NovelToon NovelToon

Time To Say "I Love You"

PROLOG (Meet You Again)

PROLOG (Meet You Again)

Embun malam menyelimuti jalanan, tetapi dinginnya tak mampu meresap ke tubuh seorang wanita berkemeja putih tipis yang berlari tanpa arah. Napasnya memburu, keringat bercucuran di wajahnya yang pucat. Ia terus berlari, mengabaikan teriakan beberapa orang yang memanggil namanya, mencoba menghentikannya. Tapi ia tak peduli. Yang terpenting adalah menjauh, menjauh sejauh mungkin dari pria yang seharusnya sudah terkubur dalam masa lalunya.

Namun, dunia tak pernah sesederhana itu.

Tanpa ia sadari, pekerjaan paruh waktu sebagai pelayan yang ia ambil malam ini telah menyeretnya ke dalam pusaran kenangan yang paling ingin ia lupakan. Acara reuni sekolah. Dan di dalamnya, seseorang dari masa lalunya kembali hadir.

Amara berdiri di luar hotel, kedua tangannya mengepal, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Dadanya bergemuruh, bukan karena lelah, tetapi karena rasa takut yang membuncah. Ia mengutuk kebodohannya sendiri. Mengapa ia tak membaca banner acara tadi sebelum setuju bekerja di sana?

Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara itu menghantamnya keras, membekukan seluruh tubuhnya.

"Amara!”

Dada Amara seketika mencelos.

Sial!

Ia memejamkan mata erat. Suara itu. Suara yang pernah begitu akrab di telinganya. Suara yang ia pikir tak akan pernah ia dengar lagi. Perlahan, dengan tangan yang gemetar, ia menoleh.

Di sana, berdiri seorang pria dengan napas memburu. Wajahnya telah banyak berubah, lebih tegas, lebih dewasa. Kulitnya tampak lebih bersih, rambutnya sedikit lebih panjang dari yang terakhir kali ia lihat di hari kelulusan mereka. Namun, satu hal yang tak berubah—tatapan itu. Tatapan sendu yang dulu selalu mengarah padanya.

"Amara, aku mencarimu selama ini," ucap pria itu, suaranya serak, dipenuhi harap.

Amara tak menjawab. Otaknya bekerja keras mencerna sosok yang kini berdiri di hadapannya. Waktu boleh saja mengubah banyak hal, tapi tidak cukup untuk menghapus kenangan yang telah terukir begitu dalam.

Emir.

Nama itu menggaung di kepalanya.

Bagaimana mungkin ia bisa melupakan seseorang yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak mereka masih anak-anak? Dari taman kanak-kanak hingga SMA, mereka selalu bersama. Namun, semuanya telah berakhir. Seharusnya berakhir.

Hatinya mengeras. Amara menelan ludah, menekan emosi yang mulai mendesak naik ke permukaan. Tidak. Ia tak boleh kembali terjebak dalam masa lalu.

Dan seakan takdir belum cukup kejam, suara lain kembali menyusup ke telinganya. Suara lembut, halus, namun membawa dentuman keras dalam dadanya.

"Mir...,"

Seketika, lamunan Emir buyar. Ia menoleh ke samping, dan di sana, seorang wanita berdiri dengan anggun. Kulitnya putih mulus bak porselen, gaun mahal membalut tubuhnya dengan sempurna, dan wajahnya yang elegan memancarkan kesempurnaan yang menyilaukan.

Helma.

Nama itu menghantam Amara seperti badai. Napasnya tercekat, dan tanpa sadar, jemarinya mengepal kuat. Sesak itu datang begitu saja, menggerogoti pertahanannya.

Bagaimana mungkin?

Bagaimana mungkin Helma masih ada di sisi Emir hingga saat ini?

Kenangan yang telah mati-matian ia kubur kini mendesak naik ke permukaan. Rasa sakit yang dulu mengoyaknya kini kembali menjalar. Helma adalah perempuan yang telah merebut perhatian Emir di SMA. Dan kini, ia masih di sana, berdiri di samping pria itu.

Amara menundukkan kepala, menahan gejolak yang ingin meledak.

Takdir memang kejam.

Dan malam ini, ia dipaksa untuk menghadapinya kembali.

Bersambung

Pertemuan Pertama

...Pertemuan Pertama...

23 Tahun yang Lalu

"Alhamdulillah... akhirnya sampai juga." Liana menyambut keluarga Ahmad dengan senyum ramah, matanya berbinar melihat tamu yang kini melangkah masuk ke ruang tamu rumahnya. Dengan lembut, ia mempersilakan mereka duduk di sofa.

Ahmad, teman karib suaminya, Andar, sejak masa SMA, kini membawa keluarganya dari kampung halaman mereka di Majalengka. Ahmad tampak lelah, namun bahagia, ditemani istrinya dan putranya, Emir.

"Kami hampir lupa betapa sibuknya Jakarta," Ahmad berkata sambil melirik sekeliling, senyumnya tersirat lelah.

Liana tersenyum tipis. "Pasti berat perjalanan jauh dari Majalengka. Tapi, bersyukurlah kita bisa berkumpul di sini lagi."

Liana kemudian memandang bocah lelaki kecil di sebelah istri Ahmad. Wajahnya lembut dengan garis ketimuran yang kuat. Emir memegang erat tangan ibunya, tampak canggung di tempat baru.

"Ini Emir, ya?" Liana menatapnya dengan penuh kekaguman. "MasyaAllah, calon anak saleh. Ganteng sekali."

Emir hanya tersenyum kaku, malu-malu mendengar pujian itu.

Namun suasana mendadak buyar saat suara lembut anak kecil bergema dari belakang.

"Mama, siapa?" Suara itu milik Amara, putri semata wayang Liana dan Andar. Rambutnya yang hitam panjang tergerai, dihiasi bandana berbentuk mahkota kecil di kepalanya.

"Amara, sini, Sayang," panggil Liana sambil melambaikan tangan.

Dengan langkah kecil yang penuh rasa ingin tahu, Amara mendekati ibunya. Matanya berbinar melihat tamu-tamu asing di rumahnya.

"Ini teman Papa yang Mama ceritakan tadi malam," ujar Liana lembut. "Salim dulu, ya."

Tanpa ragu, Amara mengulurkan tangannya untuk menyalami Ahmad dan istrinya. Setelah itu, pandangannya tertuju pada Emir.

"Dan ini Emir," Liana memperkenalkan mereka.

Emir berdiri perlahan, mencoba memberanikan diri, lalu mengulurkan tangan kecilnya. "Emir Hamzah," ujarnya canggung namun tegas.

Amara tersenyum, menatap Emir dengan tatapan ceria yang tulus. "Amara Salim," balasnya sambil menyambut uluran tangan itu. Senyum lebarnya memperlihatkan deretan gigi susunya.

Itu adalah pertemuan pertama mereka—sederhana, namun meninggalkan kesan mendalam.

......................

Sore hari, langit yang sebelumnya biru cerah perlahan berganti warna jingga keemasan. Di depan rumah, suara mesin mobil menggemuruh, menandakan kepulangan Andar.

Liana segera keluar untuk menyambut suaminya. Wajahnya dihiasi senyum lebar, kedua lesung pipinya terlihat jelas saat ia meraih tangan Andar dan menciumnya penuh hormat.

"Mereka sudah datang, Pah," ucapnya lembut setelah Andar mengecup keningnya.

"Bagus," balas Andar dengan senyum kecil. "Mereka pasti lelah. Siapkan makan malam yang spesial ya, Ma."

Liana mengangguk dengan penuh semangat, mengacungkan jempol sebagai tanda siap.

......................

Di dalam rumah, suara riang Amara kembali memenuhi ruangan. "Papaaa!" teriaknya sambil berlari kecil menghampiri Andar.

Andar membuka lengannya lebar-lebar, siap menyambut putri kecilnya dalam pelukan hangat. "Wah, putri Papa makin berat saja!" godanya sambil mengangkat tubuh Amara.

Amara tertawa ceria, lalu mencium pipi Andar dengan gemas. "Pah, anak lelaki yang namanya Emir itu, nanti sekolahnya sama Amara, boleh?"

Permintaan itu membuat Andar dan Liana saling pandang, sejenak terkejut. Cepat sekali putri mereka akrab dengan orang baru, pikir keduanya.

Senyum kecil tersungging di bibir Andar. "Kita lihat nanti, Sayang. Kalau Emir mau, pasti bisa." sahut Andar.

Di balik pintu kamar, Emir yang mendengar percakapan itu tersenyum tipis. Entah mengapa, pertemuan singkat dengan Amara meninggalkan rasa hangat di hatinya.

Tanpa mereka semua sadari, ini adalah awal mula dimana kisah kedua bocah itu tertulis dalam takdir.

Bersambung

Emir, si teman baru

PAGI ITU

Matahari pagi menyusup lembut melalui tirai jendela, menyinari rumah Amara yang penuh kehangatan dan aktivitas. Di dalam, suara riuh terdengar dari gadis kecil yang sedang sibuk mempersiapkan diri untuk hari sekolahnya.

Amara menarik tas troli bergambar Barbie yang hampir sebesar tubuhnya. Botol minum merah muda yang serasi tergantung di lehernya, bergerak ke kanan dan kiri mengikuti langkahnya yang ceria menuju garasi.

"Nanti kenalkan Emir pada teman-teman kamu, ya?" Liana menatap putrinya lembut, sambil membetulkan letak bandana Amara.

Amara menoleh ke belakang, menatap Emir dengan senyum yang berbinar hingga matanya ikut bersinar. Bocah lelaki itu berdiri diam di belakangnya, masih terlihat sedikit canggung. Amara mengulurkan tangan mungilnya. "Yuk!" serunya riang, tanpa memberi ruang untuk penolakan. Emir menurut, membiarkan gadis kecil itu menarik tangannya.

Dalam perjalanan menuju sekolah, suasana di dalam mobil terasa hangat. Amara, duduk di kursi belakang bersama ibunya, asyik bersenandung dengan nada riang. Sesekali Liana ikut bernyanyi, membuat suasana menjadi semakin ceria.

Di kursi depan, Ahmad memegang kemudi dengan mantap. Ia melirik kaca spion, menatap Andar yang duduk di kursi belakang. "Makasih, Ndar. Aku banyak hutang budi sama kamu," ucapnya dengan nada rendah, namun tulus.

Andar tersenyum tipis. "Kamu ngomong apa sih, Mad? Kita ini saudara, enggak ada hitung-hitungan begitu." Ia menepuk bahu Ahmad ringan. "Kalau soal hutang budi, aku yang justru lebih sering merepotkan kamu dulu."

Keduanya tertawa kecil, teringat masa-masa remaja yang penuh cerita. Emir hanya diam di sebelah ayahnya, menatap keluar jendela, memperhatikan hiruk-pikuk Jakarta yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.

......................

Tak lama kemudian, mereka tiba di sekolah Amara. Bangunan sekolah itu sederhana namun terlihat ceria dengan dinding yang dihiasi mural penuh warna. Setelah berpamitan, Amara menggenggam tangan Emir, membawanya masuk ke dalam gedung, ditemani Liana yang tersenyum hangat di belakang mereka.

......................

Di dalam kelas, suasana ramai. Anak-anak sibuk mewarnai dengan pensil warna di tangan kecil mereka. Emir duduk di sebelah Amara, dikelilingi oleh teman-temannya yang ceria.

"Ini Emir, teman baru kita!" Amara memperkenalkan Emir dengan suara lantang. Meski malu, Emir tersenyum kecil dan melambaikan tangan. Kehadiran Amara di sisinya membuat segalanya terasa lebih mudah.

......................

Waktu berlalu. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun-tahun berikutnya, persahabatan Amara dan Emir tumbuh semakin erat. Kini, mereka telah berada di penghujung kelas enam sekolah dasar.

......................

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu membangunkan Amara yang tertidur di meja belajarnya. Ia mengusap matanya yang masih berat, lalu berjalan dengan malas ke pintu. Ketika membukanya, ia disambut oleh Emir yang berdiri sambil membawa segelas jus jeruk.

"Bunda bikinin ini buat kamu," kata Emir, menyerahkan gelas besar ke tangan Amara.

Mata Amara langsung berbinar. "Wah, Bunda Peri emang yang terbaik! Tau aja kalau aku lagi pengen ini!" Seruan gadis itu penuh semangat.

"Bunda Peri," begitu Amara memanggil ibu Emir, yang telah menjadi sosok ibu kedua baginya. Panggilan itu selalu membuat Emir tersenyum kecil, bangga pada ibunya.

Emir berbalik hendak pergi, namun suara Amara menghentikan langkahnya. "Loh, kamu mau ke mana?"

Emir menoleh, bingung. "Kembali ke kamar, dong. Aku juga mau belajar."

Namun, Amara dengan sigap menarik tangan Emir. "Enggak! Kamu belajar di sini aja, sama aku."

Sebelum Emir sempat menolak, Amara sudah menyeretnya masuk ke kamar. Pintu kamar tertutup dengan suara debum lembut, meninggalkan kehangatan persahabatan yang terjalin erat di lantai dua rumah itu.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!