NovelToon NovelToon

Menjadi Simpanan

Menyerahkan Diri

Inggit menatap takut-takut pria tampan berwajah blasteran di hadapannya. Pakaian office girlnya yang kumal tak sepadan dengan pakaian mahal lelaki di depannya. Entah keberanian darimana ia mampu berhadapan langsung dengan seorang direktur  Company Smart.

"Seratus juta kuberikan padamu jika kamu bersedia menjadi simpananku...."

"Se--seratus juta?" tanya Inggit tidak percaya. Ia tadi mengutarakan hanya butuh 45 juta, tapi lelaki ini menawarkan lebih.

"Ya, malam ini juga seratus juta bisa kamu pegang, tapi malam ini juga kamu harus melakukan tugas pertamamu," ujar lelaki itu datar.

"Ta--tapi Bapak sudah menikah. Sa--ya tidak mau merusak rumah tangga orang lain," ucap Inggit terbata.

"Ya, atau tidak sama sekali. Saya tidak punya waktu untuk orang yang suka mengurusi urusan orang lain," ucap lelaki itu dingin.

"Ya!" jawab Inggit cepat. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Biarlah itu nanti menjadi urusan belakangan.

"Bagus. Saya tunggu kamu nanti malam di sini!" Lelaki itu menyodorkan kertas kecil berisikan sebuah alamat.

Inggit tahu jika keputusannya ini benar-benar akan merobohkan kehidupannya, tapi ia tidak punya cara lain. Ia membutuhkan uang itu untuk membayar hutang-hutang ibunya pada rentenir tua bangka itu. Daripada menjadi gundik tua bangka Dirman itu, Inggit kira ini lebih baik.

Inggit menatap rumah megah di depannya dan kertas kecil di tangannya. Gadis itu mencocokkan alamat  di tangannya dengan rumah mewah yang ada di hadapannya. Ia tahu jika Revano Smith Adrian orang kaya, tapi ia tidak mengira jika sekaya ini direktur perusahaan tempatnya bekerja.

"Permisi, Pak! Benar ini rumah Bapak Revano?" Inggit bertanya pada satpam yang membuka pintu gerbang.

"Mbak Inggit, ya? Pak Revano sudah menunggu di dalam," ujar satpam berumur kisaran 40an itu.

Inggit dituntun oleh satpam masuk ke dalam rumah megah itu. Inggit terus berdecak kagum akan kemewahan dan interior rumah yang berkelas, dia tak sadar jika tingkahnya itu diawasi oleh mata tajam setajam mata elang milik seorang lelaki.

"Sudah puas?"

Suara bass itu membuat Inggit tersadar. Ia cepat-cepat menunduk ketika tahu posisinya saat ini berdiri di hadapan Revano yang duduk di sofa dengan kaki berpangku.

"Kamu mau jadi pembantu atau melayani saya," ucap Revano dingin. Menyoroti penampilan Inggit yang hanya mengenakan cardigan dan rok kain sepanjang mata kaki.

"Sa--saya tidak punya baju terbaik yang lain, Pak," jawab Inggit takut.

"Ck, meneyebalkan! Kamu bahkan sudah membuang waktu saya 10 menit hanya untuk menunggumu."

Inggit menggigiti bibir bawahnya gelisah. Ia memang telat, karena tadi ia harus berjalan kaki untuk masuk ke konplek perumahan ini. Ojek online yang mengantarnya tadi tidak dibolehkan masuk oleh satpam penjaga, dan akhirnya ia harus berjalan kaki sambil mencocokkan alamat rumah.

"Maaf, Pak," ucap Inggit pelan.

Revano mendengus. Bangkit dari tempat duduknya, lelaki itu berdiri di hadapan Inggit yang tampak kecil. Ya, bayangkan saja Revano yang blasteran Inggris--Indonesia ini tingginya seberapa, dan tinggi Inggit hanya sebatas bahu lelaki itu.

"Ikut saya!"

Inggit mengikuti langkah lebar Revano. Kendati keringat dingin mengucur di pelipisnya, Inggit mencoba untuk baik-baik saja.

"Lima ratus juta aku berikan jika kamu bisa menjadi simpananku selama 2 bulan," ucap Revano ketika mereka sudah berada di kamar.

Inggit yang dari tadi menunduk, kini mengangkat kepalanya menatap Revano tak percaya.

"Li--lima ratus juta?"

Dibayangan Inggit, jika uang lima ratus juta itu ada di tangannya, ia bisa kuliah, membeli rumah kecil untuknya, dan akan ia tabung nanti sisanya.

"Ya. Kamu bersedia?"

Inggit menimbang-nimbang keputusannya. Memantapkan hati, ia mengangguk pada Revano yang menyorotnya tajam.

"Tugas pertamamu, melayaniku malam ini...."

Inggit tahu hidupnya tak akan sama lagi ketika ia menyerahkan mahkotanya pada lelaki itu. Meski begitu, Inggit merasa ini lebih baik daripada menjadi gundik si tua bangka. Jika saja ibunya tidak meninggalkan hutang sebanyak itu, Inggit mungkin tak akan merelakan kehidupannya seperti ini, tapi apa boleh buat, semuanya sudah terjadi.

____

Perempuan itu membuka kelopak matanya perlahan. Menoleh ke sisi kirinya, ia mendapati lelaki itu masih terlelap dalam tidurnya. Bangkit dari posisi berbaringnya, Inggit menyambar handphonenya yang ada di nakas untuk melihat jam.

Meringis tertahan ketika rasa perih menjalar di bagian intinya, Inggit memunguti pakaiannya yang berserakan. Memasang kembali pakaiannya, perempuan itu berlalu keluar dari kamar itu.

....

Revano melangkah lebar keluar dari kamarnya dengan hanya mengenakan celana piyama yang ia kenakan semalam. Lelaki itu marah karena tidak menemukan Inggit di ranjangnya.

"Leo!"

Teriakan lelaki itu membahana di rumah megah itu. Lelaki bernama Leo yang dipanggil oleh tuan rumah itu segera menghadap Revano.

"Kenapa kamu membiarkan dia pergi?"

"Dia bilang harus bekerja hari ini, Pak. Saya sudah melarangnya tadi, tapi perempuan itu bersikeras," jawab Leo menunduk.

"Tidak becus!" umpat Revano sebelum berlalu kembali ke kamar.

.....

"Pergi kemana kamu semalam, Rev?"

Perempuan cantik dengan rambut sebahu itu mengejar langkah Revano yang memasuki rumah.

"Bukan urusanmu!"

"Urusanku. Karena aku istrimu, dan kamu tidak menghubungiku kalau kamu tidak akan pulang," ucap perempuan itu menarik tangan Revano menghentikan langkah lelaki itu.

"Jangan melampaui batasmu, Mauren!" geram lelaki itu melepaskan tangannya dari genggaman perempuan itu.

Mauren mengumpat kesal akan tingkah Revano. Nyatanya menjadi istri lelaki itu bukannya membuat Revano luluh, tapi yang ada kebencian lelaki itu.

"Kalau aku tidak bisa mendapatkan hatimu, setidaknya aku harus mendapatkan sedikit hartamu," gumamnya tersenyum sinis.

.....

Inggit takut-takut mengetuk pintu bertuliskan direktur di atas pintu itu. Ia sedang membersihkan ruang arsip saat sekretaris Revano memanggilnya untuk menemui sang direktur.

Inggit masuk ke ruang itu kembali untuk yang kedua kalinya. Menundukkan kepala, perempuan itu menunggu suara Revano.

"Kamu harus tinggal di rumahku selama menjadi simpananku untuk 2 bulan ke depan!"

Inggit mendongak, "a--ak... Tapi saya--"

"Tidak ada penolakan!" ucap Revano memotong.

"Kamu bisa pulang lebih awal agar bisa berbenah, orangku akan menjemputmu," lanjut lelaki itu menyorot tajam perempuan yang berdiri di depan meja kerjanya.

Inggit ingin menolak, tapi tatapan tajam lelaki itu membuatnya menciut. Dengan terpaksa ia mengangguk pada Revano.

"Kalau begitu saya permisi, Pak...."

Inggit berbalik untuk keluar. Saat ia hendak membuka handel pintu, gerakan cepat Revano tak ia sadari ketika lelaki itu menarik tangannya kasar hingga ia berada dalam pelukan lelaki itu.

"Pa--Pak...."

Inggit menahan dada Revano dengan kedua tangannya. Ia ingin melepaskan diri, tapi tangan kekar lelaki itu melilit pinggangnya erat.

"Kenapa kamu begitu menggoda!" bisik Revano serak.

Inggit tak ingin ingat lagi apa yang terjadi setelahnya ketika Revano mengunci pintu dan menariknya jatuh di atas sofa ruangan kerja lelaki itu. Ia hanya pasrah ketika kembali lelaki itu menyatukan diri dengan dirinya.

To Be Continue....

Tinggal Di Rumah Sang Tuan

Bantu vote, komen dan rating hadiah ya gaes.....

Inggit mengembuskan napas lelah. Ia sedang berada di kamar di kediaman sang direktur. Setelah melakukan sesi percintaan mereka di kantor selama hampir 2 jam, Revano menyuruh sopir pribadi lelaki itu menjemput Inggit dan langsung mengantarkan Inggit ke rumah megah itu.

"Aduh! Kenapa aku ceroboh banget, sih!"

Inggit mengacak rambutnya kesal. Merutuki dirinya sendiri yang gampang sekali termakan rayuan Revano itu.

"Ka--kalau aku ketahuan sama istrinya Pak Revano gimana?" rutuk Inggit kesal pada diri sendiri.

"Inggit, kenapa ceroboh banget sih...."

"Kamu mulai kurang?"

Suara bass itu membuat Inggit menghentikan tingkah konyolnya. Di ambang pintu Revano berdiri dengan tangan bersedekap. Lelaki itu sudah meninggalkan jasnya.

"A--anu...."

Inggit tergagap bingung. Mau bilang apa coba?

"Siapkan saya makan malam!"

Inggit melongo bingung. Apalagi ketika lelaki itu masuk ke kamar dan nyelonong membuka lemari. Membuat wanita itu tambah kaget akan tingkah sang direktur yang membuka pakaian di hadapannya.

"Pa--pak!" ucap Inggit membalikkan tubuhnya.

"Kenapa? Kamu sudah melihat semuanya, kan?" ucap Revano datar.

Inggit ingin sekali mengetok kepala lelaki itu, tapi ia tak berani. Kenapa orang kaya seenaknya begini sih pada dirinya yang hanyalah rakyat jelata ini.

"Sana keluar! Tunggu saya di meja makan!"

Inggit ingin membuka suara, tapi urung karena lelaki itu sudah masuk ke kamar mandi.

"Huh!" dengusnya kesal.

Melangkah dengan malas, Inggit keluar dari kamar untuk menjalankan titah sang tuan. Ketika ia sudah di dapur, Inggit menemukan seorang ART yang sedang menyiapkan makan malam di atas meja makan.

'Kalau sudah ada ART kenapa masih nyuruh aku, sih?'

"Eh, Non! Mau makan?" ucap wanita paruh baya yang sibuk menata makanan di atas meja.

Inggit tersenyum dan menjawab dengan anggukan. Duduk di salah satu kursi, Inggit memperhatikan menu makan malam yang hampir memenuhi meja makan panjang itu.

"Siapa saja yang makan, Bi? Kok banyak banget," ucap Inggit pada sang ART.

"Pak Revano sama Non Inggit saja," jawab Bi Nuri sebelum berlalu.

'Orang kaya makanan kok dibuang-buang. Banyak banget gini emang habis apa kalau yang makan cuma dua orang....'

Sepuluh menit kemudian, Revano memasuki ruang makan. Lelaki itu duduk di kursi ujung meja.

"Ambilkan saya nasi dan lauknya!"

Inggit membuka mulutnya dengan kelakuan Revano yang menyodorkan piring ke hadapannya. Ingin membantah, tapi ia tidak punya hak. Dengan terpaksa wanita itu mengabil piring yang disodorkan lelaki itu dan mengisi nasi dan lauknya.

"Bagus!" gumam lelaki itu setelah menerima piring dari Inggit.

"Orang kaya bebas!" lirih Inggit kesal.

"Apa?" ucap Revano mendelik.

Inggit menggeleng, dan segera menyantap makanannya. Hanya denting sendok beradu dengan piring mengisi acara makan kedua orang itu.

"Bapak tidak pulang ke rumah?"

Inggit ingin menarik kembali pertanyaan lancangnya itu, tapi sudah terlanjur.

Revano yang baru selesai minum, menatap tajam wanita yang duduk di kursi samping kanannya.

"Ini rumah saya kalau kamu lupa," ucap lelaki itu dingin.

"Ma--maaf, Pak," ujar Inggit menunduk.

"Satu lagi. Jika di rumah, kamu tidak perlu memanggil saya dengan embel-embel 'Pak'!"

Revano berlalu setelah itu. Tinggallah Inggit yang menggerutu seorang di kursinya.

"Ini mulut kenapa suka banget ngoceh sih!" rutuknya.

_____

Inggit bangun pagi ini dengan badan pegal-pegal. Oh jangan tanya dia kenapa badannya pegal-pegal. Tentu saja karena sang tuan besar yang memporak-porandakannya selama hampir 3 jam semalam. Inggit baru bisa tertidur ketika jarum jam menunjukkan angka jam 12 malam. Ia tidak tahu apa Revano yang kelebihan hormon atau hasrat lelaki itu yang kelewatan?

Oh satu lagi. Jangan harap ia bisa menemukan keberadaan lelaki itu yang terbaring di ranjang sampingnya. Karena setelah sesi percintaan mereka selesai, lelaki itu langsung berlalu keluar dari kamar dengan memasang kembali pakaiannya. Sedangkan, Inggit ditinggal sendiri dengan tubuh polos berbalut selimut. Ah, memang apa yang ia harapkan sebagai seorang simpanan?

.....

"Ya ampun, Inggit! Di rumahmu memang gak ada jam sehingga kamu baru datang di jam begini!"

Inggit hanya bisa menunduk mendengar cercaan dari seniornya. Mbak Lala sang senior yang mengkepalai semua tim kebersihan memang mempunyai mulut pedas dan suara melengking yang khas membuat orang sakit telinga. Ya, Inggit kesal bukan main karena ia harus terlambat hari ini karena kelakuan sang direktur perusahaan ini. Ia baru sampai di kantor jam 9 padahal jam masuk kantor itu jam 8.

"Maaf, Mbak! Saya begadang semalam," ujar Inggit jujur. Dia memang begadang, kan?

"Oh, dan itu bukan urusanku Inggit, sayang! Pokoknya sebagai hukuman, kamu yang bersihin sendiri ruang meeting hari ini. Karena kita sudah mengambil alih tugas kamu," ucap Mbak Lala panjang lebar.

"Sendiri, Mbak?" tanya Inggit memelas.

"Ya sendirilah. Untung keterlambatan kamu ini gak aku kasih tahu sama HRD," ucap Mbak Lala sebum berlalu pergi.

Inggit menghela napasnya. Mengulas sedikit senyum, ia menyemangati dirinya sendiri untuk bekerja. Ah, jangan kira setelah menjadi simpanan lelaki itu Inggit berhenti kerja. No! Dia masih butuh pekerjaan jika dalam dua bulan ke depan ia didepak oleh lelaki itu.

.....

Revano memilih untuk datang ke ruang meeting lebih dulu sambil tidur dalam posisi duduk. Ia pusing menghadapi celotehan Mamanya dan Mauren semalam. Dia baru saja hendak menyelami mimpinya ketika suara kursi digeser membangunkannya.

"Eh, maaf, Pak...."

Inggit menciut menerima tatapan tajam lelaki itu. Ia selalu takut akan orang-orang yang menatapnya mengintimidasi seperti lelaki itu.

"Lanjutkan pekerjaanmu!"

Inggit mengangguk. Melanjutkan tugas mengepelnya. Revano tidak bisa lagi memejamkan matanya. Lelaki itu memilih untuk memperhatikan pergerakkan Inggit dengan mata tajamnya.

Inggit tahu jika Revano memperhatikannya. Dia hanya pura-pura tidak tahu demi kenyamanan jantungnya yang berpacu cepat.

Revano merutuk dalam hati. Oh, ayolah kenapa wanita itu mengepel dengan cara begitu? Posisi membungkuk Inggit yang membelakangi posisi Revano membuat lelaki itu menegang. Revano menahan dirinya untuk tidak menerjang Inggit di sini, tapi naluri kelelakiannya menolak. Dengan langkah dan gerakan cepatnya lelaki itu sudah menarik Inggit dan mengurungnya di antara meja panjang ruang meeting.

"Pak!" pekik Inggit kaget.

Oh, siapa yabg tidak kaget jika diperlakukan sepertinya.

"Kamu kerja atau menggoda saya," ucap Revano serak. Mata tajamnya memperhatikan wajah polos tanpa polesan bedak wanita di depannya.

"Pak, lepaskan! Nanti ada orang masuk," ucap Inggit gusar. Dia tidak mau tertangkap basah oleh orang lain dengan posisi mereka yang sangat intim seperti ini.

"Tidak ada yang akan masuk...."

Inggit menahan suaranya ketika lelaki itu meniup telinganya. Bukan hanya itu, sentuhan penuh hasrat lelaki itu pada dirinya membuat Inggit hampir menjerit.

"Pak, hentikan!" ucap Inggit dengan napas menderu ketika Revano melepaskan bibirnya dari serangan lelaki itu. Ia mencoba mendorong Revano, tapi tenaganya kalah kuat dengan lelaki itu.

"Tunggu saya di ruangan!" bisik Revano sebelum melepaskan kungkungannya.

Inggit segera menjauh memberi jarak. Memungut pel dan embernya, wanita itu bergegas keluar dari ruang meeting sebelum lelaki itu kembali menyerangnya.

To Be Continue....

Bertemu Istri Sah

Inggit masuk ke ruangan Revano setelah menyelesaikan tugasnya, seperti yang diperintahkan lelaki itu di ruang meeting tadi. Inggit tidak sadar jika ada orang lain di ruangan itu. Seseorang itu menatapnya penuh selidik.

Perempuan itu baru sadar jika ia tak sendiri ketika ia berbalik setelah menutup rapat pintu kayu ruangan itu.

"Kamu mau bersih-bersih?" tanya perempuan cantik yang duduk di sofa merah.

Inggit mengangguk ragu, bingung harus mengatakan apa.

"Saya istrinya bos kamu," ucap perempuan cantik itu.

Inggit langsung menciut mendengar ucapan perempuan itu. Ia sedang berhadapan dengan sang istri direktur ini, dan statusnya yang sebagai simpanan lelaki itu membuat Inggit tak habis pikir. Kenapa Revano menyia-nyiakan perempuan cantik ini dan lebih memintanya menjadi simpanan. Dibandingkan dirinya yang pas-pasan ini, Inggit yakin ia kalah jauh. Ah, memangnya ia mau bersaing apa sama istri Revano?

"Kamu mau bersih-bersih?" tanya perempuan itu.

Inggit mengucap syukur karena ia masih memegang sapu di tangannya.

"Iya, Bu. Maaf, kalau mengganggu," ucap Inggit pelan.

"Ah, tiddak masalah. Selesaikan tugasmu, saya akan duduk antdng di sini," sahut perempuan itu acuh. Mauren menilai penampilan office girl di depannya itu dengan pandangan tajam. Ia akui kalau wajah natural office girl ini cantik luar dalam, tapi perempuan itu mungkin tidak sadar akan kecantikannya sendiri.

Inggit menjalankan tugasnya. Ia pura-pura membersihkan ruangan itu, tapi sesekali matanya memperhatikan penampilan istri sang direktur itu. Betapa dalam hati Inggit menjerit iri, melihat penampilan dan kecantikan perempuan itu.

"Ada apa?"

Inggit tergagap karena kepergok oleh perempuan itu.

"Nggak apa-apa, Bu. Saya hanya memuji ibu yang begitu cantik dan modis," ucap Inggit jujur.

Mauren hanya mengendik acuh. Kembali sibuk dengan handphonenya. Tidak lama dari itu pintu ruangan kembali dibuka. Kedua perempuan itu serentak menoleh ke arah pintu.

Revano masuk ke dalam ruangan, dan moodnya langsung jatuh ketika menemukan Mauren di ruangannya. Sejenak ia menatap tajam Inggit yang berdiri kaku di samping meja kerjanya. Lalu mengalihkan pandangan pada Mauren. Lelaki itu berjalan santai untuk duduk di kursi kerjanya, tapi langkahnya terhenti oleh kelakuan Mauren.

"Sayang, lama banget meetingnya...."

Mauren langsung mengalungkan tangannya di leher lelaki itu tanpa malu dengan kehadiran Inggit di ruangan itu. Inggit sendiri ingin keluar dari ruangan itu, tapi terhenti oleh suara datar sang direktur.

"Lanjutkan pekerjaanmu!"

Inggit ingin meneriaki dan menggetok kepala Revano rasanya. Lelaki itu membuatnya harus menyaksikan kemesraannya bersama sang istri.

'Ish menyebalkan sekali! Setidaknya kalau mau mesra-mesraan jangan dihadapanku,' gerutunya di hati.

"Sayang, aku mau ajak kamu makan bareng," ucap Mauren sambil bergelayut manja di lengan Revano.

"Makan sendiri! Aku sudah makam bersama klien tadi," sahut Revano datar.

Mauren merutuki Revano dalam hati. Lelaki itu mempermalukannya ketika ada office girl di dekat mereka. Apa lelaki itu tidak bisa diajak kerja sama sedikit untuk berpura-pura bahwa mereka ini adalah pasangan yang harmonis dan romantis.

"Oh, gitu ya. Ya udah deh, aku cuma mau bilang, Mama menyuruh kita ke rumah nanti malam. Mas Dave pulang katanya hari ini," ucap Mauren acuh.

Ia melepaskan tangannya dari lengan Revano. Menatap sejenak pada Inggit yang masih pura-pura sibuk membersihkan ruangan itu, Mauren berlalu keluar. Tinggallah dua orang itu dalam keheningan.

"Kemari!"

Suara bass nan datar Revano itu membuat Inggit terkesiap. Wanita itu melepaskan sapu yang dipegangnya, berjalan gusar mendekati sang direktur yang duduk di kursi kerjanya.

Inggit mengamit lengannya gelisah ketika ia sudah berdiri di depan lelaki itu.

"Duduk di sini!" Revano menepuk pahanya. Meminta Inggit segera menuruti permintaannya.

"Ng--"

"Kenapa selalu melawan?" Revano menarik lengan wanita itu hingga Inggit jatuh di pangkuan nya.

"Pak...." Inggit memberengut kesal.

"Diamlah! Kamu benar-benar membuat saya gila," gumam Revano menyandarkan kepalanya di bahu perempuan itu.

Inggit menahan diri agar tidak menggeluarkan suara. Lelaki itu sibuk memberikan sentuhan di titik-titik sensitifnya. Inggit mendorong kepala lelaki itu hingga menjauh darinya, dan menahan bahu Revano memberi jarak. Napas wanita itu memburu. Ia menormalkan debaran jantungnya yang menggila.

"Sa--saya takut ada orang," ucap Inggit tak enak melihat tatapan tajam Revano.

"Pintunya sudah saya kunci otomatis," sahut lelaki itu datar.

Inggit tak bisa berkelit lagi ketika Revano sudah menyerangnya habis-habisan. Mereka kembali melakukan sesi permainan di atas meja kerja lelaki itu. Inggit rasa, ia juga sudah mulai tak waras, karena menyukai sentuhan Revano. Meski tak ada kelembutan sama sekali dari perlakuan lelaki itu.

...........

Inggit pulang di jam 5 sore. Ia melihat tidak ada mobil Revano yang terparkir di halaman rumah. Ia tahu kalau lelaki itu pasti pulang ke rumah sang istri untuk acara makan malam keluarga.

Melangkahkan kaki dengan gontai, Inggit masuk ke kamar. Tubuhnya lelah sekali, seharian kerja dan juga melayani lelaki itu tadi siang, membuat tenaganya benar-benar terkuras habis.

....

Inggit mengecek saldo tabungannya malam ini. Ia membelalak kaget ketika angka 500 juta tertera di layar mesin ATM. Ya, malam ini ia pergi ke ATM untuk iseng saja mengecek saldo rekeningnya. Ia pikir, Revano akan berbohong dengan uang 500 juta itu, tapi ternyata ia salah. Lelaki itu benar-benar menstransfer uang senilai nominal yang ia janjikan. Inggit tak habis pikir sekaya apa lelaki itu sehingga gampang sekali membuang uang sebanyak itu.

"Ya, ampun! Aku beneran bisa kuliah sama beli rumah ini," gumam Inggit tak percaya. Kakinya sampai gemetar melihat nominal angka itu.

Inggit menarik 1 juta untuk keperluan pribadinya. Setelah dari mesin ATM, wanita itu pergi ke mini market yang juga dekat dari sana. Ia perlu membeli kebutuhan yang ia rasa perlukan.

____

"Darimana kamu?"

Inggit yang baru masuk ke dalam rumah langsung menoleh ke suara itu. Ia mendapati Revano yang duduk berpangku di sofa dengan pakaian formal lelaki itu.

"Dari mini market depan," jawab Inggit menunjukkan kantong belanjaannya.

Revano tak bersuara lagi. Inggit rasa lelaki itu sudah selesai mengajaknya bicara, ia pun hendak berlalu, tapi suara lelaki itu kembali menghentikan langkahnya.

"Kamu mengkonsumsi pil pencegah, kan?"

Inggit berbalik, menatap Revano yang juga menatapnya datar. Pil pencegah? Pil KB? Seingatnya ia belum membeli pil itu. Oh, Inggit ceroboh! Kenapa ia tidak sampai berpikiran sampai situ. Bagaimana kalau dia hamil?

"Umur 21. Kamu belum berniat untuk mengandung, kan?"

Inggit menggeleng cepat. Ia tidak mau. Apalagi status dirinya yang sebagai seorang simpanan. Ah, ingatkan Inggit untuk membeli pil pencegah kehamilan itu.

To Be Continue....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!