di sebuah rumah yang cukup sederhana, seorang Wanita yang cukup tua sedang memasak untuk anak laki-lakinya.
"Ghani, bangun nak, itu sudah di jemput temen mu," panggil Bu Kholis.
"iya Bu," jawab Ghani.
Ghani pun bangun dan melihat jam dinding di kamarnya, ternyata masih jam tujuh pagi.
Ghani pun keluar dan melihat Syam sudah datang sambil bermain ponselnya.
"kamu gila ya, masih jam tujuh sudah jemput saja," kata Ghani kesal.
"ya elah bos, slow kali, aku juga ini kabur dari rumah," jawab Syam sambil turun dari motornya.
"ya sudah bantuin kasih pakan ayam saja, jangan cuma mau pinjem doang, tuh bantuin ngerawat," kata Ghani.
"siap bos, asal besok bisa pinjem lagi," jawab Syam sambil tertawa.
inilah kehidupan Ghani, bangun karena Syam menjemputnya, dan kadang ada pria kecil yang akan mengganggunya.
"pakde, udah bangun, Denis tadi bawain tahu panas," kata keponakan dari Ghani itu.
"terima kasih, kamu belum mandi?" goda Ghani melihat keponakan nya itu.
"sudah pakde, udah ya aku pergi dulu, wong nyengit (orang jahat)," kata Denis pergi sambil berlari saat melihat neneknya.
"aduh, ibu ini heran, kenapa Denis selalu begitu kalau lihat ibu," kata Bu Kholis yang berdiri di samping Ghani.
"lah wong, itu bapak yang nitis ke Denis, pantes saja, lah wong dulu ibu selalu ketus ke bapak," jawab Ghani.
"aduh nih anak mulutnya, sudah sana mandi, masak itu temen mu di suruh bantuin ngerawat ayam Bangkok milikmu itu," kata Bu Kholis menjewer kuping Ghani.
"iya Bu, iya, aku mandi dulu," jawab Ghani yang mengambil handuk kemudian menuju ke kamar mandi.
seperti ini kehidupan Ghani, hanya ada Denis yang selalu menghiburnya saat pulang kerja, dan adik iparnya yang baik padanya.
kehidupan Ghani sedikit berantakan setelah perceraian nya yang bersama istri pertamanya.
Ghani kembali ingat bagaimana dia bisa bertemu dengan Nia Dewanti, wanita yang menghancurkan hidupnya dan juga kepercayaan akan cinta.
tahun 2010.
Sagara Ghani Suryana, seorang pria yang begitu sederhana, dia bekerja sebagai supir di salah satu pabrik pengemasan sembako.
pria yang memiliki hobi yang cukup menarik, memelihara ayam Bangkok/ ayam aduan.
hari ini dia berangkat dengan sepeda motor CB lama miliknya itu, dan saat sampai kernetnya pun sudah selesai memeriksa kiriman.
"Pur, sudah semua kirimannya?" tanya Ghani sambil menyalakan rokok di mulutnya.
"sudah cak, siap kirim Mojosari, sama pasar pandan," jawab Pur yang merapikan penutup truk itu.
"cak Ghani, di panggil tacik!" teriak seorang gadis bagian kantor.
Ghani pun berjalan menuju ke kantor, Ghani meninggalkan rokok nya di kursi depan kantor, kemudian masuk.
baru juga masuk, beberapa gadis tersenyum kearahnya, Ghani memang menjadi idaman meski tak memiliki wajah setampan Ari wibowo.
tapi kebaikan yang menjadikan para gadis bisa saja luluh padanya, karena semua itu berkat uang yang bicara.
"ada apa tacik? ada tambahan lagi?" tanya Ghani saat berhadapan dengan pemilik usaha itu.
"gak ada, cuma mau tanya ke kamu, nanti malam mau gak ngambil minyak ke Surabaya, gantiin kusno yang sakit, habis supir gandengan semua juga jalan," kata tacik Anna.
"boleh, tapi bayaran kudu sesuai ya," jawab Ghani.
"ya mesti to, kamu ini kayak orang baru saja, ya sudah sore ambil uang makan dan solar, dan ingat kamu ambil minyak Mega ya," kata tacik.
"iya tacik, ya sudah aku kirim dulu," kata Ghani yang akan meninggalkan kantor.
"Ghani, jangan lupa nanti belikan duren ya," teriak om Iwan, suami tacik Anna.
"mau aku mati om, beli sendiri," jawab Ghani pergi begitu saja.
"danc*k awakmu, awas ae ya," kata om Iwan.
"lagi pula kamu salah kalau titip Ghani, dia itu gak suka duren, titip Kholik saja lah, lagi pula dia juga mau nagih," kata tacik Anna.
"ya wes, Zola, bilang o Mei nanti di suruh om belikan duren," perintah om Iwan.
"iya om," jawab Zola.
Ghani sudah berangkat bersama Pur, menuju ke pasar pandan terlebih dahulu. sesampainya di pasar.
Ghani langsung di hampiri beberapa orang yang memang sebagai kuli di toko yang menjadi pelanggan tempat Ghani bekerja.
Ghani pun mengawasi beberapa barang yang turun, kemudian mencocokkan dengan catatan pemilik.
"om Ghani, kok buru-buru, gak santai dulu, lagi pula masih siang," bujuk koko Lim.
"udah koh, aku mau kirim lagi, bisa pulang malem kalau harus berhenti dulu," jawab Ghani tersenyum ramah.
"ya sudah, oh ya kalau begitu bawa ini saja buat cemilan di jalan," kata Koko Lim.
Ghani pun membawa cemilan itu, Pur sudah mengarahkan mobil truk itu. setelah itu kini giliran ke daerah Mojosari, Mojokerto.
sesampainya di sana, mereka harus menunggu karena tak bisa bongkar, karena menunggu giliran.
Ghani memilih melihat lihat ke distro, dia membeli beberapa kaos dan celana pendek, tak lupa jaket.
saat keluar dari toko distro itu, Ghani mendapatkan sebuah telpon dari teman sesama peternak ayam jago.
"assalamualaikum, bagaimana kabar ya, tak kira sudah lupa dengan ku," sapa Ghani saat mengangkat telpon itu.
"matamu, orang kemarin juga baru ketemu gitu kok, oh iya aku pengen menawarkan hp padamu, mau gak," kata Yani.
"buat apa, hp satu aja gak habis, jangan gila deh," jawab Ghani sambil menuju ke truk.
"iya terserah, mau kamu buat apa, tapi ini yang jual lagi butuh uang buat bayar buku dan ujian," kata Yani.
"kenapa gak bilang, besok saja aku ke rumah mu, soalnya nanti malam aku harus ambil minyak ke Surabaya," jawab Ghani.
"tenan loh ya, kasihan Ghani, ya sudah besok tak tunggu di rumah," jawab Yani.
"ya..." jawab Ghani yang mematikan telpon itu.
Ghani pun tertawa mendengar perkataan Yani, Yani selalu tau jika Ghani tak bisa melihat orang lain kesusahan.
akhirnya truknya bisa bongkar muatan, setelah selesai. Ghani pun pulang dan sampai di gudang sudah sedikit malam.
Ghani langsung ke kantor mengambil uang makan dan solar untuk mengambil minyak.
Ghani pun langsung mengeluarkan tangki gandengan untuk di isi solar dan di parkir di pom bensin.
sedang Pur membawa sepeda motor Ghani, sesampainya di pom ternyata sudah ada dua truk yang lain.
dan terlihat pak No,dan pak Man juga ada di sana sedang membahas sesuatu.
Ghani memakirkan tangki gandengan itu di belakang truk lain, setelah itu menghampiri kedua orang itu.
"lagi bahas apa? kayaknya kok serius sekali?" tanya Ghani.
"biasa lagi pusing masalah hutang pada kusno, perasaan kok tambah banyak ya," kata pak Man.
"udah tau kusno itu linta darat, masih saja kalian meminjam padanya. yasudah lebih baik pulang besok di pikirkan lagi jalan keluarnya," kata Ghani.
mereka pun akhirnya bubar, Ghani menuju rumah, baru juga sampai kakak iparnya yang begitu menyebalkan sudah menghadangnya.
"Ghani, punya uang gak,mbak pinjam ya, mas mu udah gak kerja seminggu," kata Listiani.
"aku cuma punya tiga ratus, kalau mau ambil kalau gak ya gak papa," jawab Ghani sambil menyodorkan uang dari dompetnya.
"ya sudah tak bawa, terima kasih," kata Listiani pergi begitu saja.
"kenapa kamu memberi Listiani terus, itu kewajiban Mahmud," kata Bu Kholis.
"ini hanya sedikit uang bu, lagi pula aku bisa kerja di perusahaan itu pun berkat mas Mahmud, jadi apa salahnya aku memberikan sedikit Riski untuk keluarganya," jawab Ghani.
"tapi itu keterlaluan Listiani, kamu baru pulang sudah di palak, Mahmud kamu urus istrimu itu, jangan menyusahkan Ghani terus," kata Bu Kholis.
"iya Bu," jawab Mahmud lemah, dia sudah terlalu malu pada Ghani karena ulah istrinya.
"ya sudah aku mau mandi terus istirahat, oh ya Bu, besok jam tiga bangunkan Ghani ya. karena Ghani harus ngambil minyak di Surabaya," kata Ghani.
"iya nak, sudah mandi terus makan dulu baru istirahat," kata Bu Kholis.
pukul tiga dini hari, Ghani sudah siap menuju ke parkiran tangki gandeng yang akan dia bawa, ternyata Pur juga sudah datang bersama istrinya.
"wah ada apa ini? kok bawa istri segala Pur?" goda Ghani.
"gak kok cak, ini loh habis membersihkan minyak di dalam tangki," jawab Pur sambil tersenyum.
"ya sudah, ayo berangkat, kalau tidak nanti kesiangan nyampai sana," kata Ghani yang naik ke kepala truk.
Pur pun juga naik, tangki gandengan itu pun menuju Surabaya. Ghani mengemudi dengan kecepatan sedang.
Ghani pun masih betah sendiri meski di usianya yang sudah di bilang matang, bagaimana tidak.
saat semua teman seusianya sudah menikah dan memiliki keluarga, tapi Ghani masih setia sendiri.
dia bukan tidak ingin menikah, tapi dia belum menemukan gadis yang cocok dengannya.
sesampainya di pabrik minyak, Ghani pun antri untuk mengisi mobil tangki. saat giliran mereka.
pur yang akan naik ke atas untuk membuka tutup atas tangki, sedang Ghani tetap duduk di di kursi pengemudi.
saat selesai, mereka pun langsung menuju ke Jombang, Ghani memiliki stamina yang cukup baik.
asal rokok miliknya tak habis, maka dia bisa bertahan meski tak tidur sedikitpun.
setidaknya butuh tiga jam untuk sampai gudang pabrik mereka, Pur langsung turun untuk membuka gerbang.
Ghani langsung memarkirkan tangki gandeng pada tempat untuk bongkar minyak itu. Pur pun melapor pada tacik.
"Zola, panggil Sule untuk mengecek keadaan minyak dari atas," perintah tacik Anna.
"iya Tante," jawab Zola.
Zola pun mencari keberadaan Sule yang sedang menggoda anak-anak bagian gudang pengemasan minyak.
"Sule, tuh di suruh ngecek ketinggian minyak yang baru datang," kata Zola ketus.
"aduh cantik, jangan ketus gitu lah, nanti cantiknya hilang loh," goda Sule.
"cepet cek, nanti om dan tante marah," kata Zola mendorong Sule.
Sule pun mengambil kunci dan juga pemotong untuk memotong segel minyak, setelah memeriksa.
Sule pun memberikan laporan, dan para mandor dan anak gudang mulai melakukan penimbangan.
Sule pun duduk dekat Ghani yang menunggu Pur yang sedang membelikan dirinya makanan.
"rokok," tawar Ghani.
"iya terima kasih, oh ya cak, mau di kenalin cewek gak, tuh anak gudang maupun kemasan banyak yang cantik," kata Sule.
"gak minat, apalagi melihat mereka yang seperti itu, aku hanya ingin istri yang sederhana," jawab Ghani.
"sulit," jawab Sule tertawa.
tak lama tiga mobil tangki juga baru pulang, setelah selesai bongkar, Ghani pun memutuskan untuk pulang.
baru juga sampai rumah, terlihat Listiani di sana. Ghani pun langsung menuju ke dalam kamar dan menguncinya.
Ghani memilih tidur, Ghani bangun saat mendengar suara adzan magrib. saat dia selesai mandi.
ternyata dua temannya datang untuk mengembalikan ayam yang kemarin di pinjam.
"bos, mau mengembalikan ayam milik mu. wih... sekarang ayam mu begitu bringas kalau tanding," kata Japar.
"kan aku sudah bilang, ayam itu tak akan mengecewakan saat kamu tau cara merawatnya, menang banyak dong," kata Ghani tersenyum.
"ya, ini untukmu, oh ya lusa aku pinjam lagi ya, karena akan ada taruhan besar, dan kami rajanya ayam aduan," puji Japar.
"siap, terus kamu ngapain diem terus nden," tanya Ghani.
"aku juga mau kasih uang mu, ya sekalian bayar hutang, dan lagi lusa aku lamaran dan akan menikah," kata Ganden.
"wow bagus dong, dengan siapa?" tanya Ghani.
"dengan Aqila, maaf ya aku juga tak tau kalau orang tua ku melamar dia," kata Ganden.
"tak masalah kok, aku dan dia sudah selesai dari dulu, dan lagi aku yakin kamu pasti bisa membahagiakan dirinya," kata Ghani mencoba tersenyum.
Ganden merasa jika begitu baik, bahkan dia tak menunjukkan kesabarannya. mereka berdua pun pamit.
Ghani menyimpan uang yang di berikan oleh teman-temannya itu. kini Ghani berangkat menuju rumah Yani.
saat sampai, terlihat ada dua gadis sedang berbincang di teras rumah. Ghani pun turun dan bertanya.
"dek, Yani nya ada?" tanya Ghani sopan.
"cak, ada yang mencari dia cak Ghani!" teriak Yana.
Yani pun keluar dan langsung mempersilahkan Ghani masuk, tak lama teman Yana pun masuk sambil meletakkan hp itu di meja.
"ini Ghani yang ingin menjual hp nya, jadi mau kan kamu membelinya," kata Yani.
Ghani pun sedang memeriksa ponsel itu,dan Ghani terkejut melihat foto di dalam ponsel itu. pasalnya ada foto dirinya yang sedang merokok.
tapi sepertinya itu di ambil tanpa sengaja, "mau di jual berapa?" tanya Ghani.
"tiga ratus saja cak, itu cukup untuk membayar uang buku dan ujian," jawab Nia.
Ghani pun mengeluarkan uang lima ratus ribu, dan memberikan hp an uang itu pada Nia. Nia pun binggung di buatnya.
"ini kenapa di kembalikan cak, hp nya sudah aku jual," kata Nia.
"kamu pakai saja, lagi pula aku tak butuh hp baru, oh ya jika kamu butuh uang untuk sekolah, kamu tinggal hubungin saya saja, insyaallah jika punya pasti saya bantu," kata Ghani.
"terima kasih cak," kata Nia bahagia.
Nia memang sudah jelas tiga SMK, itulah yang menjadikan dia harus bisa mencari uang untuk membantu kedua orang tuanya.
Nia pun terlihat begitu senang, bahkan Nia mulai menunjukkan tanda-tanda mendekati Ghani.
mulai dari sering bertanya kabar, sudah makan apa belum. Nia bertindak cepat.
sedang Ganden mengalami masalah, karena Aqila ingin Ganden meminta izin pada Ghani untuk menikahinya.
karena Aqila masih mencintai Ghani, dan Aqila ingin saat dia menikah, dia sudah mendengar sendiri Ghani melepaskan dirinya.
sudah seminggu Ghani dan Nia makin dekat, sore itu Ghani meminta Nia untuk menemaninya bertemu dengan Ganden dan Aqila.
setidaknya Aqila akan percaya jika Ghani sudah move on, dengan bukti bisa membawa gadis bersama.
Nia sudah berdandan maksimal, Nia memakai celana jeans, dengan atasan kaos ketat dan mengerai rambutnya.
Ghani pun tak mempermasalahkan penampilan Nia. toh ini juga cuma pura-pura. mereka pun menuju ke warung yang sudah di sepakati.
saat sampai,Ghani bisa melihat Aqila dan Ganden sudah datang. Ghani pun langsung mengandeng tangan Nia.
Nia yang mengerti juga langsung bersikap manja pada Ghani, mereka pun duduk saling berhadapan.
Aqila pun terlihat sedih saat Ghani menggandeng wanita lain saat ini.
"tolong bicara cepat ya, karena kami masih banyak urusan," kata Ghani tegas.
"aku ingin meminta izin untuk menikahi Aqila beberapa hari lagi, dan aku ingin Aqila mendengar dari kamu sendiri, jika kamu benar-benar sudah bisa melepaskan dan merestui pernikahan ini," kata Ganden.
"aku sudah ikhlas, lagi pula aku dan Aqila bukan jodoh, benarkan dek?" kata Ghani pada Nia.
"iya mas, lagi pula kami juga mau bertunangan beberapa lagi, benarkan mas?" tanya Nia.
"itu benar," jawab Ghani.
"kalau begitu, aku tunggu undangan dari mas Ghani, dan jangan lupa datang ke pernikahan kami," kata Aqila sambil meremas pakaiannya.
"baiklah,kami pasti datang," jawab Nia yang bersandar di tubuh Ghani.
mereka pun makan dalam suasana cukup canggung, setelah selesai mereka pun berpisah.
sebelum mengantar Nia pulang, Ghani mengajak Nia berkeliling di alun-alun sebentar untuk membelikan buah tangan.
Ghani tak sengaja mengerem mendadak, dan Nia pun otomatis langsung memeluk tubuh Ghani.
Nia tersipu malu, sedang Ghani tak merasakan apapun, ya dia hanya menganggap Nia seperti adiknya.
"mau beli apa untuk orang rumah?" tanya Ghani sambil menghentikan sepeda motornya.
"terserah mas Ghani saja," jawab Nia malu-malu.
"jangan seperti itu lah dek, aku juga tak tau kesukaan orang tua mu," kata Ghani lembut.
"kalau begitu, mas belikan martabak telur saja, pasti orang rumah suka," jawab Nia.
"baiklah kalau seperti itu," jawab Ghani.
mereka pun mencari martabak holand di daerah jalan Gus Dur Jombang. setelah itu Ghani memesan dua martabak telur dan juga terang bulan.
Nia memperhatikan Ghani terus, entah apa yang sedang di pikiran gadis itu, sedang Ghani terlihat sedang memperhatikan jalanan.
setelah pesanan selesai, Ghani langsung membayar dan langsung mengantarkan Nia pulang.
mereka sampai di sebuah desa Alang-alang Caruban. sepeda motor milik Ghani pun berhenti di sebuah rumah sederhana di banding rumah di sekitarnya.
terlihat seorang pria paruh baya dan seorang wanita keluar menyambut kedatangan mereka.
bahkan Ghani di sambut dengan begitu baik, Nia juga langsung mengandeng tangan Ghani.
mereka pun masuk, terlihat orang tua Nia begitu terbuka dan baik menerima Ghani.
"pak,ini loh mas Ghani yang sering ni ceritakan itu," kata Nia begitu senang.
"oh ini kekasih mu itu, kapan melamar putri kami nak Ghani," kata pak Yudi.
"apa, insyaallah ya pak," jawab Ghani binggung.
"lebih cepat lebih baik, lagi pula Nia juga akan segera lulus sekolah," tambah Bu Kokom.
Ghani hanya tersenyum sekilas, dia merasa terjebak pertanyaan itu. dia hanya menganggap Nia sebagai adik tak lebih.
karena merasa canggung, Ghani pun memilih untuk pulang, tapi Nia menahan tangan Ghani.
"mas menikahlah dengan ku, aku sudah jatuh hati padamu," kata Nia.
"tapi-" kata Ghani terhenti karena melihat wajah memohon Nia.
"ya sudah, biar aku pikirkan dulu, nanti aku akan mengabari mu lagi," kata Ghani.
"baiklah mas, terima kasih," jawab Nia bahagia bahkan memeluk tubuh Ghani.
Ghani pun melepas pelukan Nia, dan kemudian pulang. Ghani pun sedikit merasa tertekan. hingga tanpa sadar akan menabrak seorang gadis yang mengendari sepeda onthel.
"kalau gak bisa bawa motor, mending jalan kaki!" teriak gadis muda itu.
Ghani hanya melongo melihat keberanian gadis itu, gadis cantik dengan rambut panjang hitam.
Ghani bahkan terus melihat gadis itu hingga hilang dari penglihatannya. Ghani pun melanjutkan perjalanan nya menuju rumah.
sesampainya di rumah, terlihat Bu Kholis sedang bersama Likah, Listiani dan Ningsih kakak dari Ghani.
"Bu, Ghani ingin mengatakan sesuatu, bisa bicara berdua," kata Ghani lemah.
Bu Kholis pun menghampiri Ghani di kamarnya, Bu Kholis pun melihat ada kesedihan di mata putranya itu.
"ada apa nak?" tanya Bu Kholis.
"Bu, seandainya jika aku menikah bagaimana?" tanya Ghani lemah.
"itu bagus nak, apalagi kamu juga sudah matang secara lahir batin, bahkan kamu juga sudah memiliki pekerjaan yang baik," kata Bu Kholis.
"baiklah, kalau itu menurut ibu baik, aku ingin melamar seorang gadis, apa ibu bisa melamar kan nya untukku," kata Ghani.
"tentu nak, ibu bahagia sekali saat kamu bisa bahagia membina rumah tangga mu sendiri," kata Bu Kholis senang.
Ghani pun mengangguk, akhirnya Ghani pun memilih untuk tidur lebih awal untuk menyiapkan hati dan mentalnya.
sedang Bu kholis sudah membicarakan semua pada kedua menantunya dan juga putrinya.
Likah sebagai adik ipar terkecilnya merasa jika keputusan Ghani terburu-buru. tapi dia juga tak bisa melakukan apa-apa.
karena dia sendiri juga tak sepenuhnya di terima oleh mertuanya, meski begitu Ghani tetap baik padanya.
Likah pun akan mencoba bertanya pada Ghani besok, saat keadaan lebih baik.
keesokan harinya Ghani sudah siap ke tempat kerja, tapi saat Ghani sampai terlihat ada Nia yabg berdiri di sana.
Ghani pun menghentikan motornya, "kamu kenapa di sini?" tanya Ghani.
"aku ingin mengantarkan hadiah untuk mas," kata Nia sambil menyodorkan bantal dan juga selimut.
Ghani pun menerima dan melihat Nia pamit untuk mengambil ijazah miliknya. dan akan pergi untuk membuat lamaran pekerjaan.
Ghani pun meletakkan bantal itu di mobil truk yang biasa dia bawa. setelah itu Rudi menghampiri dirinya dan memberikan uang yang pernah dia pinjam.
"kenapa sudah di kembalikan, jika masih butuh kamu bisa menggunakan nya dulu," kata Ghani.
"tidak cak, Alhamdulillah berkat kebaikan cak Ghani, ibu saya sudah membaik, kebetulan ini saya sudah punya rezeki untuk mengembalikan uang sampean," jawab Rudi.
Ghani pun menerima sambil mengangguk. semua orang tau siapa Ghani. pria yang baik dan selalu menolong saat ada teman yang kesusahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!