NovelToon NovelToon

Senandung Cinta Jilbab Reina 2

Main

Arya mengambil undangan itu. "Eh, iya."

"Kalian benar-benar harus datang lho!" Reina mengingatkan.

Arya melirik Mariko yang terlihat bingung. "Malam ya?"

"Iya, jadi pasti kalian punya waktu kan?"

Mariko mengangguk.

"Ok, kami tunggu." Chris menimpali. Ia menggandeng Reina ke dalam rumah dengan tangan kirinya. "Honey, leherku pegal. Bisa kamu pijat?"

"Mmh? Ok."

Mariko kembali duduk di kursinya.

Arya ikut duduk di samping Mariko. "Kamu ikut datang kan? Aku tak mau pergi sendiri." Ia meletakkan undangan itu di atas meja.

"Dengan pakaian ...." Mariko menatap Arya. Ia tak ingin melanjutkannya. "Tidak mau ah, tidak asyik."

"Harus! Aku akan membelikan pakaianmu." Suaranya terdengar lantang.

Mariko menggulung bibir bawahnya. "Curang. Kenapa aku harus mengikuti maumu sedang kamu tidak pernah mau mengikuti mauku."

"Kapan aku tidak mengikuti maumu?"

"Kalau begitu, aku boleh dong main ke rumah Ferdi?"

Arya hanya diam dan langsung berdiri. "Akan kupikirkan." Ia kemudian pergi.

Mariko mengepal kedua tangannya. 'Yes' sahutnya tanpa suara.

Memang tak menyenangkan bila seorang wanita pergi pesta dengan pakaian pria. Sebagus apapun. Aku juga ingin melihatmu setidaknya berpakaian yang anggun dan menggandengmu ke pesta. Tapi ini darurat. Kalau boleh memilih, aku juga tidak ingin pergi. Karena kalau pergi pastinya tidak ingin sendiri.

Hah, kenapa sejak mengenalmu aku merasa ingin memperkenalkan pada dunia kau milikku. Semakin hari semakin egois. Padahal aku sendiri tak tahu ke mana ujung takdir ini. Apakah kita akan bersama selamanya? Atau suatu hari kita akan berpisah? Memang tak ada jawabannya untuk ini tapi setidaknya aku ingin mencoba. Paling tidak memilikimu hari ini saja. Esok mungkin aku akan menangisimu tapi aku tak menyesal. Karena aku pernah menemukanmu, mahluk cantik yang punya sama rasa.

Arya menengok ke belakang. Mariko yang merasa di perhatikan pura-pura meletakkan kepalanya pada lipatan tangannya di atas meja. Malas menatap Arya, takut salah bicara. Arya kembali memutar tubuhnya dan mengawasi pekerjaan.

Menjelang malam, para pekerja mulai merapikan peralatan. Pacul, ember dan yang lainnya sudah dicuci dan dijemur. Arya termasuk yang sangat memperhatikan kebersihan barang-barang yang dipakai tukang agar bisa digunakan berkali-kali.

"Ricky."

"Iya?" Mariko masih memainkan hp-nya. Ia mendongak menatap Arya.

Pasti dia habis membalas pesan di hp-nya dengan Ferdi. Arya menahan diri untuk tidak mengepalkan tangannya, geram. Apa aku terlalu mengekangnya?

"Ka-kamu sedang apa?" Arya gugup karena berusaha untuk tidak terlihat curiga.

"Mmh?" Mariko masih melihat hp-nya. Kemudian ia mengangkat kepalanya sebentar lalu kembali ke layar. " Ya, mati."

"Hah?"

"Apa Kak?" Mariko kembali mendongakkan kepalanya.

Oh, dia .... "Tidak apa-apa."

"Mmh?" Mariko menegakkan punggungnya.

"Apa kau masih ingin main dengan Ferdi?"

"Iya Kak. Aku janji telepon dia kalau jadi ke rumahnya."

Sepertinya aku di sini sendiri yang terbakar api cemburu. Aku .... "Apa kamu sudah mempelajari cara sholat yang benar?"

"Mmh. Kenapa?"

"Kalau kau bisa melakukan tata cara sholat yang benar, aku akan mengizinkanmu main dengan Ferdi."

"Benar Kak?" Mariko berdiri. Ia hampir saja melompat kalau saja Arya tidak memperingatkannya.

"Ssst. Jaga sikapmu." Arya melirik ke kiri dan ke kanan.

Mariko sedikit membungkuk. "Maaf." katanya sambil berbisik. "Ayo Kak kita cepat pulang." Ia langsung berpegangan pada lengan Arya.

Sekilas Arya terlihat senang tapi berusaha tak ditunjukkannya. "Iya sebentar."

Di lantai 2, Nena telah menyelesaikan tugas mencuci pakaian. Ia sedang menjemur pakaian terakhir yang dicucinya. Setelah selesai, ia menghampiri Aska dan memeriksa hasil dari tugas yang diberikannya.

"Kita kapan, jalan lagi yuk!" Aska memainkan pulpen di tangan.

"Mmh?" Mata Nena masih sibuk memperhatikan kertas yang ada di tangannya. Netranya menari-nari melihat setiap baris soal yang digenggamnya.

Aska menopang wajahnya dengan satu tangan. Ia memiringkan kepalanya sedikit melihat Nena. Sebenarnya dia suka sama aku atau tidak ya? Atau hanya sekedar segan? Dia kalau bereaksi tidak pernah ... bagaimana mengatakannya ya? Penuh cinta. Ah, tidak. Hanya aku merasa datar saja. Seperti ia menganggapku sebagai seorang teman. Matanya seperti bicara itu padaku. Sepertinya hanya aku yang mencintainya. Apa perasaanku itu salah? Kalau itu benar, aku berharap cinta itu akan segera tumbuh di hatinya, menjalari seluruh jiwanya, dan menampakkannya pada cahaya di matanya hingga saat mata kita bertemu ia seperti bidadari yang jatuh cinta padaku. Hah, Aska. Nasibmu sungguh menyedihkan, kalau benar-benar Nena tidak mencintaimu.

"Kamu ...." Aska mendirikan pulpen di jarinya.

"Ya?" Nena melirik Aska sekilas kemudian meletakkan kertas itu di atas meja. "Apa?" Ia kembali melirik Aska.

"Serius, perasaanmu padaku gimana?" Aska merapikan duduknya dan meletakkan kedua tangannya di atas meja dengan masih memainkan ujung pulpen.

Nena menggulung bibir bawahnya. "Apa Kakak tidak bisa serius belajar? Sudah dekat ujian lho! Ini saja hasilnya masih setengah benar." Ia mengambil kertas tadi dan menyerahkannya pada Aska.

Aska hanya mengambil dan meletakkannya ke samping. Buru-buru diambilnya tangan Nena yang baru saja memberinya kertas tadi dan di genggamnya.

"Kak." Nena mencoba menarik tangannya tapi tak bisa. Aska menggenggamnya terlalu kuat.

"Nena, aku serius."

"Sekarang bukan saatnya kita memikirkan hal ini Kak." Nena terpaksa pasrah. Aska termasuk orang yang susah diajak bicara. Kalau ia ingin sesuatu, harus itu, tidak ingin yang lain atau tidak sama sekali. Nena lama-lama hapal dengan sifat Aska yang sulit ini. Manusia yang tidak bisa diajak kompromi. Untung saja dia kebanggaan sekolah di bidang olahraga dan punya orang tua yang disegani, kalau tidak mungkin tidak ada yang mau menjadi temannya karena sifatnya yang kepala batu. Aska juga termasuk tampan di sekolah, karena itu banyak yang ingin jadi pacarnya. Sangat di sayangkan, ia tidak pintar dalam bidang akademik. Berbanding terbalik dengan Salwa yang sangat pintar di sekolah. Tapi memang tak sepintar Nena yang nilainya hampir mendekati sempurna.

Pintu terbuka. Sri dan Tama datang ke tempat terbuka itu. Aska buru-buru melepas genggaman tangannya.

"Kakak ...." Tama teriak sambil berlari mendatangi aska. Ia memegang lutut Aska.

"Apa Dek?" Aska menyentuh bahu adiknya.

"Main." Biasanya bila Tama berkata 'main' artinya minta di temani main oleh kakaknya.

"Ya, sudah. Sampai sini saja kak. Besok lagi belajarnya." Nena berdiri. Ia bersyukur Tama datang pada waktu yang tepat.

"Oh ya." Aska mengangkat wajahnya sebentar lalu kembali menatap Tama yang mulai memanjatinya. "Mau di gendong Dek?" Ia mengangkat dan menggendongnya.

Nena kemudian turun bersama Sri. Sekilas Sri menatap Nena. Apa aku tak salah lihat ya? Tadi Aska menggenggam tangan Nena kan? Apa mereka pacaran? Atau baru saling suka? Aduh, bagaimana ini? Kenapa aku harus tahu rahasia semua orang sih? Lalu aku harus bercerita dengan siapa, padahal aku baru saja memikirkan ingin cerita soal ibu Tama pada Nena, tapi apa bisa?

Arya yang sudah berpamitan dengan Reina, pulang bersama Mariko dan pegawainya.

Di rumah, ternyata Arya benar-benar melakukan apa yang dimintanya. Pertama-tama, Arya memeriksa cara Mariko mengambil air wudhu. Ia membantunya melakukan wudhu dengan benar. Kemudian beralih ke tahap sholat. Mariko mempraktekkan sholat di atas sajadah tanpa mukena agar Arya bisa membetulkan gerak tubuh Mariko saat sholat. Bacaannya pun di periksa. Ternyata wanita itu sudah mulai menghapal bacaan surat lainnya. "Aku download Al-Qur'an di hp Kak. Kalau lagi senggang aku menghapalkannya."

Ah, Mariko. Kau membuatku makin senang saja dengan usahamu. "Bagus. Ternyata kamu sudah bisa sholat sendiri ya?"

"Benarkah Kak?"

"Iya."

"Berarti aku lolos kan?" Mata Mariko berbinar-binar.

"Ya."

Mariko melompat memeluk leher Arya.

"Hei ...." Arya terpaksa memeluk tubuh Mariko sebab Mariko sendiri karena postur tubuhnya yang tidak tinggi, bergelantungan di leher Arya. "Aduh, nanti kamu jatuh."

Arya sebenarnya senang Mariko memeluknya. Sudah lama mariko tidak melakukan hal itu dan Arya seperti merindukannya. "Sudah, sudah, sudah. Nanti aku jatuh."

Aku juga takut jadi ingin melakukan yang lain.

Mariko melepas pelukannya. Arya lalu menurunkannya perlahan. Ia kemudian sedikit membungkuk dan merengkuh bahu Mariko sambil menatap wajahnya. "Aku menyukaimu."

"Apa?"

"Apa aku tidak boleh menyukaimu?"

Mariko menatap Arya lekat. "Apa karena aku sudah bisa sholat sendiri ya Kak? Iya. Aku juga senang." Matanya berbinar-binar menatap Arya. Seperti ada bintang di matanya. Bintang yang paling aku suka.

Arya mengecup dahi Mariko. Ia tidak mengerti juga tidak apa-apa.

"Kak, aku belum mau tidur. Jadi tidak Kak, ke rumah Ferdi?"

Oh, Ferdi lagi. Arya melepas pelukannya. "Ya sudah. Ayo. Tapi sebaiknya kita mandi dulu baru ke sana. Aku merasa bajuku kotor sekali." Arya melangkah keluar kamar Mariko. Ia kemudian masuk ke kamarnya.

Lima belas menit kemudian, mereka sudah bersiap-siap ke tempat Ferdi. Akhirnya, Arya mengantar Mariko ke rumah temannya itu.

Bel sudah ditekan. Pintu dibuka sendiri oleh Ferdi.

"Oh, Kak." Ferdi merasa segan.

"Eh, daripada cuma berdua, bagaimana kalau Kakakku juga ikut bermain games?"

"Apa?" Arya dan Ferdi serempak menjawab, kemudian mereka saling berpandangan.

"Tuh, kan .... Sepertinya kalian cocok deh satu tim." Mariko menunjuk mereka berdua dengan telunjuknya.

"Eh, tapi Ricky ...." Arya mencoba menjelaskan.

"Ricky, yang benar saja."

Kembali mereka berbicara berbarengan dan kemudian saling pandang.

Mariko tertawa. "Wah, bakal seru nih! Ayo Kak." Ia menarik Arya ke dalam.

Terpaksa Ferdi menutup pintu dan mengantar Mariko dan Arya ke atas. Mariko mengajak Arya duduk di atas karpet. Ferdi mengikuti sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Ayo Fer, main." Mariko sudah mengambil minuman kaleng dan keripik kentang yang sudah disediakan. Ferdi menghidupkan tv-nya dan mulai memasangkan alatnya.

Di apartemen Chris, David sedang duduk di meja makan bersama Nena. Ia sedang membaca Iqro, belajar membaca Alquran pada Nena. Setelah selesai, ia menutup bukunya.

"Jadi Grandpa mau masuk Islam kapan?" Nena memiringkan kepalanya.

"Entahlah. Apa hari Jum'at saja ya, selepas sholat Jum'at."

"Mmh, terserah Grandpa saja sih. Kapan saja Grangdpa mau."

"Terimakasih ya sudah ajari Grandpa baca Alquran, sholat dan wudhu. Grandpa terbantu karena kamu." David mengusap-usap kepala Nena.

"Sama-sama Grandpa." Nena tersenyum.

"Belajar yang rajin. Kalau kamu bisa berprestasi terus, Grandpa bangga sama kamu. Kamu mau kerja sama Grandpa di Amerika?”

"Mmh? Tapi Nena tidak bisa meninggalkan Ayah sendiri di sini."

David tertawa dengan kepolosan Nena. "Kan kalau kamu kerja, kamu bisa bawa Ayahmu ke sana."

"Oh iya."

"Oh, sedang apa Pak? Baca Iqro lagi?" Bi Nasih muncul mendatangi mereka.

David menoleh. "Mmh, iya. Bi Nasih sudah malam, belum tidur?"

"Aku hanya ingin minum. Haus." Bi Nasih kemudian pergi ke dapur.

Di sebuah ruang perawatan di rumah sakit, suasana terlihat hening. Irene telah tertidur sementara mami Irene masih duduk di tepi ranjang menatap anak bungsunya yang telah tertidur. Sesekali ia merapikan selimut Irene.

"Sudah Mi, Mami tidur saja. Sudah malam." Chyntia menatap mami dari sofa tempatnya duduk.

"Bagaimana Mami tidak khawatir, coba? Dia pasang badan di depan Chris, dan pria itu baik-baik saja setelah penembakan. Anakku malah yang jadi korbannya. Rasanya hampir lepas jantung Mami lihat Irene ditembak kakaknya sendiri. Kenapa keluarga kami jadi seperti ini, ya Tuhan...." Mami Irene menutup wajahnya dengan satu tangan.

Chyntia mendatangi Mami Irene. Ia menyentuh bahu mertuanya dengan kedua tangannya. Mami Irene menggenggam tangan Chyntia. "Bertahun-tahun anakku berusaha mendapatkan hatinya dan berakhir dipermalukan di pesta ulang tahunnya sendiri dengan Chris yang berusaha melindungi tunangannya, apa tidak hancur hatinya? Kami sebagai orang tuanya tidak terima ia di perlakukan seperti ini, tapi Irene terus saja membelanya. Akhirnya papinya bertindak sendiri. Mungkin dengan tidak adanya pria itu di dunia, Irene bisa sadar dan mulai melirik pria lain."

"Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan kan Mi?" Chyntia menatap mertuanya dari samping.

Mami Irene mengangguk.

"Makanya mami istirahat saja. Sudah malam."

Mami Irene berdiri dan melangkah ke arah sofa bersama Chyntia.

Terdengar bunyi notifikasi telepon. Chyntia membuka tasnya dan mengambil telepon genggam sambil duduk di sofa. Ia membukanya.

"Oh, ternyata Daniel tidak salah melihat Arya. Ia benar-benar bukan orang sembarangan."

Mami mengerutkan dahinya. "Ada informasi apa?"

"Arya itu anak salah satu milyarder di Jogja. Punya banyak perusahaan di Jogja dan kantor pusatnya di Jakarta. Tapi ia juga punya perusahaan sendiri. Pemilik sebuah perumahan untuk kelas menengah ke bawah di Jakarta, dan ... ia tinggal dengan asistennya itu?" Ia menurunkan hp-nya dan menatap Mami Irene dengan terkejut. "Untung saja kita meminta nomor telepon asistennya itu ya Mi."

"Iya."

Di rumah Ferdi, ternyata permainan memanas. Arya sudah banyak membantu Ferdi memenangkan pertandingan. Bahkan sudah naik beberapa level.

"Ayo Kak. Jangan minum dulu, bantu aku." Ferdi sangat menikmati permainannya dengan Arya hingga matanya terus saja memandang ke arah tv. Sesekali jarinya bergerak mengikuti arah yang ia mau. "Kak. Tolongin aku dong!" teriaknya.

"Iya, iya ...." Arya meletakkan kaleng minumannya dan mulai mengambil alatnya. Tak lama ia mulai tenggelam dalam permainan bersama Ferdi. Sesekali Mariko ikut menyoraki atau sekedar menyuapi Arya keripik kentang yang dipegangnya.

"Yes...!" Ferdi mengepalkan tangannya karena kembali menang berkat bantuan Arya.

"Sudah ya, capek!" Arya meletakkan alatnya di karpet. "Aku mau pulang."

"Ya ...." Ferdi terlihat kecewa.

"Ini sudah larut malam, Fer." Arya menunjuk ke jam dinding yang ada di depan. Jam menunjukkan pukul 8.45.

"Besok main lagi ya?" Ferdi sepertinya berharap Arya bisa membantunya lagi besok.

Arya melirik Mariko sekilas. "Mmh? Entahlah." Ia segera bangkit. Mariko mengikutinya.

"Kak ...." Ferdi memegang lengan Arya.

Godaan

"Mmh. Lihat nanti. Pekerjaanku menguras tenaga dan pikiran."

Ferdi melepas tangan Arya. "Ah, maaf."

Arya berjalan menuruni anak tangga di ikuti Mariko. Ferdi mengejarnya. "Kakak mau apa besok, nanti aku beli deh."

Arya masih menuruni anak tangga. Tak perduli.

"Pizza, martabak, gorengan, coklat?" Ferdi masih terus menawari.

"Coklat?" Mariko terlihat tertarik.

Tapi Ferdi masih mengejar Arya. "Film porno barangkali." Katanya setengah berbisik.

Langkah Arya terhenti. Ia melirik Ferdi yang sudah ada di sampingnya, kemudian Mariko.

"Wow, film porno." Mariko menatap Ferdi seperti takjub.

"Hei, kamu pikir apa?" Arya malah menekan dahi Mariko dengan telunjuknya.

"Itu kak, katanya film porno." Mariko menunjuk Ferdi pada Arya.

Arya menutup telinga Mariko dengan kedua tangannya dan memandang Ferdi dengan pandangan kesal. "Aku sudah bilang, jangan ajari adikku macam-macam. Apa kamu tidak ingat?"

Ferdi menggigit bibirnya. Ia telah salah bicara.

"Ayo, kita pulang." Arya menggandeng tangan Mariko dan menuruni anak tangga langsung menuju pintu depan.

Ferdi masih mengikuti dengan wajah tak tahu harus mengatakan apa. Arya membuka sendiri kunci pintu depan dengan tangannya.

"Sudah mau pulang ya?" Mami Ferdi datang menghampiri.

"Oh ibu, saya pulang dulu. Sudah malam." Arya berpamitan.

"Eh, iya. Terimakasih ya sudah mau menemani Ferdi. Memang dia sedikit kesepian, tak punya teman."

"Iya Bu. Mari." Sekilas Arya melirik Ferdi yang dengan wajah berharap, menatap Arya.

Mariko dan Arya segera keluar. Mereka segera menaiki motor dan mengendarainya pulang.

"Aduh, capek." Arya menghela napas.

Mereka memasuki rumah. Arya baru saja menutup pintu, tapi tiba-tiba Mariko memeluknya. "Kakak hebat." Ia mendongak menatap Arya. Wajahnya terlihat begitu senang.

"Eh, aku tidak suka ah, kamu begitu! Aku kan sudah bilang kamu tidak boleh sembarang peluk pria." Arya mendorong Mariko menjauh.

"Oh, maaf." Mariko menurunkan tangannya.

Tapi Arya merasa sayang tubuh itu menjauh. Ia malah menggandeng Mariko duduk di sofa. "Bagaimana kalau kamu temani aku nonton tv dulu."

"Nonton apa kak?"

"Nonton apa saja. Aku sedang tidak ingin kembali ke kamar." Arya duduk di posisi yang sama seperti kemarin sambil melingkarkan tangannya di pinggang Mariko. Ia menyalakan tv.

Mariko meletakkan kedua tangannya di dada bidang Arya dan menatap wajah pria itu dari dekat. "Tapi aku sedang tidak ingin makan apa-apa. Sudah kenyang."

"Sama. Temani aku saja nonton tv sebentar."

Mariko menurunkan tangannya dan menggantinya dengan sandaran kepalanya di sana. Terasa hangat dan nyaman.

Sebenarnya Mariko tidak mengerti apa yang di inginkan Arya. Mereka berdua sama-sama lelah dan tertidur berdua di kursi sofa tanpa mereka sadari hingga pagi.

Arya membuka matanya perlahan. Terdengar sayup-sayup suara azan subuh menggema. Mmh, nyaman dan hangat. Eh, aku ....

Arya menatap ke bawah tubuhnya. Ia sedang mendekap Mariko yang juga sedang memeluk tubuhnya. Mereka berdua tidur dalam posisi duduk di kursi sofa. Bahkan Mariko mengangkat kakinya dan memeluk tubuhnya. Aduh, Mariko! Selalu saja ceroboh.

Arya menepuk-nepuk bahu Mariko.

"Mmh!" Mariko seperti antara mengantuk dan mengamuk. Ia makin mengeratkan pelukan.

Arya hampir tertawa. Wajahnya saat tidur itu lucu sekali. Menggemaskan. Ingin rasanya ia mendekapnya lebih erat. Tapi, Astaga. Air liurnya ....

Arya kembali membangunkan Mariko dengan jari telunjuknya. Ia mendorong dahi itu pelan, beberapa kali.

"Mmh ...!" Erangannya makin panjang dan pelukannya makin erat. Arya tertawa tanpa suara.

Kembali ia menyentuh dahi Mariko dengan jari telunjuknya. Tapi kini ia lakukannya bertubi-tubi.

Akhirnya Mariko berusaha membuka matanya. "Mmh. Kak. Ada apa?" Jawabnya malas.

"Hei, sudah subuh. Kamu kok belum bangun juga?"

"Masih enak peluk boneka kak." Mariko kembali memeluknya tanpa sadar.

Arya mencubit pipi mulus Mariko sedikit keras.

"Ahhh ...." Mata Mariko segera terbangun.

Arya segera melepas cubitannya.

"Kenapa kak, sakit ...." Mariko mengelus pipinya yang di cubit Arya.

"Mana bonekamu?" Arya mencibirnya.

Mata Mariko melihat sekeliling. Hanya ada Arya di sampingnya. "Mana ya?"

"Lihat bajuku." Arya menunjuk bajunya tepat di dada. Ada bekas noda basah di sana. "Air liurmu banyak juga ya?" Arya berusaha menahan tawanya.

"Ah, kak. Maaf." Wajah Mariko memerah. Ia juga menyadari kakinyapun naik ke atas memeluk pria di hadapannya itu. Karuan saja ia segera menurunkan kakinya itu sambil berkali-kali menundukkan kepala. "Maaf kak, maaf. Aku tidak sadar. Aku pikir aku tidur dengan boneka Kitty Chan." Ia menggaruk-garuk kepalanya.

Arya benar-benar gemas melihat Mariko dengan gaya Jepangnya yang seperti itu. Ia kembali mencubit pipi Mariko.

"Ahhh, kakak ...." Mariko memukul bahu Arya.

Arya tersenyum. Spontan ia menarik bahu Mariko dan mencium keningnya. "Mmh, baiklah. Aku maafkan kamu kali ini. Ayo siap-siap mandi. Kita akan berangkat kerja lagi."

Di rumah Chris, seperti biasa Reina menghidangkan nasi goreng favorit keluarga yang tidak pernah lekang oleh waktu. Anak-anak sudah berkumpul mengambil nasi gorengnya, tapi ke mana Chris? Reina kembali ke kamar mencarinya.

Di kamar, Chris duduk di tepi tempat tidur di sisi yang satunya sehingga posisinya memunggungi tempat tidur. Ia seperti sedang melakukan sesuatu. Reina mengerutkan keningnya.

"Da, kamu sedang apa?" Reina yang baru membuka pintu, segera masuk dan berjalan mendekat.

Chris menoleh. "Oh, Reina. Aku sudah tak tahan tanganku mulai gatal. Tapi aku juga tak bisa menggaruknya karena ada gips ini." Chris memegangi gips yang membalut tangannya itu.

Reina tersenyum. Ia duduk di samping suaminya. "Itu tandanya sudah mau sembuh. Tapi apa bisa kita membukanya hari ini?"

"Itu ide bagus. Seluruh tubuhku juga sudah gatal ingin mencumbumu hari ini."

"Ih, Uda. Nakal ah." Reina mencubit pinggang Chris.

"Aduh, jangan gitu ah. Aku serius. Aku kan suamimu. Aku harus memastikan aku masih yang dulu."

"Yang dulu apa?"

"Yang dulu masih mengusahakan bayi kita."

"Ih, gombal." Dengan wajah memerah Reina menjepit hidung Chris dengan dua buku jarinya.

Chris menangkap tangan Reina yang menjepit hidungnya. "Hei, I'm serious here, don't you want to try with me, honey?(Hei, aku serius di sini, apa kamu tidak ingin mencobanya, sayang?)" Chris mendekatkan wajahnya pada istrinya dan mengecup keningnya.

Reina mengangguk. Chris hendak mencium bibir Reina tapi sulit, karena saat menunduk ia harus memajukan gipsnya dan gips itu menghalanginya. Ia terlihat kesal. Reina malah hampir tertawa.

"Ah ...." Chris menatap ke depan menghentakkan gipsnya. Mulutnya merengut.

"Da."

"Apa?" Chris menoleh.

Tepat saat itu Reina memegangi wajah suaminya, berdiri sedikit membungkuk dan mendekati wajahnya, Reina langsung mencium bibir Chris. Mata Chris langsung terpejam menikmatinya. Tapi hanya sebentar, Reina langsung menyudahinya. Chris membuka matanya.

"Lho, kok cuma segitu?"

"Sudah ah Da, ini masih pagi." Reina bangkit dari duduknya dan melangkah ke pintu.

"Tunggu, kita belum selesai." Chris mengangkat tangan kirinya.

Reina memutar tubuhnya sebentar. "To be continued.(Bersambung)" Ia tersenyum dan melanjutkan langkahnya ke arah pintu.

"Ah, Reina. Kamu benar-benar penjahat cintaku." Chris terpaksa bangkit dan mengikuti istrinya keluar.

Reina sampai ke meja makan. Chris mengikutinya hingga duduk. Reina mengambilkannya piring dan nasi goreng sementara Chris menatap istrinya itu.

"Tapi nanti di teruskan gak nih?" Chris ternyata masih mempersoalkan yang tadi.

Aska dan Salwa menatap Reina dan chris.

"Ih, Uda nanti saja bicaranya."

"Bicara apa ma?" Salwa jadi penasaran.

"Ah, tidak. Tidak apa-apa."

"Janji ya?" Chris masih menagihnya.

"Apa? Iya. Sudah Uda makan dulu. Aku sudah bikinkan sarapan."

Chris mengambil sendok yang sudah di sediakan di piring oleh Reina. Ia mulai makan.

Sejurus kemudian anak-anak sudah selesai makan. Mereka berpamitan pada Chris dan Reina karena mang Udjo datang. Sejak Arya membangun rumah Chris, pintu utama selalu di buka pagi-pagi oleh Reina. Memudahkan akses orang berlalu lalang di pagi hari tanpa harus membuka tutup pintu.

"Sudah makan mang?" Chris yang sedang makan bertanya dengan ramah.

"Oh, sudah pak. Mau ambil kunci." Mang Ujo berdiri tepat di samping Chris.

Reina mengambilkan kunci mobil yang sudah di siapkan di atas meja makan dan memberikannya pada mang Ujo.

"Permisi." Mang Udjo pergi di ikuti oleh anak-anak.

"Ya, ya." Chris mengangguk-angguk.

Setelah makan Chris menunggu rombongan Arya di ruang tamu. Tidak butuh waktu lama, rombongan yang di nanti tiba. Chris sedang berbincang-bincang dengan Reina saat Arya dan rombongannya masuk.

"Oh, pak Chris. Maaf, saya bisa langsung bawa tukang ke dalam."

"Silahkan-silahkan." Chris memberi izin.

Seketika, orang-orang Arya masuk sambil menganggukkan kepala pada Chris dan Reina. Ada beberapa yang memberi salam pada mereka yang di jawab oleh mereka berdua.

Seperti biasa, setelah sampai di taman belakang, para tukang melanjutkan pekerjaan mereka. Mereka sedang membuat dinding sehingga ada beberapa orang yang sedang membuat semen untuk memasang batu bata.

Mariko kembali duduk di kursi dekat dinding dapur dan Arya mulai memeriksa pekerjaan tukang. Tak lama Arya kembali pada Mariko.

"Sepertinya semen dan batu bata kurang untuk hari ini. Kamu tolong pesankan lagi sebanyak kemarin."

"Oh, iya kak." Mariko mengeluarkan hpnya. "Halo. Ah, Mami Ferdi ya? Ini Ricky Mi, mau pesan batu bata dan semen sejumlah kemarin. Iya ... Iya, Mi. Ok ... Ok." Mariko menutup hpnya. Sekilas ia melihat notif masuk. Ia segera membukanya.

'Irene pulang hari ini.'

Apa ini iparnya ibu Irene ya? Siapa namanya aku tidak tahu. Kenapa dia kasih tahu aku tentang ini ya?

"Kok melamun? Apa katanya?"

Kata-kata Arya membangunkan lamunannya. "Mmh? Oh, bisa. Segera di kirim, katanya."

"Ok. Kita tunggu dulu barang datang." Arya menghempaskan tubuhnya duduk di kursi sebelahnya. Ia menoleh pada Mariko. "Nanti setelahnya kita ke klinik."

Mendengar kata 'klinik' membuat Mariko mengusap-usap bahunya.

"Masih sakit?"

"Belakangan sudah tidak."

Arya masih menatap Mariko. Rasanya aku ingin memeluknya saat ini dan memeriksa sakitnya. Sayang, lingkungan tidak mendukung. Ia meluruskan kepalanya.

Reina masih berbincang-bincang dengan Chris di ruang tamu saat Tama turun bersama Sri.

Mendengar langkah kaki Tama, Reina menoleh dan mengembangkan tangannya. "Eh, anak mama. Sini."

Tama berlari mendatangi Reina sehingga Reina bisa memeluknya.

Reina memberi kecupan di pipi. "Mmh. Anak mama, wangi deh kalau sudah mandi." Ia mengecup leher Tama yang membuat Tama geli dan tertawa. Tama mendorong wajah Reina yang membuat Reina tertawa. Reina kemudian mengusap kepala Tama dengan lembut. "Jangan nakal di sekolah ya?"

Tama mendatangi Chris. Ia mengambil punggung tangan papanya dan menciumnya. "Anak papa mulai besar ya?" Chris mengusap kepala Tama.

Tama juga melakukannya pada tangan Reina.

"Anak mama mau masuk SD ya?" Reina mencandai sambil tersenyum menahan tawa.

"SD." Mata Tama yang bulat menatap wajah Reina dengan mimik jenaka.

Chris dan Reina tertawa. Mobil Chris yang di kendarai mang Udjo datang masuk ke halaman rumah.

"Ah, Tama. Ayo berangkat." Chris mengingatkan.

Sri menggandeng tangan Tama melangkah keluar. Bertepatan dengan itu, mobil truk Ferdi datang membawa bahan bangunan yang sudah di pesan. Tak lama, Mariko berlari keluar.

"Pemuda itu gesit sekali ya?" Chris berkomentar.

"Bukan gesit. Lebih tepatnya bersemangat."

"Iya." Chris tertawa geli. "Aku membayangkan kalau dia perempuan, pasti lucu sekali ya?"

"Lucu dan menggemaskan?"

"Mmh, iya." Chris tak sadar ia menjawab pertanyaan jebakan Reina.

"Dan cantik?"

"Hah? E ... kamu." Chris mulai menyadari pertanyaan yang di lontarkan Reina tadi. "No, your the prettiest of them all.(Tidak, kamu tercantik dari semua.)"

"Mau meralat kalimatmu tadi?"

"Eh, Reina ... kamu tahu aku tidak begitu." Chris terlihat kesal. Ia mendekatkan tubuhnya pada istrinya yang duduk di sampingnya.

Reina tersenyum. Ia mengalungkan tangannya di leher Chris dari samping sambil berbisik di telinga suaminya. "Aku tahu honey, aku cuma bercanda."

Wajah Chris masih merengut. "Kalau begitu ... teruskan ...."

"Apa?"

"Yang tadi."

Reina menurunkan tangannya. "Gemes deh aku Da, sama hidung betetmu itu." Ia menyentuh hidung Chris.

Chris menangkap tangan Reina dan menciumnya. "Ayo dong honey. Kali ini kamu yang memimpin, tidak apa-apa." Chris menimang-nimang tangan istrinya.

Reina membulatkan matanya hampir tak percaya. Mulutnya terbuka mengiringi rasa heran yang meliputinya. Sepertinya penantian yang sudah di puncak. Chris benar-benar sudah tidak tahan.

"Sebenarnya tanganmu yang gatal atau ...." Reina melihat ke bawah.

"Prioritas yang bawah dulu, tangan sepertinya bisa bertahan sampai besok."

"Benar bisa tidak ke dokter hari ini?"

"Aku janji." Chris mengangkat jari telunjuk dan tengah untuk memberi jaminan. Wajahnya terlihat ceria.

Mereka akhirnya berdiri dan melangkah ke kamar. Bertepatan dengan itu, Mariko masuk.

"Ah, pak Chris."

"Ya?" Chris menoleh.

"Nanti kami mau pamit ke luar sebentar. Mau pinjam motor boleh?"

"Oh, boleh. Reina tolong."

Reina masuk ke dalam kamar dan mengambilkannya untuk Mariko. "Ini."

"Terimakasih Bu."

"Iya, tidak apa-apa."

Reina dan Chris segera masuk ke dalam kamar dan Mariko ke arah taman belakang.

"Kak."

Arya masih memperhatikan kerja tukang. Belum apa-apa lengan bajunya kotor oleh semen. "Apa?" Ia mendekati Mariko melewati tukang yang sedang mengaduk semen dengan paculnya.

"Bajumu kotor ini." Mariko menepuk-nepuk lengan Arya yang terkena debu semen.

"Oh, tidak apa-apa. Semen dan batu batanya sudah di susun di depan?"

"Belum kak."

"Lalu, kenapa kau ke sini?" Tanya Arya heran. Tidak biasanya Mariko tidak mengerjakan tugasnya.

"Itu kak, Ferdi ingin bicara dengan kakak." Suara Mariko sedikit di kecilkan. Ia tidak tahu akan reaksi Arya. Marahkah atau tak perduli.

"Oh, dia." Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku tidak ingin bicara padanya." Jawabnya ketus.

"Kak, dia minta tolong sama aku kak."

Arya menatap Mariko yang terlihat memelas. "Kerjakan tugasmu di depan sana."

Mariko menyentuh tangan Arya.

_______________________________________

Author sangat senang karena noveltoon telah menawarkan membuat audiobooknya Senandung Cinta Jilbab Reina 1 setelah novel itu tamat. Bagi yang ingin mencoba mendengarkan audiobooknya bisa kembali ke novel pertamanya. Salam, Ingflora 💋

Klinik

"Kak."

Ayo, coba. Apa kau bisa merayuku? Arya menunggu.

Sambil masih menggenggam jemari Arya, Mariko mendekati tubuh Arya dan membentur-benturkan wajahnya pada dada bidang Arya pelan, kemudian mendongakkan kepalanya ke atas melihat wajah Arya dengan tatapan sendu. Benar-benar terlihat manja dan sedikit merajuk. Wajahnya seperti melihat kucing memohon sepotong tulang. Terlihat aneh tapi benar-benar ampuh.

Huh, wanita. Punya seribu satu cara untuk menaklukkan pria. Tapi kuakui, aku luluh melihat wajah kucingnya ini. Sangat menawan. Rasanya ingin aku menculiknya dan membawanya ke suatu tempat di mana aku tidak hanya luluh tapi lepas kendali.... Oh stop. Apa yang kupikirkan? Aku belum menghalalkannya bodoh!

Arya mundur, menahan rasa agar tidak semakin jauh membawa fantasi liarnya terbang ke langit ke tujuh.

"Sudah, iya. Aku ke depan." Arya berjalan memimpin di depan. Terlihat konyol, tapi kenapa pria gampang tergoda hal-hal seperti ini ya? Apa karena dia cantik? Heh, tapi itu benar.

Mariko mengekor saja mengikuti Arya melewati ruang makan, ruang tamu hingga keluar rumah. Ia bahkan mengikutinya hingga menemui Ferdi di luar.

"Eh, kamu kenapa ke sini?" Arya melihat Mariko yang mengikutinya hingga keluar pagar.

"Itu." Mariko menunjuk Ferdi.

"Tidak, kau masuk! Lihat pekerjaanmu!" Arya dengan tegas menunjuk pada para pekerja Ferdi yang sedang menimbun semen dan batu bata di taman depan.

"Mmh? Iya." Mariko terpaksa mundur dan melangkah ke arah taman. Ia masih memperhatikan Ferdi dan Arya dari kejauhan sambil mengawasi pekerja.

"Ada apa?" Arya memulai pembicaraan. Ia melipat tangannya di depan dada.

"Eh." Ferdi sedikit ragu memulai, melihat wajah angker Arya. "Kak, jangan galak-galak kak, aku mohon. Aku minta maaf soal kemarin. Aku tidak bermaksud mengajari Ricky hal-hal yang buruk. Tidak. Aku hanya menawari kakak."

Arya terlihat semakin kesal. Ia menghela napas.

Ferdi merasa bodoh. Ia buru-buru meralatnya. "Eh, maaf aku tidak tahu kalau kakak tidak suka. A a aku minta maaf kak. Aku senang kakak bisa main denganku kemarin. Aku sudah lama tidak punya teman yang bisa bantu aku menaikkan level gamesku sampai banyak seperti kemarin. Aku benar-benar ingin main lagi sama kakak, makanya aku tanya kesukaan kakak apa tapi kakak tidak kasih tahu, jadi aku menebak-nebak saja sendiri." Jawaban jujur Ferdi sedikit meluluhkan hati Arya.

"Tapi untuk sekarang ini aku sedang banyak kerjaan." Arya bingung menjawabnya.

"Yaaa ... kakak. Sejam saja malam, masa tidak bisa kak?"

Arya menatap Ferdi dengan pandangan kesal bercampur rasa iba. "Aku tidak tahu."

"Eh, nanti kalau mau main ke rumah beri tahu Ricky ya kak, biar Ricky kasih tahu aku."

"Ya." Arya menjawabnya dengan ketus.

Tak lama, pekerjaan menurunkan barang-barang telah selesai. Ferdi pun pamit dengan membawa mobil truknya pergi.

"Kok dia langsung pergi?" Mariko datang menghampiri.

"Kan pekerjaannya sudah selesai. Kenapa, kamu suka padanya?" Mata Arya penuh selidik.

"Kan biasanya dia pamit padaku?" Mariko menunjuk wajahnya.

"Itu berarti kamu tidak penting lagi baginya."

"Masa?"

"Ck! Kamu banyak bertanya. Sudah waktunya kita ke klinik. Ayo, kita pamit pada pak Chris."

"Sudah."

"Mmh? Tapi kan kita mau pinjam motornya?"

"Sudah." Mariko memperlihatkan kunci motor Chris.

"Oh, bagus kalau begitu." Arya mengambilnya dari tangan Mariko.

Mereka mendatangi garasi dan membukanya. Setelah mengeluarkan motor, kendaraan itu melesat ke klinik yang di tuju.

Klinik pagi itu tidak terlalu ramai. Mereka mendaftar dan menunggu di ruang tunggu.

"Kak, sebenarnya aku bisa datang sendiri kak."

"Mmh? Kau mengusirku?"

"Tidak. Hanya aku merasa, aku sudah ganggu kakak bekerja. Harusnya sekarang kakak kerja dan aku ke sini sendiri."

"Bukankah aku turun terlibat dengan kejadian yang melukaimu itu." Arya menatap ke lantai. Ia sendiri masih rancu dengan keterangannya sendiri tentang keterlibatan dirinya.

"Kan kakak tidak terlibat. Tidak sama sekali. Malahan kakak bantu aku hingga aku bisa berdiri di sini."

Arya menatap Mariko. Alasan ia berada di situ karena ... ingin menemaninya. "Aku hanya ingin pastikan kau benar-benar memeriksakan diri ke klinik. Kau bisa saja kan berbohong sudah padahal belum."

"Aku kan tidak begitu kak."

"Aku tidak percaya."

"Kak."

"Sudah, jangan membantah." Arya melihat ke arah lain.

Mariko mengerucutkan mulutnya.

Suster mulai memanggil nama-nama pasien. Di ruang tunggu yang besar itu terdapat beberapa poli yang mengelilingi mereka. Beberapa poli lain juga telah mulai memanggil pasiennya. Seorang ibu muda yang sedang hamil besar datang bersama pasangannya. Ia duduk tak jauh dari Mariko dan Arya. Sambil berbincang dengan suaminya sesekali ia mengelus perutnya. Sepertinya mereka sedang menanti kelahiran si buah hati.

Arya berdehem. "Kamu, kalau bertemu dengan pria yang kau suka lalu menikah. Apa ... kau ingin punya anak lagi?" Ia kembali menatap Mariko.

"Mmh?" Kenapa ia menanyakan hal-hal aneh seperti ini?

Arya menunggu.

"Apa aku harus menjawabnya?" Mariko masih sedikit bingung.

"Kau tidak ingin punya anak lagi?"

"Mungkin."

"Mungkin apa?"

"Mungkin ingin."

"Kenapa mungkin?"

Mariko menatap Arya.

"Oh, aku hanya ingin tahu apa kamu tidak trauma setelah mendapatkan Tama." Arya mencari alasan tapi ternyata yang keluar malah yang sejujurnya dari hati.

"Oh." Mariko membetulkan duduknya. "Tidak, aku tidak trauma."

"Jadi ... kenapa mungkin?" Arya masih mencecarnya.

"Mmh?" Dia mau apa sih tanya seperti ini? Aku kan risih. "Tergantung pasangannya."

"Tergantung pasangannya? Maksudnya bagaimana?"

"Ibu Mariko. Ibu Mariko Wiraguna." Suster memanggil nama pasien berikutnya.

"Itu pakai namamu?" Mariko heran mendengar nama belakang namanya.

"Ayo, kita sudah di panggil." Arya berdiri dan menarik tangan Mariko.

Mereka masuk ke ruangan praktek dokter.

"Oh, kalian." Dokter itu langsung berdiri. "Ayo, langsung periksa saja."

Mariko di ajak duduk di tempat tidur pasien yang tersedia. Gorden kemudian di tutup. Setelah beberapa lama gorden kembali terbuka. Mariko terlihat sedang mengancingi kancing kemeja terakhirnya.

Dokter itu kembali duduk di kursinya dan menatap Arya. "Sudah mulai membaik ya, tapi tetap untuk seminggu ke depan agar tetap tidak mengangkat yang berat-berat dulu karena lukanya baru menutup."

"O, iya dok."

Mariko duduk di samping Arya.

"Ini saya resepkan obat pereda nyeri dan demam tapi di minumnya saat sakit saja ya." Dokter itu menuliskan resepnya.

"Baik dok."

Dokter itu merobek kertas itu dari buku yang di tulisnya dan menyerahkannya pada Arya. "Jaga baik-baik istrinya pak."

"Oh, iya dok. Terimakasih." Arya segera bangkit.

"Eh, is ...."

Arya segera memotong ucapan Mariko. "Ayo kita keluar." Ia menarik tangan Mariko.

Di luar. "Kak, kenapa dokter itu bilang istri?"

"Oh, itu tidak penting. Apa kamu harus menceritakan seluruh kisah hidupmu pada dokter itu? Kesalahpahaman ini tidak mengganggumu kan?" Arya berjalan ke arah apotik.

"Tapi kak ...." Mariko berjalan sejajar dengan Arya.

"Apa itu mengganggumu? Kalau itu mengganggumu kita bisa balik lagi ke tempat dokter tadi praktek dan menerangkannya."

"Tidak."

"Ya sudah."

Setelah mendapatkan obat merekapun meninggalkan klinik. Saat mengendarai motornya, Arya melewati sebuah toko yang menjajakan aneka topi di depannya. Ia menghentikan motornya di depan toko itu.

"Mmh? Kita mau beli apa?"

Seorang pria berdiri di depan toko itu. Sepertinya ia adalah penjualnya.

"Pak boleh lihat topi yang itu pak?" Arya menunjuk ke sebuah topi yang di letakkan agak ke tengah.

"Yang ini?"

"Iya pak."

Pria itu mengambilkannya untuk Arya dan ia mencobanya.

Arya menatap Mariko. "Bagus tidak?"

"Mmh ...." Mariko menggigit ibu jarinya, kemudian melihat ke arah topi lainnya. "Bagaimana dengan yang itu?"

Di rumah Chris, Reina sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer di kamarnya. Ia kemudian mematikan pengering rambut itu dan menarik colokannya dari stopkontak. Reina yang baru saja berdiri dari kursi meja riasnya, didatangi Chris yang merengkuh bahunya dari belakang dengan tangan kirinya. Ia mencium pucuk kepala Reina.

"Mmh. Setiap hari kau membuatku semakin nyaman denganmu, apalagi dengan penyatuan kita tadi. Rasanya seperti, tidak ada hari yang sempurna tanpa kehadiranmu. Kau membuat hari-hari sepiku dulu sebagai anak tunggal jadi berwarna. Dengan kehadiranmu, anak-anakmu dan aku berharap, anak-anak kita nanti bisa membuat cinta kita tak terpisahkan Reina. Hanya kamu, pertama dan yang terakhir bagiku."

"Da, tidak boleh begitu. Kita boleh berharap tapi kita tidak akan tahu takdir apa yang sedang menanti kita di depan sana. Yang pasti, takdir Allah yang terbaik."

"Reina, kau jangan menakutiku seakan-akan kita akan berpisah. Aku tidak mau itu terjadi pada kita. Aku tak rela." Chris mengerucutkan mulutnya dan mengeratkan pelukannya. "Apa kau menyukai pria lain selain diriku?"

Reina tersenyum simpul. "Da, aku sehari-hari bersama Uda. Mana mungkin aku punya selingkuhan?"

"Mungkin saat aku tidur?" Chris mencari cela.

Reina tertawa. "Kalau sehari-hari aku bersamamu saja kamu sudah curiga, bagaimana kalau aku punya usaha sendiri. Bisa-bisa kamu akan menyewa dektektif untuk membuntutiku setiap saat."

"Habis kamu bicaranya, seakan-akan kamu ingin pergi jauh."

Reina menengok ke samping ke arah wajah suaminya. Ia kemudian mencubit pipinya dengan mesra. "Tidak mungkin sayangku. Aku tidak mungkin bisa menemukan suami sebaik dan seperhatian seperti kamu lagi di luar sana yang wajahnya seperti ini. Tidak akan. Karena cetakannya sudah tidak ada." Ia menunjuk-nunjuk wajah Chris.

Chris akhirnya tertawa.

"Berharap saja takdir Allah itu selalu berpihak pada kita. Itu yang terbaik."

"Amin."

"Nah, begitu dong. Senyum." Reina mencolek hidung Chris. "Eh, ngomong-ngomong, aku jadi ingat perkataan Bundo soal sunat. Uda sudah di sunat?"

Chris melihat ke bawah tubuhnya. "Belum." Ia menoleh pada Reina. "Bagaimana ini?"

"Kau kan bisa tanya ke rumah sakitmu, mungkin mereka menyediakan layanan untuk itu."

"Benarkah? Aku tidak tahu kalau ada yang seperti itu di rumah sakitku. Besok saja, kalau benar ada di sana. Kan bisa sekalian. Tapi sakitkah?" Wajah Chris seperti bisa merasakan nyerinya.

"Aku tidak tahu, karena perempuan biasanya saat bayi. Tapi katanya ada yang sampai tidak terasa sakit."

"Benarkah?"

Terdengar suara mobil memasuk halaman depan.

"Oh, Tama mungkin."

Reina dan Chris keluar menyambut kedatangan pria kecil itu. Saat hampir mencapai pintu, Tama sudah masuk dan berlari mengejar Reina. Ia mencapai kaki Reina dan minta di gendong. Reina menggendongnya.

"Watashi wa nihonjin." Tama mengucapkan kata-kata itu dengan senang.

"Oh, sudah pintar bahasa Jepang ya?" Reina meledek Tama.

"Tama tadi di kelas punya teman baru dari Jepang, jadi mungkin sama-sama dari Jepang. Eh ... maaf." Sri terlanjur bicara. Yang tadinya menatap Reina kini menatap Chris dengan rasa bersalah.

Duh, kenapa aku ngomong 'sama-sama Jepang' sih? Jadi tersinggung deh, pak Chris. Marah tidak ya? Bodoh, bodoh, bodoh ... Ingin rasanya saat itu Sri membenturkan kepalanya ke dinding.

"Oh, jadi dia belajar bahasa Jepang dari teman?" Chris menatap Sri.

"Bukan pak, temannya baru datang hari ini." Sri menggoyang-goyangkan tangannya.

"Lalu siapa yang mengajarinya bahasa Jepang?"

"Oh, itu Ricky pak. Waktu bapak pergi ke pengadilan, dia ke rumah pak." Akhirnya Sri nekat memberitahu.

"Apa?"

"Oh, dia main ke rumah ya? Mungkin suka bermain dengan Tama ya?" Reina tanpa curiga menatap Tama dengan tersenyum.

Tama merebahkan kepalanya di dada Reina, sepertinya lelah. Sedang Chris kembali mengingat pembicaraannya dahulu dengan Redi.

Di saat bersamaan terdengar suara motor yang memasuki halaman rumahnya. Mariko dan Arya sudah kembali dan masuk ke dalam rumah.

Reina menyerahkan Tama pada Sri yang langsung membawanya ke atas.

"Oh, pak. Ini kuncinya." Arya menyerahkan kunci motor ke tangan Chris. "Terimakasih."

"Ricky kemarin waktu kami ke pengadilan, kamu main ke rumah ya?" Kali ini yang bertanya adalah Reina.

Mata Chris dan Arya tertuju pada Mariko.

"Eh, iya." Mariko bingung kenapa semua orang menatapnya.

"Oh, tidak apa-apa. Tama pasti senang punya teman bermain." Reina masih tersenyum.

"Eh, hanya berkunjung. Kebetulan saya sedang bekerja di restoran." Mariko tertawa dengan kikuk karena ada 2 pasang mata yang memandanginya penuh selidik. Mata Arya dan Chris, dan itu sangat tidak nyaman.

"Well, tidak apa-apa, sih. Kalian sudah kami kenal." Kata-kata Chris meredakan suasana.

"Maaf pak atas ketidak nyamanan ini." Arya meminta maaf.

"Oh, tidak apa-apa."

Karena merasa canggung, Arya segera pamit. Ia menarik Mariko ke taman belakang, sementara Chris dan Reina kembali ke kamar.

Chris mengambil laptop dan membukanya. Saat ia mulai menghidupkannya, pikirannya mulai menerawang ke percakapan dirinya dengan Redi waktu itu.

Orang Jepang itu. Benarkah Arya berteman dengan kakaknya? Kalau tidak, maka ke curigaan Redi beralasan. Untuk apa orang Jepang itu masuk rumahku?

Kata mama waktu itu, wajahnya familiar. Aku juga merasa begitu. Entah di mana aku pernah melihat wajah yang seperti itu.

Tapi apa benar Arya ingin mencurangiku? Rasanya tidak. Tapi seperti ada sesuatu, tapi entah apa. Ada benang merah yang aku tidak bisa lihat. Kalau ... Ricky ingin menculik Tama, harusnya kan dia sudah menculiknya saat itu. Tapi tidak. Hanya berkunjung. Ssssssh ... Chris menepuk-nepuk dahinya dengan telapak tangannya.

"Uda kenapa? Pusing?" Reina yang sedang berbaring di sampingnya melihat Chris menepuk-nepuk dahinya.

"Oh, tidak. Aku sedang memikirkan masalah kantor." Chris mengelak.

"Oh, kalau susah, jangan di pikir dulu Da. Tinggalkan. Nanti juga ketemu jawabannya."

Mmh, kata-kata Reina ada benarnya. Nanti saja, waktu yang akan membuktikan.

Di tempat lain di taman belakang, Arya dan Mariko duduk berdampingan di pisah oleh sebuah meja kecil. Arya meletakan satu tangannya di atas meja sambil bersandar, sedang Mariko duduk sambil menundukkan kepala.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!