NovelToon NovelToon

Pembantu Kesayangan Tuan Abian

Part 1

"Ra pulang, ibu mu masuk rumah sakit!" ujar Bik Ratih tetangga sebelah rumahnya.

"Kapan bik, bukannya tadi ibuk baik-baik aja?"

Tadi dia bahkan pergi barengan dengan ibu, ibu terlihat sehat-sehat aja.

"Tadi saat pulang kerja ibumu jatuh di depan rumah gak sadarkan diri," sahut buk Ratih di sebrang telpon.

"Ya udah makasih bik aku pulang,"

"Ibumu di rawat di Rs Harapan bunda Ra, kalau bisa kamu langsung kesana," imbuh bik Ratih.

"Iya baik bik."

Rara yang lagi ada kegiatan di luar sekolah bergegas pulang, tujuannya adalah Rs Harapan Bunda.

Dengan di antar ojol Rara sampai juga di Rs Harapan Bunda. Di depan Rumah sakit sudah menunggu pak Dirman beserta istri yang juga tetangga mereka.

"Nak Rara, ayo ikut ibu."

Rara mengikuti langkah buk Susi istri pak Dirman, menuju ruang rawat tempat ibunya dirawat.

Rara tercekat, melihat ibunya terbaring dengan wajah kuning pucat,dan beberapa selang menempel pada tubuhnya, sejak kapan ibu sakit, selama ini dia terlihat sehat.

"Ra sabar yo ndok," ujar bik Ratih, saat melihat Rara hanya mematung dengan mata berkaca-kaca.

"Dedek sama Dimas mana bik?" tanya Rara saat tak melihat kedua adik kembarnya di antara mereka.

"Di rumah pak Rt, tadi di titipin di situ, saat kami melarikan ibumu ke rumah sakit."

"Ooo, makasih buk,"

Rara mendekati tubuh ibunya yang masih belum sadarkan diri, sesekali terlihat nafasnya tersenggal tak beraturan kemudian kembali normal.

"Apa kata Dokter bik, tentang penyakit ibu?"

"Darah tinggi nak, pemeriksaan labnya belum keluar." ujar Bik Ratih seraya mengusap-usap bahu Rara seakan memberi kekuatan atas musibah ini.

"Terus biayanya gimana ini buk?"

"Pak Rt lagi ngurus surat keterangan tidak mampu agar bisa dapat jamkesda, dan pihak Rumah sakit juga memberi waktu tiga hari buat ngurus surat-surat, jadi gak usah kwatir soal biaya," ujar Bik Ratih lagi.

Rara menatap tetangganya satu-satu, dia memang tidak memiliki keluarga sebab ayah ibunya perantau di kampung ini sejak muda, tapi mereka meperlakukan Rara lebih dari keluarga.

"Terimakasih atas bantuan ibuk-ibuk semua, aku gak tau bagaimana nanti membalas kebaikan ibuk semua," ujar Rara dengan mata berair.

"Ra kita semua ini keluarga nak, Almarhum ayahmu itu dulu orang baik, banyak jasanya semasa hidup pada warga kampung, inilah saatnya kami membalas budinya, jadi jangan sungkan," ujar bik Susi seraya memberi usapan di pundak Rara.

Rara tak mampu berucap, hanya anggukan kecil saja yang mampu dia lakukan, haru menyelimuti hatinya, dia bersukur di kelilingi orang-orang baik.

Obrolan mereka terhenti saat ibu terlihat mulai sadarkan diri.

"Ra .." lirihnya saat matanya menagkap sosok putri sulungnya berada di antara para tetangganya.

"Ibu, sukurlah ibu sudah siuman," ucap Rara, bibir merahnya tampak bergetar, bulir bening pun sudah mulai membasahi pipinya.

"Ibu baik-baik saja Ra, jangan kwatir." ujar ibu dengan senyum.

"Panggil dokter!" ujar bik Ratih, salah satu dari mereka bergegas keruang jaga, tak berselang lama dokter datang dengan para suster.

"Maaf ibu-ibu bisa tunggu di luar," ujar Dokter pada para tetangga Rara.

"Buk, Rara keluar dulu ya," Rara membelai pipi ibu, dengan sangat lemah ibuk mengangguk, Rara kemudian beranjak keluar ruangan.

Diluar ibu-ibu memberi nasehat menguatkan hati Rara, mereka tau semenjak ayahnya wafat, ibunyalah tulang punggung mereka, selain bekerja sebagai pembantu ibu juga menerima pesanan kue dari para tetangga, dari situlah kebutuhan mereka terpenuhi.

"Ra, ini ada sedikit dari kami, buat kebutuhan mu dan adikmu, ini gak seberapa tapi ibu harap ini bisa sedikit membantu," buk Ratih menyalamkan amlop berwarna putih di genggamannya.

Rara tertunduk bingung tak tau harus menerima atau menolak, sedang dia sendiri tak tau ibu memiliki tabungan atau tidak, setidaknya untuk menopang kebutuhan mereka sampai ibu sembuh.

"Sudah, terima saja, kami ihklas kok nak," ucap buk Ratih yang tau kebimbangan Rara.

"Terimakasih buk?" ucap Ratih, dengan mata berkaca dia menerima amplop pemberian buk Ratih.

"Keluarga ibu, kamila!" panggil suster yang tadi memeriksa ibuk.

"Iya sus."

"Mari masuk," ujarnya lagi.

Rara kembali masuk ruang rawat ibunya, tampak Dokter tengah berbincang dengan ibuk.

"Anaknya buk kamila?" tanya dokter pada Rara.

"Iya dok,"

"Alhamdulilah, keadaan ibuk semuanya sudah normal, kecuali tekanan darahnya yang harus di kasih turun sedikit lagi, kita juga menunggu hasil lab dari ibuk, semoga saja tidak ada yang perlu di khawatirkan dari hasil labnya biar buk Kamila bisa kembali beraktivitas," ujar Dokter memberi penjelasan.

Setelah menjelaskan secara terperinci Dokter pun pamit dari ruang rawat buk Kamila.

"Ibuk, gimana apanya yang sakit?" tanya Rara saat sudah duduk di samping ibuk.

"Cuma lemes aja kok, gak ada yang sakit," sahut buk Kamila, mata kelabunya menyusuri paras ayu putri sulungnya itu.

"Dedek sama Dimas di mana nduk,"

"Tadi di rumah pak Rt buk."

Dedek dan Dimas sudah kelas lima sd, mereka juga sudah mandiri, sudah mampu melakukan apa-apa sendiri.

"Apa kata dokter masalah biaya nduk?" raut khawatir tampak tergambar jelas di wajah ibuk.

Belum sempat di jawab Rara, para tetangga masuk keruang rawat sekalian pamit pulang, sebab sudah setengah hari mereka menunggu ibuk siuman.

Satu-persatu para tetanggan memberi semangat pada bu kamila, agar kuat menhadapi cobaan ini, peluk cium penuh haru pun terlihat, kedekatan yang melebihi ikatan saudara, mungkin karena mereka sama-sama perantau, keluarga mereka berada nun jauh di kampung halaman yang hampir tak pernah mereka datangi.

"Ibuk pulang Ra," ujar buk Ratih memeluk tubuh rati hangat, ada rasa iba melihat Rara dan keluarganya.

"Iya buk, terimakasih untuk segala bantuannya."

"Iya sama-sama sayang,"

Setelah mengantar tetangganya keluar ruang rawat, Rara kembali lagi ke ibunya.

"Ra, kamu tadi belum jawab, biaya ibuk gimana?"

"Ibuk gak usah khawatir, biayanya sedang di urus pak Rt, dia usahain jamkeda buat ibuk."

"Alhamdulillah," bulir bening tampak mengalir di sudut kelopak mata keriput ibuk.

Dalam keadaan sakit dan tak memiliki tabungan tentu saja membuat ibuk khawatir soal biaya, tapi ibuk bisa lega sekarang, tapi bagai mana belanja Rara dan si kembar saat dia sakit.

"Buk, para tetangga ngumpulin bantuan buat kita, tadi buk Ratih yang ngasih ke Rara, dan Rara terima," ujar Rara dengan wajah tertunduk.

"Gak apa nduk, di Rt kita memang ada kesepakatan, kalau ada yang sakit pak Rt akan memungut iyuran seiklasnya dan bagi yang mau saja," jelas ibu dengan senyum.

"Ibuk pernah ikut nyumbang?"

"Sering, walau tak banyak tapi kalau semua ikut nyumbang kan jadi banyak."

"Ibuk benar, ya udah ibuk istrahat ya," Rara membetulkan selimut ibu agar tak kedinginan.

"Ra," panggil ibuk.

"Iya buk,"

"Ibuk bisa minta tolong sama kamu?"

"Bisa, ibu mauapa?"

"Bisa gak kamu gantiin ibuk bersihin apartemen tuan muda Abian sampai ibuk bisa kerja, sayang di lepas gajinya lumayan mahal nduk," mata ibuk menatap Rara penuh harap.

"Sekolahku buk?"

"Kamu satang setelah pulang sekolah, yang penting saat jam dia pulang rumah sudah beres," jelas ibuk.

Rara tampak berpikir, kalau tidak mengganggu sekolahnya dia tidak keberatan, apa lagi ini demi dia juga.

"Iya gak apa buk,"

"Trimakasih nduk."

"Sama-sama buk."

.

Happy reading.

Part 2

Rara menekan tombol sesuai nomor kombinasi yang di berikan ibu padanya sebagai akses masuk apartemen tuan muda Abian.

Ceklek

Perlahan Rara masuk kedalam, nuansa putih seketika memanjakan mata indah Rara, ruangan apartemen, dinding, lantai, sofa semua serba putih hanya beberapa perabotan berwarna hitam metalik.

Rara membuka tas berisi baju ganti yang sengaja dia bawa dari rumahnya. diruang tamu itu Rara mengganti bajunya, menanggalkan seragam putih abu-abunya dan hanya menyisakan dalaman yang serba hitam itu tanpa sungkan, toh tak ada orang di apartemen ini.

Rara menganti baju sekolahnya dengan celana pendek di bawa lutut dan kaos oblong berwarna putih.

Selembar kertas putih sebagai pemandu pekerjannya kini berada di tangannya dan sedang dia baca satu persatu, dia harus memastikan pekerjaannya berjalan sempurna jika tak ingin ibunya di pecat.

"Ingat tuan Abian tidak suka ada kesalahan pada pekerjaan kita, dia akan langsung memecat Art nya bila itu terjadi, kau cepatlah pulang sebelum dia datang, itu termasuk salah satu peraturan yang tak boleh di langgar, atau dia akan memecat mu, baca dengan teliti jangan sampai terlewat, apa-apa yang harus kau kerjakan ngerti nduk?"

Rara menghela nafas panjang dan mulai melakukan tugas ibunya satu persatu.

Pertama membersihkan seluruh apartemen, kemudian, saat binatu datang mengantar pakaian, susun di lemari sesuai warna dan jenis. Cuci piring letakan sesuai jenis piring dan gelas, Buang sampah. Begitulah yang tertulis di kertas.

Rara mulai dengan membersihkan debu pada seluruh perabotan, lalu mulai mengepel seluruh lantai, saat pakaian sudah di antar oleh jasa Binatu, dia mulai menyusun baju-baju tuan muda Abian sesuai warna dan jenis. Lalu menyusun piring yang sebelumnya sudah dia cuci tadi.

Rara merebahkan tubunya di sofa, sejenak meluruskan pinggang yang terasa pegal. Pantas saja ibunya sakit, seberat ini tugas yang dia emban setiap hari.

Sebelum tuannya pulang, Rara sudah keluar dari apartemen dengan seonggok sampak di plastik hitam ditangannya yang akan dia buang di tempat pembuangan sampah apartemen.

Rara melempar plastik berisi sampah pada bak sampah yang terbuka, bersamaan dengan seseorang yang melakukan hal yang sama.

Seorang pria berusia sekitar dua puluh limaan berdiri tepat di samping Rara, dia yang tadi bersamaan dengan Rara melempar sampah.

"Hay, penghuni baru ya?" tegurnya ramah.

"Bukan,"

"Ooo tamu?"

"Bukan, aku kerja disini," sahut Rara membalas keramahan pria ini.

"Oh ya, aku Rendra penghuni apartemen ini." ujarnya tanpa mengulurkan tangan.

"Rara."

"Sampai ketemu lagi Ra," ujar Rendra seraya berlalu pergi meninggalkan Rara yang masih mengagumi ketampanannya di antara bak sampah apartemen.

"Gilak, gantengnya bikin jantungan," desis Rara, menatap punggung Rendra yang tampak sangat berotot itu, mirip tubuh para pria yang ada di majalah yang sering dia baca. Pria dengan roti sobek di tubuhnya.

"Kiki, dan Mela pasti histeris kalau ketemu Rendra," gumam Rara menyebut dua sahabatnya seraya beranjak pergi.

Lega rasanya bisa menyelesaikan tugas ibu, kini tinggal pulang kerumah liat si kembar, lalu menjenguk ibu di rumah sakit.

Pintu rumah tampak terbuka, dengan langkah pelan, Rara masuk kedalam rumah berniat mengejutkan sikembar yang mungkin sedang bermain.

Aroma telor dadar memenuhi ruangan, bersama dengan bunyi spatula yang beradu dengan wajan, suara yang pastinya berasal dari dapur rumah Rara.

Rara bergegas menuju dapur, tampak sikembar tengak mengaduk nasi di kuali, Dedek berperan pegang spatula sedang Dimas berkacak pinggang di sebelahnya.

"Masak apa dek?" sapaan Rara malah mengejutkan keduanya.

"Mbak Rara, kok gak dengar salamnya bikin kaget aja," ujar Dedek bernada protes.

"Salamnya pelan jadi gak kedengeran, kalian masak apa?" ujar Rara seraya melongok wajan yang berisi nasi goreng.

"Nasi goreng, sama dadar telor." sahut Dimas seraya mematikan kompor.

"Sayur yang di kasih bik Siti habis?" tadi sebelum pergi sekolah bik Siti datang memberinya sayur tumis pepaya yang masih muda di tambah ikan asin dua ekor.

"Masih."

"Lah kok masak ini?"

"Mbak kan tau kami gak suka," ujar Dimas.

Rara baru ingat duo kembar memang gak suka sayur pepaya muda.

"Ya udah makanlah, mbak mau ketempat ibu, kalian dirumah aja ya, kalau gak berani ajak temen tidur rumah."

"Iya mbak, titip salam sama ibuk, sebenernya kami pingin ikut, tapi kata mbak gak boleh bertiga nginep di Rumah sakit." ucap Dimas dengan raut sedih.

"Itu benar, doain aja ibuk lekas senbuh biar bisa cepat pulang, sudah cepat makan, mbak mau ambil keperluan ibu dulu." ujar Rara, cemarinya mengacak lembut rambut duo kembar.

Setelah beberes keperluan ibuk dan keperluannya, Rara membungkus nasi beserta sayur pemberian bik siti untuk bekal makan malamnya di Rumah sakit.

"Kalian baik-baik dirumah ya, mbak gak pulang nanti malam, ini buat jajan sekolah besok."

Rara membuka dompet berwarna pink, mengambil uang lima ribuan dua lembar lalu memberikannya pada Dedek dan Dimas.

"Makasih mbak."

"Iya, ikan kan pesan mbak tadi."

"Ingat mbak," sahut Dimas.

"Ya udah mbak pergi ya,"

"Hati-hati mbak."

Dengan naik ojol Rara pergi ke Rumah sakit, kasihan sebenarnya Rara pada ibuk, ibuk terpaksa sendirian di rumah sakit, karena dia harus kerja gantiin ibuk.

Rara masuk keruang rawat ibuk, rupanya ibuk gak sendiri ada dua tetangganya tengah berbincang dengan ibuk.

"Buk Tri, buk Inah, kapan sampai?" tanya Rara seraya meletakkan barang bawaannya di rak samping tempat tidur ibuk.

"Siang tadi nak."

"Sukurlah ibuk ada temenya, tadi udah kepikiran ibuk sendirian," tutur Rara. ruangan ini ada lima dipan tapi baru ibu yang mengisi.

"Gimana lagi namanya kamu kerja bukan gak mau nemeni kan," sahut buk tri.

"Iya sih buk."

Setelah ngobrol sebentar buk Tri dan buk Inah pun pamit pulang, sebelum pulang tampak mereka menyelipkan amplop di balik bantal ibuk. sedih rasanya harus menerima uluran tangan mereka tapi bagaimana lagi dia memang membutuhkannya.

Menjelang isya ibu dapat kawan, penghuni baru di sebelah ibuk, wanita empat puluh tahun dengan penyakit yang sama darah tinggi. tapi berbeda dengan ibuk yang punya aku untuk mendampingi, ibu itu punya banyak keluarga di sampingnya.

Sudah jam sepuluh ibu sudah terlelap sementara Rara masih betah melotot. Karena jenuh Rara memutuskan jalan-jalan ketaman.

Di taman dia tak sendiri, banyak orang yang melakukan hal serupa dengannya mencari udara segar.

Harusnya dia istirahan saat ini sebab besok seharian dia tak kan punya waktu untuk melakukan nya.

Rara menyandarkan kepalanya pada kursi taman, perlahan dia memejamkan matanya. pikirannya menerawang jauh ke apartemen tuan Abian. Apa apartemen tuan Abian?!. bukan hanya itu wajah Rendra kini sudah di pelupuk mata, bahkan harum tubuhnya pun tercium jelas olehnya.

Rara tersenyum simpul, khayalan yang lumayan menyegarkan otaknya yang kusut.

"Jangan senyum sendiri, apa lagi di tempat sepi bahaya!" suara teguran Rendra bahkan terdengar nyata di telinganya saat ini.

"Ehem" deheman yang begitu nyata menyentak Rara seketika.

"Kak Rendra!," pekiknya kaget.

Rendra cuma bisa nyengir, lah sedari tadi emangnya siapa?

.

.

Happy reading

kalau sudah mampir jangan pelin jempol ya kasian Author 🤭🤭🙏🥰

Patr 3

Mimpi apa dia semalam, wajah tampan milik Rendra terpampang nyata dihadapannya, padahal beberapa detik yang lalu dia baru menghayalkannya.

"Kenapa kaget, jangan bilang kamu baru saja memikirkan aku," tebak Rendra dengan tatapan penuh selidik. mata elangnya kini memindai tubuh molek Rara yang lumayan mengoda kelelakiannya.

Dasar Rendra apa dia gak mikir menatap Rara dengan cara itu tingkat bahayanya malah semakin tinggi, bisa menimbulkan ke haluan akut, serangan jantung dadakan karena terlalu sering dekdekan, dan yang paling bahaya jatuh cinta dadakan. Nah lo

"Kok bengong?"

"Abisnya kakak bikin aku kaget!" salak Rara galak.

Bukannya takut Rendra malah terkekeh, gadis yang baru dia kenal beberapa jam lalu ini sunggu menyita perhatiannya.

"Ngapain di sini ada yang sakit?" tanya Rendra.

"Ibuk ku di rawat disini, kakak sendiri ngapain di sini,"

"jenguk temen kecelakaan dua hari lalu dia di rawat disini," tutur Rendra.

"Ibu mu sakit apa Ra?"

"Kata dokter darah tinggi kak."

"Trus kamu kerja apa di apartemen?" tanya Rendra lagi matanya menatap Rara penuh selidik.

"Gantiin kerjaannya ibuk kak." sahut Rara sedikit kikuk, bukan karena pertanyaanya tapi karena Rendra yang menatapnya begitu dekat.

"Emangnya ibuk kamu kerja apa?"

Rara diam sejenak, harus jujur atau mengabaikan pertanyaan Rendra yang sudah mirip wartawan lokal.

"Pembantu kak." sahut Rara tertunduk malu.

"Kamu, gantiin ibuk kamu jadi pembantu?, gak mungkin ..." gelak Rendra tak yakin, wanita muda nan rupawan ini mau jadi Art walaupun cuma gantiin ibuknya.

"Iss," decih Ara kesal.

"Kamu serius Ra?"

"Memangnya aku terlihat sedang becanda, aku terlahir dari keluarga pembantu kak, ibuku juga seoarang pembantu, jadi hanya pekerjaan itu yang bisa diwariskan oleh ibu," ujar Ara sembari tersenyum kecut.

"Bukan begitu, gadis secantik kamu mau jadi pembantu itu terdengar aneh Ra, masih banyak kan pekerjaan yang layak buat kamu."

"Menurut kakak jadi pembantu itu bukan pekerjaan yang layak?"

"Bukan begitu maksudku Ra, hanya saja..."

"Sudah lah kak aku kedalam dulu , liat ibuk."

Rara beranjak bangkit dari duduknya, tapi belum lagi beranjak pergi tangannya di cekal oleh Rendra.

"Tunggu, aku serius minta maaf, aku gak bermaksud menyinggung perasaan mu, aku cuma gak yakin wanita secantik kamu mau kerja begitu," jelas Rendra, dia benar-benar gak berniat mengolok pekerjaan Rara.

"Apa yang harus aku lakukan, aku cuma anak janda kere yang cuma bisa jadi pembantu, aku mau istrahat kak, takut kesiangan berangkat sekolah," ucap Rara penuh penekanan dengan senyum mengembang di bibir nya.

Rendra terdiam dia sungguh menyesali kalimat yang sudah terlanjur terlontar, entah mengapa hatinya terasa nyeri dengat ucapan terakhir Rara.

Perlahan Rendra melongarkan cekalannya lalu melepaskannya. Rara pun bergegas meninggalkan Rendra yang terpaku menatap kepergian Rara.

Rara tergesa membersihkan diri di kamar mandi musholah, yang ada di Rumah sakit, walau sudah ada peringatan yang terpampang di dinding "dilaramg mandi disini" Rara tak perduli, dari pada harus mandi di kamar mandi ruangan ibuk, antri.

Rara keluar sudah dengan seragam putih abu-abunya, pamit pada ibu lalu bergegas keluar menunggu angkutan umum demi mengirit biaya dia sengaja tak memesan ojol.

Sementara tanpa dia sadari sepasang mata sedari tadi tengah mengawasi geraj geriknya.

Sudah lima menit dia di halte tapi bus dengan jurusan yang dia tuju tak kunjung sampai, mungkin memang harus naik ojol rupanya.

Baru saja dia akan memesan ojol, Rara seperti mendengar namanya ada tang memanggil.

"Ra!"

Rara menoleh mencari sumber suara, sebuah mobil hitam dengan kaca yang terbuka setengah tengah parkir di dipannya, dari dalam mobil Rendra melambai pada Rara.

"Ayo bareng aku," ajak Rendra, Rara tampak sedikit ragu, melihat itu Rendra turun dari mobilnya meraih pergelangan tangan Rara membawanya masuk kemobilnya.

Rara tak menolak dia mengikuti langkah Rendra yang membawanya kedalam mobil.

Bersentuhan kulit-dengan kulit menciptakan debar halus bagi Rara, sepagi ini Rendra sudah membuat Rara olaraga jantung.

"Di mana sekolahmu Ra," tanya Rendra dengan suara yang berbeda dengan biasanya yang terdengar ramah, kali ini nada suaranya terdengar tegas dan dingin.

"Harapan bangsa," sahut Rara tanpa menoleh, suara Rendra membuatnya merasa asing pada sosok di sebelahnya.

Sementara Rendra juga tak berusaha mencairkan suasana, sepanjang perjalanan mereka hanya diam membisu, tak ada yang berniat memulai percakapan.

Rara bergegas turun saat mobil Rendra berhenti di depan Sma Harapan bangsa.

"Terimakasih." ucap Rara sebelum menutup pintu mobil dan beranjak pergi.

"Hemm" sahut Rendra, manik hitamnya menatap Rara yang pergi menjauh.

"Dia benar-benar masih Sma," gumam Rendra kecewa, kemudian membawa mobilnya meninggalkan Harapan bangsa.

Rara berjalan tergesa seperti jantungnya yang berpacu di atas rata-rata. Rendra membuatnya tak karuan, pria dewasa itu sukses membuatnya di lema sepanjang malam, dan pagi ini membuatnya olah raga jantung.

"Ra!" teriakan kiki menghentikan laju langkahnya.

"Kamu kok gak bilang sih, kalau ibuk sakit."

"Kamu gak nanya," sahut Rara cuek.

"Ihh anak ini ada ya orang nanya apakah ibu mu sakit?" dengus Kiki jengkel.

"Jadi beneran ibumu dirawat Ra?" kali ini mela yang bertanya.

"Iya udah dua hari ini ibu dibrawat," jelas Rara dengan wajah layu.

"Kecapean mungkin ibu Ra."

Kiki benar ibu memang kecapean, rutinitasnya tak memberinya kesempatan untuk berleha-leha barang sejenak, kadang iba liat ibuk banting tulang seorang diri.

"Kata Dokter juga gitu ki," sahut Rara masih dengan wajah layunya.

"Pulang sekolah nanti pulang bareng biar kami sekalian mampir ke Rumah sakit Ra," ucap Mela seraya melempar tasnya kedalam rak meja belajarnya.

"Gak bisa, aku mau langsung kerja sepulang sekolah," jelas Rara lalu duduk di kursinya di ikuti ketiga sahabatnya.

"Kamu udah kerja sekarang Ra?" tanya Imel memastikan.

"Iya gantiin ibuk, bersih-bersih apartemen, kalau gak di gantiin takutnya ibuk di pecat, soalnya majikan ibuk galak," jelas Rara seraya memandang kedua sahabatnya yang bengong dengan penjelasan Rara, jadi sekarang Rara kerja jadi pembantu, kasihan Rara juga ibuk.

"Udah gak usah sedih, aku baik-baik aja kok," tukas Rara, malah membuat kedua sahabatnya semakin sesih.

"Yang sabar ya Ra, moga ibumu cepat sembuh, kalau butuh bantuan bilang aja Ra gak usah sungkan, selagi kami mampu pasti kami akan bantu," tutur Imel, rasa setiakawan mereka memang tak di ragukan, walau berbeda kasta tapi persahabatan mereka tak bisa di anggap enteng, satu sama lain sudah memiliki kedekatan melebihi saudara sekandung.

"Pasti, kalau nanti aku butuh kalian aku pasti bilang," sahut Rara.

"Eh ada satu lagi, tadi cogan yang anter kamu kesekolah siapa?" mata indah Kiki menatap Rara penuh selidik bak detektif.

"Tetangga bos ibuk." Sahut Rara jujur apa adanya.

"Yakin?" selidik Kiki dengan wajah penuh keraguan.

"Iya sejak kapansih aku bohongi kalian," cicir Rara sedikit jengkel.

"Kok bisa?" tanya Kiki ingin tahu kok bisa cowok dewasa seganteng Rendra mengantar Rara kesekolah, jangan bilang ada udang di balik bakwan ya.

Rara baru akan membuka mulutnya saat bel masuk kelas berbunyi dan pak Riswan sudah berdiri di balik pintu dengan kaca mata yang turun dari posisi seharusnya.

Happy reading.

Dukung Rara ya dengan kasih jempol dan vote😘😘🥰🙏🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!