Zodiak hari ini
Aries
Umum: Lihatlah sekitarmu, sudah sepatutnya kamu bersyukur terhadap apa yang kamu miliki.
Asmara: Single, sepertinya si dia juga mencintaimu. Ciee cintanya terbalas--
Aku menghentikan gerakan mataku untuk terus membaca. Terkadang pemikiran rasionalku menolak untuk mempercayai hal-hal seperti itu. Lagi pula mana mungkin Aries sedunia hari ini cintanya terbalas semua? Itu mustahil dan aneh. Namun, terkadang hal-hal seperti itu terlalu menarik untuk tidak dibaca.
Aku menekan tombol kembali, keluar dari beranda salah satu jejaring media sosial yang sangat populer sekarang. Mematikan layar ponsel, kemudian meletakannya ke atas meja belajar yang terletak tepat di samping tempat tidur. Lalu setelah meregangkan tubuh, aku beranjak dari kamar menuju dapur. Terdengar suara barang-barang yang saling bersentuhan dan bertubrukan dari sana. Itu mamaku, dia sedang mencuci piring dan alat-alat memasak.
"Ma, laper," keluhku sembari mengambil gelas untuk minum.
"Laper makan, Ya. Laper kok ngeluh," jawab mamaku sembari menyelesaikan panci terakhir yang perlu digosok. Setelah itu kulihat mama mematikan kompor yang diatasnya terdapat masakan yang sudah mendidih.
"Masak apa, Ma?" tanyaku sebelum menenggak air putih yang baru saja aku tuangkan pada gelas.
"Anak cewek ke dapur kok tanya masak apa. Dilihat sendiri, Ya. Syukur-syukur bantuin Mama masak," protesnya sembari berlalu keluar dari dapur.
"Masak apa, Ma?" Itu suara kakak laki-lakiku. Kami hanya terpaut dua tahun, jadi aku tidak mau memanggilnya dengan embel-embel yang menunjukkan bahwa dia adalah kakak dari seorang Eyalani.
"Masak tumis kangkung sama goreng telur." Mendengar pertanyaan kakakku dijawab oleh mama, aku langsung balik badan yang tadinya menghadap tembok jadi menghadap mama dan Fandi yang masih berdiri di ambang pintu dapur.
"Fandi kalau tanya dijawab, tapi Eya disuruh lihat sendiri," protesku kesal. Namun, mama memilih untuk acuh lalu keluar dari dapur. Sementara Fandi--kakakku--berjalan melewatiku menuju kamar mandi sembari memberikan tatapan mengejek. Andai mama sedang tidak di rumah atau sudah berangkat kerja, pasti sekarang Fandi sudah basah kuyub dengan air yang berada di dalam gelasku.
Mengabaikan Fandi, aku bergegas kembali ke kamar untuk bersiap ke sekolah. Barusan tadi itu keluargaku. Jangan tanya di mana papaku, karena aku pun tidak tau di mana rimbanya. Dia akan pulang saat ingin, merusuh, kemudian pergi lagi. Sudahlah, aku bahkan berharap dia tidak perlu pulang. Dengan pekerjaan mama sebagai perawat dan Fandi yang rajin mengurus dagangannya di online shop, itu sudah cukup untuk menghidupi kami bertiga. Bahkan tabungan Fandi sudah cukup untuk biayanya masuk kuliah tahun depan.
***
Aku dan Fandi hanya terpaut satu angkatan. Dia kelas tiga SMA sementara aku kelas dua SMA. Akan tetapi, kami bersekolah di sekolah yang berbeda karena ... entahlah, aku tidak pernah menanyakan alasannya pada mama. Yang terpenting adalah aku berangkat dan pulang sekolah bersama Fandi dengan membonceng motor matic kesayangannya. Motor yang lebih Fandi sayang dibanding adiknya, huh.
"Nanti kalau ada apa-apa kabarin. Biar aku gak nunggu sampai jam lima lagi kayak kemarin," tegasku sebelum Fandi kembali melajukan motornya.
"Iya, iya. Bawel!" jawab Fandi sekenaknya kemudian bergegas melanjutkan perjalanan menuju sekolahnya.
Sekolahku dan sekolah Fandi berjarak lima belas menit perjalanan. Jadi aku sampai lima belas menit lebih awal dibanding Fandi. Biasanya aku sampai pukul setengah tujuh seperti sekarang. Meskipun setengah jam lagi bel masuk dibunyikan, tetapi sekolah masih cukup sepi jam segini. Jadi aku dapat melangkah dengan tenang sembari bersenandung karena pada dasarnya aku suka ketenangan tetapi benci kesepian.
Langkah kakiku terhenti saat akan memasuki ruang kelas yang terletak dilantai dua sekolahan. Langkah kakiku terhenti saat tanpa sengaja aku melihatnya dan kemudian mata kami saling bertemu. Satu, dua, tiga, aku memutuskan kontak mata kami yang dipisahkan halaman sebuah ruang kelas. Aku tidak berani menatapnya terlalu lama. Aku terlalu ketakutan untuk mempertahankan kontak mata kami. Aku jatuh cinta terhadapnya, tetapi aku juga begitu takut saat harus bersitatap dengannya.
Kisahku dengannya sudah sejak lama dimulai, tetapi tidak kunjung sampai pada ujung kepastian.
Sejenak keberadaannya yang tertangkap mata membuat pikiranku sedikit terganggu. Ah, itu sudah sejak tahun lalu. Setiap kali tanpa sengaja menangkap keberadaannya, memperbanyak kenangan tentangnya, merekam raut wajahnya dengan mataku, itu memang selalu akan menganggu pikiran.
Itu karena dia adalah dia yang selalu menatapku tanpa dapat kuartikan tatapannya. Menyebalkan, tapi sudahlah. Aku juga sudah terlanjur menjatuhkan hati terhadapnya. Huh, daripada terus memikirkan hal itu lebih baik aku segera melangkah masuk ke dalam kelas dan menempati tempat dudukku. Dan kemudian aku mendapati kedua kakiku melangkah masuk ke dalam kelas, menghampiri tempat duduk yang terletak di pojok depan. Tepatnya tempat duduk yang terletak persis di depan meja guru.
Setelah meletakkan helm ke belakang kelas kemudian duduk, aku memilih untuk melihat keluar pintu. Menatap langit biru dipagi hari. Mataku menatap langit, tetapi pikiranku menerawang jauh ke masa di mana aku pertama kali menyadari keberadaan Pram--lelaki yang tadi melakukan kontak mata denganku. Terkadang aku pikir ini sedikit lucu.
Saat itu awal masa kelas sebelas. Aku menghadiri rapat acara kegiatan sekolah dan mendapati Pram berada di sana juga. Aku menatap Pram sembari berpikir keras. "Siapa orang ini? Kenapa aku baru melihatnya?" Begitulah kira-kira isi pikiranku. Ternyata tindakanku menatap Pram hari itu aku lakukan terlalu lama hingga membuat dia menatapku balik dan aku buru-buru mengalihkan pandangan mata.
Setelah itu, aku justru mendapati dia sering menatapku. Jadi dengan rasa penasaran, aku bertanya dengan salah satu teman, tepatnya sahabatku. "Dia siapa, sih? Kok aku baru lihat. Anak baru, ya?"
"Nggak, tuh. Dia anak IPS, temen sekelasku. Padahal kelasnya deketan. Bisa-bisanya gak tau." Aku menatap sahabatku itu dengan pandangan nyaris tidak percaya. Bagimana bisa satu tahun berlalu tetapi aku baru menyadari dia ada di dunia ini?
Awalnya kelas masih sepi saat aku baru datang. Kemudian satu dua tempat duduk lain mulai terisi, tetapi tempat duduk di sampingku masih kosong. Selanjutnya kelas mulai ramai. Satu persatu siswa siswi di kelasku mulai menampakkan dirinya. Mendudukki tempatnya masing-masing. Namun, tetap saja tempat duduk di sampingku masih kosong. Karena pada dasarnya aku memang duduk sendiri.
Peserta didik yang berada di kelasku berjumlah ganjil. Dan ibarat tumbal, akulah yang harus selalu duduk sendirian. Jadi mau sekalipun tidak ada siswa yang absen di kelas, tempat di sampingku akan tetap kosong. Karena itu juga aku memilih untuk duduk di pojok depan. Setidaknya dengan tidak melihat mereka memiliki teman sebangku itu akan membuat mood-ku tetap baik sepanjang hari. Meskipun tidak jarang pemandangan itu tetap menggangguku.
Beberapa menit selepas bel berbunyi, guru kesenian yang amat sangat cerewet dan centil masuk ke dalam kelas. Menyapa siswa-siswi dengan gaya khasnya kemudian memulai pelajaran. Sejujurnya aku sedang tidak dalam suasana baik untuk belajar. Kebiasaan burukku saat sedang seperti itu adalah tiba-tiba melamun dan memikirkan banyak hal. Sampai benar-benar tidak mendengar apa yang disampaikan guru.
Seperti sekarang. Setelah tiba-tiba melamun, aku tersadar bahwa guru yang awalnya duduk di depanku kini beranjak keluar dari kelas. Entah apa yang akan dia lakukan. Kemudian dengan duduk dipojok depan, aku seolah dapat melihat kelas dengan radius yang cukup luas. Dan aku melihat hampir semua teman sekelasku membuka satu halaman yang sama pada buku paket.
Samar-samar aku mendengar percakapan mereka mengenai mengerjakan soal. Aku yang tadi melamun dan tidak tau apa-apa seketika kebingungan. Aku segera memanggil salah satu teman yang duduk di samping tempat dudukku. "Tina ... Tina ... Tin."
Sayangnya, yang dipanggil tidak menyahut. Aku memutuskan untuk berhenti memanggil. Aku melihat dia tengah sibuk berbicara dengan teman sebangkunya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Melihat hal itu, aku hanya menghela napas. Itu adalah salah satu hal yang biasa aku alami sehari-hari. Namun, tetap saja aku tidak bisa terbiasa.
Mengabaikan yang Tina dan teman sebangkunya lakukan. Aku beralih dengan sepasang teman sebangku di belakangku. "Feb, Febry!" panggilku pada salah satu dari mereka. Tetapi juga tidak ada sahutan.
"Ki, Kisa!" panggilku pada yang satunya, tetapi juga tidak ada sahutan. Mereka sedang sibuk bercanda dengan sepasang teman sebangku yang duduk di belakang mereka.
Mood-ku sedang tidak baik hari ini. Ah, mulai lagi. Aku dapat memastikan bahwa sekarang pelupuk mataku sedikit berair. Perasaan itu datang lagi. Lelah tetapi tidak melakukan apapun. Aku mencoba mengabaikan perasaan lelah itu dan memilih mengintip sendiri halaman yang terbuka pada buku paket mereka. Akan tetapi ternyata buku paket mereka juga tidak menunjukkan halaman yang benar, karena yang tertera justru halam depan bab yang hari ini dibahas yang jelas-jelas hanya ada gambar dan tulisan singkat.
"Febry! Kisa!" teriakku yang akhirnya membuat mereka berdua berhenti bergurau dan menatapku.
Aku mencoba tersenyum sembari menahan luapan emosi yang ada. "Apa-apa?" tanya Febry
"Tugasnya halaman berapa?" Aku masih menahannya. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa ada perasaan sesak yang aku rasakan.
"Halaman lima puluh enam," jawabnya singkat kemudian kembali menghadap belakang. Menyusul Kisa yang sudah lebih dulu melakukan hal itu.
"Terimakasih," ucapku sembari tersenyum. Kemudian kembali menghadap ke depan. Saat itulah aku baru menghela napas berat. Aku juga mengigit bibir bawahku. Menahan diri sendiri agar luapan emosi itu tidak semakin besar hingga membuatnya tumpah. Tidak, aku sedang tidak ingin terlihat lemah. Itu hanya hal sepele, tidak perlu dipermasalahkan atau dibesar-besarkan.
Salah satu hal yang aku suka dari duduk dipojokan selain penglihatan luas pada seisi kelas dan mencegahku melihat hal-hal menyebalkan adalah karena dengan duduk di tempatku saat ini, tidak akan ada orang yang dapat dengan mudah melihat wajah murungku. Tidak akan ada yang tau jika aku sedang menunjukkan ekspresi kesal, kecuali ada orang yang sengaja menghampiri.
***
Bel istirahat berbunyi. Aku segera memutar duduk menghadap samping agar aku bisa berbicara pada teman-temanku yang duduk di belakang. "Mau ke kantin?" tanyaku.
"Iya," jawab Tika. Seseorang yang duduknya denganku dipisahkan oleh Febry dan Kisa.
Dulu dia pernah duduk denganku selama beberapa bulan. Itu sebelum kelompoknya yang terdiri dari lima orang-- enam jika mereka sedang menganggapku-- mengalami masalah. Karena setelah salah satu dari mereka bermasalah dan akhirnya pindah tempat duduk, Tika berpindah tempat duduk menjadi bersama Riani--teman satu kelompoknya yang entah kenapa terkadang sangat sensi denganku.
Aku ikut berdiri saat melihat mereka berempat --Tika, Riani, Febry, dan Kisa-- melangkah dari tempat duduknya masing-masing. Meskipun aku bukan seseorang yang suka berkelompok, tetapi jika tidak mengikuti salah satu kelompok seperti ini, aku tidak akan mendapat teman.
Aku mensejajarkan langkahku dengan Tika yang berjalan sendiri paling belakang. Sementara Febry, Riani, dan Kisa berjalan beriringan sembari mengobrolkan suatu hal yang entah apa itu. Keberadaanku membuat Tika mengalihkan pandangan dari ponselnya. Untuk informasi saja, dari mereka berempat aku paling cocok dengan Tika. Meskipun tidak selalu cocok dalam segala hal.
"Tik, buat hari ini duduk sama aku, yuk," mintaku dengan ragu.
"Oh," ucapnya kemudian mengerjapkan mata dua kali. "Aku bicara dulu sama Riani, ya. Takutnya nanti dia marah. Tau sendiri kalau dia marah sama kamu, kan?"
Aku memaksakan seulas senyum pada bibirku. Ah, bodohnya aku. Betapa tidak tau malunya mulutku. Padahal sudah sejak awal aku menebak itu pasti yang akan dia katakan. Bahkan aku hapal kelanjutannya. Setelah itu dia pasti juga tidak akan duduk denganku. Bahkan mungkin melupakan permintaanku.
Aku mungkin sudah biasa duduk sendiri. Tetapi ada satu waktu dimana aku merasa tidak terbiasa untuk hal itu. Merasa kesepian. Lalu selanjutnya sifat kekanakanku yang muncul akan melontarkan pertanyaan seperti tadi pada Tika.
Rasanya semua seperti berputar pada poros yang itu-itu saja setiap hari. Terkadang aku berpikir untuk dapat melompati saja fase ini, tetapi tidak. Jika aku berpikir di fase selanjutnya aku akan bahagia, belum tentu seperti itu. Aku tau pasti bahwa di fase selanjutnya aku akan mengemban tanggung jawab yang lebih besar.
Aku menghela napas ketika bangun tidur dan masih menatap langit-langit. Rasanya baru lima menit lalu aku menghempaskan diri pada kasur empuk tempatku tidur. Tiba-tiba sudah pagi saja. Aku menghela napas sekali lagi. Berpikir bahwa nanti aku juga akan segera menghempaskan pantat pada tempat dudukku di kelas, lalu tiba-tiba sudah pulang ke rumah lagi. Mengerjakan beberapa tugas. Kemudian kembali tidur.
Setelah puas memikirkan semua itu, aku memilih untuk duduk sembari mengikat rambut sebahuku. Lalu seperti dugaanku, dengan cepat waktu sudah menginjak pukul enam lebih lima belas. Aku sudah selesai sarapan dan Fandi sedang memanaskan motornya di halaman depan. Aku menyusul Fandi keluar, segera setelah berpamitan dengan Mama yang hari ini berangkat agak siang ke tempat kerja.
Aku dan Fandi berangkat seperti biasa. Namun saat sampai di pertigaan dekat sekolahku, Fandi menghentikan motornya. "Kenapa, Fan? Mogok?" tanyaku yang mendapati jawaban nyolot dari Fandi.
"Enak aja mogok! Enggak. Kan sekolahmu dari sini udah deket. Turun sini aja, ya. Ke sekolah lanjut jalan kaki. Aku mau jemput pacar." Dengan berat hati aku menyetujui permintaan Fandi. Meski pun sebenarnya aku sedikit kesal, tetapi sudahlah.
"Hati-hati," pesanku sebelum Fandi kembali melajukan motornya. Dia mengangguk sebagai jawaban.
Aku mulai berjalan menuju sekolah setelah Fandi tidak lagi terlihat oleh kedua mataku. Sembari menenteng helm, aku menyusuri trotoar jalan yang sepi, tetapi tidak dengan jalanannya. Beberapa orang yang tidak kukenal lewat, beberapa kendaraan roda empat, beberapa orang yang menuju ke sekolah dengan seragam yang melekat pada tubuh mereka, serta beberapa pasang manusia yang kuketahui sebagai siswa-siswi dari SMA tempatku bersekolah.
Ngomong-ngomong masalah sepasang manusia, terkadang aku iri pada mereka. Bukan karena aku ingin punya pacar. Akan tetapi aku iri saat melihat mereka memiliki seseorang untuk diajak berbagi cerita. Sebenarnya aku juga punya Fandi. Tapi mendadak lelaki itu tidak seasik dulu lagi semenjak punya pacar dipertengahan kelas sebelasnya lalu. Aku bahkan muak melihat pacar Fandi yang kelewat manja.
Atau mungkin aku hanya iri bahwa Fandi lebih memanjakan pacaranya dibanding adiknya. Lagipula siapa yang tidak akan iri pada hal-hal berbau pasangan jika dirinya selalu sendirian kemana-mana, bahkan duduk di kelas pun sendiri. Aku terkadang merasa seperti angka satu yang ganjil, sementara mereka yang diciptakan berpasangan adalah angka genap yang beruntung. Terkadang aku menyebut nasibku dengan sebutan kutukan angka ganjil, untuk perempuan yang selalu duduk sendiri, tidak berkelompok, dan tidak pernah beruntung dalam pengalaman berkekasih.
Ah, sudahlah. Memikirkan apa aku pagi-pagi seperti ini. Hal-hal tadi adalah secuil hal yang aku pikirkan dipagi hari sembari berjalan menuju kelas. Sampai seseorang datang, mengagetkanku dan membuat apa-apa yang aku pikirkan menjadi buyar.
"Eya!" teriaknya sembari merangkul leherku dengan kasarnya hingga membuat leherku terasa seperti akan patah.
Aku tersedak begitu dia mengalungkan tangan pada leherku. Namun mendengar suara batukku, dia tidak juga menyingkirkan tangannya. Ngomong-ngomong dia ini adalah sahabatku. Meskipun aku tidak berkelompok, bukan berarti aku tidak punya sahabat walaupun hanya satu dua. "Apa, sih, Tha? Ngagetin aja."
Setelah mendengar ucapanku dia baru menurunkan tangannya. Aku kembali berjalan setelah tadi sempat terhenti. Dia bersama sahabatnya yang lain berjalan beriringan denganku. "Gak ada niatan ngagetin sebenernya. Cuma kamunya aja melamun, jelaslah jadi kaget."
"Iya, deh. Iya," ucapku mengalah. Setidaknya dengan dia aku tidak merasa menjadi angka ganjil. Aku hanyalah aku dengan dia dan terkadang sahabatnya yang lain, saling mendengarkan cerita dan berbagi cerita.
"Lagi gambar apa, Ca?" tanyaku pada sahabat Agatha yang lain. Namanya Caca, gadis introvert yang sangat suka dunia desain dan gambar menggambar. Bahkan dia sekarang menatap layar ponselnya, menggambar sembari berjalan.
"Biasa, My Beloved Idol." Dan jangan lupakan jiwa fangirl-nya.
Agatha satu kelas dengan dia yang aku suka, sementara Caca beda kelas tetapi satu jurusan dengan Agatha. Namun, ada saja yang membuat kami nyambung. Terkadang aku merasa merekalah lingkunganku, bukan Fandi dan mama ataupun teman-teman sekelasku. Itulah susahnya aku, susah menemukan tempat yang cocok. Mungkin karena itu juga aku menjadi tidak punya kelompok. Lagi pula apa bagusnya berkelompok saat mereka hanya akan membatasi segala hal tentangmu. Menatapkan peraturan-peraturan tidak tertulis yang akan memberatkan gaya hidupmu. Juga jangan lupakan jika mereka sudah mulai ikut campur pada urusan pribadimu, aku yakin itu terasa sangat menyebalkan.
Terkadang ada baiknya menjadi angka ganjil alias sendirian. Lebih tenang dan tidak ribet. Tetapi ada kalanya di mana seseorang tetap membutuhkan suatu kelompok yang akan diajaknya kerja sama. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang mau seindividualis apapun orang itu, tetap saja dia membutuhkan orang lain dalam hidupnya.
"Ya, udah tau belum?" tanya Agatha setelah sekian lama kami hanya diam.
"Belum, lah. Kan, belum dikasih tau."
"Yaudah, aku kasih tau. Tapi jangan kaget, ya." Aku menganggukkan kepala setuju. Entah kenapa jantungku mendadak berdegup lebih kencang. "Kayaknya ... Pram balikan sama mantannya."
Aku terdiam. Bahkan langkahku terhenti, tetapi hanya sejenak. Kemudian aku mendengus sembari tersenyum. Lalu melanjutkan berjalan. Saking terbiasanya dengan situasi di mana cintaku bertepuk sebelah tangan, lama-lama sitausi itu tidak lagi semenyakitkan awalnya. Lagipula sudah kubilang, kan? Aku itu ditakdirkan untuk menjadi angka ganjil.
"Tapi masih belum pasti. Cuma samar-samar aja denger di kelas," lanjut Agatha.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!