Alya Berlian Sari, biasa dipanggil Alya oleh teman-temanya. Alya seorang gadis yang tinggal di pinggiran Jogja. Gadis berjilbab dengan wajah imut dan manis, tidak terlalu mencolok, hanya saja sifatnya yang periang dan lugu membuat orang lain nyaman di dekatnya.
Hari itu Alya mengendarai motor beatnya menyusuri jalanan Jogja. Sesaat lampu apil menyala merah, Alya pun menghentikan motornya bersama barisan kendaraan yang lain. Terik matahari menyengat kulit membuat keringat Alya jatuh. Alya sedikit menggerutu, menemui lampu merah di siang yang panas itu seperti mendapat kesialan.
Saat lampu hijau menyala, Alya langsung tancap gas. Membawa semangat yang membara, menuju ke rumahnya. Rasanya Alya ingin segera sampai.
Terbayang di mata Alya, senyum tulus dari perempuan paruh baya yang rambutnya mulai memutih. Perempuan yang selalu cerewet menasehati Alya. Perempuan itu juga yang setiap jam 3 malam bersujud menengadahkan tanganya ke Sang Pencipta, memohon, memintakan kebahagiaan dan kesuksesan untuk Alya. Ya perempuan itu adalah Bu Mirna, Ibu Alya.
Kurang lebih 1 jam Alya mengendarai motor, Alya sampai di depan rumah semi permanen dengan halaman penuh tanaman bunga.
"Assalamu'alaikum Bu, Alya pulang" sapa Alya di depan pintu.
"Waalaikumsalam, alhamdulillah sudah pulang Nak" jawab Bu Mirna.
Alya masuk, meraih tangan ibunya dan menciumnya. Lalu mereka duduk di kursi kayu kuno di ruang tamu berukuran 3x3.
"Tinggal selangkah lagi Bu, semoga Alya berhasil" ucap Alya memulai pembicaraan.
"Iya Nak. Ibu bersyukur, Alloh sudah bantu kita sejauh ini" ucap Bu Mirna pelan mengingat kegetiran perjalanan hidupnya.
"Ibu" panggil Alya lirih menatap ibunya yang mulai memunculkan kerutan di wajahnya.
"Iya Nak"
"Alya, minta maaf ya Bu. Alya ngrepotin ibu terus, Alya janji setelah Alya kerja nanti Alya akan bahagiain ibu"
"Iya Nak, jangan pikirkan itu, kamu bisa menamatkan kuliah saja ibu sudah sangat bahagia Nak. Yang penting kamu harus gigih, berjuang, kuat pendirian, harus berhasil jangan kaya ibu"
"Iya Bu, Alya pasti sukses" jawab Alya lalu memeluk ibunya.
"Bu" panggil Alya lagi melepaskan pelukan ibunya.
"Iya Nak"
Alya mengambil nafasnya pelan, dan menghembuskanya perlahan-lahan. Alya menatap ibunya penuh kekhawatiran.
"Setelah ini Alya selama setahun nggak di rumah" ucap Alya lemah karena Alya sebentar lagi akan tinggal di tempat yang jauh.
"Nggak apa-apa, Nak" jawab Bu Rita menenangkan anaknya.
"Maafin Alya Bu, kuota tempat magang di sekitar Jogja Jawa udah penuh Bu, yang masih banyak kosong di luar Jawa. Ada satu tempat di Jakarta. Alya milih yang di Jakarta Bu"
"Nggak apa- apa Nak, jangan khawatirkan ibu, ibu masih sehat, ibu masih bisa jualan, ibu nggak apa-apa. Ibu malah khawatir sama kamu, kamu di sana nggak ada siapa- siapa" jawab Bu Mirna tetap tenang.
"Ibu, jangan bilang begitu, Alya jadi sedih Bu, Alya jadi ragu mau ke Jakarta"
"Ingat perjuanganmu, bukankah kamu sendiri yang bilang, tinggal selangkah lagi?"
"Iya Bu, setelah ujian sertifikasi. Alya harus magang, baru Alya bisa bekerja dan buka praktek, doain Alya ya Bu"
"Pasti Nak" ucap Bu Mirna memeluk anak semata wayangnya.
Tanpa disadari air mata Bu Mirna jatuh, air mata tanda syukur karena perjuanganya berhasil. Meskipun Bu Mirna harus menjual rumahnya dan kini ngontrak di desa. Bu Mirna berhasil mengantarkan putrinya pada cita-citanya.
Kini anaknya sudah menyandang gelar Sarjana Kedokteran, Alya juga sudah menempuh pendidikan co_***, ujian sertifikasi juga sudah dijalani, tinggal menyelesaikan intership atau magang, putrinya akan benar-benar menjadi seorang dokter.
Meskipun Bu Mirna hanya seorang pedagang gudheg dan pekebun tapi semangatnya luar biasa. Bayangan hitam masalalunya membuat tekad Bu Mirna begitu besar.
Beruntung Alya dikaruniai otak yang cerdas sehingga dia juga mendapatkan beasiswa. Meskipun pendidikan kedokteran sangat mahal. Bu Mirna hanya tinggal memikirkan biaya hidup Alya saja.
Bu Mirna bertekad anaknya tidak boleh menjadi seperti dirinya. Menjadi perempuan tidak berdaya, tidak menamatkan kuliah karena terjebak pada hubungan yang salah. Sehingga Bu Mirna harus membesarkan anaknya seorang diri. Bu Mirna juga menjadi seperti terasingkan dari kehidupan teman-temanya.
"Ibu nangis?" tanya Alya melihat ibunya terisak.
"Ibu bahagia Nak" jawab Bu Mirna menyembunyikan kesedihanya.
"Doain Alya ya Bu, semoga magang Alya di Jakarta lancar dan baik-baik saja, biar Alya cepat pulang ke Jogja dan cari kerja di sini" tutur Alya menenangkan ibunya yang menangis.
"Pasti Nak, ibu selalu berdoa untukmu, ya sudah sana mandi, ibu sudah masakin tumis kacang sama ikan lele"
"Iya Bu"
Lalu Alya masuk ke kamarnya, meletakan tas, mengganti pakaianya. Setelah berganti pakaian Alya menuju ke ruang makan menikmati hidangan masakan ibunya.
****
Kediaman Tuan Aryo Gunawijaya
"Hiks hiks" seorang perempuan paruh baya duduk menangis di balkon kamar mewah memegang ponsel.
"Sudahlah Mah, jangan terlalu difikirkan, yang lalu sudah biarlah berlalu"
Tuan Aryo seorang pengusaha kaya di Jakarta, tampak mengelus rambut istrinya. Menenangkan istrinya yang sedang menangis menahan rindu terhadap putra semata wayangnya.
"Mama ingin melihatnya diwisuda saja dia tidak mengijinkan Pah, kenapa Ardi tidak mengundang kita atau memberi kabar ke kita?" tanya Bu Rita menunjukan foto wisuda anaknya di luar negeri.
"Mungkin Ardi tidak ingin merepotkan kita Mah" jawab Tuan Aryo mencari alasan agar istrinya tidak berfikir buruk.
"Apa segitu besar kesalahan mamah sampai Ardi masih menyimpan marah ke mamah? Dan tidak mengundang kita di hari wisudanya?"
"Ardi sudah memaafkan mamah, percayalah Mah"
"Benarkah? Kenapa Ardi tidak menghubungi mamah?"
"Mamah paham kan sifat anak kita, buat Ardi perayaan wisuda seperti itu tidak penting. Jadi dia tidak mengabari kita. Percayalah sebentar lagi Ardi akan pulang Mah. Mamah nggak perlu khawatir lagi"
"Tapi tetap saja, hati mamah sakit Pah"
"Sudahlah Mah. Sampai kapanpun Ardi anak kita, dia akan kembali ke kita" tutur Tuan Aryo menyeka air mata istrinya
"Pah" panggil Bu Rita menatap suaminya.
"Apa papah jadi ke Singapore?"
"Iya. Besok papah berangkat Mah, ada masalah dengan kantor cabang di sana. Jadi papah harus kesana, tidak lama kok!"
"Berapa hari Pah?"
"Paling lama seminggu, tapi papah usahakan 2 hari atau 3 hari bisa pulang".
Bu Rita tampak diam dan merenung. Di usianya yang sudah melewati kepala lima, Bu Rita memang masih tampak muda. Uang yang berlimpah dan kedudukan yang terhormat membuat tubuhnya terawat dan tetap cantik.
Akan tetapi hari- hari Bu Rita terasa kesepian, suaminya seorang pengusaha selalu sibuk. Bahkan tidak jarang pergi ke luar negeri untuk perjalanan bisnisnya. Sehingga Bu Rita sering ditinggal di rumah.
Sementara anak semata wayangnya memilih meninggalkan rumah. Anaknya memilih kuliah di luar negeri, setelah terjadi pertengkaran hebat dengan ibu dan ayahnya.
"Pah" panggil Bu Rita pada suaminya.
"Iya Mah".
"Mamah ingin ke Jogja. Mamah ingin refreshing, di grup whatsap teman SMA mamah, anak teman mamah menikah. Mamah juga ingin berkunjung ke rumah teman mamah"
"Berapa hari?" tanya Tuan Aryo ragu mengijinkan istrinya.
"Tidak lama, paling dua hari?"
"Papah pesankan hotel ya?" jawab Tuan Aryo.
"Boleh, tapi mamah ingin menginap di rumah teman Mamah"
"Teman?" tanya Tuan Aryo
"Iya, Mirna , teman SMA mamah, yang pernah mamah ceritain ke papah"
"Oh," Tuan Aryo mengangguk sambil mengingat cerita istrinya.
"Dia sudah tidak bersuami Pah, dari ceritanya dia tinggal bersama putrinya"
"Baiklah, papah ijinkan mamah pergi, tapi dengan pengawal"
"Iya Pah".
"Kapan Mamah berangkat?"
"Besok pagi, biar kita berangkat bareng Pah"
"Ya Mah" Tuan Aryo mengangguk. Lalu merangkul istrinya.
Suami istri yang sudah tidak muda lagi itupun menikmati suasana sore dari balkon istananya.
****
Salam kenal dari Author untuk semua readers tersayang.
Mohon maaf jika dalam penulisan nanti ada beberapa sifat dan alur yang tidak menyenangkan. Terutama sifat dari tokoh-tokohnya.
Oh ya.
Meski latar belakang Alya berhijab, ini bukan novel nuansa religi yang Author persembahkan untuk mendidik, ya Kak. Maafkan kalau banyak yg tidak sempurna bahkan jauh dari ilmu. Author hanya berniat menghibur bercerita dengan pengalaman yang muncul di otak author.
Tolong jangan dijadikan acuan seharusnya seperti apa?
Namanya nupel pasti ada konfliknya boleh emosi tapi jangan komen yang bikin mental author down ya...hehehe
*Semua dari kekurangan penulis. Ilmu, pengalaman dan wawasan yang kurang. Mohon dimaafkan.
Penulis hanya menuangkan imajinasi yang penulis dapat di kehidupan pada umumnya, masih banyak kekurangan. Tolong diambil baiknya dan dibuang jeleknya*.
Biasakan membaca sampai akhir ya, karena semua sifat berproses.
Ini tulisan pertama Author yang masih jauh dr kata sempurna apalagi berbobot. Masih belajar dan berniat untuk hiburan. .
Terima keritik dan saran membangun.
Mohon doa dan dukungan agar author bisa menulis dengan baik yaa.
Buat semangat author, selalu tinggalin like, koment dan vote ya. Makasih.
Happy reading semoga terhibur.
#Buat yang suka, karya ini untuk dibaca bukan diplagiat. Dipromoin boleh.
Karya ini dibuat dengan kerja keras dan usaha. Ada niat tulus untuk menghibur.
Hargai kerja keras author yaa..
Terima Kasih.
Adzan subuh berkumandang, ayam berkokok yang menjadi ciri khas desa bersaut-sautan. Sebagai gadis desa yang taat, Alya sudah memegang dan melipat mukenahnya. Selesai sholat subuh dia segera beranjak ke dapur, menyalakan kompor untuk memasak. Dimulai dari merebus air membuat minuman jahe hangat, lalu memasak sayuran untuk sarapan.
Bu Mirna pun begitu, meski usianya sudah kepala lima, dia masih tekun. Karena selain berjualan dia seorang pekebun. Bangun pagi- pagi sudah menjadi kebiasaanya.
"Nduk" panggil Bu Mirna.
"Iya Bu" jawab Alya sopan mendekat ke ibunya.
"Tadi teman ibu telepon, teman ibu mau mampir"
"Siapa Bu?" tanya Alya heran karena setau Alya ibunya tidak punya teman.
"Teman SMA ibu, ibu juga baru berhubungan lagi kemarin, dapet nomer telepon dari temen ibu yang kemarin kita kondangan" Bu Mirna menceritakan pertemuanya dengan temanya saat berjualan.
"Oh, ya sudah. Alya siapin makanan dulu ya?"
"Iya, katanya dia tinggal di Jakarta Nduk, siapa tahu bisa bantu kamu"
"Ah ibu, jangan terlalu berharap sama orang lain Bu! Ibu kan juga baru ketemu sama teman lama ibu itu"
"Ya siapa tahu Nak"
Alya dan Bu Mirna melanjutkan pekerjaanya. Bu Mirna hari ini libur jualan karena ada kabar temanya mau mampir. Anak semata wayangnya juga sebentar lagi akan berangkat magang, meninggalkan rumah untuk waktu yang lama.
Sekitar pukul 08.30 pagi, halaman kontrakan rumah sederhana Bu Mirna kedatangan tamu bermobil, sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi selama Bu Mirna ngontrak. Ya dari mobil itu keluar perempuan anggun meski sudah berumur, memakai dress berwarna abu. Dengan rambut sebahu dan memakai kacamata.
"Subhanalloh Jeng Rita?" sapa Bu Mirna dari dalam rumah memastikan tamunya.
"Mirna" balas perempuan cantik itu.
Sejenak Bu Mirna tampak diam, ada rasa minder dan sedih menyelip di hatinya. Dirinya dan perempuan di depanya seumuran. Tapi penampilanya bagai bumi dan langit. Bu Rita tampak masih segar, bersih, wangi dan terawat.
Sementara Bu Mirna, meskipun sisa-sisa kecantikanya masih ada pada senyum di bibirnya. Wajah Bu Mirna sudah tampak mengkeriput, ada banyak flek hitam memenuhi pipinya.
"Ayo masuk Rit!" ajak Bu Mirna ke Bu Rita.
Bu Rita dan pengawalnya pun masuk ke rumah kontrakan semi permanen Bu Mirna. Sesaat Bu Rita tampak melihat keadaan rumah Bu Mirna dengan tatapan menyedihkan.
Ruang tamu Bu Mirna tampak sempit dan gelap. Tidak ada sofa mahal atau hiasan dinding. Hanya ada kursi kayu dan meja kayu. Kemudian pengawal Bu Rita memilih duduk di kursi teras depan.
"Mohon maaf ya Rit, kalau kontrakanku sempit, kotor lagi" ucap Bu Mirna menyadari raut ketidaknyamanan sahabatnya.
"Tidak apa-apa Mir, aku kesini karena merindukanmu, sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?
"Alhamdulillah seperti yang kamu lihat, Aku dikasih kesehatan yang baik, tapi memang hidupku tidak seperti yang dulu" ujar Bu Mirna sedih.
"Kalau boleh tau, sejak kapan kamu pindah ke sini dan menjual rumahmu?" tanya Bu Rita hati-hati.
"4 tahun terakhir ini, aku jual untuk biayai kuliah anakku"
"Maafkan aku, baru mengunjungimu" ucap Bu Rita merasa sedih temanya selama ini menderita tidak bisa membantu.
Lalu dari dalam keluar Alya membawa baki berisi teh hangat dan camilan.
"Silahkan diminum Tante, ini tehnya" Alya mempersilahkan tamunya meminum teh.
"Sama bapaknya di depan, Nduk!" Bu Mirna menimpali.
"Iya Bu" jawab Alya membawa satu teh lagi dan sepiring mendoan ke teras rumah.
"Anakmu Mir?" tanya Bu Rita.
"Iya, dia anakku satu satunya" jawab Bu Mirna lalu memanggil Alya. "Alya, kemari Nak!"
"Iya Bu" Alya mendekat ke ibunya lalu menyalami Bu Rita dan mencium tanganya.
"Cantik sekali putrimu Mir" ucap Bu Rita mengagumi kecantikan Alya. "Siapa namamu Nak?" tanya Bu Rita ke Alya.
"Alya, Tante" jawab Alya, lalu Alya duduk di bangku dekat dengan Bu Mirna.
"Sudah bekerja atau masih kuliah?" tanya Bu Rita ramah.
"Alhamdulillah sudah selesai kuliah, sebentar lagi magang Tante?"
"Magang? Ambil jurusan kuliah apa kamu?"
"Saya ambil kedokteran Tante" jawab Alya tersenyum.
"Wah hebat yaa? Sudah cantik, sopan, dokter lagi. Memang kamu magang dimana?"
"Di Jakarta Tante, di RSUD "******?"
"Benarkah? Kebetukan sekali, itu rumah sakit berseberangan dengan apartemen anak tante. Sudah lama tidak ditinggali. Anak tante lanjut kuliah di luar, kalau begitu kamu ikut tante aja" jawab Bu Rita antusias.
Bu Mirna dan Alya berpandangan. Alya tampak ragu-ragu, sementara Bu Mirna tampak tenang dan bahagia.
"Tapi Tante, apa tidak merepotkan? Saya bisa kos sendiri kok" jawab Alya ragu.
"Tante justru bahagia, kamu kan juga masih magang. Kamu belum tahu Jakarta Nak. Kos di Jakarta rawan untuk orang baru sepertimu, di apartemen lebih aman, ada satpam dan cctv juga"
"Iya Nduk, kamu di sana nggak ada saudara juga, biar ibu tenang ikut Rita aja" imbuh Bu Mirna menguatkan Alya.
"Iya, ikut Tante saja ya!" pinta Bu Rita kembali.
Alya kembali diam. Lalu melihat ibunya dengan ragu- ragu. Bu Mirna menatap Alya dan memberi anggukan meminta Alya setuju.
"Baiklah Bu, Alya ikut Tante Rita"
"Alhamdulillah syukurlah".
Bu Mirna dan Bu Rita tersenyum lega. Lalu Bu Mirna dan Bu Rita melanjutkan obrolannya. Sementara Alya bersiap- siap mengemasi barangnya.
*****
"Mir" panggil Bu Rita ke sahabatnya.
"Iya Rit"
"Sebenernya aku masih sangat betah di sini, tapi mau gimana lagi. Suamiku telfon, dia pulang malam ini jadi aku juga harus sudah di rumah".
"Iya Rit, aku mengerti, terima kasih sudah mau mampir, lain kali harus lama ya! Aku titip Alya ya Rit"
"Iya pasti. Kamu itu sudah seperti saudara buatku, dan Alya ku anggap anak sendiri, apalagi aku pengen anak perempuan" jawab Bu Rita meyakinkan.
"Sebenernya aku udah biasa ditinggal Alya praktek ataupun kuliah, tapi kok sekarang rasanya khawatir ya?" ujar Bu Mirna mengungkapkan perasaanya.
"Saya tau perasaanmu Jeng, apalagi anakmu perempuan. Selugu dia, secantik dan sebaik dia, jauh darinya pasti berat. Aku akan menjaganya seperti anak kandungku" jawab Bu Rita meyakinkan Bu Mirna lagi.
"Terima kasih sekali Rit. Kamu memang saudaraku"
"Aku juga bahagia kamu menjadi sahabatku" jawab Bu Rita
"Pokoknya kalau terjadi apapun dengan Alya di Jakarta. Aku yang paling pertama bertanggung jawab, nanti kamu sering main-main ke Jakarta, biar ketemu suami dan anakku" Bu Rita meyakinkan kembali ke Bu Mirna
Mereka masuk dan bersiap-siap. Bu Mirna memberikan bekal dan nasehat ke anak kesayanganya yang sudah siap dengan kopernya.
"Pokoknya Nduk, kamu harus jaga diri, nggak boleh gampang percaya sama orang. Nggak boleh ikut-ikutan pergaulan malam, ingat sholat, ingat ngaji. Dan ingat, tetep dipake kudungmu itu!"
"Iya Bu, seperti sebelum-sebelumnya Alya akan baik-baik saja" jawab Alya menenangkan ibunya.
"Tapi ini Jakarta, beda dengan tempat praktek kamu sebelumnya. Pokoknya kamu harus jaga diri terutama sama laki-laki" sambung Bu Mirna lagi.
Sementara Bu Rita yang duduk di dekatnya tersenyum haru dan kagum. Masih ada gadis sebaik dan setulus Alya. Cantik, pintar, sopan, alim dan karirnya bagus.
"Dheg" tiba- tiba terbersit pikiran di hati Bu Rita.
"Apa aku jodohkan saja dengan putraku? Ahhh tapi apa putraku mau dan apa suamiku setuju?" Bu Rita berpikir sendiri dalam hati.
"Baik. Kalau begitu ayo Nak berangkat!" ajak Bu Rita menggandeng Alya masuk ke mobil.
Bu Mirna dan Bu Rita berpelukan. Rencana Alya berangkat besok lusa dimajukan dengan tiba-tiba tanpa rencana. Semua karena kedatangan Bu Rita yang tidak diduga.
"Pokoknya kamu jaga diri baik-baik, nggak boleh pacaran, cari pengalaman yang bener biar kamu jadi dokter yang berguna!" pesan bu Mirna lagi. Pesan yang tidak bosan-bosan disampaikan. Bu Mirna memeluk Alya dengan menahan air mata.
"Iyah, siap Bu!" jawab Alya menenangkan ibunya. "Ibu sehat-sehat ya!" sambung Alya mencium pipi ibunya.
Bu Mirna mengangguk dan melambaikan tangan, melepaskan anak kesayangannya kepada sahabatnya. Ada rasa sesak karena akan ditinggal lama. Tapi kemudian dia sadar pekerjaan anaknya adalah sesuatu yang mulia. Dia tersenyum karena anaknya berhasil menamatkan kuliah. Tidak seperti dirinya, Bu Mirnapun semangat kembali.
*****
Malam itu Alya dan Bu Rita sampai di Istana Tuan Aryo Gunawijaya. Sesampainya di rumah, mata Alya terbelalak melihat rumah Bu Rita seperti istana di film-film. Bahkan halamanya sangat luas. Meski Alya dokter, tapi dia dokter karena beasiswa jadi kehidupanya tetap sederhana, jadi melihat rumah Bu Rita Alya terheran-heran.
"Ayo Nak masuk! Biar nanti Bi Siti yang tunjukin kamar kamu. Lusa tante antar kamu ke apartemen"
"Baik Tante" jawab Alya mengangguk.
Mereka masuk dan di dalam sudah disambut dengan dua pembantu. Satu menyambut dan mengambil tas Bu Rita untuk dibawanya. Satunya menawarkan bantuan ke Bu Rita.
"Bu Siti, perkenalkan dia anak perempuan saya dari Jogja. Meski bukan aku yang melahirkan, dia Nona di sini. Perlalukan dia sama seperti tuanmu" perintah Bu Rita yang membuat Alya tersipu dan sungkan.
"Baik Nyonya" jawab Bi Siti.
"Antar dia ke kamar di samping kamar Ardi".
"Baik Nyonya" jawab ART Bu Rita mengantar Alya.
Lalu Bu Rita menuju kamarnya ke lantai 3 dengan lift. Sementara Alya yang hanya ke lantai dua memilih lewat tangga diantar Bi Siti.
Sepanjang mata Alya memandang isi rumah Bu Rita, Alya selalu terheran- heran. "Sebenernya apa pekerjaan suami Bu Rita? Ini seperti sultan atau tokoh novel dan film seperti yang aku tonton".
"Ini kamarnya Nona" suara Bi Siti mengagetkan Alya yang sedang melamun. Lalu Alya masuk ke kamarnya.
"Subhanalloh, ini kamar apa rumah, gedhe banget. Sepertinya ini kamar kosong tapi bersih" batin Alya berkeliling kamar. Lalu Alya segera membersihkan diri sholat dan beristirahat.
"Non bangun" Bi Siti membangunkan Alya yang masih terlelap karena terlalu lelah setelah perjalanan.
"Eh iya Bu, maaf!"
"Ditunggu Tuan dan Nyonya di bawah Non" jawab Bi Siti.
"Tuan? Nyonya? Hah?" jawab Alya sambil mengucek mata mengumpulkan kesadaran
"Iya Nona" jawab Bi Siti lagi.
"Astaghfirulloh, aku kan lagi di istananya Tante Rita yaa? Hehe maaf Bu!" jawab Alya nyengir ke Bu Siti yg membuat Bu Siti juga tersenyum.
Alya bangkit mencuci muka dan memakai jilbab rumah untuk dikenakan ke bawah. Setelah rapi Alya turun ke ruang makan.
Di ruang makan sudah duduk Tuan Aryo dan Tante Rita. Alya menganggukan kepalanya tanda hormat ke Tuan Aryo. Lalu tersenyum memancarkan senyum tulus dan cantiknya. Senyum manis dari bibir mungil alami tanpa make up.
Tapi Tuan Aryo tetap dingin, berbeda dengan Bu Rita, yang membalas senyum Alya dengan hangat.
"Sepertinya Tuan Aryo adalah orang yang tegas berwibawa dan dingin. Sementara Bu Rita nyonya besar yang bersahaja ramah dan periang" Alya membuat kesimpulan sendiri terhadap kedua orang di hadapanya.
"Ayo sayang duduk sini, makan yuk! Perkenalkan ini suami tante, anggap dia seperti ayahmu ya!" Bu Rita memperkenalkan Tuan Aryo.
Tuan Aryo pun menatap Alya dengan senyum dingin, menandakan setuju tapi tidak banyak berkata.
"Iya kan Pah?" Bu Rita menegaskan kalau suaminya setuju menganggap Alya sebagai anak.
"Iya Mah" jawab Tuan Aryo mengangguk.
Alyapun menjawab "Iya Tante, Om"
Lalu mereka melanjutkan makanya. Alya melihat menu di meja makan sedikit heran, dia bingung hendak memilih yang mana.
"Perasaan yang makan hanya bertiga. Kenapa menunya sebanyak ini?" batin Alya sambil menggigit bibirnya.
Bu Rita tersenyum melihat wajah Alya tampak bingung dan gugup.
"Pilih yang kamu suka sayang. Anggap di rumah sendiri, makan yang kenyang ya!"
"Baik Tante" lalu Alya memilih mengambil nasi, ayam kecap dan beberapa sayuran yang hanya direbus.
Seperti kebiasaan Alya di rumah, selesai makan Alya membereskan piring dan mencucinya. Tapi belum dia bangkit dari duduk ART Bu Rita sudah di belakang Alya, membuat Alya canggung dan kikuk diperlakukan seperti itu.
"Biar saya Non. Nona istirahat saja" tutur ART Bu Rita.
"Oh gitu? Ya Bu" jawab Alya kaku.
Seumur- umur Alya tidak pernah punya pembantu. Meskipun dia dokter, selama kuliah dan co_*** dia selalu hidup di kos-kosan dan mandiri, kalaupun di rumah hanya bersama ibunya.
"Alya" panggil Bu Rita.
"Iya Tante"
"Tante dan Om ke kamar ya, mau istirahat. Kamu kalau mau keliling taman atau bersantai, nggak apa-apa, anggap rumah sendiri" pamit Bu Rita meninggalkan Alya.
"Iya Tante" jawab Alya.
Alya tersenyum dan melihat Tante Rita menggandeng lengan suaminya menuju lift.
"Tante Rita dan Om Aryo sudah tua tapi sangat romantis. Aku jadi ingin seperti mereka ya Alloh" Alya menghayal dalam hati sampai Tante Rita tidak terlihat lagi.
Hari itu hari pertama Alya di Jakarta. Alya bingung mau ngapain. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke dapur menyapa pembantu di rumah itu.
"Assalamu'alaikum Bu Siti" sapa Alya ke Bu Siti yang terlihat sedang istirahat dan nyemil bersama dua rekanya. Karena Alya hanya tau nama Bu Siti jadi hanya Bu Siti yang disapa.
"Waalaikumslam Nona" jawab ketiga pembantu itu kikuk, karena baru pertama anggota keluarga atasanya ikut gabung ke markas para ART.
"Boleh gabung nggak? Kenalin aku Alya" sapa Alya menjulurkan tangan ke kedua teman Bi Siti yang terlihat masih seumuran dengan Alya. Lalu kedua teman Bu Siti menjawab uluran tangan Alya.
"Mia"
"Ida"
Alya mengangguk senyum lalu mereka duduk berempat di ruangan dekat setrikaan menghadap ke halaman belakang yang banyak pohon sayur dan bunga. "Non Alya dari Jogja ya?" tanya Mia yang terlihat masih muda.
"Iya Mba" jawab Alya mengangguk, berusaha menghargai Mia dengan tidak memanggil bi.
"Waah pantes ramah banget, cantik sopan lagi, nggak kaya saudara tuan yang lain!" ceplos Mia.
"Hushh jaga omonganmu" timpal Ida.
"Kalau boleh tau, Non Alya apanya Nyonya Rita?" tanya Mia lagi.
"Apa Non calonya Den Ardi?" tebak Bi Siti asal.
"Iya kah?" jawab Mia dan Ida bebarengan.
Alyapun tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Kalian ngarang, aku nggak kenal sama tuanmu itu. Hehe aku di sini karena tugas negara. Lusa aku berangkat, udah nggak di sini lagi" jawab Alya menjelaskan dia hanya mampir ke rumah besar itu.
"Tugas negara?" tanya ketiga ART itu bebarengan.
"Iyah, syarat pendidikan profesiku, aku harus ngabdi di sini setahun" jawab Alya lagi.
"Ngabdi? Nona tentara? Tapi kok berjilbab dan tubuhnya nggak kekar?" ceplos Mia lagi.
Mendangar perkataan Mia, Alya tertawa.
"Bukan. Aku bukan tentara. Aku ngabdi di Rumah Sakit, belajar dan obatin orang sakit"
"Ooh Dokter???" jawab mereka barengan lagi.
Lalu mereka tertawa bersama seperti 4 sekawan bercengkerama. Alya memang ramah dan cepat beradaptasi dengan siapapun. Terutama dengan orang orang yang status sosialnya di bawahnya. Karena hati Alya sangat lembut dan penyayang. Apalagi Alya seorang yatim.
"Hebatnya ya Non Alya, udah bu dokter, manis, cantik, alim, nggak sombong lagi" puji Ida mengagumi wajah cantik Alya.
"Kenapa Nyonya Rita nggak jodohin Non dengan Den Ardi yak?" ceplos Mia gesrek.
"Iih kalian apaan siih? Tante Rita dan Om Aryo sudah kuanggap orang tuaku. Jadi mungkin tuanmu itu berarti seperti kakakku" jawab Alya menolak dijodoh-jodohkan.
"Kok mungkin dan seperti sih Non?" timpal bu Siti.
"Soalnya aku kan belum pernah ketemu, heee" jawab Alya sambil nyengir yang menampakan lesung pipit di pipi bulatnya yang terlihat manis.
"Berdoa jangan ketemu aja Non" jawab Mia.
"Kenapa?" tanya Alya penasaran.
"Karena kayak zombi, eh vampir, ganteng-ganteng tapi kaya es. Ups keceplosan" jawab Ida clingak clinguk takut ada majikannya. Lalu ketiga temanya tertawa bersama. "Hahaha".
"Kenapa kita malah ngobrolin tuanmu itu sih. Aku jadi penasaran!" ujar Alya setelah berhenti tertawa.
"Biar Non nanti yang menilai sendiri kalau Den Ardi pulang. Katanya bentar lagi pulang" jawab Bi Siti lagi.
"Kata siapa?" tanya Mia belum tahu info terbaru kalau majikanya mau pulang.
"Kata Nyonya" jawab Bi Siti dan dan Ida barengan.
"Sudah, sudah, tetap saja, aku besok pergi dari sini. Jadi aku nggak ketemu sama tuanmu yang kaya es vampir itu"
"Lhoh emang kapan Non pergi?" tanya Bu Siti.
"Besok paling, soalnya sebentar lagi aku udah aktif di rumah sakit"
"Yaah" jawab mereka bertiga kompak sambil memangku dagu.
"Kalian lucu sekali bisa kompak begitu?" Alya menjawab tersenyum.
"Saya ralat do'anya, saya doakan, Non ketemu Den Ardi, biar es itu mencair" celetuk Ida. Lalu mereka tertawa bersama dan bilang aamiin.
"Terserah kalianlah. Kalian lucu sekali, aku ke kamar yaa. Makasih camilanya Mbak" jawab Alya tersenyum dan bangkit meninggalkan teman barunya itu.
Alya menuju ke kamar. Di jalan dia berusaha mencari foto di dinding rumah. Berharap ada foto keluarga Bu Rita. Karena setelah obrolan tadi Alya jadi penasaran dengan sesosok Ardi yang katanya seperti vampir.
"Nggak ada foto keluarga, hmmm" Alya bergumam. "Tante Rita ramah banget, cantik lagi, bahkan sudah tua tetap terlihat anggun. Kenapa katanya anaknya kaya vampir yak? Hihihi tapi Om Aryo juga terlihat dingin. Mungkin meniru Om Aryo" Alya senyum-senyum sendiri sampai ke kamar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!