NovelToon NovelToon

Unreasonable Ceo

Bab 1

Quinsha berdiri mematung, kepalanya tertunduk menatap gundukan tanah kering. Rambutnya yang panjang berwarna hitam legam terurai indah tertiup angin sepoi sepoi. Matanya berkaca kaca menatap batu nisan bertuliskan Romo.

Yah, Quinsha gadis berusia 20 tahun telah di tinggalkan pria yang telah merawatnya sejak bayi, mengajarkannya menulis dan membaca. Tidak hanya itu, Romo membekali Quinsha dengan ilmu bela diri.

Hari ini, hari di mana Romo telah meninggalkan Quinsha untuk selama lamanya sejak usia gadis itu menginjak lima belas tahun.

Tidak banyak yang Quinsha ketahui tentang siapa keluarganya yang sesungguhnya. Hanya tanda simbol tato gambar mahkota yang terlilit naga putih di lengan kanannya yang akan membawanya kepada keluarga yang sesungguhnya.

Merpati adalah lambang kesucian cinta.

Yin dan Yang lambang keharmonisan, keseimbangan hidup.

Temukan dirimu di kedalaman hati.

Maka kau akan menemukan sejatinya

dirimu.

Ketenangan dan kekuatan dalam diri yang tersembunyi, akan kau dapatkan.

Kata kata terakhir yang di ucapkan Romo sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya. Bukan nama orang tua, alamat, atau petunjuk lainnya yang di tinggalkan Romo untuk Quinsha.

Tiga tahun sudah sejak kematian Romo. Quinsha merasa terpukul dan kehilangan. Bahkan gadis itu enggan untuk melanjutkan hidupnya.

Namun rasa penasaran untuk mengetahui siapa keluarga dan asal usulnya, mengapa ia di kucilkan di pulau terpencil. Semakin hari srmakin kuat mendorong Quinsha untuk melanjutkan hidup dan mencari tahu asal usulnya.

"Kakek, terpaksa aku meninggalkanmu di sini sendirian. Aku akan pergi mencari asal usulku, meski aku tidak yakin akan menemukannya." Gumam Quinsha pelan.

Quinsha tersenyum kecut, lalu membalikkan badan, melangkahkan kakinya meninggalkan pusara Romo. Dengan langkah pasti, menuju rumah kecil yang di bangun oleh Romo pengasuhnya, hari ini juga Quinsha memutuskan untuk berkemas dan meninggalkan pulau terpencil tersebut.

***

Satu jam berlalu, Quinsha berkemas. Namun ia masih enggan untuk beranjak pergi. Semua kenangan masa kecilnya bersam Romo, membuat Quinsha semakin berat.

Janji Romo untuk membawanya ke kota dan mempertemukannya dengan kedua orang tua hanyalah tinggal mimpi. Romo lebih dulu meninggalkan Quinsha sendirian sebelum Romo menepati janjinya.

Kini, kemana ia harus pergi? siapa yang harus Quinsha kunjungi? semua masih samar dan tak jelas. Quinsha menghela napasnya dalam dalam. Kemudian ia berdiri tegap, dengan tas ransel kecil di punggungnya.

Perlahan tapi pasti, Quinsha melangkahkan kakinya keluar dari rumah tanpa menoleh lagi kebelakang. Sepanjang jalan, ia memantapkan hati bahwa keputusannya sudah tepat.

Satu jam berlaku, langkah kaki Quinsha telah jauh dari rumah dan hampir mendekati tepi jalan raya.

Ia tersenyum mengembang saat melihat jalan Raya sudah di depan matanya. Keringat bercucuran membasahi wajahnya. Hanya dengan menggunakan sapu tangan berwarna merah, gadis itu menyeka keringat di wajahnya.

"Akhirnya sampai juga. Tapi kok sepi? kata Romo, kota itu sangat ramai.." ucap Quinsha pelan. Matanya memperhatikan ujung jalan raya yang sepi, tidak ada orang apalagi kendaraan yang lewat.

"Hufft aku harus kemana?" batinnya.

Quinsha melangkahkan kakinya ke kanan, menyusuri tepi jalan raya. Sesekali ia menoleh ke belakang dan berharap ada kendaraan lewat.

"Kata Romo, kalau naik kendaraan harus pakai uang. Tapi aku sama sekali tidak memiliki uang." Gumamnya resah.

Dari jauh, gadis itu mendengar suara kendaraan. Ia menoleh ke belakang dan tersenyum lebar. Nampak di ujung jalan raya sebuah mobil berwarna hitam melaju ke arahnya.

Quinsha melangkah ke tengah jalan raya, merentangkan kedua tangannya menatap ke arah mobil yamg semakin mendekat.

"Mungkin aku bisa menumpang mobil itu."

Bab 2

"Tiiiiiiiittttt!!"

Suara klakson terdengar memekakkan telinga, dan mobil tersebut berhenti tepat di depan Quinsha. Seorang pria kepalanya menyembul, sambil melepas kaca mata hitam yang ia kenakan.

"Apa kau sudah gila?" umpatnya. "Kalau kau mau mati jangan libatkan aku!"

Quinsha tersenyum, ia tidak perduli dengan umpatan pria tersebut. Ia melangkahkan kakinya mendekati pria itu lalu membungkukkan badan sesaat.

"Tuan, bolehkah aku menumpang mobilmu?" tanya Quinsha hati hati.

"Enak saja, kau jalan kaki saja sendirian. Nanti juga sampai ke kota." Sahut pria itu angkuh.

"Tuan aku mohon, apa Tuan tega membiarkanku jalan kaki?" bujuk Quinsha.

Pria itu menatap gadis di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki, detik berikutnya ia memperbolehkan Quinsha menumpang sampai ke kota.

"Masuklah!"

"Terima kasih Tuan!" sahut Quinsha lalu ia berlari berputar, membuka pintu mobil dan duduk di depan samping pria itu. Kemudian mobil kembali melaju.

Sepanjang perjalanan tidak ada yang bersuara, pria itu fokus ke jalan sementara Quinsha asik melihat lihat pemandangan lewat kaca jendela yang terbuka.

"Tuan, kalau boleh tahu. Siapa namamu?" tanya Quinsha menoleh ke arah pria itu.

"Bramantio Anderson, panggil aku Bram." Pria itu menyebut namanya. "Kau?"

"Quinsha."

"Nama yang cantik, secantik wajahmu." Timpal Bram.

"Terima kasih!" sahut Quinsha.

Kembali suasana hening, tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Quinsha terus asik melihat lihat keluar kaca jendela. Bram sibuk menyetir sambil sesekali melirik jam tangannya.

Tak lama kemudian, mereka telah sampai di perbatasan kota Hongkong. Quinsha masih terus asik melihat lihat kota yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

"Kemana arah tujuanmu?" tanya Bram melirik sesaat kearah Quinsha.

"Aku tidak tahu!" sahut Quinsha.

"Tiiit!!"

Tiba tiba mobil berhenti mendadak membuat Quinsha terkejut.

"Apa kau sedang mempermainkanku?!" tanya Bram menatap tajam wajah Quinsha.

"Tidak Tuan, aku benar benar tidak tahu araj tujuanku." Jawab Quinsha dengan jujur.

Bram membuka pintu mobil, lalu keluar dari dalam mobilnya. Ia berjalan memutar lalu membukakan pintu mobil lainnya, menarik paksa tangan Quinsha untuk segera turun dari mobilnya.

"Ayo cepat turun!"

"Tuan, aku tidak bohong. Aku tidak tahu harus kemana." Quinsha menarik lengan Bram.

"Bukan urusanku!" bentaknya dengan tatapan tajam.

"Tuan aku mohon, jangan tinggalkan aku di sini. Aku tidak tahu harus kemana." Bujuk Quinsha, ia sendiri bingung harus kemana.

"Aku tahu, kau pasti penipu. Kau mau uang?" tanya Bram lalu merogoh saku jaketnya, mengeluarkan segepok uang lalu ia tarik tangan Quinsha. Uang itu ia letakkan di atas telapak tangannya. "Ambil!"

"Tapi, tuan!"

"Diam di tempatmu! dan jangan ikuti aku lagi!"

Quinsha terdiam, menggenggam erat uang di tangannya. "Tuan! terima kasih!" seru Quinsha tersenyum lalu ia masukkan uang itu ke dalam tas nya.

"Uang ini bisa aku pergunakan, tapi sekarang aku harus kemana?" gumamnya semakin bingung. "Aku lapar."

Tangannya mengusap perutnya yang berbunyi, ia menoleh kiri dan kanan memperhatikan toko makanan yang berjajar tak jauh dari tempat ia berdiri.

Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju sebuah toko makanan kemasan. Quinsha masuk ke dalam toko, memperhatikan makanan yang berjajar rapi di dalam rak.

"Ini sepertinya enak, aku belum pernah memakannya." Gumam Quinsha lalu mengambil dua buah roti berukuran sedang dan sebotol air mineral.

Kemudian ia menoleh kiri dan kanan, Quinsha tidak tahu harus kemana membayar makanan yang sudah ia ambil. Hingga seorang pelayan toko menghampirinya dan bertanya apa masalahnya. Setelah Quinsha menceritakan apa masalahnya, kemudian pelayan toko itu membantunya. Setelah selesai membayar, Quinsha keluar toko lalu duduk di tepi jalan raya, menikmati makanannya sambil berpikir apa rencana selanjutnya. Sementara hari semakin larut malam.

Bab 3

Quinsha masih duduk di tepi jalan raya, memeluk erat tas gendong miliknya. Ia kebingungan harus tidur di mana sementara kakinya terasa pegal, tubuhnya juga lelah ingin beristirahat.

Di tengah kebingungannya, seorang wanita paruh baya menghampiri dan menyapanya.

"Sedang apa kau di sini?"

Quinsha menoleh, tengadahkan wajah menatap sosok wanita paruh baya namun terlihat sangat cantik dengan make up tebal. Terselip sebatang rokok di jarinya yang lentik, rambut ikal terurai panjang, gaun hitam selutut, wanita itu terlihat anggun, tas kecil di menggantung pundaknya.

Quinsha berdiri lalu tersenyum, membungkukkan badan sesaat. "Maaf Bu, aku sedang bingung mencari tempat tinggal. Apakah Ibu bisa menunjukkannya?" tanya Quinsha sopan.

"Sepertinya kau baru datang ke kota, di mana keluargamu?" tanya wanita itu balik, menghisap rokoknya dalam dalam.

"Aku tidak punya keluarga bu.." jawab Quinsha.

Wanita itu menatap Quinsha dari atas sampai bawah, lalu tersenyum. "Bagaimana kalau kau tinggal di rumahku, tapi..gak gratis."

"Boleh Bu, aku akan membayarnya!" sahut Quinsha senang.

"Ikuti aku!"

Wanita itu berjalan mendahului Quinsha, sesekali ia menghisap rokoknya, dan tersenyum menggoda pada pria yang lewat berpas pasan.

"Siapa namamu?" tanya wanita itu.

"Quinsha." Jawab Quinsha sambil berusaha mensejajarkan langkahnya. "Ibu?" tanya Quinsha.

"Jasmin!"

"Nama Ibu cantik, secantik wajah Ibu.." kata Quinsha memuji.

"Kau datang ke kota, tujuanmu?" tanya Jasmin.

Quinsha terdiam sesaat, ia tidak mungkin memberitahu maksud dan tujuannya kepada orang asing. "Cari pekerjaan Bu!"

Jasmin menganggukkan kepala, melirik sesaat ke arah Quinsha. "Wajahmu mengingatkanku pada seseorang."

"Siapa Bu?" tanya Quinsha polos.

"Lupakan! sahut Jasmin.

Sepanjang perjalanan mereka terlibat pembicaraan saling mengenalkan diri. Hingga tak terasa mereka telah sampai di halaman rumah yang berukuran sedang. Jasmin membuka pintu rumah dan mempersilahkan Quinsha masuk ke dalam rumahnya.

"Aku tunjukkan kamarmu."

Jasmin melangkahkan kakinya menuju kamar ke dua. Lalu membuka pintu kamar lebar lebar.

"Ini kamarmu, dan kau harus membayarnya tiap bulan." Kata Jasmin.

"Baik Bu!" sahut Quinsha.

"Sekarang kau istirahat, anggap saja rumah sendiri. Kalau kau lapar, masak sendiri."

Setelah bicara seperti itu, Jasmin berlalu dari hadapan Quinsha menuju kamar pribadinya.

"Aku bisa tidur dengan tenang." Gumam Quinsha.

***

Keesokan paginya Quinsha sudah bangun dan membereskan tempat tidurnya, setelah semua selesai ia bergegas mencari dapur untuk memasak.

Sesampainya di dapur, ia melihat Jasmin tengah mempersiapkan sarapan untuk mereka berdua.

"Kau sudah bangun?" tanya Jasmin menoleh sesaat ke arah Quinsha.

"Sudah Bu, biar kubantu." Tawar Quinsha namun Jasmin menolaknya.

"Duduklah, biar aku saja." Jasmin menuangkan makanan di atas piring lalu di sodorkan ke hadapan Quinsha lalu duduk di kursi.

"Terima kasih!"

"Apa rencanamu?" tanya Jasmin menatap wajah Quinsha. Dari sejak awal perkenalan, Jasmin menyukai Quinsha.

"Aku mau mencari pekerjaan Bu!" sahut Quinsha sambil mengunyah makanan.

"Kalau kau mau, kau bisa ikut aku bekerja." Kata Jasmin.

"Boleh Bu!" seru Quinsha senang, ia tidak perlu repot repot untuk mencari pekerjaan meski Quinsha belum tahu pekerjaan yang seperti apa nantinya.

"Baiklah, nanti sore kau ikut bersamaku ke Bar. Tapi kau harus merubah penampilanmu. Biar terlihat lebih cantik, yang sesuai dengan pekerjaanmu nanti.

Quinsha mendengarkan dengan seksama, sesekali menganggukkan kepalanya tanda ia setuju.

"Terima kasih!"

"Habiskan makananmu, aku antarkan kau untuk membeli beberapa pakaian untukmu nanti bekrrja.

"Terima kasih!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!