NovelToon NovelToon

My Psychopaths CEO

Bagian 1 : Hasrat Tak Terbendung

My Psychopaths CEO

By Ika SR

Bagian 1 : Hasrat Tak Terbendung

Gelap malam menyelimuti seluruh ruangan. Hanya ada cahaya lampu temaram yang semakin suram. Beberapa benda nampak berserakan di lantai, tersebar seolah seseorang sengaja menghamburkannya. Pria berjas mahal itu terkekeh. Seolah puas dengan pemandangan di hadapannya. Sensasi itu membludak seolah mengisi semua ruang di tubuhnya. Ia merasa seolah-olah akan meledak karena hasratnya yang akhirnya tersalurkan.

“Ini sangat menyenangkan. Bukankah begitu menurutmu?”

Lelaki yang ada di hadapannya menggeleng. Mulutnya tertutup dengan lakban hitam yang terlekat erat. Kedua tangannya terikat ke belakang. Kedua kakinya pun terikat dengan tali. Ia hanya bisa menggeliat mencoba melepaskan semua ikatan erat  itu. Walau nyatanya usahanya sia-sia belaka.

“Apa yang coba kau lakukan? Itu hanya akan membuatmu kelelahan. Kau menyesal kan, sekarang?”

Mata Pria itu berubah menjadi kelam, pandanganya seolah mencabik tubuh lelaki di hadapannya sampai tak tersisa. Sebuah seringaian menyeramkan menghiasi mulutnya. Ia mengusap dahinya dan menyisir rambutnya ke belakang.

Sreett!!!

Ia menyeret kursi kayu di belakangnya dengan kasar, mendudukinya dengan kaki tersilang. Mencoba menggertak lawan lebih lagi melalui gerakan yang ia buat dengan meraba dan menarik ujung handscoon yang dikenakannya. Berakting seolah ia seorang dokter yang akan membedah tubuh pasiennya. Ia melirik tawanannya dengan satu lirikan tajam yang membuat tubuh lelaki malang itu bergetar ketakutan. “Why?”

Ia menyeringai kejam lagi, mengetahui usahanya membuahkan hasil. Ia bangkit dan mengambil sebuah benda yang ia simpan di sebuah ice box kecil. Ia mengelus permukaan halus benda itu. Ia menggigit bibirnya pelan, mencoba menahan sensasi memuaskan yang membanjirinya saat membayangkan rasa sakit yang dapat benda itu timbulkan. “Kau tahu apa yang akan aku lakukan padamu?” tanyanya pada tawanannya yang mencoba menggeser tubuhnya menjauh. Sayangnya, hal itu tertangkap oleh ekor matanya.

Ia berjalan mendekat, wajah lelaki itu semakin pucat.

Pria itu berjongkok. Membuka lakban hitam pada mulut tawanannya dan menempelkan benda tajam itu pada wajah lelaki di hadapannya. Lelaki itu bergidik ngeri, seluruh bulu kuduknya meremang merasakan dinginnya benda yang menempel di wajahnya.

“Kau jangan takut. Aku hanya ingin membalasmu dan mengembalikan semua penderitaan yang kau timpakan padaku dengan perlahan dan secara menyakitkan.” Ia menekankan bagian akhirnya dengan suara lebih keras dan berat. Lelaki di hadapannya terdiam, meski mulutnya kini telah bebas dari jeratan lakban. Namun, bibirnya kelu. Seluruh tubuhnya terasa beku. Ia tak berani menggerakkan badan sedikit pun, seolah ia akan mati karena sebuah gerakan kecil.

Dengan gerakan tiba-tiba, pria itu menusukkan benda yang dipegangnya pada paha kanan tawanannya. “Aaaa!!!” lelaki itu menjerit kencang, mencoba mencabut benda itu. Tapi, tangannya terikat. Ia mencoba menggulingkan tubuhnya tapi tak bisa, pria itu mencengkeramnya dengan kuat. Air mata menetes dari pelupuk matanya. Ia hanya bisa menggigit bibirnya untuk menahan sakit. Darah merembes membasahi celananya. Rasa sakitnya diperparah dengan dinginnya benda yang menusuknya hingga ngilunya menembus sampai ke tulang-tulangnya.

“Ayo! Berteriaklah lebih kencang lagi. Aku sangat menyukainya. Kau ingat dulu. Kau juga melakukan hal ini. Sekarang kau bisa merasakan rasa sakitnya. Aku akan mengembalikan semuanya padamu. Kau tidak boleh tertidur dulu sebelum aku selesai!”

“Aaa! Apa salahku padamu? Aku tak mengenalmu. Kenapa kau lakukan hal ini kepadaku?” rintih lelaki itu. Mendengar hal itu, amarah semakin berkobar di hati pria berjas itu. Matanya mengkilat, bibirnya terkatup. Tanpa bicara lagi, ia mencabut benda tajam itu lalu menusukkannya ke kaki satunya.

“Aaaa!!” jeritan lelaki itu bertambah kencang.

“Aku tak butuh alasanmu. Aku hanya ingin kau minta ampun padaku!” teriaknya.

Lelaki itu menggeleng lemah, sekujur tubuhnya sudah terasa kaku dan lemas. “Apa salahku? Aku tak mau meminta ampun darimu!” teriaknya emosi dan penuh kesengsaraan.

Pria berjas itu mencabut pisau tajam itu lagi, menusukkannya lagi di lengannya. Mencabutnya lalu kembali menusukkannya. Lalu beralih ke tulang selangka lelaki itu. Setiap tusukan yang ia buat, pria itu menjerit lebih keras. Ia terlentang, dengan tubuh yang penuh darah.

“Kau tidak mau mengakuinya?”

Lelaki itu menyerah. “Ya! Ya! aku minta ampun. Aku salah, ampuni aku!”

Pria itu tersenyum penuh kemenangan. Namun, tak lama kemudian. Senyumannya berubah mengerikan. “Apa tadi kau bilang? Kau minta ampun! Setelah kau melakukan semua hal itu padaku! Berani-beraninya sekarang kau minta ampun! Aku tak akan pernah mengampunimu! Kau telah mengakuinya! Malam ini adalah malam terakhirmu!”

Lelaki itu semakin ketakutan. “Tadi kau menyuruhku....”

“Argh!!!”

Belum selesai ucapannya, pisau itu kini mendarat di perutnya. Tak berhenti sampai di situ. Pria itu terus mencabut dan menusukkannya lagi ke area yang berbeda. Perut, dada, lagi secara berulang-ulang. Berhenti sejenak untuk memeriksa apakah ada tempat lagi yang tersisa untuk ia kembali menancapkan pisaunya. Darah menggenang. Teriakan lelaki itu mulai tak terdengar. Kepingan memori masa silamnya yang menyakitkan memacunya untuk terus menusuk lelaki itu sebagai pelampiasan. Dinginnya pisau yang digenggamnya tak mengurangi kekuatan tusukannya.

Pria itu berhenti, begitu mengetahui korbannya tewas. Amarahnya telah mereda. Ia merasa sangat lega dan puas. Ia bisa kembali melanjutkan tidur lagi malam ini. Ditengoknya jam dinding yang menjadi saksi bisu atas segala perbuatannya.

“Pukul 01:30, semuanya sudah berakhir.”

Ia mengalihkan pandangannya, menengok lelaki yang kini berwajah pucat karena sebagian besar darahnya mengaliri lantai. “Akhirnya aku berhasil membunuhmu!” ia bangkit berdiri. Meninggalkan pisau yang masih tertancap di dada lelaki itu.

Ia menuju toilet, mencuci bekas darah yang ada di handscoon-nya tanpa melepaskannya. Lalu mengambil sebuah cairan pembersih lantai. Menuang isinya sedikit pada sapu tangan baru miliknya. Begitu keluar dari kamar mandi, ia melepas handscoon lamanya dan jasnya yang terkena banyak cipratan darah, menggulungnya lalu memasukkannya ke dalam ice box kecil yang dibawanya. Ia memakai handscoon yang baru dan mulai berbenah. Mengelap setiap inci dari semua perabotan, gagang pintu, dan setiap jengkal lantai untuk menghilangkan semua jejaknya.

Pria itu menata semua barang yang berhamburan ke tempatnya semula. Bahkan kertas yang berserakan, ia memungutnya kembali. Sekarang, tidak ada lagi jejak-jejak perlawanan sebelumnya. Ia menata semua barang persis di tempatnya berada sebelum insiden yang ia lakukan.

Ia memandang pria itu lagi. Jasad dan darah yang menggenang itu tetap ia biarkan. Karena itu adalah hasil pencapaiannya. Setiap kali ia melihatnya, ia merasa sangat puas. Ia beralih, meletakkan sapu tangan yang ia gunakan untuk mengelap ke dalam ice tube kecil. Membawanya turut serta, lalu mematikan lampu ruangan kembali.

Pria itu keluar dari ruangan. Tak jauh dari situ, seorang pria tegap yang tinggi telah menunggunya di dekat tangga. Tanpa basa-basi, ia segera menyelimuti tubuh pria itu dengan mantel kelabu besar yang menutupi darah di kemeja dan celananya.

“Ayo kita pergi!”

“Baik, Pak.”

Pria itu mengekor di belakangnya.

***

Fajar mulai menyingsing, seorang pria berbalutkan bathrobe putih panjang menikmati prosesi terbitnya matahari dari jendela apartemennya di lantai 5 sembari meneguk coffe latte miliknya.

Mendengar derap langkah kaki yang pelan dan teratur, ia menoleh ke belakang. “Kau bawa apa yang aku minta?”

Pria tegap di belakangnya mengangguk. “Ya, Pak.” Ia menyerahkan selembar foto.

Pria itu menerimanya sambil mengamati wajah yang tak asing di foto itu.

“Pria itu bernama Sutono, umur 33 tahun. Seorang sopir taksi. Ia memiliki seorang istri dan 2 orang anak.”

Pria itu mengangguk, lalu tersenyum. “Pria malang. Bakar foto itu. Aku tak memerlukan lagi gambar orang yang sudah mati. Jangan lupa kirimkan sejumlah uang pada istri dan anaknya. Anggap saja itu harga yang setimpal untuk nyawa suaminya.”

Pria tegap itu mengangguk. “Baik, Pak.”

Ia pergi, meninggalkan pria itu seorang diri untuk menikmati fajar pagi.

Bagian 2 : Lana

My Psychopaths CEO

Bagian 2 : Lana

By Ika SR

Sebuah email balasan nyatanya lebih ditunggu-tunggu kedatangannya dibanding chat dari sang gebetan. Apalagi jika itu adalah email panggilan kerja. Tak terkecuali bagi Lana, gadis berumur 24 tahun itu baru saja lulus dari sebuah universitas kecil di pinggir kota. Mencari pekerjaan adalah prioritas utamanya sekarang. Ia berusaha keras menghalau semua ajakan teman-teman sebayanya untuk pergi travelling atau sekedar berleha-leha di rumah terlebih dahulu alih-alih langsung mencari pekerjaan.

Bagi Lana yang tidak bisa menggantungkan hidupnya pada orang tua, mencari uang adalah hal mutlak yang harus ia lakukan. Tabungannya mulai menipis, apalagi ia sudah lulus dan tidak lagi mendapat uang beasiswa dari kampusnya.

Kedua orangtuanya sudah meninggal semenjak ia berumur 12 tahun.  Semenjak itu pula ia harus hidup mandiri, seorang diri tanpa siapapun yang bisa ia andalkan.  Untung saja, nasib baik masih berpihak padanya. Tetangganya mau membantunya, padahal mereka sama sekali tak memiliki hubungan darah.

Reno, anak tetangganya yang umurnya 3 tahun di atasnya juga bersahabat dengannya. Keluh-kesahnya akhirnya ada yang mendengarkan karena Lana juga tak yakin ia bisa memendamnya sendirian.

Tring!

Ada sebuah notifikasi email masuk. Lana sengaja mengencangkan suara ponselnya menjadi mode luar ruangan. Agar jika ada notif, ia segera bisa mengeceknya.

Lana yang sedang menyapu ruangan dengan sigap menjatuhkan sapunya. Menyambar ponselnya dan mengecek email. Air mata bahagianya hampir merebak jatuh. Ia menutup mulutnya yang hampir berteriak sekencang-kencangnya. “Akhirnya, terimakasih ya Tuhan.”

Kebahagiannya bertambah dua kali lipat begitu ia meneliti lagi perusahaan yang menerimanya bekerja. Group CA Holding Company. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti terkenal yang begitu besar.

“Astaga! Aku diterima bekerja di perusahaan sebesar ini. Padahal saat wawancara aku merasa aku tidak akan diterima. Terimakasih Tuhan, penantianku tidak sia-sia.”

***

01 July 2019

Beberapa peralatan rumah tangga masih terbungkus dalam kardus. Lana sedang bercermin di sebuah cermin seukuran tubuhnya. Ia merapikan lagi penampilannya. Ia tidak boleh terlihat berantakan di hari pertamanya kerja, apalagi ini adalah perusahaan besar yang begitu tenar namanya.

Ia mengenakan baju putih panjang selengan dan rok hitam selutut dengan belahan pendek di bagian belakangnya. Rambut cokelat bergelombangnya digerai, panjangnya mencapai punggung. Ia menaburkan lagi sedikit bedak di wajah mungilnya. Bibirnya  yang tipis dipoles dengan lipstik merah muda yang cerah. Ia memeriksa kembali pakaiannya.

“Ah, bajuku hampir saja tidak muat. Menyebalkan, selalu saja terasa sempit di bagian dada,” gumannya sendiri sambil menatap cermin.

Bisa dibilang ia mendapatkan anugerah lebih karena ia memiliki dada besar yang mampu membuat pria manapun tergoda. Tapi, entahlah. Melihat semua bajunya yang terlalu sempit. Lana tak yakin lagi, ini anugerah atau musibah.

“Sudah siap,” katanya dengan riang.

Ia menyambar tas selempang hitam miliknya. Beranjak menuju halte bus dekat kamar kos yang baru saja ditempatinya. Karena perusahaannya terletak di tengah kota, mau tak mau ia harus pindah dari rumah kecilnya di pinggir kota.

Panas terik kota Jakarta, membakar kulitnya yang putih bening. Sayangnya, halte bus juga menghadap ke timur, tepat ke arah terbitnya matahari.

“Ah, akhirnya bus datang,” gumannya. Lana segera menaiki bus transjakarta. Sepi, hanya ada dia dan beberapa orang lainnya.

***

Dada Lana berdegup dengan sangat kencang. “Wow, apakah ini mimpi?”

Argh! Ini benar-benar menakjubkan. Gedung kantor mewah setinggi 30 lantai ini menjulang dengan begitu kokoh. Ia yang seorang mahasiswi lulusan universitas yang tak punya nama bisa bekerja di tempat se-elit ini. Tuhan, memang benar-benar selalu memberikan kejutan yang membuatnya tak bisa berkata-kata lagi.

Semoga, ini adalah jalan yang terbaik untuknya.

Lana melangkahkan kakinya dengan ringan menuju loby. Seorang recepcionist cantik menyapanya dengan ramah. Ia langsung diantarkan ke sebuah ruangan menggunakan eskalator.

“Wah, ternyata tempat ini seperti mall. Ada eskalator juga di dalamnya,” batin Lana saat mereka menaiki eskalator menuju lantai berikutnya.

Saat mereka naik, tatapan mata Lana langsung terpaku pada seorang pria muda berjas hitam rapi yang sedang menuruni eskalator. Pria itu diikuti dengan beberapa pria kantoran lainnya yang nampak lebih tua.

Lana terpaku pada sosoknya yang menawan dan sempurna. Pria itu tinggi, ramping, atletis, putih, dan memiliki mata yang tajam. Hidung mancung dan bulu matanya yang lentik bahkan masih bisa terlihat dari samping.

“Ach!”

Jeritan Lana sedikit tertahan, hampir saja ia terjatuh. Tanpa ia sadari, ia telah sampai di penghujung eskalator. Ah bahaya, pria tampan itu membuatnya kehilangan fokus.

Lana mengekor di belakang recepcionist cantik yang mengantarkannya.

Pria itu menoleh, namun Lana sudah terlanjur menjauh.

“Bau parfume ini tidak asing,” batinnya.

Wanginya membuatnya kembali mengingat kelembutan dan kehangatan yang pernah ia rasakan dulu, dulu sekali.

“Pak?”

Pria itu menoleh. “Ya?” tanyanya dengan nada datar.

“Mobilnya sudah menunggu di depan.”

Ia mengangguk.

***

“Huft... hari pertama dan berkas-berkas ini sudah menggunung di hadapanku,” guman Lana.

“Tapi, aku harus tetap semangat. Aku tidak boleh mengeluh. Aku pasti bisa,” lanjutnya lagi.

Ia sudah merasa cukup bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang sebesar ini. Tentu saja, ia tidak akan menyia-nyiakannya dan beruntungnya lagi ia bertemu dengan Bu Magrieta, senior ramah  yang diberikan tugas untuk membimbingnya.

“Gimana Lana. Kamu ada kesulitan tidak?” tanya Bu Magrieta.

“Ah, tidak Bu.”

“Jangan panggil bu dong. Kita kan hanya terpaut 4 tahun aja. Panggil Magrita aja biar lebih akrab.”

Lana mengangguk.

2 jam kemudian...

“Akhirnya selesai,” guman Lana.

“Lana, ayo kita makan siang dulu di kantin.”

Lana menoleh pada Magrieta yang mengajaknya ke kantin dan mengangguk. “Semoga saja makanannya tidak mahal-mahal,” harapnya  dalam hati.

Seolah bisa membaca isi hati Lana, Magrieta langsung menimpali. “Tenang saja. Kantinnya gratis kok. Itu sudah termasuk di fasilitas karyawan.”

Lana hanya tersenyum, tapi dalam hati ia bersyukur mati-matian. Setidaknya, ia bisa berhemat.

***

Sajian makanannya lengkap dan terlihat lezat. “Lana, kau sudah bertemu dengan CEO perusahaan ini?” tanya Magrieta dengan penuh semangat.

Lana menggeleng, pikirannya masih berputar tentang ayam panggang lezat yang memenuhi mulutnya. “Uwah, kalau kau nanti ketemu. Kamu pasti langsung ngiler!” katanya dengan penuh semangat.

Lana hanya bisa bengong, tak tahu harus menanggapi apa. Satu-satunya hal yang membuatnya ngiler adalah makanan dan pria tadi.

“Dia begitu tampan,” kata Magrieta dengan semangat.

Tapi, wajahnya berubah lesu seketika. “Sayang dia sadis. Cuek, nggak suka kompromi, galak, dingin. Tapi mempesona dan senyumnya menggoda.”

Lana terdiam. Seniornya yang satu ini nampaknya memiliki mood yang bisa berubah drastis. Dalam satu kalimat, ia bisa mengungkapkan kekurangan sekaligus kelebihan CEO yang sama sekali belum pernah Lana temui. Yang tentunya levelnya beda jauh.

Hutf...

Yang terpenting bagi Lana sekarang adalah ia bisa mendapatkan pekerjaan dan melanjutkan kehidupannya dengan tenang.

Bagian 3 : Cleo

My Psychopaths CEO

Bagian 3 : Cleo

By Ika SR

 

 

Cleo masih termenung di ruang kantornya meski jam dinding telah menunjukkan pukul 22:00 lebih. Pikirannya masih berkutat, mencoba menelusuri lebih dalam dan mengingat-ingat bau parfume itu. Baunya sama persis dengan parfume yang biasa dikenakan oleh ibunya dulu.

"Seseorang memiliki wangi yang sama seperti ibu. Menarik." Ia menampilkan sebuah senyuman licik yang menakutkan sekaligus mengagumkan karena wajahnya yang memang mempesona.

Ia memutar kursi kantornya ke arah jendela kaca di belakangnya. Suguhan pemandangan kota Jakarta yang indah terlihat dari lantai 10, tempatnya berada sekarang. Kerlap-kerlip lampu kota memeriahkan suasana. Sayangnya, hati Cleo terasa sepi dan kosong sejalan dengan suasana di ruang kantornya. Tempat ini memang sepi dan tenang. Tak ada banyak orang yang mondar-mandir, mengingat hanya ia dan beberapa orang pentinglah yang boleh memasuki lantai ini.

Seseorang memasuki ruangannya, "Pak?"

Cleo tak menyahut, tak juga menoleh.

Pria itu juga tak nampak menunggu respon Cleo, 10 tahun bekerja bersama bos besarnya itu membuatnya sudah paham dengan gelagat dan kebiasaan Cleo.

"Besok Anda memiliki jadwal makan siang dengan Tuan Jhon, pemilik perusahaan asing dari Amerika. Mungkin lebih baik Anda beristirahat sekarang."

Kali ini Cleo membalikkan badan, menunjukkan raut wajah tidak senang. Tidak ada orang yang boleh mengaturnya di dunia ini. Hanya dialah yang bisa memerintah.

Sadar akan kesalahannya, pria itu segera membungkuk 90 derajat. "Maafkan saya, Pak. Saya telah lancang."

Cleo tersenyum.

Ya, Cleo Fernandez. Pengusaha kaya berumur 27 tahun yang menjadi CEO muda dari CA Holding Company itu memang terkenal arogan. Tapi, harusnya itu sebanding dengan siapa dirinya dan pencapaiannya sekarang. Di bawah kepemimpinannya, perusahaannya berkembang menjadi salah satu perusahaan terbesar di negara ini. Mengantarkannya menjadi salah satu milyuner muda yang paling banyak diinginkan kaum hawa.

"Bagaimana dengan tugas yang aku berikan padamu kemarin?"

Pria itu berhenti membungkuk, ia kembali berdiri tegak. "Saya sudah mengurusnya dengan baik, Pak."

"Jelaskan padaku detailnya?"

"Istri Sutono mau menerima ganti rugi yang ditawarkan, Pak. 1 Milyar adalah harga yang pas untuk suaminya. Dia juga telah menandatangani surat perjanjian di atas materai yang menyatakan bahwa ia melepaskan pembunuh suaminya dan menyetujuinya sebagai kasus bunuh diri."

Cleo mengangguk. "Bagaimana dengan polisi?"

"Tidak ada bukti yang tertinggal. Kasusnya telah ditutup, Pak."

Cleo tersenyum puas. Semuanya berjalan sesuai yang ia harapkan.

"Bagus!"

***

03:00

Apartemen Elite The Garden, Tengah Kota.

Cleo masih terlelap dalam tidurnya. Tapi, mimpi buruk menghantuinya. Keringatnya mengalir deras, membasahi tubuhnya yang setengah telanjang.

"Argh!" ia bangun, terduduk di kasurnya sambil mengusap rambutnya yang berantakan.

Bahkan setelah 15 tahun kenangan buruk itu terus menghampirinya dalam mimpi. Darah, jeritan, serta suara tangisan itu. Ia masih mengingat setiap detail kejadian malam itu. Anehnya, rasa sakit yang ia rasakan tetap sama. Tak berkurang sedikitpun. Bahkan setelah tergerus waktu.

Rasa sakitnya menyeruak, menyulut emosinya. Ia menengok jam dan sayangnya sudah lebih dari pukul 2 pagi. Waktu telah menyelamatkan nyawa satu orang malam ini.

Ia memutuskan untuk mandi dan berendam. Berharap semua beban pikirannya turut mengalir bersama air yang menyelimuti tubuhnya.

***

Berkas project serta proposal menumpuk di hadapan Cleo. Sebagai seorang CEO muda yang pintar dan perfeksionis. Hal itu bukanlah masalah. Semakin banyak pekerjaan, maka akan semakin baik untuknya.

"Roy? Kemari!" perintahnya pada pria yang setia menjadi asistennya. Bahkan dalam melakukan hal buruk sekali pun.

"Ya, Pak?"

"Bawakan aku dokumen tentang project kemarin!"

Dengan gerakan yang sigap dan cekatan, Roy segera mengambilkan dokumen yang diminta Cleo.

Cleo membuka berkas dokumen itu, membacanya dengan saksama dan penuh konsentrasi. Sayangnya, fokusnya itu membuat wanita mana pun menjadi salah fokus. Ia terlihat lebih maskulin. Oleh karena itu, karyawan di lantai 10 ini sebagian besar adalah pria.

"Jam berapa jadwal meeting makna siangku?"

"Pukul 12:30, Pak," ucap Roy yang masih berdiri di hadapan Cleo.

Cleo menengok jam tangan mahal miliknya. "Oke, setengah jam lagi."

"Mobil Anda sudah siap, Pak."

Cleo meletakkan berkas itu. "Oke, kita berangkat sekarang. Siapkan dokumennya."

"Baik, Pak."

5 menit kemudian, Cleo beserta asisten pribadi sekaligus bodyguardnya menuju Lift.

Begitu sampai di lantai pertama. Ada sesuatu yang membuatnya tertegun. Cleo berhenti sejenak, Roy otomatis juga berhenti jarak 1 kaki.

Cleo menoleh ke belakang, ia menyambar lengan seseorang yang baru saja melewatinya.

Wanita itu sontak menoleh karena tarikan tangan Cleo yang kuat. Cleo memerhatikan wanita itu dari atas sampai bawah. Putih, tinggi, langsing dan pandangannya tertuju pada area lain yang membuat pria manapun tertarik. "Lumayan," batin Cleo.

"Jadi, ini gadis yang memiliki bau parfum yang sama dengan Ibu. Gadis yang membuatku berfikir sampai larut malam," lanjutnya dalam hati.

Gadis itu diam, kebingungan.

Cleo tersenyum menawan. "Maaf, saya salah orang. Anda begitu mirip dengan kenalan lama saya."

Gadis itu tersenyum dengan kikuk, mengangguk dan melanjutkan kembali langkahnya yang sempat tertunda.

Begitu gadis itu menjauh, Cleo membisikkan sesuatu pada Roy.

"Cari tahu tentang dirinya!"

"Baik, Pak."

***

Lana kembali duduk di kursinya, ia meletakkan dokumen yang sedari tadi dipegangnya. Ia mencoba mengatur nafasnya. Tadi, Magrieta menyuruhnya untuk mengambil sebuah dokumen dari divisi lain dan, pria itu. Pria tampan yang hampir membuatnya terjengkal di eskalator pada hari pertamanya bekerja. Pria itu tadi menggenggam tangannya. Lana mengelus tangannya kembali. Sedikit terasa sakit, cengkraman pria itu terlalu kuat.

Jujur saja, ia merasa sangat malu. Tubuhnya gemetaran. Tak disangkanya, pria itu lebih tampan jika dilihat dari jarak dekat. Ia hanya bisa diam melongo tadi. Rasanya antara terkejut sekaligus terpesona.

Lana tak bisa menahan senyumnya. Ini sangat memalukan. Tapi, ada sedikit rasa kecewa yang menyelip di hati kecilnya. Pria itu hanya salah mengira Lana sebagai salah satu kenalannya. "Ah, sudahlah. Aku seharusnya fokus bekerja saja," katanya dalam hati.

***

18:00

Cleo sendirian di dalam ruangan kantornya. Tak lama kemudian, Roy mendekat. Pria tinggi tegap yang berada di usia pertengahan 30 tahun itu memberikan sebuah dokumen yang berisi catatan perekrutan karyawan baru.

Cleo menerimanya, membuka halaman demi halaman.

"Lana?"

"Ya, Pak. Nama perempuan itu adalah Lana. Dia baru bekerja selama 3 hari di perusahaan ini."

"Lumayan." Cleo meletakkan dokumen itu di meja.

"Tugasmu sudah selesai hari ini. Pulanglah!"

Roy mundur selangkah. Lalu membungkuk 45 derajat, kemudian meninggalkan Cleo sendirian.

Cleo mencium tangannya. Bau parfume gadis itu masih menempel di tangannya.

Hasrat Cleo memuncak. "Dia cukup seksi."

Ia terkekeh sejenak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!