يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."
(Al-Hujurât:49:13)
---
Mahya Hilyati, Gadis biasa saja. Tidak terkenal justru lebih dari tak terlihat. Dia adalah mahasiswi yang mulai sibuk mengerjakan skripsi, selain itu juga sedang sibuk menata masa depannya. Ya, dia memiliki sebuah harapan besar untuk masa depannya, menikah muda.
Siang ini, udara tampak begitu panas selain suhu bumi yang meningkat juga karena sang pijar sedang mengeluarkan tenaga penuh. Mahya tampak mengeluarkan aura kesal, dia tidak kesal dengan keadaan udara tetapi dia kesal dengan seseorang dosen pembimbing lebih seknifikannya dengan seorang Arkan Arya Wijaya. mau tau mengapa? silakan ikuti saja Mahya.
Mahya berjalan cepat menuju fakultas ekonomi, dia harus bertemu dengan seseorang di sana. Mahya dikenal sebagai mahasiswi yang sombong dan angkuh. Apa bedanya? Tetapi, pada kenyataannya dia bukan perempuan yang seperti itu.
Menelusuri koridor kelas sambil menunduk, mengabaikan keberadaan beberapa mahasiswa yang sedang duduk lesehan di atas lantai. Dia bukan tak ingin menyapa, bukan. Mahya hanya bingung bagaimana cara beramah-tamah dengan orang lain, dia terlalu tertutup dengan hal baru.
"Maya, oe..." Suara seorang perempuan memanggilnya, tetapi dia tak perduli karena namanya bukan Maya tetapi Mahya. Jadi, sudah jelas dia tidak akan menoleh saat namanya diplesetkan oleh orang lain, meski itu sahabatnya sendiri.
"Kehidupan," panggil Zahra, sahabat Mahya dan masih belum juga berhenti ataupun menyahut.
"Ya Allah, punya teman satu aja begitu banget." Mahya mendengar keluhan Zahra, dia hanya menunduk sambil mengangkat sudut bibirnya samar.
"Mahya!" seru Zahra dengan cukup kencang. Mahya langsung berhenti, bukan karena takut sahabatnya marah, jelas bukan. Dia berhenti karena Zahra memanggil namanya dengan benar.
"Akhirnya berhenti juga," kata Zahra sambil Mahya untuk berjalan bersama.
"Udah bimbingan?" tanya Zahra.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, Zahra." Mahya mengabaikan pertanyaan Zahra.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh, Mahya Hilyati." Zahra menjawab sambil nyengir. Mahya hanya tersenyum kecil.
"Kalau begini aku jadi ingat Pak Bas," kata Zahra. Mahya terdiam sejenak, dia masih berpikir apa yang diingat tentang dosen tafsir hadist itu.
"Ingat, budaya kita bukan sekedar 'say hallo' tetapi menebarkan doa dengan mengucapkan salam setiap perjumpaan."
Mahya ingat betul kalimat itu. Bagaimana tidak? Dalam setiap perkata pembukaan kuliah Pak Basyir selalu mengungkapkan pendapatnya itu. Tetapi, kalau ditanya secara pribadi Mahya akan mengatakan bahwa dia setuju dengan pendapat dosen yang cukup terkenal tegas itu.
"Ada lagi yang lebih mengena," kata Zahra.
"Apa?" tanya Mahya, dia sudah lupa. Jika menyangkut Pak Basyir dia hanya mengingat sedang salam.
"Masak kamu lupa sih, Mahya?" tanya Zahra tidak percaya, dia sampai berhenti menatap Mahya dengan wajah curiga.
"Kalau memilih calon suami atau istri ingat 3B bibit, bebet dan bobot." Mahya tertawa kecil, dia ingat hal itu. Tapi, jujur saja dia sudah melupakan.
"Kamu ingat aja kalau yang begituan." Mahya berkomentar lalu kembali berjalan.
"Itu penting Mahya." Zahra kembali menyusul langkah Mahya.
"Iya, percaya." Mahya masih tertawa geli, memang sedikit aneh jika membahas masalah jodoh, tetapi dia juga tidak memungkiri bahwa dia juga merencanakan banyak hal untuk masa depannya.
"Sudah bertemu pak Arkan? Bagaimana bab dua?" tanya Zahra mengingatkan Mahya dengan kekesalan yang sempat hilang sejenak.
"Hari ini pak Arkan ada jam ngajar," kata Mahya dengan nada kesal. Dia heran, dari sepuluh anak bimbingan sepertinya hanya dirinya yang amat kesulitan. Karena hanya dirinya yang belum juga beranjak dari bab satu, bahkan ada salah satu temannya yang sudah sampai bab empat. Mahya heran, mengapa setiap janjian dengan dirinya dosen itu selalu gagal hadir.
"Maklumlah, Pak Arkan salah satu dosen yang jam terbangnya cukup banyak. Apa lagi Beliau salah satu dosen yang jarang mau interaksi dengan kaum hawa macam kita."
"Aku juga heran, mengapa Pak Arkan mau jadi dosen pembimbing aku kalau begitu."
"Entahlah, kamu penggenap sembilan cowok." Mahya hanya berdecak pelan lalu berjalan dengan cepat. Dia lelah, sungguh lelah.
---
Mahya terdiam di tempatnya, dia masih berdiri dengan tegak sedangkan kedua matanya sedang mengamati adegan yang cukup menakjubkan. Sungguh, ini pertama kalinya. Dia sedang melihat seorang lelaki sedang menjabat tangan seorang ibu lalu memeluknya. Lelaki itu berparas tinggi, rambutnya hitam legam dan dipotong dengan rapi.
Mahya tersenyum kecil saat menyadari satu hal, lelaki itu termasuk ke jajaran anak mami. Mahya menggelengkan kepalanya lalu kembali berjalan menelusuri koridor. Tadi berpisah dengan Zahra yang harus mengikuti kuliah, jadi kini seorang diri.
"Tidak baik mengamati privasi orang lain," kata sebuah suara menghentikan pergerakan kaki Mahya.
"Maaf," kata Mahya tanpa membalikkan badan.
"Dan lebih tidak sopan lagi berbicara tanpa menatap orang yang sedang mengajak bicara." Mahya tetap pada posisinya, tidak berubah sama sekali. Dia cukup terpesona dengan suara tegas nan maskulin itu, tetapi semua itu tidak bisa menggoyahkan prinsipnya.
"Maaf," kata Mahya lagi. Dia diam sejenak untuk melihat reaksi yang diberikan lawan bicaranya.
"Maafmu tiada guna jika kamu masih melakukan kesalahan yang sama." Mahya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu dia berpikir cara untuk mengakhiri percakapan yang tidak bermanfaat ini.
"Saya permisi, Assalamualaikum." Mahya hendak beranjak tetapi merasakan bahunya diputar paksa. Hal yang spontan dilakukan adalah segera menghindar dan berteriak. "Astaghfirullah, jangan menyentuhku."
Mahya segera berlari kecil meninggalkan lelaki yang hanya bisa diam saja melihat reaksi Mahya yang berlebihan. Mahya berlari menuju gerbang, dia tidak suka berbicara dengan orang lain tanpa manfaat yang pasti dan tidak suka disentuh oleh sembarang orang. Sungguh, baginya itu dosa yang amat besar. Dia selalu ingat pesan sang ibu tentang bersentuhan dengan selain mahram.
Mahya bukan mau sok suci dengan tidak mau melihat orang yang diajak berbicara atau tidak mau bersentuhan. Sungguh, bukan itu maksud dari perilakunya. Perempuan itu hanya sedang menjaga diri, karena sesuai yang dia pelajari dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa "Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya." (HR. Thobroni dalam Mu'jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Bukankah dengan hadits itu kita sebagai seorang muslimah harus benar-benar menjaga diri kita sendiri. Mungkin di jaman sekarang ini perempuan penggoda sangatlah banyak tetapi tidak memungkiri bahwa lelaki nakal juga sangatlah banyak. Jadi, alangkah lebih baik menjaga diri dari perbuatan yang salah.
Selain menjaga sentuhan ada lagi yang lebih penting, yaitu menjaga pandangan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam Al Quran bahwa Allah mengingatkan kepada Rasulullah untuk para lelaki dan wanita yang beriman. Semua itu amat jelas ada di Al Quran surat An-Nuur ayat 30-31 yang artinya adalah :
Katakanlah kepada laki - laki yang beriman : "Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara ***********." (QS. An Nuur: 30)
Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan ***********." (QS. An Nuur: 31)
Jadi, apa yang dilakukan oleh Mahya tadi adalah sebagian cara dia untuk menjaga pandangan dan sentuhan. Mungkin kadang terlihat berlebihan di kalangan umum tetapi inilah Islam dalam menjaga umat pemeluknya. Selalu ada hikmah yang dapat diambil dari setiap perintah dan juga larangan.
Mahya mengatur napasnya, sungguh saat ini rasanya tubuhnya tersengal. Udara yang diberikan Allah secara gratis tanpa dipungut biaya itu terasa begitu menipis. Mahya menoleh ke belakang lalu dia mengucapkan tahmid karena cowok tadi tidak mengikutinya.
"Ya Allah, semoga keputusan hamba kali ini benar." Mahya mengucapkannya dengan lirih lalu kembali berjalan menuju halte bus yang ada beberapa meter di depannya.
Saat sudah sampai di halte, dia memilih untuk mengambil duduk. Dia bersandar untuk sekedar menenangkan detak jantungnya yang menggila. Maklum dia baru saja berlari.
"Ini buat kamu," kata sebuah suara yang amat dekat. Mahya menerima botol minuman mineral itu sambil menoleh.
"Astaghfirullah," teriak Mahya sambil berdiri. Sedangkan orang di sekitarnya ada yang menoleh atau melirik sambil berbisik dengan teman yang lainnya.
"Maafkan saya, saya hanya terkejut." Mahya mengatakan itu sambil menunduk.
"Tidak papa, saya hanya kasihan dengan tenggorokan kamu yang akan kekeringan." Mahya melirik sedikit ke arah lelaki berkacamata yang saat ini sudah berjalan meninggalkan halte bus. Membuat Mahya menghela napas antara kecewa, marah, berterima kasih dan tersinggung.
Aneh bukan?
Ya, beginilah seorang Mahya yang memiliki mood mudah berubah dalam hitungan sekon.
"Alhamdulillah rejeki," kata Mahya membuka botol minum itu lalu mengambil duduk. Dia mengeluarkan pipa minum dari tasnya, dia terbiasa menggunakan itu untuk minum dia tidak pernah minum dari bibir botol seraca langsung. Karena sang ayah selalu melarangnya selain itu dia sering tersedak karena tidak bisa menyeimbangkan air yang masuk ke dalam mulutnya.
"Bismilah," kata Mahya sambil menyeruput. Tenggorokannya memang terasa sangat serak akibat berlari tadi.
"Alhamdulillah," ucap Mahya, lalu dia menatap ke arah tangannya. Dia tersenyum kala dia ingat bulan Ramadhan sudah hampir menyapa.
"Ya Allah, semoga hamba masih bisa bertemu dengan bulan Ramadhan. Aamiin."
---
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
(Qs. Ar-Ra'du: 28)
---
Matahari masih bersinar dengan terik, meski tak seterik beberapa jam yang lalu. Panggilan shalat terdengar merdu meraung melalu pelantara getaran di udara. Waktu Ashar telah tiba, bagi setiap muslim diwajibkan untuk mendatangi seruan panggilan untuk kembali bercengkrama dengan sang pencipta melalu sujudnya.
Mahya menyibak tirai jendela, dia menatap ke luar. Meski terasa silau dia memamerkan senyumnya mengagumi warna langit yang membentang.
"MasyaAllah, langitnya begitu indah. Warna biru cerah dihiasi seraput putih yang amat samar." Mahya bergumam pelan lalu dia berjalan mengambil mukena lalu menata rajutan sajadah di atas lantai yang bersih.
"Sungguh manusia berasal dari tanah dan kembali ke tanah." Mahya kembali bermonolog. Dia mengenakan mukenanya lalu menatap posisinya. Dia siap untuk bersujud kepada Allah, Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang.
Mengingat kembali tentang perintah shalat, shalat diperintahkan setelah Rasulullah mengalami perjalanan yang disebut isra miraj.
Awalnya, Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk shalat 50 waktu dalam sehari semalam, dan Rasulullah menerimanya. Lalu dalam perjalanan ke langit enam Beliau bertemu dengan Nabi Musa dan saling bertanya. Dalam sebuah kisah tertulis bahwa umat Nabi Musa yang mendapatkan kewajiban 50 waktu shalat tidak sanggup melakukannya.
Dulu, umat Nabi Musa adalah Bani Israil tidak mampu melakukannya apa lagi umat setelahnya. Lalu, Nabi Musa meminta Rasulullah untuk kembali menghadap kepada Allah dan meminta keringanan. Kemudian di awal beliau mendapat keringanan sepuluh rakaat sehingga tinggal 40 shalat. Lalu saat Beliau bertemu dengan Nabi Musa kembali, Nabi Musa menganjurkan hal yang sama sehingga berulang-ulang dan Rasulullah mendapatkan perintah shalat wajib lima waktu dalam sehari semalam.
Waktu awal-awal sholat diwajibkan, seluruh shalat hanya berjumlah dua raka'at. Kecuali shalat maghrib; jumlahnya tiga raka'at. Baru setelah beliau hijrah ke kota Madinah, ada penambahan raka'at menjadi empat raka'at (yakni Dhuhur, Ashar, Isya yang tadinya 2 raka'at menjadi 4 raka'at). Kecuali maghrib (tetap 3 raka'at) dan subuh (tetap dua raka'at).
Sebagaimana diterangkan oleh Ibunda Aisyah radhiyallahu'anha, yang termaktub dalam Shahih Bukhori, beliau menceritakan,
"Pada awalnya, shalat itu diwajibkan dua rakaat. Kemudian setelah beliau -Shallallahu'alaihi wasallam - hijrah, shalat diwajibkan menjadi empat rakaat. Hanya saja ketentuan shalat untuk orang yang safar, seperti ketentuan shalat sebelumnya (yakni dua rakaat untuk shalat yang empat raka'at)" (HR. Bukhari (3935))
Dalam riwayat Imam Ahmad ditambahkan, "Kecuali shalat maghrib (maka tetap 3 raka'at), karena ia sebagai witir. Dan subuh (2 raka'at) karena bacaan shalat subuh (diperintahkan) untuk dipanjangkan."
Mahya melakukan shalat sunah rawatib sebelum melakukan shalat wajib, shalat sunah rawatib adalah sholat sunah yang mengelilingi shalat wajib. Shalat sunah yang akan menyempurnakan shalat wajib yang dilakukan. Adapun macamnya, shalat sunah rawatib dibedakan menjadi dua yaitu waktu pengerjaannya. Ada shalat sunah yang dilakukan sebelum shalat wajib ada pula yang dilakukan setelah shalat wajib.
Sedangkan untuk shalat sunah yang dilakukan oleh Mahya kali ini adalah masuk ke dalam kategori shalat sunah yang dilakukan sebelum shalat wajib. Boleh dua rakaat atau empat rakaat untuk jumlah rakaat shalat sunah rawatib qobliyah Asar.
Mahya melipat mukenanya kembali setelah dia berdzikir setelah shalat dan memanjatkan doa. Dia tersenyum tipis saat mengingat bahwa skripsi yang dia tinggal di meja Pak Arkan kemarin mendapat Acc untuk lanjut ke bab dua dan tiga sekaligus. Dia sangat bersyukur akan hal itu, karena baginya menyelesaikan skripsi dalam waktu dekat adalah salah satu harapannya.
Mahya menaruh mukenanya lalu mengenakan hijabnya kembali, dia lalu mengambil buku kecil yang berjudul Al-Ma'surat. Dia duduk di kursi dekat jendela lalu mulai membaca dzikir sorenya.
Dzikir artinya adalah mengingat, maka jika dzikir dilakukan pagi dan sore hari maka kita seolah diingatkan tentang Allah setiap saat.
Allah Ta'ala berfirman,
وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
"Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan sore."
هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
"Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman" (QS. Al-Ahzab: 42-43).
Bukankah sudah sangat jelas bahwa dzikir di pagi dan di sore hari adalah sebuah anjuran. Karena tidak bisa dilemahkan lagi, Dzikir di pagi dan sore hari dijelaskan dengan pasti di dalam Al-Quran.
Tidak butuh waktu lama untuk berdzikir di sore hari, Mahya menaruh kembali kitabnya lalu dia berdiri. Sore ini dia akan membaca buku-buku yang akan menjadi referensi skripsi yang akan dibuat. Mahya mengambil buku yang sudah dipinjam dari perpustakaan, lalu matanya tanpa sengaja menatap barisan angka yang tertera di atas kertas dan tertata rapi. Senyum manis Mahya tiba-tiba terbit, kala dia melihat tanggal yang sudah dia lingkari, satu Ramadhan.
Tahun lalu, Mahya mengharapkan sebuah ikatan suci di usianya yang ke dua puluh empat tahun. Dan tahun ini usianya telah mencapai patokan itu. Dia ingin menikah, sungguh ibadah yang satu itu membuat Mahya antusias. Mahya mengambil buku lalu kembali duduk, dia membaca dan mencatat hal-hal yang penting. Tidak lupa Mahya mencatat pula halaman, judul buku dan pengarang buku yang dia baca.
Tanpa terasa, Mahya mulai tenggelam dengan kegiatannya. Hingga mungkin dia tidak akan tahu jika ada orang lain masuk ke dalam kamarnya, karena dia terlalu serius dan konsentrasi dengan buku yang dibaca.
---
Mahya keluar dari kamar melihat sang Tante sedang memasak. Hari ini Mahya dan keluarga Tantenya berpuasa, sebagaimana sebuah hadits menjelaskan bahwa Rasulullah selalu puasa di bulan Syaban. Karena menurut penjelasan, bulan Syaban adalah bulan lalai, di mana berada di antar bulan Rajab (haram) dan bulan Ramadhan yang berpuasa sebulan penuh. Oleh sebab itu, Rasulullah seringkali berpuasa lebih banyak di bulan ini.
"Kamu sudah keluar?" tanya Tante Ambar.
"Tolong belikan mangga dan Melon ya," kata sang Tante sambil mengulurkan uang.
"Berapa?"
"Melon sebuah aja kalau Mangga satu kilogram." Mahya mengangguk lalu dia berjalan ke kamar untuk mengganti hijab dan mengenakan kaos kaki.
Kebanyakan lupa, bahwa kaki termasuk ke dalam aurat sehingga kadang tidak ditutupi. Kaki adalah bagian aurat karena yang bukan aurat itu hanya muka dan dua telapak tangan.
Mahya bukan gadis yang ramah dengan tetangga, tetapi dia masih memiliki batas wajar. Karena dia mengenal beberapa tetangga ruko sang Tante. Contohlah Cece Ais, seorang perempuan keturunan Tionghoa yang tinggal berjarak tiga Sampai empat ruko sebelah kanan sang Tante. Cece Ais memiliki keponakan bernama Melani, seorang gadis SMA yang sering menegur dirinya saat berpapasan.
Selain itu dia juga memiliki tetangga bernama Delisa, dia gadis seusianya dan juga tinggal di depan ruko sang Tante. Tetapi Mahya tetaplah Mahya dia hanya mengenal sebatas nama.
"Assalamualaikum, Teteh."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh," jawab Mahya, dia menoleh ke arah gadis yang masih mengenakan seragam SMA.
"Dari mana, Teh?" tanya Melani yang berjalan di samping Mahya.
"Baru beli buah di Ko Willy." Mahya menunjukkan buah yang dibawa.
"Wah pasti seger," kata Melani dengan wajah berbinar.
"Kamu mau?" tawar Mahya.
"Enggak Teh, InsyaAllah Melani puasa." Mahya menerbitkan senyumnya sambil mengangguk.
"Kamu pulang sore sekali?" tanya Mahya yang masih berjalan beriringan.
"Iya tadi ada acara di sekolah. Kebetulan jadwal padat maklum kakak kelas ujian." Mahya kembali mengangguk, sejujurnya tidak ingin tahu alasan Melani pulang sore tetapi ia berusaha beramah-tamah dengan tetangga.
Bukankah Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk memuliakan tetangga. Karena ini juga termasuk perintah dari Allah. Bahkan Rasulullah dulu juga sempat berpikir bahwa tetangga adalah orang yang mungkin berhak menerima waris karena begitu kuatnya Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk memuliakan tetangga.
"Melani masuk dulu, Teh. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh." Mahya melihat gadis itu masuk ke dalam rumah lalu melanjutkan perjalanan. Dia tersenyum melihat tingkah Melani yang begitu luwes dan ceria. Dulu dia ingin memiliki sifat itu tetapi sayang, Mahya tidak memiliki kepercayaan diri sebesar itu.
"Assalamualaikum, Tante ini buahnya." Mahya menaruh buah yang dibawa ke atas meja.
"Kamu bisa mengupas, Mahya. Soalnya Tante mau buat puding." Mahya menoleh lalu tersenyum, terbersit sebuah harapan yang mungkin akan terjadi jika dia mengungkapkan kepada sang Tante.
"Tante, bolehkah buat puding sedikit lebih banyak?" tanya Mahya.
"Kenapa?"
"Mahya ingin berbagi dengan Melani, Tante. Itu keponakannya Cece Ais."
"Tumben?"
"Tadi kami sempat berjumpa dan dia bilang sedang puasa saat aku tawari buah ini."
"Iya, kamu bisa berbagi dengannya nanti. Terima kasih, Tante." Mahya memamerkan senyumnya, dia tahu jika dengan berkomunikasi apa yang diharapkan bisa saja dengan mudah terpenuhi. Tetapi kadang dia tidak bisa melakukan hal itu, apa lagi dengan sosok yang baru dikenal. Aneh? Iya, Mahya memang sedikit aneh.
---
Pagi ini Mahya berjalan dengan pelan, sesekali mengamati sekeliling yang tampak cukup ramai. Hari ini tidak ingin bimbingan hanya ingin ke perpustakaan untuk mencari beberapa buku sebagai bahan referensi. Mahya menoleh ke arah kanan dan melihat beberapa anak sedang sibuk berdiskusi dengan membentuk majelis dengan duduk melingkar. Mahya mengamati satu persatu lalu kembali melanjutkan jalannya, dia bukan sosok yang kepo dengan urusan orang lain jadi lebih tidak mempedulikan sekeliling.
Mahya berjalan menuju kantin kala baru saja mendapatkan pesan dari sahabatnya, dia sudah menemukan dua buku tebal yang akan menjadi bahan referensi. Mahya mengedarkan pandangannya mencari sosok Zahra di sebuah ruangan terbuka dengan beberapa meja yang tampak ditata dengan teratur.
Mahya melangkah dengan pelan lalu menemui Zahra yang sibuk dengan ponselnya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh," salam Mahya lalu mengambil duduk di depan Zahra.
"Waalaikumsalam warahmatullah, kamu lama sekali." Zahra menaruh ponselnya lalu menopang dagu dan memandang Mahya.
"Tadi aku di lantai dua di ujung sana, dan kamu di sini. Alhamdulillah aku segera kemari, kalau aku melanjutkan pencarian maka kamu akan menunggu lebih lama lagi." Mahya menjawab dengan santai lalu menoleh ke arah kanan.
"Ini, aku pesan buat kamu." Zahra mengansurkan segelas jus melon.
"Tanpa susu?" tanya Mahya.
"Iya. Kamu tumben gak puasa?"
"Oh, memang sengaja. Puasa Syaban gak harus sebulan penuh yang penting kita puasa karena di Syaban biasanya orang-orang banyak yang lupa karena persiapan menyambut bulan Ramadhan." Mahya mengucapkan basmalah lalu menyeruput minuman yang ada di depannya.
"Oh ya, Bagaimana? Proposal kamu udah ada yang ambil."
"Belum tahu, Cece Ais belum memberi kabar." Zahra tampak mengangguk. "Kamu yakin mau menikah muda?"
"Iya, aku sudah cukup umur deh kayaknya."
"Apa sih motif di balik keinginan kamu menikah?"
"Apa ya? Gak ada yang spesial, hanya ingin menjaga diri saja. Bukankah menikah itu termasuk ibadah yang dalam jangka lama, seumuran hidup." Zahra mengangguk, meski di dalam hatinya masih merasa janggal dengan kelakuan sahabatnya. Selain menikah muda, sahabatnya ini menyelesaikan kuliah dalam tiga tahun. Sungguh dua tahun kuliah seolah semua jadwal dipadatkan sehingga di semester lima sahabatnya sudah mulai menyusun skripsi, Zahra sungguh salut dengan semangat belajar yang dimiliki Mahya dan cukup sadar dan tahu bahwa IPK yang dimiliki sahabatnya ini mumpuni untuk melakukan hal di luar batas.
---
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."
(Al-Mâidah:5:2)
---
Hari tampak begitu cerah, dengan langit berwarna senada dengan lautan, dihiasi dengan gumpalan awan sirius dan beberapa warna putih samar-samar. Udara terasa sejuk kala angin semilir menghampiri menggoyangkan dedaunan hingga terdengar suara gemerisik.
Sang pijar yang merajai siangpun bersinar dengan tenang, seolah tak terpengaruh oleh awan-awan yang bisa sewaktu-waktu menghadang. Sengatan sang pijar mampu menembus kain yang menutupi setiap tubuh, hingga mampu membuat tubuh merespon dengan mengeluarkan beberapa titik air sisa-sisa pembakaran.
Mahya masih duduk termenung di salah satu bangku yang ada di taman. Dia mengamati segerombol mahasiswi yang tampak akrab satu sama lainnya. Dia jadi ingat ucapan Zahra.
"Mahya, nanti kalau di akhirat kamu tidak menemukan diriku di Surga. Tolong cari aku di Neraka, karena mungkin aku banyak dosa, dan sesuai sebuah hadits bahwa sahabat bisa menolong sahabat lainnya."
Mahya kala itu hanya tersenyum saja, karena dia tidak tahu harus menjawab apa. Selain dia tidak tahu, dia juga ragu. Karena baginya definisi sahabat itu amatlah berbeda dari yang lainnya.
Mahya kemudian menggeser penglihatan ke arah jarum jam tiga dari posisi semula, di ujung penglihatan dia melihat seorang lelaki dan perempuan saling diskusi berdua. Mahya mengerutkan keningnya, bukan hal baru bagi Mahya melihat interaksi lawan jenis yang cukup agresif di lingkungan kampus tetapi samua itu tetap pada batasan yang berlaku. Namun bagi Mahya, semua itu bernilai sama saja. Mahya segera membuang pandangannya kala dia ingat suatu ucapan.
"Hobi banget ya, melihat privasi orang lain." Mahya segera menundukkan pandangannya. Dia tidak ingin kejadian beberapa hari yang lalu terulang kembali.
"Aku bicara sama kamu, loh." Mahya berdiri, dia menilai sekitar lalu dia menghembuskan napas dengan pelan.
"Maaf, tapi alangkah lebih baik kita tidak bicara secara berduaan." Mahya berdiri dengan cepat saat cowok yang tidak dia kenal itu tiba-tiba duduk di sampingnya.
"Kenapa? Kamu introvert?" Mahya tidak membalikkan badannya, dia justru diam di posisinya.
"Maaf," kata Mahya lalu dia hendak berjalan.
"Jangan berlebihan, menjaga pandangan dan berkhalwat itu memiliki kriteria. Toh, taman ini tampak ramai berarti kita tidak sedang berduaan. Kamu berlebihan!" Mahya menghela napas, dia tidak suka jika apa yang menjadi prinsipnya dicerca. Sungguh, kalau kalian tahu Mahya bukanlah orang yang diam dalam artian tak akan melawan jika disakiti dia akan menggigit siapapun yang melukai perasaannya. Jadi, jika Mahya mode on semua meski menghindar.
"Maaf, Assalamualaikum." Mahya berjalan dengan cepat. Sungguh mood-nya sedang pada tahap buruk jadi dia tidak ingin lepas kendali.
Mahya berjalan menuju koridor kelas, dia mengamati sekitar lalu dia mendengar suara dua orang sedang berbincang.
"Pak Arkan ada di ruangan atas."
"Kenapa?"
"Mau ikut kelas Pak Arkan?"
"Emang masih dibuka? Ini sudah pertengahan semester."
"Gak, aku cuman mau lihat betapa maskulin Pak Arkan saat menjelaskan. Apa lagi ini tadi babnya debat. Ayuk!"
Mahya menerbitkan senyumnya, dia cukup kesal dengan dosen muda itu. Dia sudah melakukan berbagai cara supaya cepat selesai skripsi. Tetapi, dengan ketidakpastian bimbingan membuat dia harus mengulur-ulur waktunya. Padahal dia berpikir bahwa skripsi yang dia kerjakan harus selesai sebelum lebaran tetapi kemarin bab tiga masih revisi dan saat hari ini mau bimbingan dosen itu ada kelas.
Mahya berjalan dengan cepat menaiki tangga, dia akan masuk ke dalam kelas Pak Arkan hari ini. Ini adalah bentuk konfrontasi yang dia lakukan karena merasa diskriminasi saat bimbingan.
Mahya melihat pintu dibuka, dia tersenyum lalu mengambil duduk paling belakang. Dia duduk di antara para perempuan yang saat ini tengah berkonsentrasi dengan materi yang disampaikan. Mahya mulai bosan, dia jadi ingat dulu waktu dia ada mata kuliah ini. Dia memilih kelas dengan Ibu Fara dibandingkan dengan Pak Arkan. Bukan mau diskriminasi tetapi kebanyakan jadwal mengajar pak Arkan pada waktu itu berada di malam hari jadi tidak mungkin dia mengambil jam malam.
Mahya tinggal bersama Om dan Tantenya, karena rumah adik ibunya itu yang paling dekat dengan kampus Mahya, sedang rumah ayah dan ibunya amat jauh. Mahya mengamati gerakan luwes lelaki berumur tiga puluh satu tahun itu dalam diam. Dia akui bahwa dosennya itu termasuk ke dalam kategori lelaki suamiable, tapi dia tidak yakin jika lelaki itu masih single.
Mahya mulai bosan, dia menguap beberapa kali. Dia bergerak gelisah di atas tempat duduknya, dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu dia menghela napas berat. Saat melihat wajah Mahya pasti semua orang tahu bahwa gadis itu sekarang dalam kondisi sangat amat bosan.
"Baiklah, ada pertanyaan?"
Akhirnya penderitaan yang dialami Mahya berakhir, Pak Arkan memang terkenal sebagai dosen yang selalu menyisakan waktu tiga puluh menit untuk berdiskusi atau tanya jawab. Jadi, jika sudah mengeluarkan kalimat 'ada pertanyaan' berarti jam kuliah akan segera berakhir. Mahya bersorak dalam hati, lalu dia menoleh ke arah seorang perempuan berhijab kuning mengangkat tangannya.
"Silakan," kata Pak Arkan sambil duduk.
"Bukankah ada debat, mengapa kelas ini tidak melakukan debat, Pak?" Mahya menoleh ke arah gadis itu lalu ke arah Pak Arkan yang sedang duduk santai. Dia jadi sedikit heran dengan sikap santai dosen itu.
"Astaghfirullah," kata Mahya pelan saat matanya bertubrukan satu garis lurus dengan Pak Arkan. Dia segera menundukkan pandangannya.
"Maaf, Dengan Mbak siapa?" tanya Arkan ke arah mahasiswi yang bertanya.
"Diana Pak."
"Mbak Diana baru masuk kelas saya?" tanya Pak Arkan lagi, tetapi Mahya sadar mata dosen itu tidak menatap satu titik tetapi ke banyak arah. Dan dia bisa melihat bahwa sudut mata dosennya melirik ke arahnya. Apa dosen itu sadar bahwa dirinya adalah mahasiswi selundupan?
"Tidak Pak."
"Berarti tahu alasan saya tidak membuka debat, bukan?" Pak Arkan berdiri dari duduknya lalu berjalan kecil mengelilingi ruang yang ada di depan meja.
"Tapi itu sedikit tidak bisa diterima, Pak." Mahya segera menoleh ke arah gadis perempuan itu. Dia mengenali gadis itu, dia adalah salah satu aktivis komunitas yang ada di kampus. Wajar saja sih kalau gadis itu berani tampil beda dengan mencari masalah ringan.
"Di bagian mana?" Mahya kagum dengan suara tenang itu.
"Bagian kita dilarang berdebat." Mahya melihat dosen itu tampak menunduk sambil mengangguk-angguk. Apa dosen itu tidak akan menjelaskan secara gamblang?
"Mungkin Mbak yang berhijab biru bisa menjawab?" Mahya menatap ke sekeliling, dia membulatkan matanya saat semua mata tertuju padanya. Benar saja, hanya dirinya yang mengenakan hijab biru walaupun biru yang dia kenakan cenderung dark, karena memang Mahya tidak memiliki gamis berwarna terang.
"ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." Mahya mengambil napas, semua orang tampak diam. Mahya lalu tersenyum canggung saat Delisa, salah seorang mahasiswi yang dia kenal memberi kode untuk melanjutkan.
"Bukankah di dalam ayat itu sangat jelas, kita dilarang berdebat karena istilah debat itu frontal. Bukan sekedar bahasa tetapi situasi, emosi dan lingkungan. Dalam ayat itu disebutkan dengan hikmah dan cara yang baik. Jadi alangkah lebih baik jika kita meninggalkan debat yang sangat menarik urat dan mendidihkan emosi itu, kita rubah dengan cara yang lebih baik berdiskusi atau dengan musyawarah mufakat, mungkin." Mahya mengakhiri jawabannya dengan suara tidak yakin.
"Lalu bagaimana jika ada orang yang mencela Islam, apakah dengan cara itu akan berjalan lancar?" Gadis itu masih kukuh dengan pendapatnya, Mahya tersenyum tipis, khas sekali anak organisasi.
"Pasti akan tertarik jalan keluarnya, karena jika kita berdiskusi maka kita akan mencari jalan tengah. Berbeda dengan berdebat, kalau berdebat biasanya bukan menemukan jalan tengah tetapi akan otot-ototan perkara tanpa penyelesaian karena merasa benar." Mahya menjawab dengan nada datar, dia tidak terpancing emosi oleh argumen yang dilontarkannya. Bukan tidak, tetapi dia berusaha mengendalikan.
"Lalu bagaimana cara kita membalas orang yang mencaci kita jika kita dilarang berdebat." Mahya bisa melihat lirikan tajam dari Diana, dia membalas dengan senyum tipis. Dia menoleh ke arah sang dosen dan Arkan memberikan kesempatan kepadanya untuk menjelaskan, membuat Mahya tersenyum lebih lebar.
"Saya ada cerita," kata Mahya membuat banyak pasang mata menoleh ke arahnya.
"Tolong dijaga pandangannya," kata Arkan membuat beberapa mahasiswa langsung menghadap ke depan.
"Silakan lanjutkan," kata Arkan lalu berjalan menuju kursinya.
"Pada suatu hari Rasulullah bertamu ke rumah sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq, ketika sedang ngobrol dengan Rasulullah, tiba-tiba datang seorang Arab Badui atau orang gurun menemui Abu Bakar. Orang itu langsung mencela Abu Bakar dengan makian kata-kata kotor. Namun, Abu Bakar sama sekali tidak menghiraukannya, lalu Beliau melanjutkan perbincangan dengan Rasulullah. Melihat hal ini, Rasulullah tersenyum.
Kemudian, orang Arab Badui tersebut kembali memaki Abu Bakar, kali ini makian dan hinaannya lebih kasar. Tetapi dengan keimanan yang kokoh serta kesabarannya, Abu Bakar masih tetap membiarkan orang tersebut dan tidak sedikit pun membalas caciannya. Rasulullahpun kembali tersenyum dan semakin marah orang Arab Badui tersebut." Mahya memberi jeda, dia melirik Delisa, lalu dia melihat kenalannya itu mengangguk.
"Untuk ketiga kalinya, orang Arab itu mencerca Abu Bakar dengan celaan yang lebih menyakitkan dari sebelumnya. Kali ini, sebagai manusia biasa yang memiliki hawa nafsu, Abu Bakar tidak dapat menahan amarahnya, kemudian membalaslah Beliau makian orang Arab Badui yang tadi dengan makian pula. Maka terjadilah perang mulut saat itu. Tau apa yang terjadi?"
"Rasulullah beranjak dari tempat duduknya. Beliau meninggalkan Abu Bakar tanpa mengucapkan salam. Melihat hal itu, Abu Bakar tersadar dan menjadi bingung. Dikejarnya Rasulullah yang sudah sampai di halaman rumah Beliau."
"Kemudian Abu Bakar berkata, 'Wahai Rasulullah, janganlah biarkan aku dalam kebingungan, jika aku berbuat kesalahan, maka jelaskan kesalahanku!' Rasulullah menjawab, 'Sewaktu ada seorang Arab Badui datang dengan membawa kemarahan serta fitnahan lalu mencelamu, kulihat kau tenang, diam dan engkau tidak membalas, aku bangga melihat engkau orang yang kuat mengahadapi suatu tantangan, fitnah, dan cacian. Oleh sebab itu aku tersenyum karena ribuan para malaikat di sekelilingmu mendoakan dan memohonkan ampun untukmu kepada Allah. Begitu pun yang kedua kali, ketika orang tersebut mencelamu dan engkau tetap membiarkannya, maka para malaikat semakin bertambah banyak jumlahnya. Oleh sebab itu, aku kembali tersenyum. Namun, ketika kali ketiga dia mencelamu dan engkau menanggapinya maka seluruh malaikat pergi meninggalkanmu dan ketika itu hadirlah iblis di sisimu. Oleh karena itu, aku tidak ingin berdekatan denganmu. Dan aku tidak ingin berdekatan dengannya pula dan aku tidak memberikan salam kepadanya.' Setelah itu menangislah Abu Bakar ketika diberitahu tentang rahasia kesabaran adalah kemuliaan yang terselubung yang kadang kita tidak menyadarinya. oleh karena, itu bersabarlah atas setiap musibah, celaan dan lain sebagainya." Mahya mengambil napas dia melirik ke semua mahasiswi yang tengah menatapnya dengan antusias.
"Lalu pelajaran apa yang bisa diambil, Mbak hijab biru?" Mahya menoleh ke arah Pak Arkan yang tampak sibuk dengan kertasnya.
"Dari sana kita diajari untuk bersabar, dan jika kita dicela kita tidak boleh membalasnya. Kalau kita membalasnya apa bedanya sifat kita dengan orang yang mencela kita." Mahya diam, beberapa mahasiswa mengangguk entah paham atau tidak.
"Bagus sekali, terima kasih." Pak Arkan mengatakan itu dengan nada datar.
"Sudah paham, Mbak Diana?"
"Sudah Pak."
Mahya menghela napas, dia sedikit berpikir ada sesuatu yang aneh di kelas ini. Mengapa mahasiswi itu tadi bertanya sesuatu yang jauh dari materi kuliah. Mahya menghembuskan napas lalu mengangkat bahu tidak perduli, dia tidak menyadari bahwa kelas sudah dibubarkan.
"Mbak Mahya tidak keluar?" tanya Delisa yang sudah berdiri di samping Mahya.
"Iya Ini mau keluar." Mahya menoleh ke arah Pak Arkan lalu dia mencebik kesal, untuk menemui dosen itu dia harus berkorban banyak bicara.
"Aku duluan ya, Mbak." Mahya menjawab dengan mengangguk. Delisa adalah tetangga Tantenya oleh sebab itu keduanya saling mengenal.
"Ada apa?" tanya Pak Arkan dengan tidak pedulinya membuat Mahya mendengus samar.
"Tidak ada Pak." Mahya tetap duduk di kursinya.
"Tidak mungkin tidak ada hal yang mendesak kalau kamu tidak nekat masuk ke kelas saya."
"Saya mahasiswi Bapak juga," kata Mahya tergagap, dia sadar bahwa dosennya yang satu itu menyadari kehadirannya bukan untuk mengikuti mata kuliah yang dia ajarkan.
"Maka bersabarlah engkau dengan kesabaran yang baik." (Siapa yang tahu dikutip dari apa kalimat ini?)
Pak Arkan mengatakan itu lalu berlalu begitu saja tanpa memperdulikan Mahya yang saat ini terkejut dengan tingkah dosen muda yang menurutnya sedikit, aneh.
Mahya menepuk keningnya lalu berlari keluar, di depan pintu dia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat ke arah mana dosen pembimbing skripsinya tadi pergi.
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!