NovelToon NovelToon

Time To Say "I Love You"

PROLOG (Meet You Again)

...PROLOG (Meet You Again)...

EMBUSAN angin di malam itu tak membuat wanita berkemeja putih tipis itu kedinginan. Malah sebaliknya, keringat pada wajahnya yang lusuh terus bercucuran sesaat setelah dia berlari bak orang kesetanan didalam hotel.

Tubuh ringkihnya tak menghiraukan teriakan beberapa orang yang melihat dirinya telah meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Masa bodo pikirnya, yang terpenting dia tidak bertemu dengan sosok pria yang pernah terikat erat pada masalalunya.

Ya. Pria itu ternyata menjadi salah satu tamu dari acara dimana dia menjadi salah satu pelayan disana.

Pekerjaan paruh waktu sebagai pelayan yang hari ini diambilnya, ternyata berkaitan dengan acara reuni dimana dulu dia bersekolah. Wanita itu merasa jadi bodoh ketika sudah berurusan dengan uang. Bahkan dia tidak menyadari tulisan pada banner di dalam Ballroom tadi.

Saat sedang menunggu dengan cemas seseorang untuk menjemputnya, tiba-tiba Amara dikejutkan oleh suara yang memanggil namanya.

"Amara!"

Sial! Pria itu berhasil menemukannya. Dan ternyata masih mengenalinya.

"Aku mencarimu selama ini," sambungnya lagi dengan napas masih terengah.

Pemilik nama Amara itu masih terdiam. Dia masih memindai wajah lelaki yang sudah hampir sepuluh tahun tak dilihatnya. Banyak perubahan pada sosok lelaki itu, kulitnya yang semakin bersih, rambutnya yang terlihat lebih panjang dari terakhir dia lihat saat kelulusan. Dan tentu saja perawakannya yang semakin dewasa. Namun, ada satu hal yang tak berubah, yaitu tatapan dari mata pria itu saat melihat kearahnya, sendu.

"Kamu tidak melupakanku, kan?" tanya lelaki itu yang terlihat putus asa. "Aku, Emir," beritahunya.

Emir Hamzah. Tentu saja Amara masih mengingatnya. Betapa tidak, sedari mereka bersekolah di taman kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas, mereka selalu bersama. Bagaimana Amara bisa lupa?

Wanita yang kini terlihat lebih kurus itu hanya berusaha menyimpan sebagian masalalunya dalam relung terdalam agar tak lagi naik kepermukaan. Sudah cukup bagi Amara. Dia hanya tak ingin lagi terlibat dengan orang-orang itu.

Kehidupan memang penuh misteri, dua orang yang pernah terikat begitu lekat di masalalu bisa berubah seperti dua orang asing. Seperti Amara dan Emir.

Kerasnya hidup yang dijalani Amara pasca kedua orangtuanya meninggal, membuat wanita itu menjadi sosok yang dingin dan kaku. Setidaknya itulah yang dia tunjukkan pada orang lain sebagai tameng.

Lain halnya dengan Emir, keberuntungan selalu berpihak pada pria itu, hidupnya menjadi luar biasa cerah sejak mengenal wanita dihadapannya. Tujuan hidupnya menjadi terarah setelah mengenal keluarga Amara yang dulu dikenal berada.

Maka pantas saja jika Emir tak bisa melupakan sosok Amara dan juga keluarga wanita itu yang pernah berkontribusi pada kehidupan dirinya hingga kini bisa menggapai sukses yang luar biasa.

Namun, saat Emir melihat sosok wanita dihadapannya seketika ia tak percaya. Gadis yang dulu dia puja, kini sungguh terlihat berbeda. Bahkan tatapan mata berbinar yang kerap kali gadis itu tampakkan saat menatapnya sudah redup. Tapi Emir yakin, dia masihlah Amara Salim, gadis yang bahkan selalu menjadi porosnya.

"Mir ...,"

Seketika suara lembut dari arah samping membuyarkan lamunan Emir. Helma. Lelaki itu terpaksa menoleh ke arah wanita itu.

"Kami sudah menunggu mu, ayo kedalam," ajak wanita itu dengan uluran tangannya yang putih mulus bak porselen. Dan jangan lupakan penampilannya yang terlihat mahal dan anggun. Sangat elegan.

Amara yang mengikuti pandangan Emir pada sosok wanita itu tiba-tiba merasakan sesak yang luar biasa. Dadanya bergemurah, bahkan tangannya mengepal kuat menahan perasaan yang sudah lama tak dirasakannya.

"Helma?!" Amara membatin saat melihat sosok wanita yang sudah hampir dilupakannya. Tak salah lagi, itu adalah perempuan yang sudah berhasil merebut perhatian Emir sejak mereka duduk di bangku SMA.

Saat mengetahui wanita yang bernama Helma itu masih bersama Emir hingga saat ini, seketika kenangan masalalu yang sudah lama dia kubur seolah memaksa untuk kembali mencuat. Dan kebenciannya pada dua orang dihadapannya kini semakin tumbuh.

...Bersambung...

Pertemuan Pertama

...Pertemuan Pertama ...

23 Tahun yang lalu

"Alhamdulillah ... akhirnya sampai juga," sambut Liana--Ibu Amara dengan senyum ramah pada teman suaminya yang juga memboyong keluarga kecilnya itu. "Ayo masuk," Liana kembali mempersilahkan keluarga itu untuk duduk di sofa ruang tamu.

Ahmad. Dia adalah teman dekat dari suami Liana--Andar sejak duduk di bangku Menengah Atas. Dan kini teman karib suaminya itu membawa serta istri dan anaknya ke Jakarta dari kampung halaman mereka di Majalengka-Jawa Barat.

Alasan kedatangan Ahmad ke Rumah ini karena Andar yang memintanya. Sebab, Andar baru saja pindah ke Jakarta sebulan lalu, sebelumnya mereka menetap di Brunei selama kurang lebih empat tahun. Pemindahan tugas yang terbilang tiba-tiba itu membuat Andar harus memboyong keluarga kecilnya untuk kembali ke Jakarta. Tanah kelahiran mereka.

Perhatian Liana seketika beralih ke arah bocah lelaki kecil dengan garis wajah ketimuran yang sedari tadi menempeli Ibunya. Kebetulan Liana duduk dihadapan mereka.

"Ini pasti yang namanya, Emir," Liana memusatkan perhatian pada anak bernama Emir. "MasyaAllah ... calon anak sholgan ini, sholeh ganteng," puji Liana yang sudah mengagumi sosok Emir.

"Ma ... Mama,"

Tiba-tiba suara lembut yang mengalun dari seorang anak perempuan membuyarkan suasana diruangan itu.

Kini semua pandangan tertuju pada gadis kecil yang rambutnya terurai panjang, serta terpasang bandana berbentuk mahkota diatas kepalanya.

"Siapa, Mah?" celetuk gadis kecil itu penasaran, saat melihat ada banyak orang asing dirumahnya. Ini adalah kali pertama mereka kedatangan tamu setelah pindah ke Jakarta sebulan yang lalu.

"Amara, sini, Sayang" Liana mengayunkan tangannya pada Amara yang berdiri di belakangnya untuk segera mendekat.

Kemudian Amara melangkah mendekati Ibunya yang tengah duduk di sofa menghadap ke tiga orang asing itu.

"Ini Teman Papa yang kita bicarakan semalam. Ayo salim dulu" Liana mengarahkan pandangannya ke arah Ahmad dan istrinya, lalu dengan sopannya Amara menyalami kedua orang dewasa itu yang terlihat seperti Orangtuanya.

"Nah ... Yang ini namanya, Emir" kata Liana. Amara mengarahkan padangannya pada anak lelaki yang dikatakan Liana.

Emir tersenyum canggung saat namanya diperkenalkan pada gadis kecil itu.

Dan seulas senyum yang diberikan Amara pada Emir, membuat bocah lelaki itu sontak berdiri dan mengulurkan tangannya. "Emir Hamzah" tukas bocah itu yang membuat Amara menyambut tangannya juga.

"Amara Salim" sahut Amara dengan tatapan cemerlang serta senyum lebar yang memperlihatkan susunan gigi susunya.

...▪︎▪︎▪︎...

Saat hari mulai menjelang sore, awan biru cerah telah terganti oleh warna jingga yang hangat. Berbarengan dengan suara mesin mobil yang terdengar dari pintu gerbang menuju garasi rumah besar itu.

Liana sudah siap menyambut sosok pria yang baru keluar dari mobilnya. Senyum dari kedua lesung pipinya ikut menyambut kedatangan pria yang sangat dicintainya, lalu diraih lengan pria itu kemudian dia cium punggung tangan kanannya.

"Mereka sudah datang, Pah" ujar Liana setelah sang suami mengecup keningnya.

"Mereka aku suruh istirahat, kasian Pah, kayanya kecapean banget" beritahunya lagi.

"Nanti siapkan makan malam yang enak buat menyambut mereka ya, Ma" titah sang Suami yang membuat liana mengangkat jempol kanannya sebagai tanda siap.

Sebelumnya Andar sudah mendapatkan kabar dari Sahabatnya itu, bahwa mereka sudah sampai. Oleh karenanya Andar pulang lebih awal untuk menjamu Ahmad dan keluarganya. Namun, karena perjalanan jauh yang mereka tempuh, Andar pun mengulur pertemuannya dengan sahabat lamanya itu nanti saat makan malam saja

Setelah berada didalam rumahnya, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara berisik yang selalu dirindukannya. Siapa lagi kalau bukan putri semata wayangnya. Amara.

"Papaaa," teriak gadis kecil itu sambil berlari ke arah Andar dengan senyum lebar.

Andar segera melebarkan kedua lengannya untuk menyambut anak semata wayangnya kedalam pelukan.

"Wah, putri Papah tambah berat nih" ucap Andar saat Amara sudah berada dalam gendongannya. Amara mencium gemas pipi Andar.

"Pah, anak lelaki yang namanya Emir itu, nanti sekolahnya sama Amara ya?"

Permintaan Amara tentu saja membuat kedua orangtuanya membelalak kaget. Cepat sekali akrabnya, begitulah pikir Liana dan Andar terhadap putrinya.

...Bersambung...

Pengantar Jus Jeruk

PAGI itu matahari menyambut hangat kediaman Amara yang sedikit riuh dengan kegiatan gadis kecil itu yang tengah bersiap-siap pergi ke sekolahnya.

Dengan menderek tas troli bergambar boneka Barbie, serta mengalungkan botol minum berwarna pink yang senada dengan tasnya, Amara kecil berjalan menuju garasi mobil.

"Nanti kenalkan Emir pada teman-teman kamu ya?" pesan Liana pada putrinya.

Ya. Sesuai janji beberapa hari yang lalu, Andar dan Liana langsung mewujudkan keinginan putrinya itu. Bahkan Amara lah yang paling antusias dalam memilihkan keperluan sekolah untuk Emir.

Amara kembali menatap Emir dengan senyum berbinar yang sampai ke mata bulatnya, lalu menjulurkan tangan mungilnya kehadapan Emir. "Yuk!" ajak Amara sambil menarik lengan Emir untuk mengikutinya. Gadis kecil itu terlihat mudah membaur. Berbeda dengan Emir yang masih bersikap canggung.

Dalam perjalanan menuju sekolah, tak henti-hentinya Amara bersenandung ditemani suara sang Ibu yang duduk disebelahnya.

"Makasih Ndar, aku banyak hutang budi sama kamu," ucap pria yang tengah menyetir sambil melirik ke arah spion kaca depan.

Berita Ahmad yang mengalami kesulitan di kampung pria itu, membuat Andar memutuskan mengajak temannya ke Jakarta. Selain mendapat pekerjaan, keluarga Ahmad pun diminta untuk tinggal dirumah Andar agar Istri dan anaknya memiliki teman.

"Kamu sudah seperti sama siapa saja," sahut Andar yang duduk dibelakang bersama anak dan istrinya. "Kalau mau bahas hutang budi, justru aku yang paling banyak membuatmu repot," ucap Andar dengan tertawa kecil yang membuat Ahmad ikut tertawa. Sedangkan Emir yang duduk di samping Ayahnya sedari tadi sibuk memperhatikan lalu lalanh kendaraan yang tak ada hentinya.

Andar dan Ahmad adalah teman semasa Sekolah di bangku Menengah Atas, mereka punya kisah tersendiri saat muda dulu. Dan sampai kini hubungan keduanya masih tetap baik, bahkan persahabatan itu sepertinya akan berlanjut pada anak-anak mereka. Mungkin saja.

Tak lama, akhirnya mereka sampai di sekolah Amara, jarak menuju sekolah gadis itu dari rumah sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya terhitung beberapa meter setelah keluar dari kompleks perumahan.

Amara dan Emir sudah memasuki gedung sekolah ditemani Liana--Ibunya Amara, sedangkan Ahmad kembali melanjutkan perjalanannya bersama Andar untuk bekerja.

...▪︎▪︎▪︎...

Didalam kelas yang dipenuhi nuansa warna warni, Amara dan teman-temannya sedang asik mewarnai, termasuk Emir si anak baru.

Beruntung ada Amara disisi Emir, sehingga anak lelaki itu tak kesulitan untuk mengarahkan diri teman-teman di kelas taman bermain itu.

Emir yang usianya terpaut satu tahun lebih tua dari Amara, seharusnya sudah bisa masuk SD tahun ini. Namun, alih-alih beradaptasi dengan lingkungan di Jakarta, akhirnya orangtua Emir memutuskan untuk menyekolahkan Emir di SD berbarengan dengan Amara saja nanti. Emir sendiri tak keberatan. Bagi orangtua Emir, jenjang sekolah itu diurutan kedua. Yang pertama adalah pemahaman dalam pelajaran.

...▪︎▪︎▪︎...

Tak terasa ... dari hari ke hari, bulan ke bulan, sampai tahun-tahun berikutnya kedua bocah itu akhirnya sudah memasuki penghujung kelas enam Sekolah Dasar.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu menyadarkan Amara yang tertidur dimeja belajarnya. Gadis itu bangun lalu berjalan malas dengan kondisi mengantuk ke arah pintu kamarnya yang diketuk, lalu dia buka perlahan.

"Bunda bikinin jus jeruk buat kamu, nih" kata Emir sambil menyodorkan sebuah gelas besar ke hadapan Amara. Dan seketika Amara bersemangat. Jus jeruk adalah kesukaannya.

"Wah ... Bunda Peri emang yang terbaik, tau aja kalo aku mau minum ini" kata Amara dengan girang.

Sosok wanita yang dia panggil Ibu Peri adalah Ibu kandung dari Emir.

Emir senang mendengar pujian untuk ibunya itu. Kemudian Emir berbalik dan hendak melangkah. Akan tetapi suara Amara menginterupsi langkahnya.

"Loh, kamu mau kemana?" tanya Amara memasang wajah bingung.

Emir mengernyit bingung. Memang mau kemana lagi selain kembali kekamarnya. Dia juga butuh belajar untuk ujian.

Tanpa aba-aba Amara langsung menarik lengan Emir ke dalam kamarnya, dan sesaat kemudian suara debuman pintu yang tertutup terdengar menggema dilantai dua.

...Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!