NovelToon NovelToon

Suami Bulukku Mendadak Tajir

Diusir dari Rumah Istri

Perkenalkan, namaku Samsul Ramadhan, berusia 27 tahun. Aku memiliki istri bernama Erlin William dan pernikahan kami baru setahun. Dia sangat cantik rupawan, seksi dan pandai sekali berkuda.

Namun, aku sangat membenci sifatnya yang angkuh dan egois. Dia tak pernah menganggap aku sebagai suaminya.

Dulu sebelum aku dan Erlin menikah, aku tinggal di sebuah desa yang cukup jauh. Di sana aku dan Erlin bertemu. Saat kami bertabrakan tak sengaja ia menjatuhkan sebuah cincin berlian. Hingga suatu waktu dia mengucapkan sumpah akan menikahi siapapun pria itu yang berhasil menemukan cincinnya.

Pak Wito, pamannya Erlin mendatangi rumahku malam - malam, meminta ku agar menikah dengan Erlin. Erlin kerap kali ditemui berbagai jenis ular, lantaran dia belum menepati janji sumpahnya. Ya, itu sebuah kepercayaan lama yang berada di desa ku, jika seseorang belum melunasi janji atau sumpahnya maka ia akan kerap kali ditemui ular. Dan yang menemukan cincinnya pada waktu itu adalah aku.

Pernikahan aku dan dia akhirnya berlangsung, meski aku tak memiliki apa - apa hanya sepasang jepit rambut yang ku berikan sebagai maharnya.

Emakku merelakan aku pergi mengikuti istriku ke kota. Berat rasanya meninggalkan beliau seorang diri di sana.

.

Di kota tempat aku tinggal ini sangat megah nan mewah bangunannya.

Perlahan aku menenteng tas ransel dan mengekor Erlin memasuki rumah. Mataku berkeliling mengamati ornamen dan dekorasi rumah. Sungguh silau aku menatapnya. Bangunan bak istana itu baru pertama kali ini aku melihatnya.

Langkahku terhenti saat istri cantikku membalikkan badan.

"Berhenti di situ!" ujarnya membuat aku tersentak. Aku langsung diam mematung.

Seorang wanita paruh baya terlihat turun dari tangga menuju arahku. Erlin sendiri langsung menghambur ke arahnya.

" Mami!" serunya seraya mengeratkan pelukannya.

"Erlin, mami tak habis pikir dengan cara kerja otakmu. Bisa - bisanya kamu menikah dengan si buluk itu!" ujar maminya seraya menunjuk ke arahku.

Nyaliku menjadi ciut, "Sabar," batinku menasihati.

"Aku tak sudi menerima kamu sebagai menantuku. Sudah kulitnya buluk, kurus, tompelan pula!" hardik mami. Aku mengusap lembut tompel yang ada di dagu sebelah kanan dengan ibu jariku, ku masukkan saja hinaan mami di telinga kiri dan aku keluarkan begitu saja di telinga kanan.

"Aku terlanjur bersumpah dan aku tak mau ketemu dengan ular lagi. Tapi tenang saja, aku juga tak kan membiarkan tubuhku disentuh olehnya." ujar Erlin yang berhasil menampar hatiku dengan cukup keras.

Papi yang lebih dulu pulang setelah acara ijab kabul waktu itu, hanya menatapku penuh jijik.

"Heh, " aku mendesah kesal.

Aku masih diam seribu bahasa. Untuk menghilangkan rasa sakit di hatiku, aku memeluk erat tas yang sejak tadi aku bawa.

Erlin berjalan ke arahku.

"Aku tak mau satu kamar denganmu. Ingat status pernikahan kita hanya di atas kertas tidak lebih. Jadi, kamu jangan mimpi untuk bisa menyentuhku!" ujarnya berbisik namun penuh penekanan.

Erlin menunjukkan kamar untukku.

"Aku akan tidur di sini?" tanyaku saat memandang isi ruangan yang kosong tanpa perabot apa pun. Hanya beberapa tumpukan kardus bekas.

"Jangan melonjak, di rumah ini tak ada pembantu, semuanya sudah pergi, sebagai imbalan uang sewa, kamu yang akan menggantikan pekerjaan mereka!"

"Dan kamar ini sangat cocok untuk kamu." Erlin berkacak pinggang seraya berlalu meninggalkan aku yang masih melongo.

Aku perlahan memasuki kamar itu, "Biarlah aku tinggal di sini, sepertinya kardus - kardus bekas ini bisa aku gunakan untuk alas tidur".

Malam pun tiba, perutku sangat lapar. Aku hendak mencari Erlin.

Terdengar gelak tawa yang riuh, aku segera menghampiri sumber suara.

"Hei, kamu, siapa yang menyuruh kamu berdiri di situ! Cepat bereskan meja makan ini!" ujar mami seraya beranjak dari kursi. Nampaknya beliau baru saja selesai makan malam.

"Di mana Erlin?" tanyaku sopan saat aku tak menjumpai dia di ruang makan. Hanya kedua mertuaku dan seorang wanita cantik yang usianya tak jauh beda dari Erlin.

"Berani sekali kamu memanggil putriku dengan namanya, panggil dia dengan no-na!" gertak papi padaku membuat aku menunduk.

"Siapa dia, Mami?" gadis itu menunjuk ke arahku.

"Dia pembantu baru di rumah ini." ujar mami yang perkataannya masih bisa aku mentolerir.

Gadis itu hanya melempar senyum ke arahku. Aku membalasnya dengan sedikit kikuk.

Aku berjalan mendekati meja makan dan merapikan semuanya. Terdapat sisa makanan yang sangat menggodaku.

"Eliana, ayo pergi!" ajak mami pada gadis itu, ternyata dia adalah adiknya Erlin. Eliana segera meneguk air sampai tak tersisa, terlihat anggun. Barulah dia mengikuti mami. Papi pun juga beranjak. Tinggallah aku yang masih menatap sisa makanan di meja.

"Kamu belum makan?" suara yang tak asing bagiku mengagetkan aku dari belakang tubuhku. Segera aku membalikkan badan.

"Erlin, em, maksudku No - na," ucapku sedikit ragu. Erlin hanya mengerutkan dahi. Dia tak ambil pusing dengan sebutan yang baru saja terlontar dari bibirku.

"Nih," Erlin menyodorkan sesuatu, sepertinya sebungkus makanan. Aku menerimanya dengan senang, perutku semakin melilit. Tapi saat menatap wajah Erlin aku sudah tak merasa lapar lagi. Entah mengapa hatiku mendadak berdesir.

"Mulai besok, kamu sudah bisa melakukan pekerjaan rumah tangga," ujarnya seraya menyerahkan selembar kertas. Setelah aku baca, alamak ... ternyata daftar kegiatanku selama aku tinggal di rumah istriku. Erlin menuntun akan menuju dapur, memperlihatkan kulkas beserta isinya. Menunjukkan cara menggunakan mesin cuci juga.

Tak apalah, suatu hari aku pasti bisa membuat dia menyukai aku dengan ketulusan hatinya. Hanya butuh pengorbanan saja untuk saat ini.

Keesokan paginya, saat semua orang belum bangun, aku sudah terlebih dahulu mengepel seluruh lantai. Dengan begitu aku tahu seluk beluk ruangan di rumah, kecuali lantai atas, kamar mertua, Erlin dan Eliana.

Selesai mengepel aku memasak, pekerjaan ini begitu mudah kujalani, aku sudah terbiasa melakukan ini, emak ku yang ada di desa yang mengajarkan ini semua. Terlihat beberapa bahan di dalam kulkas. Hanya butuh waktu satu jam aku menyelesaian urusan dapur. Setelah itu aku mencuci baju.

"Apaan ini!" terdengar pekikan papi saat aku berada di dapur. Bergegas aku mengintip di belakang koridor.

"Dasar tompelan, masak menu ndeso, bisa sakit perut aku!" gerutu mami memperjelas kekesalannya pada masakan yang aku hidangkan.

"Cih, menjijikkan!" decak Erlin membuat sakit hatiku. Tapi sebisa mungkin aku menepis rasa sakit itu. Biar pun demikian, aku yakin ada sisi baik di hati Erlin.

"Enak kok!" Eliana menimpali, seraya mengunyah tumis kangkung buatanku. Aku mengulum senyum, ternyata Eliana baik juga ya tak seperti kedua orang tuanya yang tak menghargai orang lain.

"Syukurlah, masih ada yang menyukai masakanku," batinku menghibur.

"Kuli ...!" teriak Erlin, pasti yang dimaksud itu aku, aku mempercepat langkahku menghampiri mejanya.

"Iya Non," sahutku seraya mengelap kedua tanganku yang masih basah pada lengan baju.

"Kamu bikin selera makan aku hilang. Aku tak suka makanan ini." ujarnya seraya meletakkan sendok dengan kasar.

"Maaf Non, kalau boleh tahu apa ya makanan kesukaan Nona?" tanyaku berharap bisa membuatkan menu kesukaannya.

"Spaghetti, xxx ..." dan masih banyak yang lainnya, aku tak mengerti satu pun jenis makanan itu. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Maaf Non, saya tak mengerti," sahutku seraya mencoba menghafal menu tadi, siapa tahu aku bisa belajar membuatnya.

"Sudahlah Kak, lagi pula menu lain juga ada, nih," Eliana menunjuk piring satunya yang berisi sambal terong.

"Apa lagi ini ...!" pekiknya seraya memukul meja dengan telapak tangannya. Dia terlihat kesal. Erlin pergi begitu saja tanpa menyentuh satu pun makanan buatanku. Begitu pula papi dan mami juga pergi, tinggallah Eliana yang sedang menikmati masakanku.

"Masakan kamu enak," ujarnya menghiburku, aku hanya mengangguk seraya tersenyum padanya.

Saat aku akan pergi, dia berkata sesuatu.

"Nama kamu siapa?" tanyanya.

"Samsul," sahutku setelah membalikkan badan menatapnya.

"Aku Eliana, salam kenal," sambungnya lagi, aku hanya mengangguk.

Sudah hampir satu bulan aku sibuk mengurus pekerjaan rumah, dan aku juga sudah bisa membuat makanan kesukaan orang - orang, tentu dengan bantuan Eliana.

Aku membuka dompet dan merogoh setiap saku celana dan bajuku, tak satu peser pun uang yang aku temukan di sana. Aku sangat lapar, aku ingin makan nasi jagung kesukaanku. Terkadang saat akan makan, ada saja perintah mami dan papi yang membuat aku menunda makan. Saat malam tiba, aku baru bisa menyendok sesuap nasi, dengan cepat satu porsi nasi goreng berpindah ke perutku. Rasa lelah dan kenyang membuat aku tertidur.

Erlin sendiri tak begitu peduli padaku. Malu juga jika aku meminta uang padanya.

Saat keesokan harinya di sore hari, dia tengah duduk bersantai di teras depan sambil memainkan ponselnya, aku memberanikan diri menghampirinya.

"Non, bisa kita bicara sebentar?"

"Aku sibuk!" sahutnya acuh tanpa melihat ke arahku.

"Sebentar kok Non, 5 menit," ujarku menyakinkan. Dia hanya terdiam, ku anggap saja dia mendengarkan aku.

"Aku ingin bekerja, aku tidak punya uang." tuturku.

Baru dia melihat ke arahku, "Bekerja? Ini kota, mana ada perusahaan yang menerima karyawan buluk seperti mu, jangan mimpi, dasar kuli!"

"Kalau belum dicoba, kita tak kan tahu rejeki orang." tuturku membuat dia berpikir.

"Jika kamu bekerja, siapa yang akan mengurus rumah?"

"Itu gampang Non, aku akan menyelesaikan semua pekerjaan rumah sebelum berangkat bekerja,"

Erlin hanya diam, aku anggap jawaban dia adalah boleh. Aku segera meninggalkan dia yang masih mengabaikanku.

Keesokan paginya, semua pekerjaan telah selesai aku kerjakan. Aku kenakan kaos oblong dan celana panjang serta topi.

Saat berpapasan di ambang pintu rumah, Erlin menatapku intens.

"Mau kemana?" tanyanya, baru kali pertama dia bertanya mengenai diriku.

"Mau kerja," sahutku datar.

Sebelum aku pergi untuk pertama kalinya juga keluar rumah, aku menyodorkan punggung tanganku padanya.

"Apaan ...." ujarnya seraya mengernyitkan dahi.

"Sebelum suami pergi bekerja, alangkah indahnya jika seorang istri mencium punggung tangan suaminya."

"Idih, amit - amit, mending aku cium tembok dari pada cium tangan yang buluk itu!" ujarnya membuat aku menurunkan tangan. Erlin segera masuk kedalam setelah pergi joging.

Aku pergi dengan sedikit luka di hati, aku pikir jika membiarkan saja luka di hati ini akan hilang, nyatanya semakin hari semakin sakit.

Kini aku bekerja sebagai penjual kerupuk uyel lagi, salah satu pekerjaan yang pernah aku geluti di desa. Untungnya, pak Wito memiliki cabang di kota, jadi aku lebih mudah untuk menjajakan kerupuk karena sudah terbiasa.

Setiap hari aku berkeliling di pinggir kota untuk berjualan. Saat merasa lelah, aku menghentikan motor yang sengaja diberikan pabrik kerupuk untuk mempermudah pekerjaanku. Aku meneguk air mineral yang sudah aku bawa dari rumah untuk menghemat pengeluaranku.

Tatapanku jatuh pada sosok wanita yang tak jauh dari tempat aku beristirahat.

"Erlin," gumamku pelan, aku yakin wanita itu adalah istriku.

"Siapa laki - laki yang bersamanya itu?" hatiku semakin sakit, aku kecewa, aku gagal menjadi seorang suami. Apa karena hidupku yang miskin ini, dia tega menyakiti perasaanku bermesraan dengan pria lain.

Aku menitikkan air mata bersamaan peluh yang semakin deras mengucur, terik matahari menambah rasa panas di hati.

"Erlin, jika aku kaya, apa kamu akan kembali padaku?" tanyaku pada diriku sendiri.

Aku segera bangkit dan melanjutkan bekerja lagi, mungkin dengan begini bisa mengurangi ingatanku tentang mereka berdua.

Setelah sampai di rumah, aku segera mandi dan menemui Erlin untuk menanyakan siapa pria yang siang tadi ia temui.

Aku mengetuk pintu kamarnya.

Dia segera keluar dengan mengenakan baju yang seksi. Sudah sepatutnya aku menikmati tubuh itu.

"Apa?" tanyanya ketus.

"Siapa pria tadi?" tanyaku menginterogasi. Dia sedikit pucat setelah mendengar pertanyaan dariku.

"Itu bukan urusanmu,"

"Kami hanya berteman," sambungnya lagi setelah aku diam cukup lama menatapnya.

"Jika aku kaya nanti, apa kamu baru bisa menerimaku sebagai suami kamu?" tanyaku.

"Kaya? Kaya monyet maksudmu, udah jangan sombong deh, baru bekerja beberapa hari saja lagaknya seperti orang sukses saja. Ingat, Kuli, pernikahan kita hanya di atas kertas. Jadi, stop untuk mengurusi hidup aku, atau lebih baik kita bercerai saja, hah!" pernyataannya membuat aku tersentak.

"Bercerai dilarang oleh agama, seharusnya kita menjalani hubungan rumah tangga yang harmonis dan ..." aku mengeratkan gigi.

"Harmonis dari Hongkong," ujarnya menyela kalimatku.

"Buluk, berani sekali kamu mendatangi kamar putri ku!" bentak papi membuatku menunduk.

"Sana pergi!" usirnya, aku langsung bergegas menuruni tangga.

Keesokan harinya, setelah melakukan pekerjaan rumah tangga, aku bersiap berangkat kerja.

Mami menuruni tangga sembari berteriak histeris.

"Perhiasan mami hilang!" pekiknya seraya terisak.

"Siapa yang mencuri perhiasan Mami?" tanya papi yang baru datang.

"Pasti Kuli, Pi, dia kan lagi butuh uang!" Erlin menunjuk ke arahku.

Dengan segera papi menuju kamarku tanpa meminta izin dariku lebih dulu.

Semua orang mengikuti papi termasuk aku juga.

Aku membulatkan mata tak percaya, kotak merah yang berisi perhiasan mewah ditemukan tergeletak di bawah kardus.

Mami sangat marah, dan seketika itu juga aku diusir dari rumah. Aku membantah tuduhan itu. Tapi tak satu pun yang mempercayainya. Aku pergi dari rumah tanpa membawa barang apa pun.

Jangan lupa mampir ke karya author terbaru, yang berjudul, Buih Jadi Permadani. Jangan lupa beri like, vote, hadiah dan komentarnya.

Terima kasih 😘😘😘😘😘

Bertemu Kakek

Aku menyusuri jalan menuju tempat aku bekerja. Di sana ada seorang pria berkumis sedang memarahi semua pekerja.

“Kamu malah baru datang, jam berapa ini!!” bentak pria berkumis seraya berkacak pinggang padaku.

“Maaf, Pak, tadi saya sedang ada masalah dengan keluarga saya,” ujarku menerangkan.

“Alasan apa lagi ini, tadi ada yang bilang ban sepeda bocor, masih ngantar anak sekolah, aku tidak mau mendengar alasan apa pun dari kalian! Mulai detik ini juga, aku memecat kalian yang datang terlambat!” ujarnya membuat aku membelalakkan mata tak percaya.

Aku berusaha meminta pria berkumis itu untuk tidak memecatku, tapi usahaku tak membuahkan hasil.

Akhirnya aku tak memiliki pekerjaan sekaligus tempat tinggal dalam sekejap saja.

“Ya Allah, salah apa aku, kenapa hidupku jadi begini?” aku sedikit mengeluh pada sang pencipta. Namun aku tidak boleh putus asa, aku harus bangkit dari keterpurukan ini.

Seharian aku berjalan menyusuri kota, berhenti dari rumah ke rumah, namun tak satu pun dari mereka yang mau menerima aku bekerja.

Malam pun tiba, kulit ku merasa merinding terkikis angin malam, perutku tak henti – hentinya berbunyi.

“Aku ingin pulang, emak, Samsul takut ....” rintihan hatiku mulai menyala.

Keesokan harinya, aku terbangun dari tidur. Ternyata aku semalam tertidur di tepi jalan, beralasan emperan toko.

“Aku lapar,” keluh ku seraya mengusap perut yang sejak kemarin keroncongan.

Beberapa detik kemudian, sebagian orang penghuni jalan melewati aku seraya menjatuhkan selembar uang.

Awalnya aku tampak bingung, mengapa orang – orang memberiku uang.

“Aku bukan pengemis!” teriakku seraya menggoyangkan kedua tangan si pemberi uang.

“Dasar gembel tidak mau mengaku!” tukas salah satu orang yang melewatiku.

"Sudah jadi pengemis seumur hidup tetap pengemis!"

Untuk menghindari hal itu, aku segera bangkit lalu berpindah tempat.

Aku sudah tak tahan dengan perutku, dan aku bukan seseorang yang mudah menyerah dan tak ingin menjadi pengemis.

Kini aku berhenti di sebuah warung makan, banyak pengunjung sedang menyantap makanan di sana. Tak jauh dari jangkauan mataku, salah satu dari karyawan berjalan ke bak sampah. Orang itu membuang gulungan kertas.

“Mangkinkah itu makanan?” gumamku dengan mata penuh kebahagiaan.

Setelah pengunjung tampak sepi, aku segera menuju ke bak sampah dengan mengendap - endap, mengambil sesuatu yang sejak tadi aku incar. Aku menurunkan setumpuk keresek hitam dan beberapa kardus. Sekian detik kemudian aku menemukan yang aku cari.

“Aha, ketemu juga!” seruku dan segera mengembalikan beberapa sampah ke bak sampah.

“Ini masih bisa dimakan,” ujarku setelah menjauh dari warung. Dalam sekejap saja aku sudah menghabiskan sisa makanan orang.

“Alhamdulillah,” ujarku penuh khidmat.

Hidupku selama tiga hari menyusuri jalan, dan selama itu pula aku mengais sisa makanan orang di bak sampah. Demi perutku, aku tak jijik dari pada aku harus kelaparan.

Saat siang hari, seperti biasa aku tengah mengobrak - abrik bak sampah, aku melihat seorang pria tua tengah sempoyongan berjalan ke arahku. Dan tubuhnya mendadak tergeletak begitu saja. Awalnya aku tak berniat untuk menghampiri pria tua itu. Namun, jiwa kemanusiaanlah yang memanggil.

“Tolong ..., ada kakek – kakek pingsan!” teriakku dengan histeris, namun tak ada satu orang pun menolongnya. Wajar saja penampilan kakek itu seperti gembel, jadi semua orang yang melihatnya pasti enggan untuk menolong.

“Kakek, bangunlah!” pintaku seraya menggoyangkan tubuhnya yang lemas. Matanya sudah tertutup rapat.

Tanpa berpikir panjang lagi, dengan sisa tenaga yang aku miliki meski perutku belum terisi, aku mengangkat tubuh kakek itu. Sepeser uang pun aku tak punya untuk aku gunakan memanggil taksi, akhirnya aku menggendong kakek itu.

“Akkkhh, berat sekali!” gumamku seraya bergetar daguku.

“Maaf, di manakah letak rumah sakit?” tanyaku saat aku menghentikan sebuah truk.

“Jauh, sangat jauh sekali,” ujar si sopir truk.

“Katakan saja!” teriakku sudah tak kuat lagi.

“Aku bisa mengantar kamu sebatas jalan lurus ini, selebihnya aku tak bisa menolong kamu.” Tawar si sopir, aku segera menaikkan tubuh kakek ke dalam truk setelah si sopir membuka pintu belakang.

Dan benar saja, setelah 30 menit perjalanan sopir truk memberhentikan aku. Aku segera menurunkan tubuh kakek itu dan menuju rumah sakit sesuai arahan si sopir. Aku harus menempuh perjalanan 3 kilometer lagi untuk sampai ke sana.

Peluh ku bercucuran tak aku hiraukan lagi, meski payah aku berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa kakek ini.

.

“Terima kasih sudah menolongku, siapa namamu Anak Muda?” tanya kakek setelah sadar. Suaranya masih terdengar lemah dan lirih.

“Samsul Kek, Samsul Ramadhan,” sahutku seraya mendekatkan kursi yang kududuki ke arahnya.

“Nama kamu mirip denganku.” Kakek menunjukku lalu menunjuk dirinya.

“Nama Kakek siapa?” tanyaku seraya memperhatikan mimik muka nya.

“Ramadhan Kamal, kamu boleh memanggilku kakek Rama,” ujar kakek dengan sedikit tersenyum.

Aku merasa lega sekarang, usahaku tak sia – sia membawa beliau ke rumah sakit ini. Beliau mengalami dehidrasi kata dokter yang baru saja keluar dari ruangan. Kakek Rama bertanya perihal kehidupanku, dan dengan gamblang aku bercerita tentang kisahku.

“Tolong panggilkan suster!” pintanya dan segera aku berdiri menuju pintu keluar.

“Suster mana ya yang harus aku temui?” gumamku bimbang, jujur aku baru kali pertama ke rumah sakit, jadi hal sepele membuatku benar – benar bingung.

Tanpa berpikir panjang lagi setelah beberapa detik, aku menghentikan langkah seorang suster.

“Maaf, pasien di nomor 5 kamar Dahlia ingin menemui Suster,” ujarku sedikit kikuk. Suster cantik itu hanya mengangguk dan membalikkan badan menuju kamar yang aku maksudkan tadi.

“Suster, bolehkah aku meminjam ponsel Anda? Aku ingin menghubungi temanku.” tanya kakek Rama setelah suster itu masuk ke ruangan. Suster mengeluarkan ponselnya dan menyerahkan pada beliau.

“Jemput aku sekarang di rumah sakit xxx!” ujarnya.

Tak lama kemudian, sekelompok pria berpakaian serba hitam masuk ke dalam ruangan.

“Kakek, maafkan atas kelalaian kami hingga kehilangan jejak Kakek,” ujar salah satu dari mereka.

Kakek Rama hanya mengayunkan tangan.

“Tunggu, sebenarnya siapa kakek Rama ini? Mengapa dia bisa mengetahui cara mengoperasikan hp, padahal dari penampilannya seperti orang yang papa sepertiku? Dan siapa pria – pria ini, mengapa juga mereka begitu hormat pada kakek Rama?” batinku curiga.

“Cepat selesaikan administrasi di rumah sakit ini, dan antar aku pulang bersama Samsul!” titahnya.

Aku melongo mendengar ucapan kakek Rama.

“Tapi, tapi, Kek, aku ...”

“Tinggallah bersamaku!” ujarnya yang membuat aku tersentak.

“Apa Kek!” aku tak percaya dengan semua yang aku alami barusan. Beliau menawarkan aku untuk tinggal bersamanya. Ya tempat tinggal yang sangat aku perlukan saat ini.

Aku tak bisa menolak ajakan beliau karena aku terus didesak.

Aku adalah Cucu Kakek

"Ini rumah Kakek?” tanyaku tak percaya. Mataku berkeliling mengamati keadaan sekitar. Mobil yang aku tumpangi ini berbelok menuju sebuah rumah bak istana. Bangunan yang besarnya tiga kali lipat dari pada rumah mertuaku. Pagar besi yang tinggi mengelilingi rumahnya. Aku menggelengkan kepala tak percaya. Sesekali menepuk pipi untuk menyadarkan kalau yang aku lihat ini adalah nyata, bukan mimpi.

“Benar, dan kamu salah satu orang yang beruntung bisa tinggal di sini.” ujar kakek Rama dengan nada santai.

“Bagaimana bisa Kakek berpenampilan seperti seorang yang, maaf, pengemis ternyata seorang yang kaya raya?” tanyaku ragu – ragu khawatir beliau tersinggung.

Kakek Rama terkekeh, “Sengaja aku ingin mencari seseorang yang tulus menolongku. Dan itu ternyata kamulah orangnya.” kakek sembari tersenyum mengatakan itu. Aku lega mendengarnya, kakek Rama sepertinya orang baik yang dikirim Tuhan untuk membantuku. Beberapa hari tinggal di sana untuk menumpang makan dan istirahat, setelah cukup aku akan mencari pekerjaan yang layak agar bisa membalas kebaikan beliau.

Mobil berhenti, aku segera turun mengikuti kakek masuk ke dalam rumah bak istana raja itu.

Mataku tak lepas dari ornamen luar rumah yang tampak luar biasa.

“Subhanallah, besar sekali!” ujarku kagum, tak hanya dari luar saja yang terlihat besar, dalamnya juga.

“Pelayan, antarkan Samsul beristirahat di kamarnya!” perintah kakek pada semua pelayannya yang menyambut kedatangan kakek, seorang pelayan wanita yang paling tua itu segera menggiringku menaiki tangga.

“Pelayan, sajikan makanan dengan menu besar malam ini!” perintah kakek pada pelayan yang lain. Semua pelayan terlihat sangat sibuk dengan tugasnya masing -masing.

Aku sungguh takjub dibuatnya, aku mengekor pelayan itu. Dan sepanjang aku berjalan, nampak beberapa pelayan berjajar menyambutku. Aku hitung ada 10 pelayan.

Aku masuk ke dalam kamar baruku. Terlihat besar seukuran rumahku di kampung.

“Kakek meminta saya untuk menyiapkan pakaian Anda,” ujar pelayan wanita yang usianya sekitar 40 tahunan. Pelayan itu menyodorkan setelan kemeja dan celana panjang.

Aku menerimanya dengan tetap tak percaya.

“Silahkan Anda mandi dulu, di sana kamar mandinya!” pelayan itu menunjuk dengan ibu jarinya. Aku mengangguk paham.

Setelah pelayan wanita itu keluar, aku segera menjatuhkan tubuhku di atas kasur yang amat lebar dan tebal. Tubuhku terpental di atas kasur.

“Empuk!” seruku. Aku bangkit dan melompat lompat di atas kasur yang empuk tiada tara itu. Aku terpental hingga jatuh ke lantai. Aku segera bangkit saat seseorang membuka pintu.

“Samsul, setelah mandi aku menunggu kamu makan malam.” Ujar kakek Rama, aku segera mengkondisikan sikapku.

“Baik Kek, aku akan segera mandi,” ujarku yang segera berjalan menuju kamar mandi.

“Mana airnya?” gumamku seraya celingukan mencari air.

Aku keluar hendak bertanya pada kakek, namun kakek Rama sudah tak ada. Aku berbalik menuju kamar mandi. Ku perhatikan benda – benda sekitar yang ada di sana.

“Airnya pasti di dalam sini,” aku menekan tombol dan benar saja airnya langsung menyembur keluar.

“Memalukan sekali, begitu saja tak tahu!” aku merutuki diriku.

Selesai mandi, aku bermaksud menuruni tangga mencari keberadaan kakek. Belum selesai aku melangkah, seorang pelayan datang dengan sikap hormat.

“Mari saya antar Anda menemui kakek di ruang makan!” ujarnya sopan. Aku hanya mengangguk dan mengekor dia.

“Samsul, mari makan!” ajak kakek Rama setelah aku tiba di ruang makan.

Air liurku terasa menetes, namun dengan cekatan aku menghapusnya.

Hidangan di atas meja makan sungguh menggiurkan. Berbagai menu yang sama sekali aku tak tahu berjajar di sana. setumpuk daging, buah dan sayuran hijau. Dengan ragu – ragu aku menarik kursi.

“Anggap saja rumah sendiri, tak usah sungkan!” ujar kakek.

“I-iya Kek,” sahutku lekas dan segera duduk.

Kakek Rama menawarkan berbagai menu makanan. Namun hanya satu yang menarik bagiku untuk aku makan dulu, sate ayam.

Seperti apa yang barusan kakek Rama katakan padaku, tak usah sungkan. Perutku merengek minta diisi. Aku segera mengambil piring dan nasi. Ku lahap dengan cepat makanan pilihanku.

“Pelan – pelan, Samsul,” tegur kakek, aku segera mengkondisikan sikapku.

“Alhamdulillah,” ujarku seraya mengelus perutku yang sudah buncit.

“Enak?” tanya kakek membuatku malu.

“Sungguh enak, baru kali pertama Samsul menikmati makanan seperti ini.” ujarku jujur.

“Besok – besok, aku akan meminta pelayan untuk memasak menu ini lagi.”

“Tidak perlu Kek, Kakek sudah terlalu baik padaku. Memperbolehkan aku tinggal di sini lebih dari cukup.” ujarku menolak padahal aku berharap bisa makan enak lagi.

“Kamu tenang saja, apa pun kebutuhan dan keinginan kamu, katakan saja, pelayan di sini akan memenuhinya.” kakek menepuk bahuku.

“Iya Kek, terima kasih.”

“Jangan begitu, aku lah yang seharusnya berterimakasih padamu. Oh, iya, besok pagi aku akan pergi berkuda. Ikutlah, barangkali kamu suka?” tawarnya mengingatkan aku dengan istriku, Erlin, dia sangat pandai berkuda.

“Baik Kek,” sahutku. Kakek berdiri meninggalkan aku. Aku sendiri terasa lelah dan mengantuk. Aku segera menuju kamar, ingin menikmati empuk nya kasur.

Keesokan paginya, sangking lelahnya aku sampai telat bangun. Bahkan adzan subuh pun aku tak mendengar.

Selesai mandi segera ku bergabung dengan kakek di meja makan.

“Bagaimana kabar kamu, nyenyak tidurnya?” tanya Kakek membuat aku malu.

“Iya Kek, oh iya, Samsul mau bertanya Kek?”

“Katakan saja?” ujarnya dengan senyuman.

“Apa Kakek tinggal sendiri di rumah yang besar ini?” tanyaku terdengar kurang sopan.

“Benar,” sahut kakek seraya meletakkan sendok.

Aku khawatir kakek tersinggung.

“Aku kehilangan putra tunggalku, dia lebih memilih wanita desa itu ketimbang aku ayah kandungnya.” Tutur kakek.

“Maaf Kek, jika Samsul lancang,” ujarku seraya menundukkan kepala menyesali ucapanku barusan.

“Sudahlah, tidak apa – apa, itu hanya cerita lama. Selesai sarapan temui aku di depan!” Kakek segera berdiri dan menuju halaman depan.

Aku mengangguk dan segera menghabiskan sarapanku.

Saat aku melintasi ruang tamu, tampak foto anak TK di pajang pada sebuah pigura. Awalnya aku tak begitu tertarik untuk melihat, entah mengapa aku jadi penasaran. Setelah aku mendekat dan mengamati foto itu.

“Alamak, ini kan foto aku saat TK!” aku bergegas menemui kakek dan mempertanyakan perihal foto anak kecil itu.

“Kakek Rama, bagaimana bisa Kakek mendapatkan foto ini?” tanyaku penasaran.

Kakek Rama yang bersiap masuk ke mobil memandang ke arahku lalu melihat foto yang aku bawa.

“Itu adalah cucuku,” ujarnya yang membuat aku membelalakkan mata tak percaya.

“Apakah anak Kakek bernama Dani Ramadhan?” tanyaku untuk menyakinkan kalau itu adalah benar.

“Dari mana kamu tahu?” kakek Rama mengernyitkan dahi.

“Itu adalah nama bapakku.” terangku membuat kakek Rama sedikit terhuyung. Aku segera memegang tubuhnya. Beberapa pengawal menuntun kakek untuk beristirahat di teras depan.

“Jadi, kamu adalah cucuku?” kakek Rama memelukku erat. Ku balas pelukannya.

“Di mana dia sekarang, aku ingin memberi pelajaran padanya karena telah memisahkan aku dengan cucuku,”

“Bapak sudah meninggal Kek,”

“Meninggal?” lagi – lagi aku mengejutkannya.

“Bapak sakit, terkena serangan jantung.” terangku membuat kakek menangis.

Selesai aku bercerita mengenai bapak dan emak di desa, kakek langsung menvonis kalau aku pewaris hartanya.

Aku sendiri tak percaya, benar – benar diluar dugaan.

Dengan keadaan aku yang sekarang, aku akan mengubah takdir. Aku bukanlah Samsul yang miskin. Tapi aku Samuel Ramadhan. Pewaris tunggal dari keluarga Ramadhan Kamal. Aku akan membalas sakit hatiku pada orang – orang yang telah menyakiti hatiku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!