NovelToon NovelToon

MERAJUT SERPIHAN CINTA

Bab 1

Jika waktu yang selama ini kita miliki tak lagi memiliki makna bagimu, maka ku akan bertahan demi anak-anak. Kita akan mulai berjuang mencari kebahagiaan walaupun tidak lagi bersama.

Malam ini Citra berdandan dengan cantik. Segala wewangian sudah ia oleskan ke sekujur tubuhnya. Sudah hampir dua bulan ia dan Pram tidak melakukan ritual suami istri. Keduanya sama-sama sibuk. Kegiatan kantor telah menyita waktu Citra, apalagi sekarang jadwal mengikuti workshop serta seminar di luar kota begitu padat. Sedangkan Pram, semenjak menggantikan almarhum Prima Wijaya Santosa papanya sebagai Ceo di Antariksa Group membuat jadwalnya padat merayap, sehingga pulang ke rumah  hari telah gelap dan semua penghuni telah terlelap dalam pelukan malam.

Citra merindukan kehangatan tubuh kekar suaminya. Bagaimana Pram memanjakan dirinya dengan sentuhan-sentuhan lembut dan mesra, menghujaninya dengan kata cinta, yang selalu membuat Citra melayang.

“Cukup Wid…” Pram mendorong tubuh Widya yang sudah berada di pangkuannya.

Walaupun ia mencintai kekasihnya, tapi ia tidak mungkin melampaui batas. Jemari Widya sudah menelusup ke bawah membuat Pram menggeram menahan gairah yang sudah hampir naik ke kepala.

“Bukankah mas akan segera menceraikan perempuan itu?” suara manja Widya mendesah syahdu.

“Kita hanya bisa melakukan sebatas ini. Aku menyayangimu. Aku tak akan menodaimu sebelum ijab kabul terjadi antara kita.” Pram mengecup mesra kening Widya.

Dengan cepat Pram merapikan blouse Widya yang acak-acakan akibat permainan jemarinya.

“Hari sudah malam, aku akan mengantarmu pulang.” Pram bangkit dari sopa yang menjadi saksi kemesraan antara ia dan sekretarisnya.

Jam di dinding berdentang 9 kali. Suara mobil Pram sudah terdengar memasuki garasi. Karena posisi kamar mereka di bawah, jadi Citra bisa mendengar dengan jelas. Ia menyemprotkan parfum di lehernya yang putih dan jenjang.

Pram memasuki kamar mereka. Ia terkejut melihat Citra yang belum tidur. Penampilan Citra begitu menggoda iman. Pram menelan ludah. Ia berjalan langsung ke kamar mandi, berusaha mengalihkan perhatian. Setelah membersihkan badan dan mengganti pakaiannya ia langsung merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tak ia pedulikan Citra yang masih menyisir rambutnya yang panjang melewati bahu.

Melihat sikap Pram yang acuh, Citra segera beranjak mendekati suaminya dan berbaring di sisinya. Ia mulai melingkarkan tangannya ke tubuh Pram yang berbaring membelakanginya. Jemarinya yang lentik mulai membelai dada Pram yang bidang dan kokoh padat berisi. Ia mulai mengecup leher Pram sambil meniup-niupnya dengan hangat.

Pram mencekal tangan Citra dan menahannya dengan kuat. “Hari sudah malam. Aku benar-benar capek malam ini.”

“Sebentar aja, ya…” rayu Citra lembut mendayu. Ia mengendus-endus leher suaminya yang menghujaninya dengan kecupan-kecupan ringan.

Pram menggelengkan kepala cepat. “Besok pagi sekali aku akan berangkat ke Semarang. Aku nggak mau ngantuk di perjalanan.” Ia langsung menutup tubuhnya dengan selimut hingga ke kepala.

Citra terpaku melihat sikap Pram. Apa yang terjadi dengan suaminya. Selama ini hubungan mereka baik-baik saja, dan Pram tidak pernah bersikap kaku dan kasar. Malam ini sikap Pram benar-benar lain.

Air mata Citra menetes tak terasa membasahi pipi sekaligus hatinya yang terdalam. Ia sedih dan terluka atas penolakan Pram. Ini yang kedua kalinya Pram menolak hubungan intim dengannya. Padahal ia sudah berusaha pulang lebih awal dari kantor, agar dapat mempersiapkan kebutuhan keluarganya di rumah, termasuk melayani suaminya.

Sebelum Pram terbangun dari tidurnya, Citra telah selesai melaksanakan salat Subuh juga membangunkan Kinar dan Damar untuk salat bersamanya. Ia tau Pram masih kelelahan, jadi ia tidak ingin mengganggu istirahat suaminya.

“Ma, saat SMA tahun depan mbak ingin melanjutkan di Solo aja, ” ujar Kinar sambil menikmati sarapan paginya.

“Aku tetap di sini aja, kasihan mama sendirian nggak ada temannya,” sela Damar.

“Papa kan nggak kemana-mana.” tukas Kinar cepat.

Pram tersedak. Ia merasakan sesuatu menggores hati kecilnya mendengar pembicaraan yang terjadi. Tapi tak dapat ia pungkiri, akhir-akhir ini  ada yang lain pada hatinya. Pernikahan mereka yang sudah berjalan selama 14 tahun terasa mulai dingin dan hambar belakangan ini.

Seseorang di kantor  mulai mengganggu pikirannya. Sekretaris muda yang berpenampilan selalu segar diam-diam mulai mencuri hatinya. Sikapnya yang berani mendobrak kekakuan Pram. Suaranya yang merdu, merayu membuat hati kecil Pram merasakan sesuatu yang sudah lama tak pernah ia rasakan.

Citra termangu mendengar ucapan Damar, “Apakah Damar juga merasakan firasat yang kualami?” batin Citra lirih.

Ia berusaha menolak pemikiran negatif yang mulai mengganggu pikirannya. Ia menatap Pram yang tak acuh menikmati sarapan pagi itu. Biasanya Pram akan mulai berbincang-bincang seputar keseharian putra-putrinya. Tapi kini, hanya kekakuan yang terjadi di meja makan, walaupun Kinar dan Damarlah  tetap tidak pernah merasa  bosan berbicara tentang sekolah maupun teman main mereka.

“Cukup, Wid…” Pram menghentikan cumbuan Widya sekretarisnya yang masih bergelendot manja di pangkuannya.

“Ntar lagi dong, mas. Aku kan masih kangen.” Widya masih mengecup leher Pram sambil menjilatnya dengan mesra.

Darah Pram terasa naik ke kepala. “Cukup, Wid. Aku nggak ingin melakukan hal terlarang. Kita belum sah.” Ia menghentikan tangan Widya yang mulai merambah turun ke dadanya.

“Aku sangat mengagumimu…” desah Widya manja, sambil turun dari pangkuan Pram.

“Aku tau. Semua perlu proses.” Pram memeluk kekasihnya sambil mengecup kening Widya dengan mesra.

“Aku akan sabar menunggumu.” Widya mengeratkan pelukannya. Aroma parfum maskulin Pram benar-benar memabukkannya. Rasanya ia tak ingin melepas pelukan itu. Yang ia inginkan sekarang menarik Pram ke ranjang yang hangat, namun Pram bukanlah laki-laki yang sembarangan membawa perempuan untuk menghangatkan ranjangnya.

 

 

Bab 2

Pram memijit kepalanya  yang tiba-tiba berdenyut. Kehadiran Widya memang telah membuatnya bersemangat dalam menjalani hari yang sangat membosankan.  Hubungan terlarangnya dan Widya baru berjalan dua bulan, dan ia sangat menikmati itu. Selama ini Pram adalah tipe lelaki setia, dia tak akan menduakan orang terkasihnya. Saat panah asmara Widya menancap di jantungnya, ia mulai mencari celah untuk menghindari Citra yang saat ini adalah istri sahnya.

“Mari kita berpisah…” ujar Pram sambil memandang Citra istrinya, yang sudah mendampinginya selama 14 tahun. Bayangan Widya sekretarisnya yang seksi begitu kuat dalam pikirannya saat ini, sehingga ia tak bisa memikirkan hal lain.

Citra terperangah, tidak menyangka kata-kata itu akan tercetus dari suaminya, ayah dari anak-anaknya  serta satu-satunya lelaki yang telah mengajarkan arti cinta dan kebahagiaan yang hingga detik ini begitu membuatnya bahagia.

Suasana hening, karena Kinar serta Damar  telah memasuki kamar tidur mereka di ruang atas. Hanya detak jam dinding yang melingkupi keduanya.

“Apa mas tidak memikirkan perasaanku serta kebahagiaan Kinar dan Damar ?”  Citra menatap wajah suaminya yang kelihatan gelisah. “Kita sudah menikah 14 tahun, tidak bisakah mas bertahan demi anak-anak?” Ia berusaha menahan kesakitan yang tiba-tiba menggerogoti relung hati yang terdalam.

“Pernikahan kita terasa hambar.” Pram memijit kepalanya, “Dan aku sudah memikirkannya 3 bulan belakangan ini  Untuk Kinar, aku akan membicarakan pelan-pelan dengannya. Apalagi dia sudah kelas 2 SMP, pasti akan mengerti dengan permasalahan kita.”

Citra menghela nafas gerah, “Kita tidak ada masalah. Mas lah yang membawa perempuan dalam pernikahan kita, sehingga mendatangkan permasalahan dalam rumah tangga kita.”

“Kamu tidak boleh menyalahkan orang lain atas kekurangan yang ada padamu.” ujar  Pram ketus. Suaranya terdengar marah mendengar perkataan Citra.

“Kekurangan apa yang mas maksud? Bukankah aku selalu melayanimu baik lahir maupun batin…” tukas Citra cepat.

Pram tercenung, memang ia akui Citra tidak memiliki kekurangan, bahkan nyaris sempurna. Tetapi kesibukan mereka berdua yang membuat intensitas ketemu menjadi jarang. Apalagi semenjak Citra di angkat sebagai Kepala Bagian Audit di kantornya membuat ia sering bepergian. Sedangkan ia sebagai pengusaha  yang memiliki beberapa cabang di Indonesia juga jarang berada di rumah.

“Sudahlah Citra, aku tidak ingin memperpanjang perdebatan ini.” Pram menatapnya dengan datar. “Aku sudah bosan dengan pernikahan kita.”

“Astagfirullahaladjim, mas…” Citra terperangah mendengar ucapan suaminya.

Mata yang selama ini menatap Citra dengan penuh cinta dan kelembutan sudah tidak tergambar di sana, yang tampak hanya sinar dingin dan tak bersahabat.

“Apakah semua ini karena Widya sekretarismu itu?” tanya Citra blak-blakan. Ia tak ingin Pram bersandiwara serta berbohong lebih lama yang akan berdampak tidak baik dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Pram termenung sesaat, bayangan sekretarisnya yang berbicara lemah lembut dan mendayu-dayu serta sering memujinya membuat Pram merasakan kembali jiwa mudanya. Dan harus ia akui, perlakuan Widya berubah terhadapnya. Dia mulai berani menyentuh dan dengan sengaja berpakaian seksi di kantor.

“Mas, katakan sejujurnya, jangan ada kebohongan. Aku siap mendengar apapun alasanmu. Karena aku merasa pernikahan kita selama 14 tahun ini baik-baik saja. Kita telah membangun bahtera rumah tangga dengan pilar kepercayaan dan kejujuran. Kalau itu sudah tidak berarti bagimu, setidaknya pikirkan anak-anak…” airmata Citra sudah tidak terbendung.

Ia tak  menyangka bahwa Pram yang pulang dari perusahaan lebih awal bukan untuk mengajak mereka makan di luar, seperti kebiasaan mereka selama ini. Tetapi malahan menyampaikan sesuatu yang benar-benar di luar dugaan dan menyakitkan hatinya.

Sebenarnya ia tak ingin mencurigai suaminya, tetapi minggu lalu,  saat ia sedang menghadiri seminar Perpajakan di Ballrom sebuah hotel bintang lima, tak sengaja matanya menatap sepasang laki-laki dan perempuan yang bergandengan tangan memasuki mobil. Ia mengenal mobil itu adalah milik Pram suaminya. Tetapi perempuan itu…

Citra tak mau berspekulasi, hanya membuang waktu. Ia tetap fokus mengikuti seminar. Setelah kegiatan selesai, ia terburu-buru mampir ke mall untuk belanja kebutuhan bulanan. Saat melangkahkan kaki ke alat kecantikan wanita, matanya nanar menatap sang suami digandeng perempuan berpakaian rapi press body yang sedang memilih produk skin care.

“Mas Pram …” Citra memanggilnya lirih.

Pram terkejut melihat Citra sudah berdiri di hadapannya. Ia tertangkap basah sedang menemani sekretarisnya belanja. Sebenarnya bukan kesengajaan Pram melakukan hal ini, setelah menjamu kliennya makan siang, dengan terpaksa ia menuruti keinginan Widya yang mengajaknya mampir ke mall, karena produk kecantikannya habis.

Widya memandang Citra dengan acuh. Tangannya masih bergelayut mesra di lengan Pram yang kokoh, “Mas yang ini aja deh…”

“Kita akan membicarakan ini di rumah,” ujar Pram datar.

Keduanya langsung berjalan meninggalkan Citra yang kini terpaku tak percaya menyaksikan pemandangan yang begitu menyakitkan.

Citra berusaha mengingat perempuan yang berjalan bersama Pram. Akhirnya bayangan sekretaris Pram yang bernama Widya langsung tercetak di otaknya.

“Aku merasakan pernikahan kita semakin hambar.” Perkataan Pram memangkas lamunan Citra. Ia menatap Citra dengan perasaan yang sukar dilukiskan. Tak dapat ia pungkiri kesedihan juga menggores hatinya karena telah menyakiti hati perempuan yang telah memberinya keturunan yang sempurna. Tetapi pesona Widya telah membutakan mata hati dan pikirannya.

Citra mengusap airmata yang tak terkendali membanjiri pipinya yang mulus, “Apa mas tidak memikirkan perasaanku. Kita menikah atas restu orangtua, dekat selama dua tahun dan menikah 14 tahun, tak bisakah mas bertahan hingga anak-anak dewasa?”

Pram mengalihkan pandangannya dari wajah Citra. Terus terang ia semakin merasa bersalah, tapi keegoisannya menutup semua kenyataan yang dikatakan Citra. “Sudahlah, Citra. Aku tidak ingin berbohong lebih lama. Memang ku akui aku telah menjalin hubungan serius dengan Widya akhir-akhir ini.”

Citra terperangah, jawaban Pram benar-benar telah menjatuhkan harga dirinya membuat  hatinya pecah berkeping-keping tak tersisa, tidak ada raut penyesalan di wajah Pram saat mengatakan hal itu.

“Apakah mas sudah memikirkan ini dengan matang.” lirih Citra nyaris tak terdengar, “Bagaimana dengan orang tua kita. Apa mas tak memikirkan perasaan mereka?” Citra masih berusaha menarik ulur hubungan mereka.

“Aku akan mengurus semuanya. Karena kesehatan mama mulai menurun, aku akan menunda membicarakan hal ini dengan beliau. Mulai besok, aku akan pindah ke apartemen, karena lebih dekat dengan kantor. Jadi aku tidak membuang waktu terlalu lama di jalan,” pungkasnya.

“Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusan mas. Tetapi ku harap, sebelum proses perceraian kita  tetaplah tinggal di rumah. Biar Kinar dan Damar tidak terlalu terpukul. Dan aku akan memberi pengertian kepada Kinar dan Damar dengan pelan.”

Pram mengangguk ia menatap Citra dengan perasaan serba salah, “Maafkan aku, atas keadaan ini. Mulai malam ini aku akan tidur di kamar tamu…” Pram beranjak meninggalkan Citra yang masih termangu di meja makan.

Citra menepuk dadanya dengan kuat. Sedapat mungkin ia menahan tangis di depan Pram. Seumur hidup ia tak pernah meminta belas kasihan pada siapapun apalagi mengemis cinta pada seorang lelaki. Walaupun ia tau, sudah kewajibannya sebagai seorang istri untuk mempertahankan rumah tangga. Tapi ia sadar, perasaan tak bisa dipaksa. Jika seseorang ingin berpisah, lebih baik kita lepaskan. Jika memilih bertahan, tentu akan lebih menyakitkan. Yang ia pikirkan sekarang adalah anak-anaknya. Bagaimana ia memberi pengertian pada mereka, bahwa mama dan papanya akan berpisah.

Mbok Siti yang tak sengaja mendengar pembicaraan majikannya mengurut dada dengan perasaan sedih. “Ya Allah, jagalah keutuhan rumah tangga tuan dan nyonya. Mereka orang baik dan saling menyayangi. Janganlah Kau pisahkan mereka…” Ia mengusap air mata yang mengalir tiba-tiba di pipinya yang mulai keriput.

Di dalam kamar, Citra meremas dadanya yang terasa sakit. “Ya, Allah apa yang terjadi dengan pernikahan ini. Kenapa sesakit ini? Aku tidak sanggup berpisah dengan mas Pram, aku terlalu mencintainya. Berikan aku jalan keluar  ya, Allah.”

Citra memandang foto pernikahan mereka yang tercetak besar di dinding kamar. Senyum keduanya tergambar jelas di foto itu. Pelukan mesra Pram menghangatkan tubuh hingga jiwanya. Biduk rumah tangga mereka yang mengalami pasang dan surut, hingga terlahir Kinar dan Damar, tetapi mereka tetap mampu menghadapi angin serta badai yang menerpa, karena kekuatan cinta. Tapi kini….

Semalam-malaman Citra  tidak bisa tidur, ia  berusaha mengingat perubahan sikap Pram yang tidak pernah lagi hangat di dalam keluarga. Semenjak Pram mengambil kuasa penuh kantor pusat menggantikan papanya yang meninggal 6 bulan yang lalu, ia semakin sibuk. Tetapi hubungan suami istri mereka masih seperti biasa. Ia teringat, saat pertama kali penyerahan kekuasaan pada suaminya dan ikut mendampingi Pram di perusahaan.

Di sana ia melihat ada seorang perempuan yang tampak lain saat memandang suaminya. Tapi  Citra tidak terlalu memikirkan hal tersebut, ia yakin cinta Pram terlalu kuat untuk dirinya dan keluarga mereka.

Kecurigaannya bermula saat  Pram sering menerima telpon di malam hari ketika mereka mulai memasuki peraduan. Citra masih tidak peduli. Namun jadwal  family time dengan membawa anak-anak untuk jalan-jalan atau sekedar makan di restoran sudah tidak pernah lagi mereka lakukan dengan alasan Pram yang selalu sibuk. Hingga Citra melihat bekas lipstick di kerah kemeja Pram membongkar kecurigaan Citra.

Pram berusaha mengelak, sehingga pertengkaran tak bisa dihindari. Citra masih berusaha sabar menghadapi Pram. Ia tetap ingin mempertahankan keutuhan rumah tangganya, tetapi Pram berusaha menghindar dengan selalu pulang malam, di saat semua sudah tidur.

Dan malam inilah puncak dari semua permasalahan dan kekacauan dalam rumah tangga mereka yang sudah tidak bisa dihindari. Dan Pram tampaknya sudah mengambil keputusan sepihak untuk kenyamanan dirinya sendiri, tanpa memikirkan perasaan Citra dan kedua buah hatinya.

Pagi hari saat Citra menuju ruang makan, ia tidak melihat lagi sosok Pram. Hanya ada Kinar dan Damar yang sudah bersiap ke sekolah dengan di antar pak Maman sopir  yang sudah mengabdi selama puluhan tahun.

“Papa sudah berangkat ya…?” tanya Citra sambil mencium kening  Kinar dan Damar penuh kasih sayang. Kedua buah hati mereka yang  masih memerlukan bimbingan dan kasih sayang kedua orang tua untuk tumbuh kembang  dalam menjalani kehidupan.

“Ya, Ma. Papa bilang ada rapat. Kemungkinan papa nggak pulang, langsung ke Bandung ada undangan dari teman lama papa.” Kinar menjelaskan. “Kenapa mata mama bengkak, habis menangis ya … “

Citra tercekat, walaupun Kinar tergolong introvert tetapi ia sangat perhatian pada mamanya. “Nggak kok. Mama hanya nggak bisa tidur tadi malam. Jadi mata mama bengkak…” elak Citra.

“Mana aku lihat…” Damar yang baru kelas 4 SD sok perhatian, “Ya, temanku bilang mamanya sering menangis karena akan bercerai dengan papanya.”

“Deg…” terasa irisan sembilu mengoyak hati Citra. Ia memeluk anak lelakinya berusaha menguatkan hatinya.

Kinar menatap Citra penuh rasa keingin tahuan, “Apa mama dan papa akan berpisah?”

Citra menggelengkan kepala cepat, “Tidak sayang. Mama dan papa baik-baik saja.” Ia segera mengalihkan perhatian keduanya. “Ayo cepat, pak Maman udah nungguin tuh. Ntar terlambat.” Citra langsung memeluk kedua anaknya dan memberi kecupan sayang bagi keduanya.

“Yang sabar ya, Nya.” Bik Siti mengejutkan Citra yang masih termangu di teras rumah mengantarkan kepergian dua buah hatinya.

Citra tersenyum tipis. Ia tidak tau kepada siapa untuk mencurahkan kesedihan hatinya. Sikap  dingin Pram begitu menyakiti perasaannya. Tapi ia harus kuat bertahan. Perjuangan baru saja dimulai.

 

 

Bab 3

Sudah dua minggu berlalu sejak pembicaraan terakhir mereka. Pram masih pulang ke rumah saat malam hari dan akan berangkat saat pagi menjelang, membuat intensitas pertemuan dan komunikasi mereka semakin jarang.

Siang itu jam makan siang, Citra menjemput Kinar dan membawanya makan siang di restoran yang berada di mall. Ia bermaksud membicarakan rencana perpisahan  mereka dengan Kinar. Saat menunggu Kinar  yang masih berjalan bersama teman akrabnya tiba-tiba tepukan lembut mendarat di bahu Citra.

“Eh, Cicit… udah lama nggak ketemu...”

“Curut….” Citra terlonjak melihat Cucu Anggita teman akrabnya saat SMA. “Subhanallah, makin seksi aja kamu…”

Mereka berdua berpelukan karena sudah tidak berjumpa selama 17 tahun.   Keduanya adalah sahabat dekat tanpa rahasia, sehingga punya panggilan kesayangan masing-masing. Komunikasi mereka terputus semenjak Cucu mengikuti orang tuanya yang ASN pindah tugas ke Sumatera.

“Bagaimana kabarmu?” Cucu menghenyakkan tubuhnya di samping Citra.

“Aku baik-baik saja.” Citra tersenyum menanggapi tingkah kawannya yang tidak berubah tetap tomboy dan rambutnya di cat pirang. “Anakmu sudah berapa?”

“Tawarin minum dulu, kek. Aku kehausan ini.”  ujar Cucu sambil memainkan rambut pirangnya. “Eh, apa kamu masih bersama  si ganteng sepupu sultan itu?”

Citra tak dapat menahan senyumnya, “Yah, dia udah memberiku buntut 2 orang.”

“Mantap, cuy.” Cucu mengacungkan dua jempolnya turut berbahagia, langsung meneguk lemon tea milik Citra yang masih utuh.

Pandangan mata Citra melongo melihat 2 orang memasuki restoran di mana ia berada saat ini, dengan tertawa riang seolah dunia milik mereka berdua sambil bergandengan tangan. Di tangan perempuan nampak beberapa paper bag, Pram juga membawa dua paper bag di tangan kanannya namun keduanya tidak menyadari kehadiran mereka.

“Papa ada hubungan apa dengan perempuan ini?” Kinar tiba-tiba sudah berada di depan Pram dan Widya sekretarisnya. “Papa nggak malu jadi jongosnya dengan membelanjakan dan membawakan belanjaan perempuan ini?” teriakan Kinar memancing semua mata yang ada di dalam restoran itu.

Pram terperangah, ia tidak menyangka akan ketemu putrinya saat akan makan siang bersama sekretaris kesayangannya itu, tapi Widya tak peduli ia malah memeluk pinggang Pram dengan mesra.

Cucu dan Citra terkejut melihat kejadian di hadapan mereka. “Maafkan aku, Cu. Rumah tangga kami sedang tidak baik-baik saja. Ini nomor telponku. Nanti hubungi aku…” Citra beranjak mendekati putrinya.

“Kinar nggak akan pernah memaafkan papa… “ Ia berlari dengan penuh luka.

Pram terkejut mendengar ucapan Kinar, dan tatapannya bertemu dengan Citra yang langsung membuang muka penuh kemarahan, dan berlalu berusaha menyusul Kinar yang tak kelihatan jejaknya.

Cucu berjalan menghampiri keduanya, “Wah, kelihatan seru ini. Apa kabar  mas Pram…”

Pram mengalihkan tatapannya pada Cucu dan berusaha mengingatnya. Ia melepaskan tangan Widya yang masih menempel di pinggangnya.

“Aku  Cucu sobat SMA Citra. Hati-hati dengan ulat bulu yang jadi pelakor. Apa nggak ingat  perjuangan Mas Pram mendapatkan Citra, masih banyak lo yang menginginkan dia…” Cucu langsung melenggang meninggalkan keduanya dengan  perasaan  kecewa bercampur amarah, karena ia sangat menyayangi Citra yang sudah banyak berjasa dalam kehidupannya dan kedua orangtuanya.

“Mas, jadi nggak kita makan. Aku udah lapar nih.” Widya berkata dengan manja. Ia tak mempedulikan tatapan yang mencemooh dari pengunjung lain terhadap mereka.

“Kita kembali ke kantor saja. Pesan makanan online, aku nggak enak sama pengunjung yang ada di restoran ini. “ Pram mengusap wajahnya dengan gusar. Ia mengambil paper bag yang terletak di atas meja, dan berjalan menahan rasa malu. Apa kata orang, seorang pengusaha dilabrak anak perempuannya karena ketahuan berselingkuh.

Dengan perasaan dongkol, Widya mengikuti langkah Pram. Tapi ia masih bisa tersenyum, karena Pram telah memenuhi keinginannya untuk membeli beberapa gaun serta tas edisi terbaru serta beberapa barang  branded  lain.

Kinar mengurung diri di dalam kamarnya. Citra menunggu di depan kamar  Kinar berharap anak gadisnya keluar. Untung saja Damar  baru diantar pak Maman untuk pergi les, jadi ia akan membujuk Kinar dan berbicara dari hati ke hati.

“Mbak, keluarlah. Mama membawakan makan siang untukmu.” ujar Citra lirih. “Mama nggak ingin mbak sakit…”

Dengan malas Kinar membuka pintu kamarnya. Keduanya duduk berhadapan di tempat tidur. Wajah Kinar tampak sembab dengan hidungnya yang memerah.

“Mama suapin, yah…” Citra mengulurkan sendok yang sudah berisi nasi dan lauknya.

Kinar menerima suapan dari mamanya sambil berderai air mata. Tenggorokannya terasa tercekat tidak bisa menelan makanan.

Citra mengulurkan gelas minuman, “Kita harus kuat. Mama nggak mau mbak sakit, kita bertiga akan saling menjaga.”  Citra berusaha menahan air mata yang ingin meluncur bebas. Ia harus kuat di depan Kinar untuk menjaga perasaannya.

“Kinar malu, Ma. Teman-teman di sekolah selalu membicarakan papa.”

Citra terperangah, “Maksud mbak  apa?”

“Mereka mengejek Kinar dan menceritakan perselingkuhan papa dengan sekretarisnya.” Kinar berbicara dengan mata berkaca-kaca,

“Mbak nggak usah percaya dengan gosip di luaran. Papa nggak mungkin melakukan hal itu.” Citra masih berusaha membela Pram.

“Kinar tau sejak dua bulan yang lalu, karena Dila teman sekelas Kinar ponakan sekretaris papa. Dia bilang papa dan tantenya akan segera menikah…” Kinar terisak-isak menumpahkan kesedihannya.

Air mata Citra tak tertahan lagi. Ia langsung memeluk Kinar dengan sedih. Keduanya saling menumpahkan air mata penuh luka.

“Dila juga menunjukkan foto-foto saat papa jalan sama tantenya. Selama ini papa ngga lembur. Tapi kencan sama selingkuhannya.” Kinar tersedu  sedan di pelukan Citra.

“Kamu  sudah  keterlaluan, mas.” Citra mengumpat dalam hati mengetahui kenyataan yang terjadi antara suaminya dan sekretarisnya.

Di ruangan bawah Pram tergesa-gesa kembali dari kantor. Ia tidak sanggup melihat wajah luka yang tergambar di raut Kinar. Ia  berjalan ke atas menuju kamar Kinar yang terbuka sedikit. Terdengar suara tangisan Kinar.

“Kinar lebih baik nggak punya papa, seperti Adi. Jadi tidak merasa malu…”

“Hus, mbak nggak boleh ngomong gitu.” Citra  berusaha membujuk Kinar. “Papa nggak bermaksud melukai  mbak.”

“Apa papa nggak memikirkan kita. Apa papa sudah tidak sayang lagi pada kita….”

“Kinar…” Pram memasuki  kamar dengan perasaan berkecamuk, “Maafkan, papa…”

Mata Kinar menyorotkan kemarahan saat Pram berjalan mendekati mereka, “Kinar nggak mau ketemu papa. Kinar nggak punya papa tukang selingkuh.” Ia menjerit histeris.

Citra merengkuh Kinar dengan kuat. Air matanya  semakin deras mengalir menganak sungai di pipinya. Tangannya menepuk punggung Kinar berusaha menenangkannya.

“Lebih baik Kinar nggak punya papa.”  Ia menangis meraung-raung membuat Citra semakin terluka melihat kondisi putrinya.

Citra memandang Pram dengan wajah penuh air mata, “Tolong mas keluarlah…”

Tanpa terasa air mata Pram menetes. Ia tak menyangka perbuatannya menggoreskan luka yang teramat dalam pada putri kesayangannya. Ia merasa tak tega melihat  orang yang ia sayangi mengalami kesakitan yang begitu hebat.

Keheningan melingkupi kamar itu. Pram meremas rambutnya  berjongkok di luar kamar Kinar. Ia belum bisa mengambil keputusan, karena perasannya terhadap Widya juga sangat kuat.

“Ma, Kinar ingin pindah sekolah?” disela sedu sedannya Kinar berucap lirih.

Citra melepaskan pelukannya dan menatap Kinar, “Memangnya kenapa sampai pindah sekolah? Nanti mbak  harus menyesuaikan diri lagi, mencari kawan itu kan tidak mudah.” Citra masih berusaha menenangkan putri sulungnya.

“Kinar nggak mau ketemu Dila lagi. Ia dan kawan-kawannya suka mengejek Kinar. Kinar pengen pindah ke Solo ke tempat eyang putri.”

Pram menajamkan pendengarannya. Putrinya ingin pindah ke kota mertuanya. Suasana kembali hening.

“Mama akan membicarakan hal ini dengan papa terlebih dahulu.”

“Aku nggak punya papa.” Kinar kembali histeris, dan Citra kembali menenangkannya. “Mama nggak tau perasaan Kinar. Mama telah dibohongi papa selama ini. Tapi Kinar nggak bisa. Pokoknya Kinar nggak mau bertemu papa. Biarkan Kinar tinggal bersama eyang putri di Solo.”

“Baiklah, sayang. Mama akan menuruti keinginanmu.” Citra menganggukkan kepala menyetujui keinginan Kinar. Ia yakin kondisi Kinar tidak baik, jika terus bertahan di rumah ini.

Setelah Kinar mulai tenang dan tertidur  Citra turun dari tempat tidur dan berjalan ke bawah melihat Damar yang baru pulang di jemput pak Maman.

“Assalamu’alaikum…” Damar berlari menghampiri dan mencium tangannya.

“Wa’alaikumsalam.” Citra langsung memeluk tubuh mungil anaknya.

“Mbak mana, Ma?” Damar celingukan tidak melihat Kinar yang biasanya jam segini sudah santai di depan tv menonton drakor favoritnya.

“Mbak sedang istirahat di kamar.” ujar Citra lembut, “Sekarang mas Damar mandi ya…”

“Siap mama.” Ia langsung berlari kecil menuju kamarnya.

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!