Apa itu cinta? Entahlah, dalam sebuah ruangan seorang wanita tengah menangis terisak. Menyerah untuk menggapai cinta suaminya.
Berbagai barang miliknya, dimasukkan ke dalam kopernya. Sebuah pernikahan yang terjadi karena perjodohan. Berusaha mencintai Daniel, suaminya selama ini, namun seorang suami yang masih mencintai mantan kekasihnya.
Berselingkuh? Daniel bahkan tidur dengan wanita lain di malam pertama mereka.
Namun selama dua tahun ini Jeny tetap menjadi istri yang baik, seperti janjinya pada Ren, kekasih kecilnya. Cinta yang tidak dapat digapainya. Sebuah cinta yang mungkin telah tenang di surga sana.
Sebuah cinta yang dikenangnya kala memegang bandul kalung berbentuk matahari. Dengan pasangan kalung yang kini masih dikenakan Daniel suaminya.
*
13 tahun yang lalu...
Angin berhembus kencang, menerpa wajah cantik seorang remaja berusia 14 tahun. Jalanan berkerikil rusak dilalui sebuah sepeda yang menang tidak begitu bagus.
"Ren, pelan sedikit!!" ucapnya membentak pada anak berkacamata yang lebih pendek darinya. Susah payah anak itu mengayuh sepeda hingga akhirnya berhenti.
"Nona, disini pemandangannya indah. Kita ambil foto ya!?" ucap Ren, yang terlihat sudah kelelahan.
"Dia sebenarnya makan apa!? Badannya kurus tapi tubuhnya sangat berat..." batin Ren menghela nafasnya, yang terengah-engah.
"Lumayan!!" Jeny mengeluarkan kamera kecil yang dibelikan almarhum ayahnya. Mulai mengambil gambar pemandangan di sekitarnya.
"Nona, boleh aku tau, supir ingin mengantar jemput anda setiap hari ke sekolah. Kenapa harus pulang denganku!?" tanyanya penasaran.
"Sosial eksperimen, di sekolah tidak ada yang tau aku orang kaya..." ucap Jeny sembari melihat satu persatu foto yang ditangkapnya. Tanpa di perhatikan Ren satu gambar remaja itu di ambilnya.
"Aku sudah tidak suka disini lagi, ayo kita pulang..." ucapnya, tersenyum cerah.
"Aku baru saja menghirup udara, jika bukan nonaku. Sudah aku..." Ren menahan kekesalannya dalam hati, menendang-nendang udara kesal.
"Kamu sedang apa!? Ayo cepat naik!!" Jeny mengenyitkan keningnya.
"Belajar bela diri, sedang latihan," jawabnya berjalan dengan langkah kaki lemas kembali mengayuh sepeda.
Ibu kandung Jeny adalah pengusaha ternama yang jarang pulang ke rumah, lebih sering tinggal di luar negeri, sedangkan ayahnya seorang polisi. Delapan tahun yang lalu, ayah dari Jeny membawa Ren yang merupakan korban penculikan tanpa identitas pulang ke rumahnya.
Pria berhati hangat itu, menyayangi Ren layaknya putranya sendiri. Namun naas, ayah Jeny meninggal saat bertugas. Tinggalah Jeny di rumah besar itu, dengan puluhan pelayan dan seorang anak yang diadopsi almarhum ayahnya.
Menindas, dan menjadikan kacung, agar dapat perhatian sepenuhnya dari anak pendek berkacamata yang seusia dengannya, begitulah cara Jeny menunjukkan kasih sayangnya.
"Ren, kalau kita dewasa dan kamu menikah nanti aku tidak akan datang..." ucapnya memeluk pinggang remaja itu.
"Itu masih lama, nona akan menikah lebih dulu dariku," Ren tersenyum, masih fokus dengan jalanan yang tidak rata di hadapannya.
"Aku tidak akan pernah menikah!! Ibu dan ayahku menikah tapi mereka tinggal terpisah, bahkan ibu hanya pulang enam bulan sekali," Jeny menghela nafasnya.
"Nyonya hanya terlalu sibuk dengan bisnisnya. Lagipula nyonyalah yang membiayai kehidupan nona," ucapnya penuh senyuman, tubuh kecilnya yang kurus masih mengayuh sepeda, peluh bercucuran dari pelipisnya.
Jeny menghela nafasnya,"Berhenti!!" ucapnya.
"Kenapa berhenti nona!?" Ren menghentikan laju sepedanya mengenyitkan keningnya, menatap nona mudanya.
"Biar aku saja, kamu naik di belakang!!" ucap remaja cantik itu.
"Tapi..." Ren nampak ragu.
"Tidak ada tapi-tapian!! Aku adalah nonamu, berarti aku adalah bosmu!!" Jeny membentak.
"Ya, kamu adalah bosnya, dan aku adalah seorang pesuruh... tapi..." batin Ren mulai menurut duduk di belakang.
Sepeda melaju dengan kencang tidak terkendali seperti dugaan Ren,"Nona, hentikan sepedanya!! Aku masih ingin hidup!!" teriaknya di jalanan menurun dengan tikungan tajam, menuju arah semak belukar.
Suara tangisan terdengar dari semak-semak, lutut Jeny terluka gores. Dengan wajah, lengan terluka, bahkan baju seragam yang sobek, Ren berusaha bangkit mendekati nonanya,"Nona tidak apa-apa!?" tanyanya cemas, meniup-niup luka Jeny.
"Sakit!! Ini semua karenamu!! Jika saja aku tidak kasihan melihatmu kelelahan!!" keluh Jeny sembari menangis terisak-isak.
Ren tersenyum simpul, entah kenapa remaja itu memeluk Jeny,"Ini semua memang kesalahanku..." ucapnya.
"Ini memang kesalahan Ren!!" tangisannya semakin kencang.
"Aku belikan permen ya!?" Ren tertawa kecil.
"Kamu kira usiaku masih enam tahun!!" ucapnya membentak.
"Tunggu sebentar..." Ren berlari ke arah jalan raya, menghentikan sebuah mobil pick up.
"Pak boleh numpang sampai di rumah besar ujung jalan!? teman saya kakinya sakit," ucapnya penuh senyuman.
"Naik saja dek..." pengemudi pick up memberi ijin.
Ren segera memapah nonanya yang hanya terkena luka gores. Mati matian pengemudi pickup menahan tawanya. Menatap siapa yang luka parah siapa yang dipapah.
Mesin mobil kembali menyala, Jeny mulai menutup hidungnya di bak belakang mobil pickup,"Mobilnya bau kambing," ucapnya.
"Semuanya original kambing..." Ren menghela nafasnya, menatap mobil yang kotor, dengan rumput berceceran.
"Makanya kamu cari tumpangan yang bagus!!" Jeny membentak.
"Kita jalan kaki sebelas kilometer hingga sampai kota. Baru saya cari tumpangan, pasti dapat yang bagus..." Ren menghembuskan nafas kasar berusaha bersabar.
"Sudahlah!!" Jeny merajuk, terdiam sejenak beberapa saat hingga bau yang lebih busuk lagi tercium.
"Kenapa tambah bau...!?" Jeny mengenyitkan keningnya, sembari menutup hidungnya.
"Maaf..." Ren mengalihkan pandangannya, merasa bersalah.
"Dasar kurang ajar!! Kamu kentut ya!? Apa saja yang kamu makan!? Kamu makan tikus mati ya!? bisa sebau ini!!" ucapnya sembari kembali menyiksa Ren, memukul kecil tubuh kurusnya, bahkan sempat-sempatnya menjambak.
"Manusia lahir dalam penderitaan, namun suatu hari nanti, sedikit demi sedikit akan mendapatkan kebahagiaannya. Tapi kapan aku bahagianya..." Fikir Ren merutuki nasibnya, menahan rasa sakit.
Mobil pick up berhenti di depan rumah terbesar di desa itu. Dengan hati-hati Ren kembali memapah nonanya.
"Terimakasih pak," ucap remaja itu.
"Dek kemari dulu," sang supir memanggil sang remaja.
Ren berjalan mendekat, hendak mendengarkan kata-kata sang supir. Supir itu sedikit berbisik."Nak, kalau sudah besar nanti jangan mau menikah dengan gadis seperti itu. Walaupun cantik, luka sedikit, manjanya seperti patah tulang, kalau nanti melahirkan mungkin akan menghajarmu habis habisan," Sang supir mengamati penampilan Ren yang teraniaya, dengan bekas jambakan di rambutnya.
Ren menjawab dengan berbisik,"Tidak apa-apa nanti dia akan menjadi istri tersabar dan terbaik di dunia,"
"Ren!! Cepat kemari!! Kakiku sakit!!" Jeny membentak.
"Iya nona..." Ren berlari menghampiri nonanya, perlahan memapahnya ke dalam rumah. Beberapa pelayan mengambilkan kotak P3K, dan baskom hangat untuk membersihkan luka,
"Ren akan mengobatiku, tinggalkan kami berdua," perintah Jeny pada para pelayan.
"Supir pickup tadi bilang apa!?" Jeny mengenyitkan keningnya penasaran, menatap wajah serius Ren yang tengah berlutut, mengobati luka di lutut Jeny.
"Dia bilang anda cantik..." jawabnya.
"Aku memang yang tercantik..." Jeny berucap penuh senyuman.
Ren mulai bangkit setelah selesai membalut luka, menatap wajah nonanya,"Anda memang yang tercantik," entah mendapatkan keberanian dari mana.
Ren menatap bibir gadis itu intens, mengecup bibir itu sekilas.
Jeny tertegun tidak dapat berkata-kata, seketika meraba bibirnya, dengan debaran jantung yang cepat.
"Maaf!!" Ren berucap dengan intonasi tinggi panik, berjalan cepat keluar dari rumah.
Otak Jeny baru kembali berfungsi setelah dilumpuhkan oleh ciuman pertama remaja yang selalu dijadikannya kacung.
"Ren, aku akan menghajarmu sampai mati!!" ucapnya berteriak membentak.
***
Hari telah berganti malam, Jeny tersenyum dengan wajah tersipu. Meletakkan foto seorang remaja laki-laki pendek, berkacamata.
"Ren bodoh!!" ucapnya dengan hati berdebar tidak karuan menggeliat menyembunyikan dirinya di dalam selimut. Seolah tenggelam dalam kebahagiaan dan rasa malu.
Sementara di kamar yang berbeda...
Seorang remaja meraih buku agenda, yang rangkap menjadi buku diary nya...
Wajahnya tersenyum, mulai menulis.
"Jeny sangat menggemaskan..." ucapnya memeluk erat buku yang telah usai ditulisnya.
Bersambung
Tok...tok...tok...
Terdengar suara ketukan pintu,"Masuk..." ucap seorang remaja yang baru terbangun.
Terlihat Ren masuk seperti biasa, membawa sebuah nampan lengkap dengan buah-buahan, susu, serta sereal gandum.
"Sereal lagi!?" Jeny menatap jenuh.
"Sttt ... makan ya!? Aku akan memberi nona hadiah..." Ren menunjukkan sekotak coklat di bawah nampannya.
"Bagaimana kamu bisa beli!? Bukannya uang jajanmu sedikit ya!?" Jeny mengenyitkan keningnya.
"Aku menabung!!" Ren mengalihkan pandangannya dengan wajah bersemu merah.
"Makan sereal nya ya!!" lanjutannya kembali menyodorkan mangkuk yang dibawanya.
"Boleh, kalau kamu menyuapiku..." ucap Jeny tersenyum cerah.
Mati-matian Ren menahan perasaan aneh dalam dirinya. Mulai menyuapi Jeny,"Nona, makanlah yang banyak..." ucapnya penuh senyuman, tertawa kecil.
***
Beberapa puluh menit berlalu, pasangan pelayan dan majikannya itu terlihat memarkirkan sepedanya.
"Aku ke kelas duluan!! Belikan aku minuman..." Jeny menyodorkan selembar uang kertas sepuluh ribu rupiah.
Ren menghela nafasnya, sembari tersenyum,"Baik nona..."
"Ice chocolate dengan toping meses coklat," Jeny berucap penuh senyuman.
"Teh susu!!" Ren berucap tegas.
"Susu!? Kamu fikir aku anak kecil apa?" Jeny membentak kesal.
"Teh susu hangat atau aku tidak bersedia mengantar nona ke sekolah lagi!?" Ren kali ini mengenyitkan keningnya, berucap tegas.
"Kenapa tidak boleh!?" Jeny meninggikan nada bicaranya.
"Nanti nona bertambah gemuk dan aku jadi sulit membonceng nona!!" Ren membentak, memarkirkan sepedanya asal terlihat kesal, berjalan cepat menuju kantin.
"Minuman dingin tidak boleh dimakan pagi hari, nona bodoh...Aku hanya tidak ingin kamu sakit." Ucap Ren dalam hatinya berjalan meninggalkan nonanya.
"Jika dia marah ternyata lumayan menyeramkan," Jeny berdidik ngeri.
Langkah kaki Ren perlahan memasuki kelas, menghebuskan nafas berat. Terlihat seorang gadis di dekati beberapa remaja yang seusia dengan mereka.
"Aku hanya seorang pelayan, Jeny adalah nona mudaku..." Ren berucap dalam hati, mengepalkan tangan kirinya menahan rasa geram. Sedangkan tangan kanannya, membawa minuman untuk Jeny.
"Ren datang, ayo cemburulah!! cemburulah!! lalu katakan kamu menyukaiku..." batin Jeny menatap kedatangan Ren, berbicara lebih akrab lagi dengan teman-teman pria di kelas mereka. Seolah tidak mempedulikan makhluk kaku yang baru datang.
"Ini nona, minuman dan kembaliannya..." Ren berucap memaksakan dirinya untuk tersenyum, menyodorkan teh susu hangat, berserta kembalian Jeny. Kemudian mulai mengambil beberapa buku di tasnya.
"Dasar kaku!!" Jeny mengumpat dengan suara kecil. Bersamaan dengan kedatangan guru pelajaran mereka, serta bubarnya para siswa laki-laki yang mengobrol dengan Jeny.
"Ren, menyebalkan!!" Jeny kembali mengumpat.
"Ren, kamu tidak tertarik mempunyai pacar!?" Jeny berbisik, bertanya pada makhluk yang duduk di sampingnya, penuh rasa penasaran.
"Tidak, sebagain besar cinta pertama akan dilupakan setelah sekian tahun. Aku masih berusia 14 tahun, tidak akan bisa menjaga orang yang aku sukai dengan baik." Ren menghela nafasnya.
"Pemikiran yang dewasa, tapi jika orang yang kamu sukai direbut bagaimana!?" Jeny mengenyitkan keningnya.
"Asalkan dia bahagia itu sudah cukup..." Ren tersenyum mengacak-acak rambut Jeny gemas.
"Sudahlah, kita harus kembali belajar..." lanjutannya, sedangkan Jeny hanya tertegun menatap remaja yang lebih pendek dan berkacamata itu.
"Aku bertambah menyukainya, tapi apa benar cinta pertama tidak akan berhasil hingga akhir. Tidak apa-apa, hanya Ren cinta pertama dan terakhirku. Itulah ambisi seorang Jeny..." batin Jeny diam-diam tersenyum, menatap teman sebangkunya.
***
Hari berlalu, setiap hari bersama dan saling menyayangi, walaupun sesekali bertengkar karena hal kecil. Malam itu udara cukup dingin keduanya berkutat dengan tugasnya di gazebo halaman belakang yang cukup sepi, Jeny belum juga selesai mengerjakan tugasnya, menatap wajah Ren yang tengah konsentrasi menulis.
"Nona, apa nona sudah selesai!?" tanya Ren.
"Belum," Jeny menggelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak dikerjakan!?" Ren mengenyitkan keningnya.
"A...aku menyukaimu!!" ucapnya dengan keras, sambil memejamkan matanya. Perlahan sedikit mengintip ingin mengetahui jawaban remaja di hadapannya.
Ren terdiam membisu tidak tau harus berkata apa, menutup bukunya dengan raut wajah tertegun menahan debaran hatinya.
"Kamu tidak menjawab!? Apa tidak menyukaiku!? Dasar Ren jahat!!" Jeny membentak, dengan segala keberanian yang dikumpulkan mengungkapkan perasaannya. Namun tidak mendapatkan respon sama sekali.
Ren menarik tangan Jeny, mendorongnya hingga tersudut di salah satu tiang penyangga. Perlahan berjinjit mencium bibir Jeny yang lebih tinggi darinya, hanya kecupan sekilas namun berkali-kali."Aku menyukai nona," ucapnya tersenyum hangat.
Tanpa diduga Jeny kembali mendekatkan bibirnya mencium Ren. Kali ini mata keduanya terpejam, saling membuka mulut, entah siapa yang memulai, lidah mereka saling bertaut, memilin berpadu.
"Pacarku yang pendek..." Jeny tertawa kecil dengan nafas tidak teratur, perlahan tangannya mengacak-acak rambut Ren.
"Tidak boleh seperti ini, aku adalah pacarmu. Kenapa aku masih menjadi kaum tertindas!?" Ren berucap dengan suara cemprengnya.
"Karena aku nona sekaligus pacarmu," Jeny kembali tersenyum.
"Nona, apa tidak sebaiknya kita berteman saja!? Saat lulus SMU beberapa tahun lagi nanti baru..." ucapan Ren terhenti, Jeny mengecup bibirnya sekilas.
"Apa yang kamu khawatirkan!? Kita hanya pacaran memperjelas hubungan. Bukan berbuat yang tidak tidak!!" Jeny menyentil dahi Ren.
"Ya Tuhan, kenapa diusiaku yang semuda ini aku bisa menyukai makhluk penindas sepertinya..." batin Ren menghela nafasnya dalam-dalam.
"Tapi kalau kamu mau janji, akan dapat merebut peringkat pertama di kelas semester ini," Ren mengenyitkan keningnya.
"Janji... tapi ada imbalannya setiap hari minggu, kamu harus menciumku!!" jawabnya acuh.
"Deal!!" Ren penuh senyuman, mulai mengajari pacar sekaligus nonanya.
"Akhirnya kami resmi pacaran, mimpi apa aku semalam!? Hatiku mau meledak... Aku akan melawan kalian para buku!! Demi ciuman setiap minggu dari Renku..." tekadnya dalam hati mulai membuka tumpukan buku, untuk pertama kalinya.
***
Hari demi hari berlalu, Jeny merupakan siswa yang cukup cerdas sebenarnya. Dapat dikatakan jenius. Namun, terkadang malas, dengan tekat yang menggebu-gebu untuk mendapatkan hadiah dari Ren setiap minggunya. Dalam tiga bulan, bahkan Jeny mendapatkan kepercayaan mengikuti olimpiade matematika oleh sekolahnya.
Hingga sampai memenangkan ke tingkat nasional, namun menolak untuk jadi perwakilan pergi ke luar negeri. Apalagi alasannya jika bukan tidak ingin berpisah dengan cinta pertamanya.
Hingga, prestasi Jeny terdengar di telinga kakeknya yang tinggal di Australia. Cucu kebanggaannya Nana yang menginjak bangku SMU menjadi harapan untuk mewarisi usahanya malah terkena kasus narkotika.
"George (George Michael, paman Jeny) urus putrimu dengan baik!!" Sam (kakek Jeny) membentak, melepaskan syalnya setelah datang dari pusat rehabilitasi ketergantungan obat-obatan.
"Maaf ayah!!" ucapnya tertunduk.
"Kakak harusnya bisa mempunyai anak seperti putriku, beberapa hari ini dia diliput media asing. Peringat pertama olimpiade matematika di Indonesia," Dea (ibu Jeny) membanggakan putri yang hanya dikiriminya uang.
Sam mulai duduk memijit pelipisnya, kemudian menghembuskan nafas kasar."Kamu terlalu santai sebagai seorang ibu, setelah Nana (sepupu Jeny) terkena kasus penyalahgunaan narkotika, hanya Jeny yang sesuai mewarisi perusahaan kita. Lebih baik kamu pulang dan jaga Jeny baik-baik jangan sampai dia mempunyai kelemahan atau aib sedikitpun."
"Baik ayah..." ucapnya penuh senyuman.
"Akhirnya Jeny yang biasa-biasa saja menunjukkan kemampuannya. Ayah, akan aku pastikan Jeny akan menjadi ahli waris yang sesuai..." Dea bergumam dalam hatinya.
***
Tidak ada yang terjadi hanya sekedar berciuman penuh tawa. Terhanyut dalam perasaan mereka...
"Jeny hentikan!!" Ren tertawa, tubuhnya digelitiki gadis itu.
Dengan cepat Ren mengambil kesempatan membalik posisi mereka, mengecup bibir Jeny sekilas.
Seperti biasa, Jeny hanya dapat terpaku tidak melawan."Aku menyukaimu," ucap Ren penuh tawa.
"Aku juga..." Jeny menjawab.
Seorang wanita memasuki rumah menanyakan keberadaan putri tunggalnya. Seorang pelayan mengantarkan nyonya itu ke halaman belakang. Tidak disangka pemandangan tidak diinginkan dilihatnya.
Sepasang remaja yang tengah berciuman. Wajah wanita itu pucat, tangannya mengepal, menyadari satu satunya ahli waris yang tidak pernah diawasinya memiliki kelemahan.
Perlahan menghela nafasnya, berpura-pura tidak mengetahui hubungan pelayan dan nonanya itu. Merebut perhatian anaknya adalah prioritasnya saat ini.
"Jeny!!" Dea berteriak memanggil putrinya seolah tidak tau apapun.
"Ibu!?" Jeny mengenyitkan keningnya, hubungannya dengan ibunya memang tidak begitu dekat. Pasalnya Dea lebih sibuk dan mementingkan bisnisnya. Sedari kecil yang menemani Jeny hanya ayahnya dan Ren.
"Ibu membawakan kalian oleh-oleh," ucapnya tersenyum ramah.
"Ini untuk Jeny, sebaiknya coba dulu di kamarmu," Dea menyodorkan dua buah paper bag besar berisikan pakaian.
"Ada angin apa ibu jadi sebaik ini!? apa pakaiannya ditaburi bubuk gatal..." fikir Jeny menepuk nepuk pakaian baru itu.
"Kamu sedang apa!?" Dea mengenyitkan keningnya.
"Menghilangkan bubuk gatal, Ren sebaiknya kamu juga periksa milikmu..." Jeny menatap jengkel.
"Anak kurang ajar!! bagaimana Dony (almarhum ayah Jeny) mendidiknya!? Hingga berani kurang ajar begini kepada ibunya," batin Dea berusaha tetap tersenyum.
"Jeny ibu tidak mungkin..." ucapan Dea terpotong.
"Obat pencahar di kopi paman!?" Jeny mengenyitkan keningnya.
"Itu karena berani menentang Dea dalam rapat keluarga besar... Aku memang hebat..." Dea bangga dalam hatinya.
"Dia diare karena terlalu banyak makan berserat, makan makanan berserat baik untuk tubuh. Tapi bisa juga berdampak buruk jika terlalu banyak." Dea menghela nafasnya sembari tersenyum.
"Obat tidur di minuman ayah!?" Jeny berucap, menatap tajam.
"Ayahmu mau dinas ke luar kota, lebih baik dia turun pangkat karena terlambatkan!? Supaya ada yang mengawasimu, saat ibu mengurus perusahaan," fikir Dea mengenyitkan keningnya, kemudian menghela nafasnya.
"Dia tidak sengaja minum obat milik ibu..." Dea tersenyum cerah.
"Sudahlah, aku dan Ren harus belajar lagi..." Jeny meletakkan paper bag, kembali menyelesaikan soal yang diberikan Ren. Konsentrasi belajar bersama, sembari sesekali tertawa dalam senyumannya.
***
Hari berganti sore, Ren mulai berjalan membawa sebuah nampan ke kamar nona mudanya. Langkahnya di hentikan sepasang kaki majikannya.
"Aku ingin bicara denganmu..." ucapnya.
Ren menghela nafasnya, bagaikan sudah menebak hal yang akan terjadi,"Maaf..." ucapnya tertunduk.
"Saya menyayangi nona ingin nona menjadi lebih baik. Karena itu saya..." ucapannya di sela.
"Kamu sadar menjadi penghalang dan kelemahan Jeny. Aku sudah mendengar semuanya, bahkan Jeny membatalkan pergi ke luar negeri untukmu," Dea menghela nafas menatap jengkel pada anak yang diadopsi oleh almarhum suaminya itu.
"Saya sadar..." Ren tertunduk, dengan status dan kerasnya hidup yang dijalinnya fikirannya memang lebih dewasa dari anak seusianya.
"Tinggalkan rumah ini, atau aku akan bertindak." Dea pergi berlalu, meninggalkan Ren yang tertunduk.
Remaja itu menghembuskan nafas kasar, mengetuk pintu kamar nonanya.
"Nona..." panggilnya.
"Masuk!!" terdengar suara seseorang dari dalam sana.
Ren segera masuk berucap penuh senyuman,"Sate ayam tanpa kecap manis, lengkap dengan irisan bawang," ucapnya seakan tidak memiliki beban.
"Kamu selalu tau seleraku!!" Jeny buru-buru mengambil sepiring sate lengkap dengan nasinya itu. Memakannya dengan rakus.
"Pelan-pelan," Ren menyodorkan segelas air.
"Terimakasih..." Jeny berucap penuh senyuman, meraih segelas air putih itu kemudian meminumnya.
"Jeny..." Ren menatap ke arah jendela yang terbuka.
"Apa!?" Jeny dengan mulut penuh.
"Pernah tidak kamu berfikir jika hubungan kita hanya kekasih masa kecil," ucapnya.
"Magsudnya!?" Jeny tidak mengerti menghentikan aktivitas makannya.
"Suatu hari nanti ketika dewasa kamu harus menikah dengan orang yang sederajat. Tidak boleh mengingatku lagi..." jawabnya berusaha untuk tersenyum.
"Tidak mau!! Jangan berkata hal yang bodoh!!" Jeny mengenyitkan keningnya kesal.
"Tapi jika seandainya ada waktu seperti itu. Berjanjilah suatu hari nanti jika kamu menikah, sayangilah suamimu seperti kamu menyayangiku..." ucapnya tersenyum lembut.
"Tidak, dari kecil kita bersama, besar, tua, mati juga harus bersama!!" Jeny menangis merajuk.
"Berjanjilah!!" Ren hanya terdiam dengan raut wajah tegas.
"Tidak mau!!" Jeny mengalihkan pandangannya.
"Aku tidak akan mau mencium mu lagi, kalau kamu tidak mau berjanji..." Ren menatap ke arah lain.
Jeny membulatkan matanya, mulai berfikir. "Ren tidak serius kan!? Tenang Jeny, Ren berkata 'Jika' kan!? Berarti tidak akan terjadi."
"Aku berjanji!!" Jeny menghela nafasnya dalam-dalam berucap dengan suara keras.
"Bagus..." Ren tersenyum hangat, menarik bagian belakang kepala Jeny untuk mendekat, merasakan bibir gadis yang dicintainya, menjelajahi celah demi celah sudut bibir Jeny. Jeny memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan di bibirnya. Tanpa menyadari air mata mengalir di pipi Ren.
"Rasanya seperti sate..." Ren tertawa kecil.
"Kamu menangis!?" Jeny mengenyitkan keningnya.
"Karena terlalu bahagia, nona sangat mencintaiku," ucapnya tersenyum lembut.
"Aku tidak dapat meninggalkan nona, aku tidak tau apa yang akan nyonya lakukan. Namun, jika itu demi kebaikan nona, aku tidak akan merasa keberatan," batin sang remaja.
Bersambung
Udara pagi masih terlalu dingin, Dea sudah bersiap-siap mengambil hati putrinya. Mengetuk pintu perlahan membawa semangkuk sereal gandum serta segelas susu.
"Masuk..." ucapnya yang baru terjaga.
"Selamat pagi," Dea penuh senyuman membawa nampannya.
"Ibu!? Dimana Ren!?" Jeny mengenyitkan keningnya.
"Mulai hari ini, selama ibu di sini. Ibu yang akan mengatur keperluanmu..." Dea berucap penuh senyuman, meletakkan nampan berisikan oat sereal, dengan hiasan potongan strawberry serta segelas susu.
"Ibu, aku alergi strawberry," Jeny menghela nafasnya, menjauhkan mangkuk makanan itu.
"Kamu harus makan dulu ya!? Jangan seperti ini..." ucap Dea mencoba menyuapi Jeny yang disangkanya berbohong.
"Tapi..." kata-kata Jeny terhenti, Dea terlebih dahulu memasukkan makanan itu ke mulutnya.
Selang beberapa belas menit, semangkuk sereal itu tandas. Napas Jeny mulai tidak teratur menunjukkan gejala alerginya.
"I... ibu," ucapnya dengan napas tersengal-sengal.
"Jeny..." Dea terlihat cemas.
"Kamu tidak apa-apa!?" Dea mengangkat tubuh putrinya. Berjalan dengan cepat melewati beberapa pelayan, menuju tempat parkir.
"Nyonya, nona kenapa!? Apa alerginya kambuh!?" Ren yang telah memakai seragam sekolah lengkap mengikuti langkah nyonyanya.
"Re...Ren," ucap Jeny masih dalam dekapan Dea.
"Nyonya!! Mohon turunkan nona..." Ren berucap dengan nada tinggi.
"Tapi aku akan membawanya ke rumah sakit!!" Dea tidak setuju.
"Tidak sempat!! Jarak rumah sakit terlalu jauh, nyonya mohon percayalah pada saya..." remaja itu meyakinkan.
Dea menghela nafasnya, menurunkan putrinya di sofa ruang tamu.
Ren bergerak dengan cepat mengambil obat dari kotak P3K, membuka kancing piama Jeny.
"Kamu mau apa!?" Dea membentak.
"Menyelamatkan nona..." Ren meraba tali pengait pakaian dalam gadis itu. Memberikan ruang agar paru-parunya tidak mendapat tekanan sama sekali.
Perlahan memberi nafas buatan,"Ambilkan air, larutkan obat anti alerginya, ke dalam satu sendok makan air!!" Ren membentak di sela kegiatannya, memberi perintah pada pelayan di dekat sana.
Perlahan membatu Jeny duduk di sela napasnya yang masih terengah-engah. Meminumkan obat yang sudah terlarut.
"Te... terimakasih," ucapnya dengan napas yang masih belum teratur. Ren kembali membaringkan Jeny beberapa kali memberi nafas buatan. Hingga akhirnya, napas Jeny sudah stabil.
"Akhirnya..." Ren menghela napas lega, duduk di lantai menyenderkan punggungnya di kaki sofa.
"Aku akan membawa Jeny ke rumah sakit..." Dea mengenyitkan keningnya menatap tidak suka pada remaja yang sudah menyelamatkan putrinya.
"Sebaiknya begitu, saya hanya dapat memberikan pertolongan pertama saja," Ren menunduk, kehabisan napas.
"Tidak tau diri..." Dea menghujat, mengangkat kembali tubuh putrinya yang masih lemas. Sedangkan Jeny hanya dapat menatap Ren yang masih tertunduk.
"Ren, terimakasih..." ucap Jeny dalam hatinya.
***
Hari ini Jeny tidak hadir, Ren menghela napasnya sesekali melirik ke arah bangku kosong di sampingnya, mencemaskan keadaan nonanya.
Hingga jam sekolah berakhir, Ren mengamati ban sepedanya yang kempes. Dengan beberapa orang teman sekelasnya yang berada di sana.
"Jeny tidak ada di sini, tidak akan ada yang melapor pada guru. Jadi diam!! Menurut dan ikut kami!!" ucap salah satu anak, menarik Ren yang memang bertubuh kecil.
Ke lima anak itu membawa Ren ke kamar mandi,"Dasar kutu buku!! Mana uangmu!?" Ren di dorong hingga tersungkur di lantai kamar mandi.
"Lima hari lagi ulang tahun nona, jika uangnya aku berikan, aku tidak akan dapat membeli kado..." batin Ren memilih untuk bungkam, tidak menjawab kata-kata teman sekelasnya.
"Kamu dengar tidak!? Dasar tuli!!" ucap salah satu anak menendang perut Ren dengan keras.
Rambutnya mulai ditarik, di bawa ke dalam bilik toilet, kepalanya dipaksa, digosokkan pada kloset.
"Ren tahan, sebentar lagi mereka akan menyerah meminta uang padamu..." ucapnya dalam hati menahan rasa jijik.
"Dasar sampah!! Kamu fikir kenapa kami tidak pernah mengganggumu, itu karena Jeny kami tidak ingin dia memandang buruk pada kami!! Dasar budak Jeny!! Serahkan semua uangmu!!" ucapnya menggeledah pakaian dan tas milik Ren namun hasilnya nihil, tidak ada uang disana. Ren hanya dapat terdiam, tidak ingin melawan, memejamkan matanya berharap pembullyan yang didapatkannya akibat terlalu dekat dengan Jeny akan berakhir.
Sebenarnya bukan cuma hari ini, setiap Jeny tidak hadir. Beberapa siswa laki-laki yang dekat dengan Jeny akan melakukan pembullyan terhadap Ren. Mungkin karena rasa iri mereka, siswa terisolasi, tidak populer dapat terus bersama dengan Jeny siswi paling populer di kelas mereka.
"Miskin!! Buang-buang waktu saja!! Ingat jangan mengatakan apapun pada Jeny!! Dasar wajah kloset!!" ucap salah seorang siswa meninggalkan Ren bersama rombongan temannya.
Ren segera mencuci wajahnya, menahan rasa jijik, membilasnya dengan sabun. Bahkan dengan cermat mencuci kacamatanya yang sedikit retak.
"Ren, kamu hebat dapat bertahan saat ini. Sedikit lagi ulang tahun nona, bertahanlah," ucapnya dalam hati mengamati pantulan dirinya di cermin sembari tersenyum. Perlahan mengambil kotak makan siangnya, yang dipenuhi uang pecahan 2000 sampai 5000 rupiah.
***
Hari semakin sore, perlahan Ren berjalan menuntun sepedanya setelah memenangkan diri. Menatap matahari yang akan terbenam mengambil kertas dan penanya kemudian mulai menulis di buku agendanya.
Penuh senyuman, dengan sedikit tangisan pada sinar matahari yang meredup, seakan mengadu tentang kerasnya dunia ini.
Ren memasuki gerbang rumah, untuk pertama kalinya didapati sebuah mobil asing yang terparkir di sana. Remaja itu memarkirkan sepeda yang dituntunnya. Berjalan melewati ruang tamu tanpa berani menengok tamu nyonyanya yang datang. Namun matanya sedikit melirik ke arah Jeny yang tidak tersenyum sedikitpun, memakai mini dress, terlihat berpenampilan cantik dan rapi.
"Jeny!!" terdengar suara Dea membentak, diikuti dengan Jeny yang berlari kesal ke kamarnya. Entah apa yang terjadi.
Sementara Dea menenangkan tamunya yang masih berada di sana. Tidak bermaksud sama sekali menyusul Jeny yang mengurung diri di kamarnya.
"Nona ..." terdengar suara Ren mengetuk.
Dengan cepat gadis itu membuka pintu kamarnya, menarik Ren masuk memeluknya erat sembari menangis.
"Ada apa!?" Ren mengelus punggung gadis yang mendekapnya.
"Ren, kita kabur dari rumah ya!?" Jeny terlihat antusias, menyeka air matanya.
"Kenapa!?" Ren mengusap air mata nonanya sembari tersenyum hangat.
"Ibu ingin aku bertunangan dengan keluarga rekan bisnis kakek. Orang jelek, berwajah dingin itu..." Jeny menangis lebih kencang.
"Jangan menangis, nona belum mengenalnya. Mungkin jika nona mengenalnya, nona akan menyukainya," remaja itu tersenyum, menahan rasa sakit dalam hatinya, merapikan anak rambut Jeny yang berantakan menutupi wajah cantik dengan makeup yang tipis itu.
"Ren!! Aku akan dijodohkan!!" Jeny membentak.
"Nona mau makan apa!? Akan saya ambilkan, bagaimana jika malam ini saya buatkan nasi goreng dengan udang," Ren masih setia tersenyum, bagaikan boneka tidak dapat berbuat apa-apa jika itu untuk kebahagiaan nonanya.
"Aku benci Ren!! Kita putus saja!!" Jeny membentak memasukkan dirinya ke dalam selimut, berharap Ren membujuknya. Namun remaja itu menghela napasnya, kemudian pergi.
Tidak terasa Jeny tertidur, waktu telah menunjukkan pukul 1 dini hari. Seorang remaja terlihat tertidur di kursi meja rias Jeny.
Gadis yang baru terbangun itu, menatap sebuah catatan di atas meja lengkap dengan sepiring nasi goreng udang.
'Nona jangan lupa makan...'
'Ren'
Jeny tersenyum mulai makan dengan lahap, melihat wajah remaja yang tengah tertidur itu.
***
Hari telah kembali pagi, Jeny berpura-pura kesal, tidak peduli dengan Ren.
"Nona, seharian ini saya akan mengikuti ujian untuk beasiswa khusus di kota. Mohon jaga diri nona baik-baik," Ren terlihat tersenyum, mengamati Jeny yang makan sereal di kamarnya tanpa menyaut.
"Rasakan siapa suruh jadi pria tidak peka!! Seharusnya kemarin Ren-ku memelukku dan mengatakan akan kabur dari rumah bersamaku," ucap Jeny dalam hati, tidak menyadari betapa kejamnya dunia luar bagi anak berusia 14 tahun.
"Apa nona marah!?" Ren mengenyitkan keningnya.
"Maaf, aku yang salah..." Ren mengecup bibir Jeny sekilas, berucap penuh senyuman.
"Iya kamu yang salah!!" Jeny membentak terlihat masih merajuk.
"Pacarku atau mantanku!?" Ren tertawa kecil.
Jeny menghela nafasnya, memindahkan mangkuk serealnya ke atas meja. Mencium bibir Ren perlahan, matanya tertutup membuka mulutnya, saling menikmati sentuhan perlahan saling menjelajahi dan memilin.
"Aku mencintai nona ..." Ren tertawa kecil, dengan napas tidak teratur.
"Aku juga menyukai Ren-ku," Jeny memeluk tubuh remaja yang dicintainya.
***
Jeny telah masuk ke mobil, hendak berangkat ke sekolah. Segera setelahnya Ren masuk ke mobil lainnya, membawa beberapa buah buku dan memakai seragam sudah siap mengikuti ujian beasiswa.
Dea mengamati kepergian Ren dari balkon,"Jika sebuah pohon ingin sehat. Maka, parasit harus disingkirkan..."
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!