.”

“Waduh, so sweet sekali. Kalau dari Juna sendiri gimana, nih?”

Juna tidak langsung menjawab, dia hanya memandangi Nadin dengan lekat. “Dari dulu sampai sekarang, Nadin tidak pernah berubah di mataku. Sama seperti hari di mana aku yakin akan menyatakan perasaan kepada Nadin. Waktu itu aku pikir, orang ini memang terlahir untukku. Dan aku tidak butuh siapa pun lagi selain dia.”

“Aww…” seru semua orang yang menonton.

Nadin hanya tersipu malu, sementara Juna mengelus kepalanya pelan.

“Gak salah ya kalau kalian ini dijadikan panutan oleh anak-anak muda, dan disebut-sebut sebagai couple goals! Buat ke depannya, katanya bakal ada project baru bareng lagi ya?”

“Iya, dalam waktu dekat bakal ada semacam reality show. Detailnya, nanti ditunggu aja ya!”

“Wah, udah pasti kami tunggu banget! Pokoknya kami doakan supaya lancar ya. Dan tentunya semoga kalian makin tambah mesra dan langgeng terus.”

“Makasih doanya. Teman-teman semua yang selama ini selalu mendukung kami juga terima kasih banyak ya. Kami akan berusaha sebisa mungkin memberikan yang terbaik buat kalian.”

“Okee, terima kasih banyak Nadin dan Juna, sudah menyempatkan waktu buat datang ke sini. Padahal aku yakin kalian sibuk banget. Sampai ketemu lagi di lain kesempatan ya.”

Layar kaca raksasa pun mengganti tayangannya, dengan iklan kosmetik yang menggunakan pasangan selebritis barusan sebagai modelnya.

Orang-orang yang semula berhenti di tengah jalan, sudah mulai kembali melanjutkan aktivitas mereka. Begitu pula dengan si pasangan muda terkenal tersebut, pamit undur diri dari studio untuk menuju ke tempat lain. Masih ada sederet kegiatan yang membuat mereka tidak bisa menikmati hari spesial, yang seharusnya dihabiskan berdua.

Nadin dan Juna masih bergandengan tangan, melangkah di sepanjang lorong studio, menebar senyum ke tiap orang yang berpapasan dengan mereka. Terus seperti itu hingga tiba di sebuah hotel tempat mereka menginap.

Nadin melepas genggamannya pada tangan Juna. Senyum pada wajahnya perlahan meghilang. Dia menghela napas panjang, seakan tampak sangat kelelahan.

Juna masih tampak tenang seperti biasanya, tak membiarkan orang lain menerka soal apa yang sedang ada di dalam pikirannya. Rambutnya terkuncir rapi di belakang kepala. “Dua jam lagi kita harus sudah standby di studio. Kamu mau makan dulu?” ajaknya.

“Aku capek. Mau istirahat dulu,” jawab Nadin dingin. Dia melangkah masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Juna yang masih berdiri terdiam di depan pintu.

Lelaki tersebut hanya mengembuskan napas, sebelum lanjut berjalan.

Nadin merasa kakinya sangat lemas. Padahal dia sudah sarapan sesuai jadwal pagi ini. Tapi tubuhnya seakan mendadak kehilangan tenaga, hingga kini jatuh terduduk di atas lantai. Punggungnya bersandar pada pintu kamar yang sudah terkunci rapat.

Mungkin bukan tubuhnya yang merasa lelah, melainkan hatinya yang terus dipaksa untuk berpura-pura. Bahkan wajahnya terasa pegal karena terus memaksakan diri untuk tersenyum sejak berjam-jam yang lalu.

Pakaian yang agak ketat mulai membuat Nadin merasa tidak nyaman. Kakinya pun agak sakit karena terlalu lama memakai heels sepuluh senti. Tapi di samping semua itu, benda yang terselip pada jarinya lah yang paling terasa mengganggu.

Tanpa pikir panjang, Nadin melepas cincinnya dan melemparkan benda kecil itu entah ke mana. Lalu mulai menangis, mengeluarkan semua perasaan yang membuat dadanya sesak sedari tadi.

Tidak semua bisa tahan menyembunyikan kesedihan di depan orang sepertinya. Bahkan semua senyuman yang tampak hanya sebatas kepura-puraan. Untuk menyembunyikan sebuah hubungan yang tak lagi nyata.

“Aku memang bodoh…”

Episode Satu

Dua bulan sebelumnya.

-Gedung Manajemen Artis Athena-

Nadin tampak serius memainkan gitarnya sembari berlatih menyanyikan lagu yang dipersiapkan untuk iklan sebuah produk. Tidak terasa hampir satu jam dia terus duduk sembari melakukan hal yang sama. Dia memang sangat serius kalau sudah tenggelam dalam sesuatu yang disuka.

“Din, Nadin!”

Tyo, sang manajer memanggil-manggil sejak tadi. Tapi orang yang dia panggil tak menggubris sama sekali. Hingga dia harus berjalan mendekat dan melepas paksa earphone yang dipakai Nadin.

“Apaan, Bang?” Nadin sedikit terkejut dengan kehadiran manajer muda berumur tiga puluhan itu.

“Ingat waktu, dong. Sudah jam berapa ini?”

“Jam berapa emangnya?”

“Lima belas menit lagi jam sebelas. Kamu ada briefing buat acara besok kan, jam sebelas?”

“Aduh! Kenapa gak ingetin aku dari tadi sih, Bang!”

Tyo hanya mengembuskan napas. Sudah tidak aneh dengan sifat Nadin yang seperti itu, karena sudah hampir tiga tahun bekerja bersama.

“Ayo, cepat kita berangkat!”

“Pakai kaos gini aja gak apa kali ya?”

“Tinggal pakai luaran yang ada di mobil aja, supaya gak terlalu santai.”

Nadin Carmelia, dua puluh tujuh tahun. Seorang aktris yang memulai karirnya sebagai seorang penyanyi. Mulai bergabung dengan Manajemen Athena sejak tiga tahun lalu, setelah berhasil memenangkan sebuah ajang pencarian bakat.

Nama Nadin semakin melejit setelah sempat berduet dengan salah satu penyanyi terkenal asal Korea. Sejak saat itu makin banyak brand yang mengontraknya, hingga sempat mengadakan konser solo.

Meski merasa tidak percaya diri dalam berakting, pihak manajemen berhasil membujuknya untuk mencoba. Ternyata, banyak orang yang memuji kemampuan Nadin dan berkata bahwa sebenarnya Nadin memiliki bakat dalam dunia akting. Alhasil, wajahnya semakin sering muncul dalam film layar lebar maupun tayangan tv series. Satu hal yang pasti, Nadin kini sangat menikmati pekerjaannya itu.

“Jadi sudah jelas ya untuk *rundown *acara besok. Nadin tampil jam sepuluh, tapi tolong standby maksimal jam delapan untuk persiapan. Nanti Mba Sintia yang akan mengarahkan besok. Masih ada yang perlu ditanyakan lagi?”

Semua orang menggelang. Tyo pun turut menggeleng mewakili Nadin yang sedari tertunduk, menatap layar ponselnya sembari tersenyum-senyum.

“Ayok!”

“Lho, udah beres?”

“Main hape terus sih, daritadi!”

Nadin berdiri lalu berjalan menyusul Tyo yang melesat lebih dulu.

“Aku udah gak ada jadwal kan ya hari ini?”

“Iya, sih. Kenapa?”

“Habis ini aku gak pulang bareng Bang Tyo. Mau langsung pergi ya.”

“Ke mana? Biar aku antar.”

“Gak usah, Bang.”

“Terus, mau naik apa? Bis? Yakin?”

“Enggak, lah! Udah ada yang jemput, kok. Tuh orangnya!” Nadin menunjuk seseorang yang berdiri tak jauh dari sana.

Tanpa menunggu tanggapan Tyo, Nadin langsung melesat ke arah Juna dan memeluk kekasihnya itu dengan wajah sumringah. Seakan sudah sangat lama tidak pernah bertemu.

“Sudah beres?” tanya Juna sambil balas tersenyum.

“Iya. Yuk ah, kita makan! Aku lapar banget.”

“Hei, hei, main pergi aja,” protes Tyo. “Juna, janji sama saya, Nadin harus pulang sebelum jam tujuh ya! Besok dia harus pergi pagi-pagi.”

“Beres, Bang!”

“Jangan makan macam-macam ya! Jaga tenggorokan!”

“Iya, iya, Bang Tyo bawel ah!” protes Nadin sembari tertawa kecil. Padahal wajah Tyo tampak sangat serius. Jika dilihat, mereka memang sudah tampak seperti kakak beradik. Tyo yang merupakan anak tunggal, memang merasa bahwa Nadin adalah adik kandungnya. Mungkin itu juga yang membuat Nadin merasa nyaman saat bekerja.

“Kita pamit ya, Bang.”

“Bye, Bang Tyo! Makanya cari pacar, supaya gak kesepian!” celetuk Nadin sebelum melesat sembari menarik lengan Juna.

Keduanya menuju ke tempat parkir, dan masuk ke dalam mobil hitam Juna.

“Nih.” Si lelaki berkuncir menyodorkan sebuah paper bag kecil ke arah Nadin. Beberapa buah skin care ada di dalam sana. “Kamu pengen beli itu, kan?”

“Wah, makasih, lho! Tapi brand-nya kan baru mau masuk ke Indonesia. Kamu beli di online shop?”

“Aku baru dikontrak sama brand itu. Jadi dapat sample gratis. Lumayan.”

“Masa? Seneng banget, deh. Tapi kenapa justru kamu sih yang dapet. Kan, produknya buat cewek.”

“Mereka lagi mau launch produk buat laki-laki juga. Kemaren aku nego supaya dikasih sample yang itu gara-gara inget kamu pengen banget dari dulu.”

“Ih… terharu banget deh aku. Nangis nih…”

“Apaan, sih!” Juna pun tertawa, sembari mengusap-usap kepala Nadin cepat hingga membuat rambutnya berantakan.

Juna Adyawiguna, dua puluh sembilan tahun. Anak dari seorang pengusaha real estate terkenal. Kalau Nadin memulai karir sebagai seorang penyanyi, Juna justru memulai dari bidang olahraga. Dia sangat menyukai beladiri hingga menjadi atlet nasional taekwondo yang cukup sering mengikuti turnamen. Ketenaran yang terbangun dari prestasi juga penampilannya yang sangat tampan, membuat Juna akhirnya dilirik oleh media. Hingga tak jarang dibayar untuk menjadi model.

Sebenarnya Juna tidak tertarik untuk terjun ke dunia entertaiment. Hanya saja, waktu itu dia merasa perlu melakukannya demi Nadin, yang merasa tidak percaya diri akan bakatnya. Nadin beberapa tahun lalu sangat minder dan pemalu. Dia selalu mati-matian menolak meski ada peluang besar untuk menunjukkan bakatnya kepada semua orang.

Alhasil, Juna berkata dia akan turut bergabung ke dalam sebuah manajemen, asalkan Nadin pun mau melakukan hal yang sama. Meski akhirnya, Juna direkrut oleh manajemen yang berbeda, yaitu DC-Manajemen.

Sejak saat itu, Juna sudah sangat jarang mengikuti turnamen. Dia justru disibukkan oleh kegiatan barunya sebagai model dan aktor.

“Makan apa enaknya ya?”

“Aku sih lagi pengen makan fried chicken.”

“Jangan cari penyakit. Nanti diamuk Bang Tyo, lho.”

“Emang udah berapa tahun sih, aku jadi penyanyi? Gak akan kenapa-napa, kok…”

Nadin memasang pose memohon sembari memberikan tatapan penuh harap. Dia tahu benar biasanya sang pacar akan luluh tiap melihatnya seperti itu.

“Kita makan sushi aja ya.” Sayangnya kali ini Juna tidak semudah itu dirayu.

Nadin mendengus kencang. “Ya udah,” balasnya terpaksa sembari cemberut.

Juna hanya tersenyum kecil melihatnya.

“Makan apa aja boleh. Asal sama kamu,” sambung Nadin lagi. Lalu memeluk erat lengan kiri Juna, dan menyandarkan kepalanya di sana. Memejamkan mata sesaat sembari tak henti menyunggingkan senyuman.

Juna pun tak bisa untuk tidak tersenyum. Sudah bertahun-tahun berlalu, selalu wanita yang sama—yang ada di sisinya. Entah kenapa rasa sayangnya seakan tak pernah berkurang sedikit pun. Atau mungkin dia sudah terlalu terbiasa hingga tak sadar seperti apa perasaannya kepada Nadin saat ini? Yang pasti, dia tidak bisa membayangkan jika suatu saat sosok wanita tersebut menghilang, atau tergantikan oleh yang lain. Begitulah pikirnya saat ini.

Juna mengecup kepala Nadin lembut. Membuat wanita tersebut menolehkan wajah ke arahnya. Memberikan senyuman yang selalu tampak memesona baginya. Juna tak pernah tahan untuk tidak menyentuh bibir merah muda Nadin. Mengecupnya penuh kasih sayang, seakan tak pernah mau kehilangannya.

“Thank you,” ucap Nadin pelan.

“For what?”

“For staying by my side.”

Episode Dua

“Ibu! Aku datang!” Nadin melompat kecil ketika memasuki sebuah ruangan serba putih. Memeluk sang ibu yang tengah berbaring di atas ranjang—seakan umurnya masih sepuluh tahun.

Wanita berwajah pucat di atas ranjang tersenyum dengan lembut, sembari menyambut anak semata wayangnya.

“Maaf ya Bu, aku udah lama gak ke sini.”

“Enggak apa-apa. Kamu kan sibuk, gak usah sering-sering ke sini.”

“Tapi ibu pasti bosan kalau gak ada teman.”

“Enggak, kok. Di sini suster-susternya baik. Mereka sering datang buat ngajak ngobrol ibu.”

“Syukur deh kalau gitu.” Nadin tersenyum lega.

“Kamu gak lagi sakit, kan? Kok, kelihatannya kurusan.”

“Ah, enggak, kok. Perasaan ibu aja kayaknya.”

“Justru dia makan lebih banyak daripada aku, Bu,” celetuk Juna yang baru saja tiba di dalam kamar. “Setiap makan saja selalu nambah. Aku jadi heran makanan itu masuk ke mana.”

“Jangan ngarang, deh!” protes orang yang dibicarakan. Membuat sang ibu tertawa melihatnya.

“Maaf repotin kamu terus ya, Nak Juna.”

“Enggak kok, Bu. Kalau bukan aku yang ingatkan, pasti Nadin lupa nengok ke sini. Dia lebih mementingkan kerjaan dibanding ibunya sendiri.”

“Nah, kan. Mulai ngarang lagi!” Nadin kembali protes.

Fisik ibu Nadin memang lemah sedari dulu. Jika terlalu lelah, pasti dia akan jatuh pingsan. Banyak penyakit bawaan yang dia idap sejak kecil. Dan semua itu semakin bertambah parah karena kondisi ekonomi keluarganya yang membuatnya tak memungkinkan untuk berobat.

Ditambah lagi saat ayah Nadin meninggal dunia. Ibunya harus menjadi tulang punggung keluarga dan mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Nadin yang saat itu masih sekolah, tidak bisa membantu banyak. Sehingga hampir saja dia melepas mimpi untuk berkuliah dan memilih untuk mencari kerja. Beruntungnya, Nadin mendapatkan beasiswa untuk kuliah gratis, dan dia masih bisa bekerja part time demi meringankan beban ibunya.

Selain dorongan dari Juna, kondisi sang ibu menjadi salah satu faktor yang membuatnya terjun ke dunia entertainment. Ibunya jadi sering sakit-sakitan dan harus cuci darah tiap minggu karena penyakit gagal ginjalnya. Dan kini, penyakit lain membuatnya harus mendekam di dalam rumah sakit.

“Eh, lho, kayaknya handphone-ku ketinggalan di mobil, deh!”

“Nanti tinggal diambil sewaktu pulang.”

“Aku harus cek email dulu.”

“Paling mau cek medsos,” ledek Juna.

“Sudah, ah. Pinjam kunci mobilnya!”

Nadin merebut kunci dari tangan Juna, dan melesat dengan cepat. Meninggalkan si lelaki berkuncir yang terduduk

di samping ranjang.

“Ibu itu senang sekali kalau lihat kalian berdua. Andai bisa terus lihat kalian sampai nanti punya anak cucu.” Ada secercah nada kesedihan dari suara wanita tersebut, meski bibirnya tak henti memperlihatkan senyuman yang lembut.

“Ibu akan baik-baik saja, kok. Seharusnya gak lama lagi bisa keluar dari rumah sakit.”

“Semoga ya. Tapi ibu sudah gak mau berharap terlalu banyak. Kadang hidup gak bisa diprediksi.”

“Ibu harus berpikiran positif. Aku dan Nadin pasti akan berjuang juga supaya ibu bisa cepat sehat.”

Wanita tersebut meraih tangan Juna dan menggenggamnya erat. “Ibu bersyukur Nadin bertemu dengan laki-laki sepertimu. Tidak pernah sekali pun ibu melihat dia sedih tiap kali membicarakan soal Nak Juna. Dia pasti selalu merasa bahagia. Dan ibu ingin dia terus seperti itu.”

Juna hanya bisa terdiam. Kata-kata yang didengar membuatnya bingung harus menanggapi seperti apa.

“Ibu punya permintaan. Nak Juna mau bantu ibu?”

“Pasti, Bu.”

“Tolong jaga Nadin ya. Jangan biarkan dia merasa sedih. Cuma ibu keluarga yang dia punya sekarang. Kalau nanti ibu…”

“Tidak, ibu pasti-”

“Kalau!” potong wanita itu, dengan nada bicara yang meninggi. “Kalau nanti ibu sudah gak ada… jangan biarkan dia merasa kesepian. Nadin anak yang kuat, tapi dia sering memaksakan diri. Kamu harus selalu jadi orang pertama yang menanyakan kabarnya…”

Juna sedikit menunduk karena tak sanggup bertatapan dengan wanita yang terlihat menahan tangis di hadapannya. Bahkan mulutnya tertutup rapat, terasa sulit sekali untuk dibuka.

“Janji sama ibu, ya?”

Kata-kata masih tertahan di dalam tenggorokan. Juna sendiri tidak mengerti kenapa dia mendadak membisu seperti sekarang. Akhirnya, dia hanya sanggup mengangguk. Sembari tersenyum dengan sedikit dipaksakan.

***

Pikiran Juna mulai mengawang sejak keluar dari kamar ibu Nadin. Dia bahkan termenung di dalam mobil, sembari bersandar pada joknya. Bagi orang lain, kata-kata tadi terdengar biasa saja, tapi tidak begitu untuk Juna. Saat ini seakan ada beban berat yang tiba-tiba bertumpu di atas pundaknya. Tentu dengan sebuah sebab yang membuatnya merasa seperti itu.

“Babe, kamu kenapa?”

“Oh.” Kehadiran Nadin sedikit mengejutkannya. “Gak apa-apa. Kelamaan nunggu kamu daritadi.”

“Ya, ampun. Perasaan aku cuma pergi berapa menit doang.”

Mobil Juna terparkir di tepi taman dengan air mancur yang sangat besar. Sinar lampu yang membias di tengah gelapnya malam, tampak sangat cantik. Membuat kilatan cahaya pada air yang berlompatan di tengah kolam.

Nadin mampir ke minimarket untuk membeli kopi kaleng dan beberapa cemilan. Dengan mengenakan masker dan tudung jaket yang menutupi kepala.

“Tadi kenapa sih, kok pas aku balik ke kamar, ibu kelihatan sedih.”

“Iya, dia emang sedih.”

“Serius? Kenapa?” Nadin cukup terkejut mendengar jawaban sang pacar.

“Dia gak nyangka kalau anaknya berubah. Jadi alay, make up-nya tebal…”

“Kamu gak bosen apa, ngeledek aku terus!”

Akhirnya Juna menerima sebuah pukulan pada lengannya. “Aw!” Dia meringis. Tenaga Nadin cukup besar untuk ukuran tubuhnya yang mungil.

Nadin menyerahkan sekaleng kopi kepada Juna, lalu memandang ke arah air mancur di depan. Tersenyum, sembari membayangkan sesuatu dalam kepala.

“Aku pernah cerita gak sih, kenapa suka tempat ini?”

“Karena sering diajak ibu ke sini, kan?”

“Iya, salah satunya. Tapi yang paling aku suka cerita dibalik tempat ini.”

Juna menatap Nadin yang masih fokus menatap ke arah depan. Cahaya lampu membuat wajah lembut wanita tersebut semakin tampak jelas. Pemandangan yang sangat dia sukai.

“Ibu pasti selalu cerita kisah yang sama setiap bawa aku ke sini.” Nadin mulai bercerita. “Katanya, sebelum kolam air mancur itu ada, di tengah taman itu ada sebuah batu besar yang dikelilingi bunga. Di tempat itu ayah menyatakan cintanya pada ibu. Dan sebagai pengikat cintanya, mereka menuliskan nama pada batu yang ada di sana. Mereka percaya hal itu juga yang membuat hubungan mereka abadi. Sewaktu ayah masih ada, aku gak pernah lihat mereka berdua bertengkar. Kayaknya aku mulai percaya sama apa yang ibu bilang soal batu itu.”

“Hmm…” ucap Juna. Dia turut memandang ke arah yang sama. “Bukannya kamu harusnya sedih karena batu itu sudah gak ada? Kenapa justru suka datang ke sini?”

“Yah… meski batunya gak ada, siapa tau sihirnya masih ada di tempat ini.”

“Terus?”

“Ya… biar hubungan kita langgeng kayak ayah dan ibuku.”

Juna sedikit tertawa. Tentu cerita itu terdengar sangat konyol di telinganya, meski dia tidak bermaksud menertawakannya. “Ayah ibumu langgeng karena mereka sendiri yang membuatnya jadi kayak gitu. Bukan karena ada sihir atau apa pun. Kalau salah satunya tiba-tiba gak bisa mempertahankan hubungan, ya… semua cerita itu gak akan pernah ada.”

“Tapi kita bisa kan, kayak mereka?”

“Gak mustahil.”

“Janji?”

Lagi-lagi, Juna merasa mendapatkan pertanyaan sulit untuk yang kedua kalinya di hari ini. Pilihan jawabannya pun sama, hanya ya atau tidak. Tapi ada sesuatu yang membuat suaranya tertahan di tenggorokan.

Akhirnya, dia memberikan jawaban yang sama persis. Mengangguk, sembari melempar senyuman.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!