Hana adalah seorang gadis desa sederhana, dilihat dari segi usia ia sudah sangat layak untuk menikah, teman sepermainannya sudah menikah semua dan sudah memiliki anak sementara Hana, masih dengan status gadis. Hana memiliki seorang kekasih, namanya Riko, laki-laki sederhana tetangga desa dan sudah berpacaran selama dua belas tahun.
Riko sudah berkali-kali mengajak Hana untuk menikah tetapi Hana selalu menghindar dengan banyak alasan.
"Hana... usia kita sudah matang untuk menikah dan ini ketujuh belas kalinya aku bertanya padamu, kapan kita menikah?" Tanya Riko, disaat menjemput Hana pulang dari kerja.
"Sekarang sudah pertengahan bulan April mas, maka datanglah dengan orang tuamu diawal bulan Mei, itupun kalau mas Riko siap."
"Kamu benaran kan Hana? Kamu sudah siap Na buat aku nikahi?" Riko seperti tidak percaya dengan apa yang Hana katakan.
"Ia mas, mas Riko boleh bawa orang tua mas kerumah orang tuaku, memang sudah saatnya bagi kita untuk menikah tidak baik juga untuk kita menunda hal yang baik lebih lama lagi."
"Hana, sungguh aku bahagia karena akhirnya kamu mau menerima ajakanku untuk menikah. Aku bahagia Na, terimakasih sudah mau menerima ku, tapi Na..." Riko tiba tiba menggantung kalimatnya.
"Tapi kenapa mas? Apa sekarang kamu ragu membawaku dalam pernikahan mas?" Hana yang melihat perubahan ekspresi wajah Riko menjadi sangat heran.
"Bukan Na, sekarang justru aku yang takut Na, aku takut kehilanganmu jika aku jujur tetapi aku lebih takut lagi jika dirimu menyesal setelah kita menikah." Ujar Riko terdengar getir.
Ada kecemasan yang mendalam dalam perkataan Riko terdengar ditelinga Hana.
"Maksudmu apa mas?" Hana makin heran dengan Riko yang tiba tiba menjadi aneh.
"Ada hal yang aku takutkan Na,"
"Kamu takut apa mas? "
"Aku.... aku.... aku ada kelainan!. Aku tak sempurna sebagai laki laki, aku takut tidak bisa membahagiakan batinmu." Jawab Riko dengan terbata bata.
"Tapi dirimu bukan penyuka sesama jenis kan mas? Kamu masih tertarik pada perempuan kan?" Selidik Hana dalam kegamangan.
Hana merasa shock tetapi tetap berusaha meguasai diri demi melihat sosok pria yang dicintainya itu juga terlihat lebih kecewa atas kenyataan yang dialaminya.
"Tidak Na, soal hati aku masih normal aku bukan jeruk makan jeruk. Aku cinta sama kamu, dan hasrat atas lawan jenis akupun merasakannya karena itu aku tetap setia menunggumu." Riko memandang intens pada kekasihnya itu.
"Lantas apa maksud mu mas? Jangan buat aku bingung." Kata Hana dengan gusar,
Hana menatap Riko yang masih tetap membuang pandangannya jauh kedepan, seakan takut jika pandangan mereka saling terpaut.
"Aku takut tak mampu memberikan keturunan Na," suara Riko cukup pelan namun terdengar jelas di telinga Hana.
"Mas.... Coba jujurlah sebenarnya ada apa denganmu? Apa kamu mandul mas?" Hana berusaha mencari ketegasan pribadi seorang Riko yang entah sejak kapan menjadi lenyap.
Hana yang sudah menunggu cukup lama jawaban Riko, akhirnya mulai tersulut emosi karena Riko berbelit dalam menjelaskan masalah sebenarnya.
"Aku tidak tahu Na, aku ini mandul atau tidak. Yang aku tahu ada yang tak sama antara aku dan laki laki normal lainnya," terdengar Riko membuang napasnya dengan kasar.
"Apa itu mas? Kenapa kamu baru bilang sekarang kenapa tidak dari kemarin kemarin kemana saja kamu selama ini mas?" Denggus Hana kesal.
Wajah Hana memperlihatkan rasa tidak suka nya karena ternyata Riko menyembunyikan rahasia besar selama ini, sementara hubungan mereka sudah terjalin sangat lama dan serius bahkan sudah berencana untuk menikah.
"Aku sayang kamu Na, aku takut kehilangan kamu. Sungguh aku cinta kamu Na, tapi mungkin akan lebih menyakitkan lagi jika aku tak jujur sekarang, kamu marah, menyesal dan meninggalkan pernikahan kita dan itu pasti akan lebih sakit bagi kita berdua." Riko tetap dalam pandangan menerawang jauh, sekedar melirik kearah Hana saja ia enggan, Riko sangat sadar pasti Hana kini sangat kecewa mendengar pengakuannya dan ia tak berani melihatnya.
"Mas kalau ngomong jangan muter muter tolong to the points saja biar aku ga bingung," keluh Hana mendengar jawaban muter-muter Riko.
"Aku hanya bisa bilang aku tak sempurna, aku tak tahu bisa memberimu keturunan atau tidak jika kita telah menikah. Jika soal hasrat, aku rasa aku masih seperti laki laki pada umumnya." Dengan berat hati Riko mengakui keadaannya secara gamblang,
Hana menatap kearah wajah Riko yang terlihat begitu terluka oleh pengakuannya sendiri,
"Mas... kenapa sih kamu baru cerita sekarang? Kenapa ga dari dulu dulu, seandainya kamu mau cerita dari dulu kita pasti sudah dapat solusinya mas, itu yang aku sesali darimu kenapa tak jujur dari awal!" kembali terdengar kalimat penyesalan Hana.
Hana merasa galau karena sebesar apapun cintanya kepada Riko, ia juga tetap seorang perempuan yang rindu untuk jadi wanita yang seutuhnya, wanita yang disentuh, wanita yang hamil, melahirkan dan merawat anak anaknya.
"Bagaimana nasibku jika aku memaksakan diri menikah hanya karena cinta? Bagaimanapun aku wanita normal yang pasti akan membutuhkan sentuhan dan pelukan dari seorang suami." Hana terus berdialog sendiri dalam hatinya, memikirkan apa ia mampu setia dalam pernikahan jika demikian keadaan calon suaminya.
Bukankah perceraian itu hal yang tidak Tuhan sukai? Jika Hana nekat menikah apa ia bisa kuat menahan diri sebagai wanita normal sepanjang hidupnya?.
"Apa dirimu sudah memeriksakan keadaanmu ke dokter mas?"
"Tidak Na, aku belum pernah konsultasi ke dokter. Aku malu Na."
"Lantas kenapa dirimu bilang bahwa kamu tidak yakin bisa menafkahi bathinku dan memberi keturunan padaku jika dirimu saja merasa memiliki hasrat yang sama dengan laki laki normal pada umumnya mas?"
"Karena aku melihat dari keadaanku yang tak pada umumnya Na, itu yang membuatku takut."
"Kalau kau melihat wanita cantik berpakaian seksi apakah dirimu berhasrat mas?"
"Tentu aku punya hasrat Na, karna itu aku tak suka melihatmu berpakaian ketat atau agak terbuka. Selain menjagamu dari mata nakal, akupun bisa menjaga mataku agar otakku tidak berimajinasi dan akhirnya berbuat senonoh padamu. Aku sungguh mencintaimu Hana... "
"Datanglah dengan orang tuamu dibulan Mei mas," Hana meyakinkan dirinya bahwa pria didepannya itu adalah pria normal, jika tidak toh masih ada paramedis yang bisa memberikan solusi kalaupun tidak mungkin, keputusan ini adalah kesalahan terbesarku."
"Tapi Na..."
"Aku yakin kamu normal mas, jika dirimu ada hasrat berarti tidak ada kelainan padamu."
Hana mencoba meyakinkan Riko, meski ia sendiri agak ragu, tapi Hana berusaha untuk meyakinkan dirinya.
"Na...," Riko memandang Hana dengan ragu ragu,
"Aku menerima apapun keadaanmu mas, jika memang dirimu ada kelainan, kita akan sama sama berjuang untuk mengobati. Soal keturunan bukankah anak adalah bonus yang Tuhan berikan pada pernikahan?"
Hana kembali berusaha meyakinkan Riko, meski ia sendiri semakin galau.
"Bener Na, kamu ga menyesal dengan keputusanmu ini? Apa karena kamu kasihan padaku?"
"Aku ga main main dengan pernikahan mas, karena aku cinta sama kamu mas. Kita akan berjuang bersama."
"Terimakasih Na, aku lega dan aku bahagia mendengar nya. Terimakasih kamu mau menerima aku apa adanya, semoga kekurangan ku bukan menjadi penghalang ku untuk membahagiakanmu."
Binar indah pada netra Riko kembali memancar, senyumannya mengembang meski tak sepenuhnya mekar, mungkin masih ada keraguan dan memang wajar.
"Mas Riko... tapi bagaimana jika aku yang tak mampu memberikan keturunan padamu kelak? Apa kau pun mau setia padaku sampai maut memisahkan kita?" Kini giliran Hana yang juga meragukan kesuburannya sendiri, mengingat bahwa ia datang bulan dua bulan sekali.
"Aku akan seperti mu Na, menerimamu apa adanya. Kita akan menua bersama sampai Sang Khalik sendiri yang memisahkan kita." Riko dengan yakin mengatakan,
"Biarkan waktu yang membawa kita mas, karena sesungguhnya waktu adalah penguji yang terbaik." Jawab Hana, dengan agak ragu.
"I love you Hana, terimakasih sudah bersedia mau menerima keadaanku."
"Love you too mas Riko, semoga kita mampu bertahan sampai maut memisahkan."
Selalu ada desir indah didalam dada ini ketika Riko dengan lembut menggenggam tangan Hana dan tubuh Hana pun selalu merasa panas dingin jika tangan mereka saling bersentuhan.
"Ehem!!! Kayak anak muda saja pake acara pegangan tangan, sana Na, buatin bapak kopi dulu." Tiba tiba terdengar suara pak Hadi ( ayah Hana) yang membuat Hana dan Riko kaget.
Bapak yang sudah ada didekat sepasang sejoli ini, tidak disadari kehadirannya.
"Su su sudah dari lama ada disini pak?" Tanya Hana dengan rasa tak enak hati karena ketahuan berpegangan tangan oleh bapaknya.
"Sudah sekitar sepuluh menit yang lalu, memangnya kenapa nduk?" Jawab bapak dengan santai.
"Se se sepuluh menit yang lalu pak?" Hana dan Riko sama sama terkejut mendengar jawaban bapak.
"Hem, memang kenapa?" Suara bapak terdengar datar.
"Ti ti tidak tidak apa apa pak," jawab Riko terbata dan terlihat ada kesedihan dari raut wajahnya.
Deg! ya Tuhan berarti bapak mendengar apa yang aku dan mas Riko bicarakan, gawat!.
"Eh Na! disuruh buat kopi ko malah bengong disana? Apa kamu senang melihat bapakmu ini kehausan. Sana buatkan kopi buat bapak, ini juga urusan laki laki kamu gak usah ikut campur!," Tegas bapak.
Mendengarkan perkataan bapak, Hana menjadi takut, sama takutnya dengan Riko yang duduk dihadapan bapak, akhirnya mereka hanya saling bertatap sejenak dan langsung tertunduk.
"Bapak mau bicara dengan Riko sebagai laki laki laki, kamu buatin bapak kopi dan kembali kesini lagi yang lama. Kamu ga usah nguping dan bapak ga suka dibantah." Tegas bapak yang tidak seperti biasanya.
"Riko, tadi bapak sedikit mendengar obrolan kalian," pak Hadi membuka pembicaraan dengan menatap tajam kearah Riko.
Deg! "Sepertinya benar dugaanku bahwa bapak mendengar pembicaraan mengenai ketidak sempurnaan ku pada Hana," wajah Riko terlihat panik dan keringat dingin mulai mengucur.
"Kamu tahukan Riko, Hana itu anak perempuanku satu satunya? Bapak banyak menggoreskan mimpi mengenai anak gadisku," sahut bapak dengan mata mengintimidasi mas Riko.
"Ia pak, Riko tahu." Jawab Riko lesu dan tak berani menatap bapak.
"Kalau kamu jadi bapak, punya anak gadis satu satunya apa kamu bersedia menikahkan anakmu dengan laki laki sepertimu?" Sorot tajam netra bapak terus menghujam kearah Riko yang duduk tepat dihadapannya.
"Saya... saya bingung pak harus jawab apa, tapi saya sangat..., sangat mencintai anak bapak, Hana. Saya rela korbankan apapun demi Hana pak. Tolong jangan pisahkan kami pak," Riko menjawab semakin terbata bata.
"Riko, tadikan saya tanya kalau kamu jadi saya, kenapa malah bicara cinta kamu sekarang?" Bapak mulai terlihat tidak sabar.
"Saya, saya tidak akan terima pak," lirih sekali jawaban Riko dan mulai terlihat telaga bening yang tertahan di netranya.
"Apa alasanmu?" Suara bapak begitu dingin terdengar dan tetap dengan mata mengintimidasi Riko.
"Saya tahu kelemahan saya pak, meski sekarang saya sudah merasakan sakitnya kehilangan perempuan yang sudah saya nanti selama ini. Sayapun tak akan menikahi Hana kalau tidak ada restu dari bapak dan ibu."
Cairan bening yang mengambang di netra Riko telah berubah menjadi bulir bulir yang meluncur tanpa bisa ia kendalikan lagi.
"Pak...," dengan tangan gemetar Hana menaruh gelas kopi bapak dimeja dan segera meraih tangan bapak.
"Hana cinta sama mas Riko pak. Bapak juga sudah tahu bagaimana pengorbanan mas Riko selama ini buat Hana, tolong restui kami ya pak?" Mohon Hana pada bapaknya.
"Hana..., rumah tangga itu tidak seperti orang pacaran nduk, jika tidak sepaham bisa putus dan cari yang baru. Ini pernikahan Hana, semua keturunan nenek moyang bapak, ibumu menikah sekali seumur hidup itu prinsip keluarga kita. Kamu paham itukan Hana?" Sentak bapak pada Hana dan kini netranyapun mengintimidasi Hana juga.
"Tapi pak, Hana dan mas Riko saling cinta pak. Hana bisa menerima keadaannya, Hana tulus pak," bela Hana pada bapak dan hatinya terasa sakit karena melihat keadaan Riko yang tersudutkan.
"Apa kamu tidak ingin memberi bapak dan ibumu ini cucu? Apa kamu juga ga pengen hamil dan ngurus bayi mu? Kamu normal ga sih Na?" Bapak mulai tersulut emosi.
"Ingat Na, kamu itu harapan bapak dan ibu, kamu satu satunya anak bapak dan ibu."
"Pak, jangan emosi too mbok yoo apa apa itu dibicarakan dengan baik baik. Lihat itu Hana pak, kasian dia pak. Sak jane Ono opo too pak?" Tiba tiba ibu Erna ( ibunya Hana) muncul berusaha meredakan emosi bapak.
"Itu tanya saja sama anakmu itu buk, tanya Hana bagaimana perasaan dia kalau gak bisa kasih kita cucu!" suara bapak semakin meninggi.
"Ya Allah pak, sampean gek ngomong opo too? Inget pak soal keturunan itu rahasianya Gusti Allah. Bapak dan ibu hanya wajib mendoakan agar apa yang diperkirakan oleh Riko itu salah pak, lagian sekarang juga sudah banyak pengobatan medis dan alternatif yang bisa membantu untuk menyembuhkan, asal nak Riko mau." Ibu menjawab sambil menatap kearah Riko.
"Jadi ibu sudah tahu masalah Riko? Sejak kapan bu?" Bapak melihat ibu dengan tajam seperti sedang mengintimidasi ibu juga lewat netranya.
"Ibu mendengarkan obrolan bapak dan Riko, bagaimanapun ibu juga harus tahu ada masalah apa antara bapak dan Riko, tadi ibu melihat Hana kok seperti orang gelisah waktu membuatkan kopi bapak," sambung ibu.
"Maafkan saya bapak, ibu.... karena saya jadi ada keributan dirumah ini." Dengan netra berkaca kaca Riko menjadi merasa bersalah.
"Riko.... ibu tahu bagaimana perasaan kamu, ini juga bukan pilihan kamu, itu takdir bukan pilihan."
Ibu tetap terlihat bijak dalam tutur agar tak melukai hati siapapun saat ini.
"Soal jodoh, rezeki dan maut itu rahasia Tuhan nak, begitupun dengan anak, tapi kalian wajib berusaha. Jika nanti dirimu memang tak mampu menafkahi batin Hana, maka berobat nak."
"Bu!!! apa ibu mau kita tidak bisa menimang cucu? Apa ibu sudah pikirkan itu," bapak kembali tersulut emosinya mendengar kata kata ibu barusan.
"Pak, Ibu hanya ingin Hana bahagia. Biar Hana yang memutuskan buat kebahagiaan nya. Kita hanya merestui saja, ibu yakin Hana tahu yang terbaik untuk dirinya."
"Bu! harusnya ibu dukung bapak, ibu kan tau bagaimana rasanya hanya punya anak satu, apalagi jika tidak punya, kelak Hana pasti kesepian!, belum lagi jika kebutuhan batinnya nanti tidak terpenuhi. Bapak tidak mau Hana menyesal."
"Pak..."
"Pokoknya bapak tidak akan merestui pernikahan mereka!
Terserah kamu Na, kamu mau bilang bapak jahat, bapak tidak punya perasaan atau apalah bapak ga peduli!, bapak ga mau kamu menyesal nantinya."
"Hiks hiks pak, Hana sangat mencintai mas Riko pak, tolong beri kami restu pak."
"Rumah tangga itu ga hanya bicara cinta nduk, bapak ga mau kamu menyesal," lirih suara bapak namun masih terdengar sangat jelas.
"Bu, harusnya sebelum dirimu memutuskan sesuatu harus kamu pikirkan matang matang, kita hanya punya Hana masakan kita akan membiarkan dia menyesal nanti? sementara dari awal kita tahu bahwa akan ada penyesalan pada anak kita?
Kamu Riko, harusnya kamu sebagai laki laki harus memastikan dulu keadaanmu. Mencintai berarti membahagiakan bukan menyeret penyesalan bagi pasanganmu.
Aku bukan tak menyukaimu Riko, aku hanya tak ingin kelak anakku menyesal dan melampiaskan kebutuhannya pada lubang dosa atau rumah tangga kalian porak poranda! kamu paham maksud bapak?"
"Lantas kami harus bagaimana pak untuk mendapatkan doa dan restu dari bapak?" Riko yang sedari tadi hanya diam akhirnya bersuara.
" Periksakan dulu keadaanmu!" Putus bapak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!