NovelToon NovelToon

Sang Perebut Cinta

1 : Meminta Izin

Sebuah pernikahan yang dirancang apik tinggal menghitung hari. Pernikahan dua insan yang masih muda untuk mengarungi sebuah bahtera rumah tangga. Namun, mereka sudah mantap untuk memilih.

Ravi menguatkan keinginannya untuk meminang Mentari menjadi istrinya, di saat mereka masih mengenyam bangku kuliah. Usia mereka masih sembilan belas tahun. Bahkan ada rekor yang diukir oleh mereka, menikah dengan teman sekelas.

Dalam waktu yang singkat, sekitar satu semester Ravi mengenal lebih dekat sosok Mentari. Padahal mereka sudah satu kelas sejak masuk ke jurusan manajemen bisnis. Inilah takdir mereka.

Banyak liku yang menerpa hubungan keduanya sampai mereka bisa bersatu. Ravi dengan kekecewaan dikhianati mantan yang sudah tiga tahun lebih bersamanya menjalin cinta. Mentari dengan cinta segitiga yang rumit, menempatkan dirinya menjadi orang ketiga dan tanpa sadar menjadi sang perebut cinta.

"Tari! Apakah kita memang tidak boleh bertemu seminggu ke depan?" tanya Ravi sedikit kecewa.

"Kata orang tua kita memang seperti itu, alias dipingit,"

"Kalau aku rindu padamu bagaimana?"

"Emmm ... kumpulin saja dulu. Jadi pas kita ketemu ... kamu--"

"Kamu apa?" goda Ravi memandang gemas pada wanita tomboy berkerudung di hadapannya.

"Itu ... ah! Pokoknya kita harus ikut perintah orang tua, kalau tidak nanti acara pengajian bisa dimajukan dan ibu kita mendadak jadi ustadzah," jawab Mentari menggigit bibirnya.

"Bilang saja kalau malam pertama kita nanti jadi lebih bersemangat,"

"Ih! Dasar mes*m!"

"Kamu saja yang pikirannya kotor. Bersemangat di sini maksudnya, semangat buat jebol gawang," tawa Ravi.

"Ravi!" teriak Mentari bercampur malu karena semburat merah nampak jelas di pipinya.

"Tuh, kan! Ada yang sudah enggak tahan," goda Ravi.

Mentari menepuk lengan Ravi. Wajahnya berpaling menutupi rasa malunya yang tak tertahankan. Hatinya bahagia bisa bersama dengan Ravi, lelaki yang sudah menguasai ruang di hatinya.

"Ngomong-ngomong kalau untuk bulan madu, kamu mau kemana?"

"Enggak tahu. Orang tua kita juga yang siapkan. Kita cuma nunggu beres,"

"Mentari!" Ravi mulai memasang wajah serius.

Tatapan Ravi begitu dalam menembus netra Mentari. Menangkup pipi Mentari, membuat sang empunya tak berani menatap Ravi. Wanita tomboy dengan pesona apa adanya, membuat Ravi teralihkan pada Mentari.

"Sebelum kita berpisah, aku mau tanya satu hal padamu?"

"Apa?" Mentari sekuat tenaga menahan getaran dalam hatinya.

"Kamu yakin ingin menikah denganku di usiamu yang masih sangat muda?"

Mentari menatap balik Ravi. Menunjukkan sebuah kejujuran dan kekukuhan hatinya memilih Ravi. Dulu memang dirinya batal menikah dengan Bintang, kakaknya Ravi karena perjodohan dan dia malah mencintai Ravi yang sudah memiliki kekasih.

"Daripada kita pacaran enggak jelas, lalu kamu menawarkan sebuah keseriusan dan aku mencintaimu ... maka aku sudah yakin kamulah jodohku," tegas Mentari tanpa lupa senyuman indah terukir di bibirnya.

"Apakah urusanmu dengan kak Bintang sudah selesai?"

"Semenjak Bintang menikah dengan kak Alya, sejak itu pula urusanku selesai. Kalau kamu sendiri dengan Natasha bagaimana?"

Ravi terdiam. Inilah hal yang ingin dia utarakan pada Mentari. Urusannya dengan Natasha sudah selesai, tapi entah kenapa Natasha kemarin menghubunginya untuk bertemu terakhir kali sebelum dirinya menikah.

Memang semenjak dia menegaskan bahwa dia sudah memilih Mentari, menggantikan Natasha di hatinya, tak ada lagi rongrongan dari Natasha pada Mentari.

"Sebenarnya Natasha ingin bertemu denganku. Bolehkah aku menemuinya sebelum kita menikah?" Ravi menatap lirih Mentari bercampur ragu.

Mentari terdiam. Ada sesak dalam hatinya dan rasa tak ingin ditinggalkan. Masih ingat dalam benak Mentari, ketika Ravi sangat mencintai Natasha. Bahkan Ravi sempat menolak pengakuan dirinya tentang perselingkuhan Natasha.

Pikirannya coba menghalau asumsi negatif, Natasha merayu Ravi untuk kembali pada Natasha. Namun, melihat ke dalam netra sang kekasih, Mentari seakan meyakinkan bahwa Ravi hanya ingin menyelesaikan masalahnya dengan Natasha sampai selesai.

Ravi sebenarnya tak tega mengatakannya, tetapi sebuah hubungan harus saling terbuka agar jauh dari kesalahpahaman. Bertemu dengan Natasha bisa saja menodai perjalanan keseriusan cintanya, bila ditutup-tutupi.

"Mentari!" panggil lembut Ravi dengan tangan yang semakin erat menggenggam tangan Mentari.

"Iya. Selesaikan dulu urusanmu dengan Natasha," lirih Mentari.

"Kamu tidak marah?"

"Buat apa marah?"

"Cemburu mungkin, karena pacarmu yang ganteng ini menemui mantannya," gurau Ravi mencairkan suasana.

"Dasar kepedean!" Mentari mencubit gemas pipi Ravi.

"Aw! Aduduh ... aduh! Sakit, Sayang!" rengek Ravi mengusap pipinya.

"Sakit? Masa?"

"Beneran ini sakit!" keluh Ravi masih asyik mengusap pipinya.

Mentari merasa sedikit bersalah. Wajahnya menjadi khawatir melihat Ravi yang kesakitan. Padahal menurutnya, dia mencubut pipi Ravi pelan. Tahu sendiri jika Mentari itu tomboy, pelan bisa diartikan berbeda.

"Maaf!" Mentari ikut mengelus pipi Ravi. "Masih sakit?" khawatir Mentari.

"Masih,"

"Lalu gimana dong?"

Ravi meraih tangan Mentari di pipinya. Tersenyum penuh seringai, karena ide licik sudah lewat di otaknya. Didekatkannya pipi Ravi pada Mentari, meski wajah Mentari polos belum paham.

Telunjuk Ravi menunjuk pipinya. Mentari semakin memicingkan matanya. Dasar wanita tidak peka. Dia hanya melihat tanpa berkedip.

"Maksud kamu apa?" Mentari heran.

"Obat biar pipiku sembuh ... satu kecupan darimu," kekeh Ravi.

"Apa!" Mentari mundur. "Dasar cowok cari kesempatan!" kesal Mentari.

"Aku tidak cari kesempatan. Memang benar, kok. Kalau kamu beri aku sebuah kecupan di pipiku, seketika sakitnya menguap entah kemana,"

"Modus!"

"Yakin enggak mau cium? Nanti nyesel, loh!"

"Nyesel apanya?"

"Kapan lagi coba bisa nyium aku," enteng Ravi.

"Nanti setelah menikah, baru kamu bisa dapat ciuman dari aku sebanyak yang kamu mau. Sekarang--" Mentari tersadar.

"Persiapkan dirimu untuk itu," seringai tergambar di bibir Ravi.

Mentari kini menyesali ucapannya. Dalam hatinya dia merutuki bila sudah berucap tanpa berpikir. Pipinya tiba-tiba menghangat lagi, ketika membayangkan Ravi memintanya setelah mereka menikah. Ah, rasanya dia ingin kabur saja.

"Sudah, ah! Katanya mau bertemu dengan Natasha. Sekarang masih di sini,"

"Kamu mengusirku? Atau kamu memang ingin aku kembali lagi pada Natasha?"

Mentari memberikan pelototan tajam pada Ravi.

"Awas saja kalau kamu kembali sama Natasha! Tidak ada kata maaf untukmu!" geram Mentari.

"Cieee ... pacarku cemburu juga ternyata," tawa Ravi.

Telunjuk Ravi mencolek pipi Mentari gemas, walau Mentari langsung menepisnya. Raut wajah Mentari menjadi hiburan tersendiri baginya. Dia sangat yakin bahwa cinta Mentari hanya untuk dirinya, tak tersisa lagi cinta untuk Bintang di hati Mentari.

"Aku pergi dulu. Sudah jangan ngambek lagi! Nanti cepat tua," canda Ravi.

"Terus kalau tua memangnya kenapa? Kaya kamu enggak akan tua saja," cebik Mentari.

"Kamu makin cantik deh kalau marah-marah kaya gini. Apalagi itu bibirnya, sudah buat imanku goyah untuk menyentuhnya,"

Mentari menutup mulutnya. Berjaga agar Ravi tak mencuri ciuman dari bibirnya.

"Aku pamit. Langsung pulang! Besok aku akan menjemputmu untuk acara ulang tahun pernikahan mama sama papa aku,"

Ravi mengusap kelapa Mentari yang tertutup kain kerudung. Memberi sekilas kecupan di pucuk kepala. Akhirnya, dia mendaratkan sebuah kecupan singkat di pipi Mentari lalu pergi begitu saja sambil tertawa.

"Ravi!" teriak Mentari walau hati tersipu malu.

"I love you, Mentari!" balas Ravi berteriak tanpa menoleh ke arah Mentari.

"I love you too, Ravi!" desis Mentari yang sudah tersipu malu.

***

Cerita pertamaku di sini.

Terima kasih buat apresiasinya.❤❤

2 : Memperingatkan

Mentari memacu motor besarnya membelah jalanan. Waktu masih sore untuk pulang. Apalagi dua sahabat karibnya tengah menunggu dirinya di sebuah kafe. Siapa lagi kalau bukan Aira yang modis dan Reva sang calon kakak iparnya.

Tadinya mereka mengajak Mentari jalan-jalan di mall, tapi Mentari tahu jika keduanya sudah di sana, satu jam adalah waktu yang tergolong singkat. Mentari tipe perempuan yang tidak suka berbelanja terlalu lama.

Menghiraukan pesan Ravi yang menyuruhnya langsung pulang, Mentari diam tanpa memberi tahu Ravi. Lagipula dia hanya bertemu dengan temannya yang juga temannya Ravi.

"Maaf telat!"

Aira dan Reva mendongak pada Mentari yang terlihat ngos-ngosan. Dipastikan jika Mentari ngebut di jalanan dan langsung berlari ketika sampai parkiran.

"Dimaklum," sahut Aira datar.

"Dimaklum bagaimana?" Mentari menduduki kursi di sebelah Reva.

"Calon manten," timpal Reva terkekeh.

"Apa hubungannya?" Mentari semakin tak mengerti.

"Kamu habis nyiapin stok persediaan dengan Ravi buat persiapan seminggu tak bertemu. Jadi, kita maklum," canda Aira.

"Bisa saja,"

"Kita baru beres ujian akhir semester, tadinya mau ngajak kamu liburan. Eh ... kamunya mau nikah. Terus liburan tanpa kita,"

"Ralat, Ra! Mereka bu-lan ma-du," Reva menekankan kata bulan madu.

Aira terkikik mendengarnya. Melirik pada Mentari yang ikut tersenyum. Aura pengantin memang beda, pikirnya. Tak menyangka dirinya yang sering gonta-ganti pacar, bisa didahului oleh Mentari yang baru mengenal pacaran.

Seorang pelayan mendekati meja mereka, karena Mentari melambaikan tangannya. Perutnya harus segera diisi, sebelum cacing di perutnya bersuara. Belum lagi kerongkongan yang begitu kering untuk segera disiram cairan dingin.

"Ravi kemana? Sibuk ngurus bisnisnya?" tanya Reva menyeruput jus berwarna merah.

"Bukan,"

"Lalu?" Reva menatap Mentari.

"Dia sedang menemui seseorang," jawab Mentari tak enak.

"Siapa?" giliran Aira yang bertanya.

"Temannya," sahut Mentari asal.

Matanya mengedar ke segala arah untuk menghilangkan kegugupannya. Justru itulah yang membuat kedua temannya curiga. Kebohongan nampak jelas di mata Mentari. Apalagi mereka sudah lama berteman, jadi tahu bagaimana reaksi Mentari.

"Aku kira dia bertemu wanita lain," celetuk Aira.

"Apa!" pekik Mentari pelan.

Mentari melebarkan matanya. Celetukkan Aira sangat tepat dan membuatnya membisu. Dia merutuki kelemahannya yang susah sekali bersandiwara di hadapan kedua temannya.

Ada ketakutan dalam dirinya, jika mengemukakan kemana perginya Ravi. Dua orang di hadapannya berwatak sama dengan emosi yang langsung bertindak tanpa berpikir. Bisa-bisa dirinya kena semprot, padahal maksudnya ingin memarahi orang lain.

"Kamu kenapa? Biasa saja kali, Ri. Kaya orang baru ketahuan bohong," sindir Reva.

Helaan nafas terdengar dari hidung Mentari. Memang benar dirinya tak bisa menghindar lagi dari dua sahabatnya. Seharusnya di antara sahabat tak ada rahasia. Dia pun tak ingin kejadian di saat Aira marah padanya, karena dituduh merebut Bintang dari kak Alya, kakaknya Aira kembali terulang.

"Ravi sedang menemui Natasha,"

"Apa!" giliran Reva dan Aira yang terkejut.

Bahkan Reva memukul meja cukup keras saking dirinya terkejut. Untung saja tangan Reva tidak sampai menepuk kue penuh krim, yang bisa membuat Reva semakin darah tinggi.

Keduanya menatap tak percaya pada Mentari. Ravi bertemu wanita yang sangat dibenci oleh keduanya. Masih ingat di kepala mereka, bagaimana buruknya Natasha sebagai wanita licik dan mengusik ketenangan Mentari.

Berbeda dengan Mentari yang menutup telinganya saking tingginya nada mayor entah minor yang keluar dari mulut Aira dan Reva. Wajahnya menahan malu, melihat beberapa orang memandang ke arah mereka.

Mentari tersenyum dan menganggukkan kepalanya seakan meminta maaf pada semua pengunjung kafe. Namun, Aira dan Reva mengacuhkan pandangan semua orang dan memilih tetap menatap Mentari.

"Kamu izinin Ravi?" tanya Aira membulatkan matanya dengan sempurna.

"Iya. Salah?" polos Mentari.

"Kamu itu terlalu baik atau terlalu bod*h sih? Ravi bertemu dengan mantannya ... Natasha itu licik, Ri!" geram Reva.

"Betul apa yang dikatakan Reva. Bisa saja saat ini Natasha sedang merayu Ravi untuk mengurungkan niatnya menikah denganmu. Apa kamu tidak berpikir ke sana?" kesal Aira.

"Ini mbak pesanannya," sela pelayan.

"Makasih,"

Aira dan Reva masih menampilkan mode api yang membakar tubuh mereka karena amarah. Mentari merasakan kekecewaan keduanya, tapi dengan tenangnya dia menyedot jus miliknya dengan mata melirik pada Aira dan Reva bergantian.

"Ah ... segarnya!" celetuk Mentari terlihat menikmati minumannya.

"Ini anak! Kita bicara serius malah bercanda," protes Aira.

"Aku juga serius kali, Ra. Ini minuman segar banget. Apalagi lihat wajah kalian yang mengintimidasi diriku, nanti aku ikut emosi juga," santai Mentari.

"Kamu itu sebenarnya cinta enggak sih sama Ravi?"

"Ya cintalah, Re. Tak usah diragukan lagi," bangga Mentari tersenyum sambil menaikturunkan alisnya.

"Tapi kenapa kamu enggak cemburu lihat Ravi ketemu sama Natasha?"

"Gini ya, Re. Dulu memang Natasha selalu menggangguku, menuduh aku merebut Ravi darinya. Tapi, semenjak Ravi bertindak tegas sama Natasha, buktinya Natasha tidak berani lagi menampilkan wajahnya di depanku dan Ravi. Dua bulan," Mentari menekankan kata dua bulan dengan jari telunjuk dan tengah yang berdiri.

"Memang seperti itu sih. Tapi, tetap saja aku tak percaya sama Natasha. Dia itu wanita ular. Mengkhianati Ravi dan juga menggoda Bintang. Wanita serakah, kakak adik pengen diembat--" ketus Reva.

"Sayangnya, dia gak dapat keduanya," sambung Aira yang diikuti tawa ketiganya.

"Beda sama Mentari, cewek polos. Dicintai kakaknya, eh mencintai adiknya. Ujungnya direbutin sampai berantem tuh adik sama kakaknya," seloroh Reva menurunkan tawanya.

"Iya ... tapi tetap saja adiknya menang, Ravi jatuh juga ke pelukanmu, Ri," timpal Aira.

"Kalau bukan Bintang yang menghamili kakakmu dan kamu enggak marah sama aku, mungkin Bintang masih jadi tunanganku," sindir Mentari yang tidak nyaman diingatkan kejadian dia hampir diperk*s* Bintang.

"Tuh kan ... kamu ingetin aku lagi. Maaf! Dulu aku kan tidak tahu masalahnya. Jangan ungkit lagi ya!" mohon Aira.

"Makanya kalau dapat kabar itu jangan langsung ngambil keputusan. Bintang yang salah, Mentari kena getahnya," Reva mengingatkan dengan sesuap kue lembut masuk ke mulutnya.

"Ngomong-ngomong soal kak Alya, sekarang sudah berapa bulan usia kandungannya?" tanya Mentari yang ikut memakan spagethinya.

"Emmm ... empat bulan kalau enggak salah. Mau nengok juga ke apartemen Bintang, risih ah,"

"Sama kakak ipar sendiri risih," canda Mentari.

"Terus kalau kamu bertemu Bintang, masih canggung tidak?" tantang Aira.

Mentari memang ragu untuk bertemu dengan Bintang. Meski ketika pernikahan Bintang dan Alya, dia menerima untaian maaf dari Bintang. Namun, tetap saja dia merasa tak nyaman jika bertemu lagi dengan Bintang. Trauma masih menghinggapi dirinya.

Satu hal yang dia sadari, besok dia pasti bertemu dengan Bintang. Acara ulang tahun pernikahan calon mertuanya, harus dia hadiri. Apa yang harus dia lakukan besok, jika bertemu dengan Bintang.

"Ri! Kok bengong?"

"Eh, enggak apa-apa kok, Ra," kilah Mentari.

"Makanya Ravi jangan dibiarkan ketemu sama Natasha, buktinya sekarang kamu kepikiran itu kan?" Reva asal tebak.

"Itu juga Ravi. Dia b*g* apa b*d*h sih? Mau-maunya bertemu dengan Natasha. Katanya benci, eh ... sekarang disamperin," kesal Aira.

"B*g* sama b*d*h emang apa bedanya, Ra?" kekeh Mentari.

Aira mendelik kesal Mentari. Niat hatinya ingin membela Mentari, tapi yang dibela malah santai-santai saja, seolah tak ada beban.

"Pokoknya ... kalau sampai Ravi membatalkan pernikahannya denganmu ... aku tak akan segan-segan mengirim dia ke segitiga bermuda atau lubang hitam sekalian," geram Aira.

"Betul. Aku setuju! Sekalian Natasha juga aku kirim ke planet Merkurius biar kepanasan di dekat matahari," timpal Reva ikut kesal.

"Kalian ini! Aku yang menjalani, kenapa kalian yang repot?" celetuk Mentari memasang wajah pura-pura kesal.

"Kita kan sahabatan. Jadi, ikut merasakan kegundahanmu, Ri. Jangan pura-pura sok menerima, padahal hati galaunya minta ampun!" ujar Reva balas sok marah.

"Kalian memang sahabat terbaikku." Mentari merangkul kedua sahabatnya bergantian.

Sampai kapan pun Mentari ingin terus menjaga persahabatan dengan Aira dan Mentari. Keretakkan di masa lalu menjadi pelajaran untuknya agar lebih menjaga perasaan.

Benar apa yang dikatakan temannya. Bibir merelakan Ravi bertemu dengan Natasha, tetapi hati sangat gelisah. Dia berdoa semoga Ravi benar-benar menyelesaikan masalah dengan Natasha, bukan tergoda untuk kembali pada Natasha.

***

Bagaimana pertemuan Ravi dengan Natasha? Apakah sesuai prasangka Aira dan Reva? Ataukah sebaliknya?

3 : Bertemu Mantan

Lelaki gagah dengan motor sport yang melaju kencang di jalanan, memasuki jalan kecil di area perumahan sederhana. Dia mulsi memelankan laju motornya.

Dulu tempat ini sering dia datangi untuk menemui sang pujaan hati. Namun, beberapa bulan ini dia sudah tak menginjakkan kakinya lagi di sana. Keputusannya berpisah dengan wanita yang sudah tiga tahun lebih menjadi kekasihnya telah dia ambil.

Suasananya masih sama. Deretan kamar kos berjejer memanjang dari pintu pagar. Ravi berjalan menuju ruangan yang ada di lantai dasar dan berhenti di sebuah pintu bertuliskan angka empat.

Baru saja dia ingin mengetuk pintu, seseorang tengah membuka pintu. Tangannya masih menggantung, terdiam ketika melihat sosok wanita cantik dengan surai panjang nampak terkejut juga melihatnya.

"Eh ... kamu sudah datang?"

"Baru saja." Ravi menormalkan perasaaannya.

"Masuk!" ajak wanita itu.

"Di luar saja. Tak enak dilihat orang-orang. Lagipula kita sudah putus. Aku takut calon istriku salah paham nantinya," tolak Ravi menekankan kata calon istri.

Mereka akhirnya duduk di teras kosan Natasha. Beberapa saat mereka larut dalam keheningan. Ravi membaca beberapa pesan di ponselnya dan langsung mengabari calon istrinya bahwa dia baru sampai, tapi belum juga dibaca pesan darinya.

Natasha pun ikut diam, karena dia bingung harus memulai pembicaraan ini dari mana. Dipandanginya lelaki yang masih dia cintai. Sangat berbeda sekali raut wajah Ravi saat ini dengan dulu ketika masih dengannya. Senyuman Ravi selalu terukir untuknya.

Rasa penyesalan dan egois menyelimuti hatinya. Seharusnya dia tidak mengkhianati lelaki yang tulus dan selalu membantu dirinya. Lelaki kaya dan baik hati yang mau menerimanya, meski berasal dari golongan bawah.

"Say ... eh, Ravi!" panggilnya ragu.

Ravi masih fokus pada ponselnya. Membalas beberapa pesan dan tentu saja menunggu pesan yang belum dibaca juga oleh Mentari.

"Ravi!" panggil Natasha sedikit menaikkan suaranya.

"Iya," sahut Ravi datar dan menghiraukan Natasha.

"Kamu apa kabar?" Natasha coba basa-basi.

Baru kali ini Natasha merasa canggung berhadapan dengan Ravi. Ingin rasanya dia memeluk Ravi dan bergelayut manja di lengan Ravi, seperti dahulu kala. Sekarang, sudah pasti Ravi akan marah padanya. Natasha hanya bisa menghela nafasnya.

"Langsung saja. Ada perlu apa kamu memintaku untuk menemuimu?" Aura dingin Ravi begitu terasa oleh Natasha.

"Aku ... aku mau minta maaf atas semua kesalahan yang telah aku perbuat padamu ... dan pada Mentari juga," lirih Natasha memasang mata yang berkaca-kaca.

Melihat Ravi yang acuh padanya, Natasha ingin sekali menumpahkan air matanya. Sosok Ravi saat ini berbanding terbalik 180 derajat, ketika masih menjadi pacarnya.

"Aku sudah memaafkanmu. Mentari juga. Jadi ... tak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Kalau hanya kata maaf, mengapa kamu memaksaku untuk menemuimu? Aku bilang tidak bisa, kamu terus merengek," kesal Ravi menatap tajam Natasha.

"Kalau kamu diam saja, lebih baik aku pergi," ketus Ravi yang geram karena Natasha malah terdiam.

Ravi berdiri hendak pergi, tapi ditahan oleh tangan Natasha.

"Ravi! Tunggu!"

Ravi melirik pada lengannya yang digenggam Natasha. Merasa Ravi marah, Natasha menarik tangannya.

"Maaf," lirih Natasha.

"Aku tak punya banyak waktu, Sha!"

"Baiklah. Aku ingin menjelaskan semuanya,"

"Menjelaskan apa?" Ravi kembali duduk dan menatap Natasha.

"Menjelaskan kenapa aku mengkhianatimu,"

Ravi terdiam. Mencari sorot kejujuran di mata Natasha. Semenjak dia memergoki Natasha berselingkuh dengan kakaknya, kepercayaannya untuk Natasha sudah pudar. Apalagi setelah tahu tubuh Natasha telah dijamah banyak pria, semakin membuat dirinya membenci Natasha.

"Dulu aku tak berniat sedikit pun untuk mengkhianatimu. Tapi, keadaan memaksaku," jelas Natasha memandang Ravi penuh harap.

"Keadaan? Maksudmu?" Ravi tak mengerti.

"Kamu tahu sendiri jika aku berasal dari keluarga sederhana. Bahkan uang kuliahku saja kamu yang biayai. Sedangkan waktu itu, ayahku harus masuk rumah sakit dan butuh biaya banyak untuk pengobatan dan cuci darah. Belum lagi adikku yang masuk SMK, dia juga butuh biaya untuk sekolahnya. Mau tidak mau aku harus bekerja. Tanpa sepengetahuanmu, aku bekerja di sebuah klub malam, karena diajak oleh temanku," papar Natasha dan menjeda penjelasannya.

"Lalu? Kenapa kamu tidak meminta uang itu padaku?"

"Aku tidak mau terus-terusan menyusahkanmu. Uang kuliah saja itu banyak, belum kosan yang selama ini aku tempati, kamu yang bayar. Aku tidak ingin terlihat memanfaatkanmu,"

"Tapi kulihat kau menikmati pekerjaanmu sebagai wanita mur*h*n." Ravi tersenyum meremehkan.

"Itu karena aku sudah terlalu dalam masuk ke jalur yang memanjakanku dari kepuasan batin juga materi. Hatiku selalu mencintaimu, tapi aku juga tak ingin memanfaatkanmu. Ketika temanku memperlihatkan pendapatannya yang besar, aku tergiur. Dari sana aku menikmatinya. Bahkan di saat aku ingin bercint* denganmu, kamu selalu menolak,"

"Karena aku menghormatimu sebagai wanita. Seorang wanita akan menyerahkan sesuatu yang berharga untuk pasangan halalnya kelak. Aku tidak ingin merusakmu, walau aku hampir tergoda. Hal yang tak habis pikir olehku, kamu tega berselingkuh dengan kak Bintang. Bukan sebulan dua bulan, bahkan satu tahun," marah Ravi masih tertahan.

"Hanya dengan Bintang, tidak ada lagi lelaki lain," elak Natasha mendekati Ravi dan meraih tangan Ravi tapi ditepis.

"Lalu kenapa Bintang sampai bilang pertama kali bercinta denganmu, kegadisanmu sudah hilang? Berarti tubuhmu sudah dijamah oleh banyak pria," sengit Ravi.

"Memang ... memang Bintang bukan yang pertama. Tapi, setelahnya aku hanya berhubungan dengan Bintang, karena Bintang selalu memberiku uang dan benda yang aku inginkan. Asal aku diam dan menjadi pelampiasan nafsunya,"

Air mata keluar dari mata kanan Natasha. Rasanya dia sudah tak tahu harus bagaimana menjelaskan semuanya. Dia hanya berharap semoga Ravi menjadikannya sebagai teman. Harapan jauhnya, semoga Ravi mau kembali padanya.

Cintanya selalu tertuju pada Ravi. Lelaki selain Ravi hanya selingan dan mesin uang baginya. Beberapa hari ini dia ingin mendekati lagi Ravi, karena dia yakin jika Ravi masih mencintainya.

Di pikiran Natasha, Mentari telah merebut Ravi. Perasaan Ravi pada Mentari hanya sebuah pelampiasan, karena kekecewaan Ravi padanya. Buktinya Ravi masih mau menemuinya.

Meski Ravi bersikap dingin padanya, dia masih merasakan cinta Ravi masih tersimpan untuknya. Dia ingin membangunkan rasa cinta itu. Pernikahan Ravi dengan Mentari malah membuat dirinya terluka, begitu juga Mentari yang mungkin saja dikasihani oleh Ravi.

"Aku terpaksa, Ravi. Demi pengobatan ayahku dan membantu ibu menyekolahkan dua adikku." Natasha tersenyum miris.

"Sekali berkhianat, tetap berkhianat. Lalu kau anggap aku ini siapa? Aku menjadi kekasihmu berarti aku harus siap ikut membantu masalahmu. Sudahlah ... itu semua masa lalu. Sekarang, aku berharap kamu mendapatkan lelaki yang bisa membahagiakanmu,"

"Hanya kamu lelaki yang bisa membuatku bahagia,"

Ravi menatap tajam Natasha. Semuanya sudah terjadi. Terselip rasa bersalah pada dirinya, ternyata Natasha mencari uang hanya demi keluarganya. Tapi, tetap saja cara Natasha salah. Di matanya, Natasha hanya masa lalu dan masa depannya adalah Mentari.

"Aku tidak bisa membahagiakanmu, Sha. Terbukti aku tidak berguna membantu keluargamu dan kamu lebih memilih lelaki lain. Lagi pula ada Mentari yang tulus mencintaiku,"

"Apa kamu yakin mencintai Mentari? Bukan rasa kasihan?"

"Maksudmu?" Ravi tak terima.

"Kamu memilih Mentari karena melampiaskan rasa kecewamu padaku kan? Mentari mencintaimu dan kamu kasihan padanya. Aku yakin kamu masih mencintaiku,"

"Yakin sekali kamu! Satu hal yang pasti, Mentari mencintaiku dan aku lebih mencintainya," tegas Ravi.

"Tapi aku lihat di matamu, cinta untukku masih ada," yakin Natasha.

"Cuma sisa. Sudahlah, Sha! Kalau kamu berusaha membuatku untuk berpaling kembali padamu dan membatalkan pernikahanku dengan Mentari ... kamu buang-buang tenagamu,"

"Aku tidak berusaha menghalangi pernikahanmu. Aku cuma menjelaskan sebenarnya yang terjadi," elak Natasha.

"Mau penjelasanmu jujur atau bohong, maaf ... aku tak bisa kembali padamu." Ravi melengos.

"Supaya kamu percaya dengan apa yang aku jelaskan, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Dia tak mungkin berbohong,"

"Terserah kamu!" kesal Ravi.

"Inilah alasan mengapa aku memintamu untuk menemuiku. Tunggulah sebentar!"

Natasha beranjak dari tempatnya. Dia masuk ke dalam kosannya. Namun, Ravi acuh. Jam tangan lebih menarik untuk dia lihat dibanding kepergian Natasha.

Sekitar lima menit dia menunggu, Natasha tak kunjung kembali. Rasanya dia sudah membuang waktu dan tenaganya. Lebih baik tadi dia memilih menghabiskan waktu dengan Mentari.

Nama Mentari yang lewat di pikirannya, mengingatkan dia akan sesuatu. Dia langsung membuka aplikasi chat. Ternyata Mentari masih belum membaca pesannya. Dia jadi khawatir terjadi apa-apa dengan Mentari. Akhirnya, dia memilih menghubungi calon istrinya. Selain menjawab kekhawatirannya, dia juga merasa rindu, meski baru saja bertemu.

"Ravi!"

***

Klik 👍 dan masukkan ke favorit ceritaku ini. Jangan lupa komennya!😊😁

Mau beri vote juga hadiah saya terima dengan senang hati.😁

Terima kasih apresiasinya.❤❤

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!