NovelToon NovelToon

KEPALSUAN CINTA

BAB 1

Aku menatap nanar tubuhku di cermin, keadaanku terlihat begitu kacau, mataku sedikit sembab, leherku penuh dengan tanda merah keunguan, rambutku begitu berantakan, juga tubuh dan hatiku terasa begitu ngilu dan sakit. Setiap hari harus ku lihat pantulan tubuhku dalam keadaan yang cukup mengenaskan.

Sekali lagi, aku merasa perempuan ternyata sungguh adalah makhluk yang begitu lemah, sekuat apapun aku mencoba untuk melawan, tetap saja pada akhirnya aku akan kalah, aku terlihat begitu lemah juga bodoh.

“Sayang ... apa yang sedang kamu lakukan??” aku menoleh, pria itu ... dia pria yang sudah mengambil seluruh kebahagiaanku, merampas seluruh mimpi, cita, cinta dan juga harapan besarku. Aku membencinya!.

“A aku ...” ku gantungkan kata-kataku, rasanya sangat sulit bibir ini untuk mengungkapkan kata apapun padanya.

Dia mendekat! Aku semakin muak dengan keadaan ini, perlahan dia memelukku dari belakang, lalu menciumi tengkukku dengan syahdu.

“Kamu belum pakai baju, kamu sengaja mau menggodaku lagi ya??”

Huuueeeekkkk!!! Aku sungguh muak! Jika aku mampu, bolehkah aku memukul pria di hadapanku ini?.

“Ti tidak ...” aku menggeleng pelan, bendungan air mata hampir saja lolos lagi dari kedua pelupuk mataku, jika aku tidak menahannya sekuat tenaga.

“Oh, ya! Aku hampir melupakannya, aku memiliki hadiah untukmu” ucapnya, melepaskan dekapannya, lalu berjalan meraih tas kerjanya yang terletak di sebuah kursi soffa di pojokan kamar.

Dia membuka tasnya, lalu meraih sebuah kotak berwarna merah beludru, berjalan mendekatiku, lalu mengecup keningku sekilas.

“Ini hadiahku untukmu, aku harap kamu suka sayang” dia menyodorkan benda tersebut, dengan senyuman andalannya, senyuman lembut, namun begitu memuakkan di mataku.

Aku menerimanya dengan tangan bergetar, seulas senyuman tipis kupaksakan.

“Hadiah untuk apa??” tanyaku memberanikan diri.

‘Hadiah karena semalam suntuk aku sudah di paksa untuk memuaskanmu?’ lirih hatiku bergumam.

“Tidak ada alasan untuk suami memberikan hadiah untuk istrinya, hadiah ini sebagai tanda, jika aku sangat mencintaimu Ra” dia menatap kedalam kedua bola mataku, mencoba menelisik isi hatiku yang sesungguhnya, tapi sayang ... dia tidak pernah mampu melakukannya. Dia tidak memahami isi hatiku.

“Terimakasih” aku menganggukan kepalaku pelan, lalu tersenyum sambil menunduk, aku terpaksa harus tersenyum lagi pada pria menyebalkan ini.

“Coba lihat, kamu suka-kan dengan hadiahku??” dia masih tetap memaksa, agar aku mau melihat hadiahnya, padahal dia tahu apapun yang dia berikan jelas aku akan mengatakan ‘suka’ meski hatiku begitu enggan.

Aku membuka kotak tersebut, sudah kuduga, isi kotak tersebut adalah hadiah seperti biasa, sebuah perhiasan dengan bentuk kalung dengan liontin bermata putih, indah ... sangat indah, dan mungkin terlalu indah untuk perempuan miskin seperti diriku.

“Kamu suka bukan??” tanyanya sekali lagi.

Aku mengangguk, “Sangat suka, terimakasih Mas” ujarku, lagi-lagi dengan senyum di paksakan. Dia tersenyum senang.

“Aku berangkat kerja dulu ya Ra, kamu hati-hati di rumah, kamu mandi dulu, terus sarapan” ucapnya, sekali lagi dia memeluk tubuhku, lalu mengecup keningku singkat, aku segera meraih tangannya, mencium punggung tangannya, lalu tersenyum sendu, mengantarkan kepergiannya.

Dia sudah menghilang di balik pintu, aku menarik napas panjang, lalu melempar hadiah yang masih aku genggam ke dalam laci, di dalam laci sudah terdapat banyak sekali hadiah serupa, namun aku enggan untuk menggunakannya. Kebencianku mendominasi akal sehatku. Aku benci pada pria yang sudah berani mengusik dan mencuri seluruh masa mudaku.

Perlahan, aku berjalan menuju kamar mandi, lalu membuka seluruh baju yang masih menempel di tubuhku, kunyalakan shower lalu aku berdiri di bawah aliran air yang menyembur begitu saja membasahi seluruh tubuhku.

Berlama-lama berada di bawah guyuran air yang mirip air hujan ini, seketika aku mengingat masa laluku, kala aku masih tinggal di Desa, aku sering bermain hujan-hujannan, dengannya ... orang yang memiliki mimpi yang sama denganku.

Hupppttt ...

Aku segera membilas tubuhku yang terasa perih akibat perbuatan laki-laki itu, segera ku raih handuk, lalu berjalan keluar kamar mandi, mendekati lemari besar lalu aku membuka pintunya, terdapat puluhan baju bermerek yang telah pria itu belikan untukku, aku menatapnya malas, ku raih pakaian dalamku lalu aku mulai menggunakannya, memilih salah satu baju yang menurutku paling sederhana, lalu mengenakannya.

Ku tatap kembali tubuhku di cermin, pakaian yang ku gunakan, perhiasan, suasana kamar dan segala fasilitas lainnya yang dia berikan, terlihat begitu mewah dan sempurna jika di lihat oleh mata lahir, namun ... tidak!! Semuanya sangat menyiksaku.

Hidupku, sepenuhnya di fasilitasi oleh pria itu, dari mulai makanan, minuman, pakaian, kendaraan, perhiasan, memanjakan diri pergi ke salon, shopping setiap saat jika aku mau, namun ... tetap pria itu yang mendominasi, dia yang memilihkan semuanya, dan aku tidak di beri kesempatan untuk berpendapat, dia tidak pernah memberikan uangnya sepeserpun kepadaku, dia hanya membelikan apa yang di anggapnya aku butuh. Memuakkan!.

Aku berjalan menuju keluar kamar, waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, aku berjalan melewati anak tangga yang menuju ke lantai bawah rumah ini.

“Tuan putri ... baru bangun??” aku mematung, kala ku dengar suara perempuan dengan nada sinis tengah menyapaku.

“I iya, ma maaf Mih, a aku bangun kesiangan” aku menunduk takut.

“Sesekali, kamu harus belajar jadi istri yang baik, bangun pagi, siapkan sarapan dan kebutuhan suamimu sebelum berangkat kerja, apa susahnya sih??” nada suaranya meninggi.

“Saya dengar, gadis yang berasal dari kampung itu, biasanya sangat telaten dalam mengurus suami, tapi kenapa kamu berbeda sekali??” dia mendelikkan matanya, menatapku dalam, aku tidak suka ini, aku tidak suka di kekang!.

“Maaf Mih, besok saya akan melaksanakan tugas saya sebagai seorang istri” aku menunduk dalam, merasa takut, juga tidak terbiasa kala ada orang yang berbicara dengan nada setinggi itu padaku.

“Bagus, hari ini, Mami akan pergi ke butik, kamu di rumah saja, sarapan sudah ada di meja makan” perempuan yang masih terlihat cantik, padahal usianya yang menuju senja itu berjalan dengan elegant, menenteng tas branded juga menggunakan pakaian yang tak kalah memukau, berjalan menuju pintu utama, lalu menghilang di balik pintu.

Aku menghela napas berat, rasanya aku tidak sanggup berada di rumah ini, rumah ini bagaikan neraka bagiku.

“Baru bangun Ra??”

Aku menoleh pada asal suara, aku menunduk lagi.

“I iya Kak” ucapku terbata.

“Besok, kamu usahakan bangun lebih pagi dari suamimu, maafkan Mamih yaaa, beliau memang seperti itu” ucapnya tersenyum lembut, lalu berjalan mengelus pundakku.

“Jangan di paksakan sayang, kasihan ... gadis kampung pasti harus bisa menyesuaikan diri dalam waktu yang lama untuk berada di tempat baru yang begitu asing baginya” tukas pria yang sedari tadi berdiri di samping Kak Risya istri dari Kakak iparku.

Aku mengangkat kepalaku, menatapnya tajam, tidak suka jika dia mengataiku sebagai perempuan kampung, meski itu kenyataannya.

Dia mengedipkan sebelah matanya padaku, tersenyum menyeringai, membuatku sedikit gentar.

“Mira masih terlalu kecil untuk membina sebuah rumah tangga Mas, jadi wajar saja jika dia masih harus banyak belajar” ucap Kak Risya lembut, tangannya begitu lincah membenahi dasi pria genit itu, pria itu menyunggingkan senyuman liciknya ke arahku, kembali mengedipkan sebelah matanya. Membuatku kembali muak.

“Aku berangkat ya sayang” pria itu memeluk istrinya, lalu mencium kening Kak Risya singkat, Kak Risya mengangguk, lalu mengantarkan suaminya hingga ke teras rumah.

“Ra ... Kakak berangkat kerja dulu ya, kamu hati-hati di rumah” tidak lama berselang, Kak Risya pun meninggalkan rumah, dengan alasan berangkat bekerja ke kaffe yang selama ini sudah di kelolanya, aku mengangguk faham.

Suasana kembali begitu hening, pembantu di rumah ini rupanya belum pulang dari pasar, aku berjalan berkeliling di dalam rumah ini, di temani oleh rasa sepi.

Mau bekerja?? Tidak mungkin, aku tidak tahu tentang apa-pun, pendidikanku begitu rendah, usiaku juga masih kecil, aku tidak memiliki pengalaman mengenai apapun.

Di tambah, pria itu selalu mengancamku, agar aku tidak keluar rumah tanpa di dampingi olehnya.

Semuanya, sungguh memuakkan. Sekali lagi, perempuan hanya akan menjadi makhluk yang tertindas, dan aku membencinya!.

BAB 2

Perempuan adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang di anggap lemah, mereka membuat anggapan bahwa perempuan di larang berbicara atau mengutarakan pendapatnya, acap kali perempuan tidak mendapatkan hak-nya, namun di paksa untuk selalu melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.

Perempuan di larang memiliki mimpi, apalagi untuk mewujudkannya, itu sudah seperti pantrangan di Desaku kala itu.

Ingin melawan? Ingin membantah? Atau ingin mengutarakan pendapat dan keinginan? Tentu itu hanya akan menjadi angan belaka, sebagaimana kepercayaan di Desa kami, bahwa jika ada anak atau perempuan yang berani membangkang pada perintah orang yang lebih tua atau pada suaminya, maka anak atau perempuan tersebut akan langsung di cap sebagai manusia durhaka, dan mungkin saja hukuman berupa cambukan atau makian adalah hal yang akan selanjutnya terjadi.

Iya, itu tanggapan orang-orang yang berada di Desa-ku kala itu, aku tinggal di sebuah Desa terpencil yang sangat jauh dari peradaban kota.

Desaku terletak di sebuah kaki gunung yang termasuk datarang paling tinggi, hawanya sejuk, dingin, pemandangannya yang begitu indah, sawah membentang, sungai dengan air jernih mengalun merdu, hutan dengan pohon pinus berderet, lalu tidak jauh dari rumahku terdapat sebuah perkebunan teh milik seorang Juragan yang di kelola oleh warga setempat.

Pernah terbersit di hati, bagaimana jika aku melarikan diri saja? Agar aku bisa terlepas dari belenggu yang membuatku lelah ini?? Tentu ... hal itu-pun akan menjadi hal yang mustahil bagiku, kabur?? Mau kabur ke mana?? Dengan minimnya pendidikan juga pengalaman, membuat para perempuan hanya mati kutu. Terus bergelung dengan rasa takut.

Pada akhirnya kami para perempuan hanya akan berkutat pada dapur, sumur, dan kasur. Itu sudah seperti adat dan budaya di Desa-ku, bahwa perempuan cukup hanya bisa memasak, membersihkan rumah, juga melayani suaminya dengan baik kelak.

Di desaku, anak perempuan yang baru berusia tiga belas atau empat belas tahun, mereka sudah di pastikan akan segera di nikahkan, entah atas dasar perjodohan dari para orangtua, atau pihak laki-laki yang melamar langsung pada orangtua perempuan, perempuan tidak bisa memilih, mereka cukup menunggu dan menerima. Entah mereka menikah dengan pria yang rentang usianya jauh dari mereka, atau mungkin di jadikan istri ke dua, ke tiga, atau ke empat, mereka di larang menolak, para orangtua bilang pamali kalau menolak jodoh atau pilih-pilih jodoh, cukup sederhana, mereka hanya akan menganggap semuanya sebagai takdir.

Sekolah?? Kala itu, sekolah bagi anak perempuan merupakan hal yang sangat tabu, selain sekolah SD juga sekolah SMP yang memiliki jarak yang sangat jauh dari Desa-ku, tapi ... beruntunglah aku, yang hanya anak seorang penjaga keamanan di perkebunan teh tersebut, dan seorang Ibu yang hanya seorang Ibu rumah tangga biasa, di perkenankan untuk mengecap pendidikan, meski hanya sekedar sampai lulusan SMP saja.

Kala itu, bagiku bisa bersekolah saja sudah hal yang sangat luar biasa, entah dari perjuangan menuju sekolah, perjuangan belajar, dan perjuangan dalam biaya-nya.

Jarak tempuh antara Desa-ku menuju sekolah kurang lebih hampir dua jam, atas kerjasama warga yang menginginkan anak-anaknya bersekolah dan sopir truk pengangkut teh di perkebunan tersebut, semua sepakat bahwa truk pengangkut teh sebelum beroprasi untuk mengangkut teh yang akan di kirim ke pabrik yang ada di kota, pada pukul delapan pagi, maka pada pukul lima pagi truk akan standby menunggu kami para siswa yang akan bersekolah untuk di antarkan ke kota tempat sekolah kami berada. Karena di buru waktu, kami tidak boleh ada yang terlambat, kami harus disiplin waktu, karena jika sedikit saja terlambat, maka truk akan berangkat terlebih dahulu, dan yang tertinggal otomatis tidak akan bisa berangkat sekolah. Ketika pulang sekolah kami akan di jemput pukul dua siang, selepas truk selesai mengantarkan teh untuk yang ke dua kalinya.

Rasa persaudaraan kami begitu kuat kala itu, setiap subuh kami saling membangunkan, kami saling menunggu, lalu kami saling membantu kala naik ke atas truk, berusaha menahan Mas Paijo si sopir truk, jika di antara kami kebetulan ada yang terlambat.

Perjalanan yang kami tempuh bukan tanpa resiko, bagi kami yang masih berusia dua belas tahun, jelas itu adalah perjuangan yang lumayan berat, ketika truk mulai berjalan, kami saling berpegangan, apalagi kala kami tahu kami tengah melewati tebing yang curam, atau jalanan tidak rata, kami malah akan terbahak merasakan sensasi bergejolak pada tubuh kami, kala kami melewati tanjakan maka semua orang akan merapat ke arah belakang mobil, namun kala kami melewati sebuah turunan maka kami akan merapat ke arah depan mobil.

Namun aku menikmatinya, menggunakan seragam SMP dengan rok selutut berwarna biru pekat, dasi yang melingkar di leher, topi dengan logo Tutwuri Handayani di depannya, tas punggung sederhana, sepatu warior berwarna hitam, kaus kaki putih, semuanya sesuai peraturan sekolah. Rambut di kuncir dua, dengan bangga setiap hari aku selalu tersenyum merekah pada siapa saja yang berpapasan denganku.

Jumlah anak yang bersekolah tidak lebih dari sepuluh orang, termasuk aku satu-satunya perempuan yang bertekad kuat untuk tetap melanjutkan pendidikan.

Bapak bilang “Pergilah sekolah, ambil ilmu yang banyak, kembangkan ilmu-mu di Desa ini, agar Desa ini bisa lebih maju lagi” begitu mulia cita-cita Bapak kala itu. Sebagai anak pertama di keluargaku, tentu Bapak menaruh kepercayaan besar di pundakku.

Meskipun hidup kami pas-pasan, karena gaji Bapak yang tidak seberapa, harus membiayai aku dan ke lima adikku yang tentu saja masih sangat kecil, karena saat itu program KB begitu tabu di Desa-ku, di percaya banyak anak banyak rezeky, maka seolah berlomba setiap warga memiliki anak selalu lebih dari lima.

Bapak memiliki sepetak ladang warisan keluarga, yang di tanami sayuran seadanya, Bapak juga merawat beberapa ternak seperti sapi juga beberapa ayam. Alhasil, jika untuk makan sehari-hari, kami tidak terlalu kekurangan.

Beras, kami dapatkan dari padi yang di tanam di sawah, sayuran di petik dari ladang, telur di dapatkan dari ayam-ayam yang di pelihara di belakang rumah, dan susu di dapatkan dari sapi yang Bapak pelihara, semua makanan aku rasa bisa memenuhi gizi dan protein untuk pertumbuhanku.

***

Setelah truk berhenti di depan gerbang sekolah, kami segera turun dengan saling membantu, meski aku anak perempuan satu-satunya, tapi aku tidak ingin menjadi manja, dan justru karena aku bergaul setiap hari dengan anak laki-laki, aku malah jadi terkesan tomboy.

Ku rapi-kan pakaianku, mereka bilang aku cantik, tinggi tubuhku lebih dari seratus enam puluh senti meter di usiaku yang baru tiga belas tahun, hidung mancung, badan berisi, rambut panjang bergelombang, dadaku berisi di banding anak seusiaku yang masih memiliki dada yang rata, kulitku putih bersih, juga aku memiliki semburat kemerahan di pipi secara alami, menurut temanku di kota, aku mirip artis film yang ada di tipi, artis mana akupun tidak tahu, karena aku tidak pernah menonton tipi.

“Almira!”

Aku menoleh kala suara itu memanggilku, aku tersenyum menatapnya yang berlarian menghampiriku.

Dia ... cinta pertamaku.

Bersambung ...

BAB 3

Flashback

“Ra ... apa mimpimu??” sore itu, di bawah pohon rindang yang terdapat tempat duduk dari bambu dia bertanya.

“Mimpiku??” aku menoleh, menatapnya yang juga tengah menatapku.

“Hmhh ...” Dia menganggukan kepalanya, lalu pandangannya lurus pada senja yang sebentar lagi akan segera sirna di ganti oleh pekatnya malam.

“Mimpiku, aku ingin bisa mewujudkan keinginan Bapak, aku ingin memajukan Desa ini, aku ingin perempuan di Desa ini, memiliki ilmu pengetahuan, aku ingin perempuan di Desa ini, tidak selamanya tunduk dengan adat budaya yang mereka ciptakan sendiri, aku ingin ...”

“Mimpi kita sama Ra” dia menyela pembicaraanku yang begitu menggebu.

Aku menunduk, jika bicara tentang mimpi, maka mungkin tidak akan pernah ada habisnya daftar mimpi, cita-cita dan harapan yang aku miliki, jiwaku begitu menggebu, semangatku begitu tinggi untuk bisa mewujudkan impianku.

“Apa mimpimu??” kini aku balik bertanya pada pria di sampingku.

“Mimpiku adalah kamu Rara ...” dia tersenyum menatapku, kilauan senja yang menyorot wajahnya begitu berkilauan, sementara itu suara burung-burung yang hendak kembali ke sarangnya, ikut bersorak, seolah sedang meledek hatiku yang tengah berbunga.

“Ma maksudmu??” aku gugup, segera aku menundukkan kepala, menghindari tatapannya yang bisa membuat jantungku melompat dari tempatnya.

“Kamu adalah mimpiku Ra, mari kita wujudkan mimpimu bersama-sama, aku menyukaimu Ra, jadi ... apapun mimpimu, aku akan mendukungmu, dan akan membantumu untuk mewujudkannya” ucapnya lantang, tanpa beban.

“Terimakasih Ka” aku memanggutkan kepala, tersenyum malu-malu, rona pipiku mungkin sudah ketara, jika suasana tidak mulai menggelap.

“Sama-sama Ra, jangan berpaling dariku Ra, tetaplah begini, selalu di sampingku, dan kita akan menggenggam dunia bersama” ucapnya penuh semangat. Aku semakin terharu.

Aku-pun, sangat mencintainya. Arkana.

Flashback end

***

“Sayang ... sedang apa?” aku mengerjap, kala ku rasakan sebuah tangan melingkar di antara perutku.

“Se sedang memasak” jawabku gugup, juga tak nyaman, ingin rasanya aku menyingkirkan tangan yang sedang menjalar ini, tapi mustahil kulakukan. Aku tidak ingin mendapatkan perlakuan buruk lagi darinya.

“Kamu jangan terlalu lelah, bukankah sudah ada Bibi yang akan memasak??” tanyanya melepaskan pelukan eratnya.

Fiiiuuuhhh ...

“A aku, hanya ingin belajar” jawabku dengan tangan masih mengaduk sayur sop bening yang berada di dalam panci di hadapanku.

“Hmmhhttt ... wangi sekali, pasti enak” ucapnya sambil menarik salah satu kursi makan, lalu mendaratkan bokongnya di sana.

Aku diam lagi, tidak berniat merespon ucapannya.

“Kalau suami pulang itu, tawarin minum dulu!” aku memejamkan mata lagi, kala ku dengar suara mertuaku begitu menggema di dalam ruangan dapur yang cukup luas ini.

“Mih, Arga bisa ngambil sendiri kok, lagian Mira lagi sibuk Mih” pria itu berdiri lagi, meraih minuman mineral dari dalam kulkas.

“Ya biar di biasakan, jadi perempuan itu harus gesit! Dia harus belajar cepat!” suaranya begitu memekakkan telingaku.

“Mih ... udah dong, jangan menekan Mira, kasihan 'kan?” dia membelaku lagi di hadapan Ibunya, aku menunduk, terdiam, buliran bening ini sekuat tenaga aku tahan, andai aku bisa melawan, andai aku tidak menikah dengan pria ini, andai kehidupan keluargaku lebih baik lagi, andai ...”

“Sayang ... sayur sop-mu hampir mengering” dia memperingatiku, aku terhenyak, segera sadar dari lamunanku, yang terus berandai-andai.

“Ah! Ma maaf ...” aku segera mematikan kompor, lalu mencoba mengangkat panci tanpa alas.

“Aaaawwww!!!” aku menjerit, kala kurasakan tanganku terasa terbakar, begitu panas, kurasakan mungkin kulit tanganku akan melepuh.

“Sayang! Kamu kenapa??” pria itu segera menghampiriku, menarik tanganku, memeriksanya, lalu meniup-niupnya penuh perhatian. Memuakkan!.

“Astagaaaaaaa!!! Ngaduk sop aja gak bisa!! Kamu itu perempuan atau bukan sih?? Kalau hanya ngaduk sop saya kira anak SD juga bisa!” lagi-lagi suara itu begitu menggema, aku melirik perempuan yang tengah berkacak pinggang itu dengan ekor mataku. Memuakkan.

“Mah, ada apa ini??” Kak Risya datang, dengan wajah lelahnya, menghampiri kami yang tengah dalam keadaan tegang. Sementara pria itu masih mengusap-usap tanganku, hendak memberikan salep pada tanganku, setelah tadi berlari mencari kotak P3K.

“Ituh, istrinya Arga, masa masak sop aja gak bisa!” perempuan itu langsung berlalu meninggalkan kami, tanpa memperdulikan keadaanku.

“Ra ... kamu gak apa-apa??” tanya Kak Risya lembut, menghampiri aku yang terduduk di kursi makan, dengan air mata yang sudah mengembang.

“Aku gak apa-apa Kak” aku menggeleng, dengan senyuman di paksakan.

“Lain kali, tidak perlu memaksakan diri Ra, sekarang biar aku saja yang memasak” ujarnya, meletakkan tas mahalnya di atas meja makan, lalu mulai mendekati kompor.

“Maaf ya Kak” aku menunduk lagi.

“Gak apa-apa Ra, namanya juga belajar” Kak Risya sempat memutar tubuhnya menatapku, lalu kembali menghadap kompor.

“Sayang, kamu istirahat saja di kamar, nanti biar makanan kamu aku yang bawa ke kamar” ucap pria yang masih asyik mengoleskan salep di tanganku. Aku mengangguk setuju, lalu kami segera memasuki kamar setelah berpamitan pada Kak Risya.

Dia memapahku mendekati ranjang, lalu merebahkan tubuhku di atas kasur besar miliknya. Aku menyelonjorkan kakiku, dengan bibir yang aku gigit sekuat tenaga, karena rasa perih di tanganku yang baru terasa.

“Lain kali, jangan memaksakan diri, kan ada Bibi yang biasa memasak” ucapnya lagi dengan nada lembut.

“Iya, maaf” aku menunduk lagi.

“Ya sudah, aku mau ganti baju dulu ya” dia mengecup keningku singkat, lalu bergegas menuju lemari, mengambil pakaian gantinya, dan langsung masuk kamar mandi.

Ku pejamkan mata ini, ku resapi hidupku yang bagaikan di dalam neraka. Aku sungguh membenci hidupku sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!