NovelToon NovelToon

VIOLETTE[Sedang Direvisi]

INTRODUCE

...Schollife-Hurt-Violence-Mature...

...(VIOLETTE as YOU)...

...******...

Violette Empusa Moller, 17

Apa yang kalian pikirkan saat pertama kali melihatku? Kupikir, kalian akan mengatakan bahwa aku cantik dan imut, bukan?

Hhh, maaf saja! Aku memang narsis! Tapi itu fakta.

Satu lagi! Bukan hanya narsis, aku juga tipikal orang dengan suasana hati mudah berubah, layaknya sebuah roller coaster. Jadi jangan mencoba menggangguku atau aku bisa menendang pantat kalian— maaf! Aku bercanda!

Richard Leonidas Wagner, 18

...*I love You so much that I forgot how to breathe *-Bee Unknown...

Benjamin William Moller, 27

...*Which is more important, love or family? *-Bee Unknown...

Annastasie Benedict Moller, 22

...*The more I know You, the more I want to have You but family is everything *-Bee Unknown...

Amora Meyer, 18

...*Different love and friendship. You have to be able to control Your anger, reduce Your ego and start listening *-Bee Unknown...

Louis Becker, 18

Maximus Hoffman, 18

Khatarina El Ziegler, 17

...******...

Kakakku pernah mengatakan; jangan jatuh cinta pada orang yang salah karena itu bisa membuatmu terluka.

Tapi Aku memiliki sudut pandang lain tentang cinta.

Dan menurutku; tanpa sebuah kesalahan, kau tidak akan mengerti kebenaran dalam cinta. Hanya saja jangan terlalu sering karena itu bodoh namanya.

Percaya pada kata hatimu meski sumber rasa sakit itu berasal dari sana.

"Violette!"

"Buka pintunya atau kudobrak sekarang!"

Astaga! Ini masih pagi dan Kakakku sudah membuat keributan semacam ini?

Terpaksa. Meski mataku terasa berat, aku tetap bangun lalu membuka pintu kamarku dan mendapati Benjamin— kakak pertamaku, berdiri dengan penampilannya yang sudah rapi.

"Cepat mandi! Hari ini kita akan pergi ke sekolah barumu ..." Ia melirik jam rolex yang melingkar di tangannya, "Sepuluh menit lagi! Aku menunggumu di bawah." Tangan besarnya mengusak gemas pucuk kepalaku.

Apa katanya? Sepuluh menit?

Ben sudah gila!

Seorang gadis memerlukan waktu lama untuk bersiap-siap. Aku juga ingin berendam menggunakan aromaterapi vanila yang dibelikan Anna saat ia pergi ke Italia tempo lalu.

Ya Tuhan! Kakakku ini benar-benar.

Sedikit panik ketika waktu yang tersisa hanya delapan menit. Jadi, semenjak tadi waktu dua menit kuhabiskan untuk merutuki Ben saja?

Cepat-cepat tanganku mengambil handuk lalu berlari kecil menuju kamar mandi sampai kakiku hampir menyandung ujung meja jika aku tidak bergerak cepat menghindarinya.

...******...

"Kau terlambat satu menit lima detik, Violette!"

Mataku berotasi malas lalu mengambil potongan sandwich yang ada di atas piringku, "Danke, Anna."

Iya. Aku memiliki dua kakak sekaligus; Benjamin dan Anna.

Bukan hanya sebagai seorang kakak, mereka juga seperti figur orangtua bagiku. Selalu memberiku kebahagiaan melalui kasih sayang yang tidak pernah kurasakan dari mendiang Daddy dan Mommy.

Anna yang cerewet dan Ben yang protektif, membuatku lebih banyak bersyukur karena setidaknya, itu menjadi bentuk perhatian mereka padaku.

Kakak pertamaku; Benjamin, selalu sibuk dengan urusan perusahaan tapi ia tidak lupa menempatkan aku dan Anna diurutan pertama.

Lihat saja wajah tuanya yang selalu tampan itu?

Jangan berharap aku menggambarkan sosoknya sebagai pria jelamaan aprodhite saja karena nyatanya, Ben itu begitu menyebalkan sebab ia terlalu sempurna; kaya, mandiri, bertanggung jawab dan pandai.

Kau tahu?

Otakku yang tidak terlalu pandai ini selalu kewalahan untuk mengimbangi perdebatan mereka tentang pekerjaan masing-masing.

Tahu apa bocah Senior High sepertiku ini? Yang bahkan lebih menyukai membaca novel romantis daripada tumpukan buku pelajaran.

Kedua kalinya, aku ingin menunjukkan betapa luar biasanya keturunan Moller di keluarga kami.

Anna, kau cantik!

Aku selalu memuji Kakak Keduaku dengan kalimat itu setiap pagi. Satu hal yang menjadi sifat buruknya; Anna suka mengancam. Tidak akan memasak untuk aku dan Ben selama satu bulan jika sedang marah, itu— mengerikan!

Dia bekerja sebagai Dokter ahli bedah dan psikiatri di Krankenhaus milik keluarga kami.

Jika Ben adalah representatif aprodhite versi pria maka bisa kubilang, Anna adalah versi wanitanya.

Lalu aku?

Anggap saja sebuah produk gagal sebab selain manja, aku juga tidak terlalu pandai tapi aku sangat bersyukur, kehidupanku di kelilingi orang-orang baik seperti mereka.

Oh ya, selama perjalanan ke sekolah baru, aku tidak berhenti berceloteh banyak hal. Menceritakan keseharianku selama tinggal bersama kakek dan nenek di Cina.

Padahal aku betah tinggal di sana tapi Ben justru memintaku pulang ke Jerman dan membuatku terjebak di daratan Eropa yang dingin.

Meski Cina juga memiliki musim salju, namun aku sudah betah tinggal di sana.

"Kita sudah sampai. Kau bisa berkeliling sementara aku akan mengurus administrasinya."

Kepalaku mengangguk dan kakiku mulai berjalan menyusuri lorong koridor sekolah yang sepi.

Sekolah elit ini sesuai dengan selera Ben; hedonis, aristokrat, kaum elite dan entah apalagi sebutan bagi orang-orang kaya di Eropa.

Jika tidak salah ingat, ini hari Minggu. Pantas saja suasana sekolah sangat sepi. Tidak ada siapapun di sini kecuali petugas kebersihan.

Napasku terhela, menyadari kesibukan Ben sebagai Presiden Direktur perusahaan bukanlah perkara yang mudah.

Sial!

Tiba-tiba saja bulu kudukku merinding. Memang, sekolah ini sangat bagus dan bersih. Luasnya mungkin dua kali lipat dari lapangan golf namun kelas-kelas kosong membuatku bergidik ngeri. Membayangkan sesuatu yang menakutkan terlihat dari luar.

Hantu bangku kosong, misalnya.

Lalu deringan ponsel mengejutkanku! Dadaku terasa sakit dan aku mengumpat dalam hati.

Itu dari Ben.

"Kau dimana? Ayo pulang! Aku sudah selesai mengurusnya."

"Okay! Tunggu aku di parkiran."

Setelah itu aku langsung memasukkan ponselku dan bergegas menemui Ben. Keringat dingin membasahi pelipis sebab rasa takut itu semakin mengganggu.

Tapi baru dua langkah aku berjalan, obsidian violetku tak sengaja menemukan sesuatu yang berkilau, berada diantara pot kecil di bawah sana.

Sebuah kalung dengan liontin** singa.**

Dahiku mengernyit, memperhatikan ke arah sekelilingku hanya untuk memastikan tidak ada orang lagi selain aku.

Yang benar saja! Ini kan hari libur! Stupid Violette!

Lalu kuambil saja benda itu dan menyimpannya di dalam tas. Lebih baik, aku memeriksanya nanti saat di rumah. Ben sudah terlalu lama menungguku di parkiran.

Itu dia! Sedang tersenyum padaku seraya berucap, "Hampir saja aku menghubungi 110 untuk meminta bantuan karena kupikir, kau tersesat tadi Vi."

"Selera humormu sangat payah! Ayo masuk! Aku ingin cepat-cepat sampai di Mansion!"

Satu jam perjalanan itu sangat melelahkan. Aku benci ketika harus berada dalam mobil begitu lama.

Membosankan, apalagi memang?

"Besok pagi Anna yang mengantar ke sekolah lalu pulangnya biar aku yang menjemputmu."

Aku berdehem sebentar, "Aku naik bis saja." Mencoba bernegosiasi, siapa tahu saat ulang tahunku nanti, Ben akan menghadiahiku sebuah mobil keluaran terbaru, hhh.

"Ya sudah! Biar aku yang mengantar dan menjemputmu ke sekolah, bagaimana?"

Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Aku lupa melirik ekspresi Ben ketika aku memberinya sebuah pilihan dan sekarang, aku harus meralat kembali ucapanku.

"Okay! Anna yang mengantar dan kau yang menjemputku." Final.

Lalu kelopak mataku terasa berat, aku mengantuk! Membiarkan Ben menyetir seorang diri tidak terlalu buruk, bukan?

...******...

*NOTE!

Setelah sya pikir2, mungkin cerita ini akan mulai sya revisi. Sejujurnya, ada bnyak typo dengan susunan kata yg kurang pas menurut sya. Menerima kritik dan saran dgn bhsa yg baik.

Maaf jika ada istilah kedokteran yg keliru, smua informasi yg sya pkai bersumber dri google, harap dimaklumi.

TOUCH VOTE, COMMENT AND LOVE, DANKE!

The Day

Bunyi alarm membuatku terbangun.

Senin pagi yang hangat. Mentari mulai mengintip dengan kicauan nyaring burung kecil yang hinggap di pohon sakura dekat jendela kamarku.

Iya, pohon sakura itu merupakan hadiah ulang tahunku dari Ben dan Anna.

Mungkin tahun ini, aku ingin sebuah Maybach Exelero keluaran terbaru.

Selesai mandi, aku bersiap-siap turun ke bawah dan bergabung dengan mereka untuk sarapan pagi bersama.

Ternyata mereka sudah menungguku. Mereka juga terlihat rapi, bersiap-siap pergi bekerja. Ben dan setelan jas formalnya sementara Anna dengan dress floral seperti biasanya.

"Guten morgen." sapaku.

Mereka balas tersenyum. Menyuruhku segera duduk dan menikmati sarapan yang telah disiapkan oleh Anna.

Khusus untuk memasak, kami tidak memerlukan bantuan Maid karena keinginan Anna adalah supaya aku dan Ben tetap memakan sesuatu yang sehat. Anna bukan Dokter ahli gizi tapi ia termasuk penganut gaya hidup sehat dan sangat menjaga pola makannya, termasuk pola makan kami; Ben dan aku.

Pagi ini semua kuawali dengan semangat. Sekolah baru dan teman baru. Untuk yang terakhir, semoga teman baruku di sini sama baiknya dengan teman lamaku di Cina.

Ah! Aku jadi rindu kakek dan nenek!

Mungkin ini berlebihan, mengingat baru seminggu yang lalu aku datang setelah tujuh tahun pergi meninggalkan Jerman.

"Itu cantik, Violette."

Aku melirik Ben melalui ekor mata, "Apanya?"

"Benda yang melingkar di lehermu ... Aku baru melihat itu. Kapan kau membelinya?"

Kini atensi Anna juga beralih menatap pada kalung yang sengaja kupakai di hari pertama sekolah, "Ah! Ini ... Kemarin aku menemukannya saat kita datang ke sekolah." Jemariku menyentuh liontin berbentuk singa jantan— "Aku menyukainya."

Ini memang bagus!

"Pasti milik salah satu murid di sana, Vi. Sebaiknya kau kembalikan saja." Anna memperingati.

Aku menggeleng, keberatan.

"Ini milikku! Lagipula, aku juga tidak tahu siapa pemiliknya."

...******...

Satu jam perjalanan.

Aku tidak mengerti, kenapa Ben harus repot merekomendasikan sekolah baru untukku yang jaraknya lumayan jauh jika lima belas menit di persimpangan jalan dekat Mansion kami, ada sekolahan juga.

"Kita sudah sampai. Violette, jaga dirimu! Jangan nakal dan jangan terlalu banyak membeli junkfood atau—"

"Anna, please! I know!"

"Good girl! Kalau begitu, masuklah! Jika tidak ada jadwal operasi, aku yang akan menjemputmu nanti siang, Sayang."

Kepalaku mengangguk, segera turun saat jarum jam menunjukkan bel masuk akan segera tiba.

Bodoh. Seharusnya aku datang lebih pagi supaya tidak kesulitan menemukan kelas baruku.

Demi Tuhan! Kemarin aku tidak sempat berkeliling lebih jauh dan sekolah ini terlalu luas untuk murid pindahan sepertiku.

Karena buru-buru berjalan, aku tidak memperhatikan kakiku yang tak sengaja menginjak kulit pisang dan— BRAK! Aku terpleset. Jatuh dan berdarah, di bagian lutut.

Beruntung, tidak banyak murid yang berlalu-lalang di sini, jadi perasaan malu itu tertutupi oleh rasa perih di lututku.

"Sialan! Sekolah macam apa ini? Membiarkan muridnya buang sampah sembarangan!" umpatku.

"Hey! Kau baik-baik saja?"

Empat orang datang menghampiri, satu dari ketiganya adalah seorang siswi perempuan.

Mataku menelisik penampilan mereka yang terlihat tak sesuai dengan gambaran sekolah ini. Jauh dari kata elit, menurutku.

Salah satu dari mereka beradu pandang denganku. Aku stagnan dan jantungku berdebar ketika sepasang obsidian birunya menatapku tajam, tak berkedip.

Pemuda berkulit pucat mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri dan aku menyambutnya, "Danke." kataku.

"Lukamu harus diobati. Kami antar ke klinik ya?"

"Biar aku saja."

Satu-satunya gadis diantara ketiga siswa itu berjalan mendekat, menopang tubuhku di bahu sempitnya. Kami berjalan beriringan, tanpa bersuara dan lagi, aku berusaha mencuri pandang pada seseorang yang berdiri di sisi kiriku.

Dia terus memperhatikanku, menatapku dalam keterdiaman yang nyata. Itu membuatku agak risih, ngomong-ngomong.

Harus kuakui dari ketiganya, pemuda bermata biru itu yang paling tampan, dengan dada bidang yang tercetak jelas di balik seragam Senior Highnya tersebut.

Oh sialan! Pikiranku mulai mesum.

Dia juga memiliki garis rahang yang tegas serta hidung mancung yang menjulang tinggi. Jangan lupakan sepasang obsidian birunya yang tajam, aku juga menyukai itu.

Dulu, aku selalu memuji warna mata biru Ben, kupikir semua yang berwarna biru adalah favoritku, tapi yang ini— kenapa rasanya berbeda?

Gadis itu masih kuat menopang tubuhku dan kami berjalan sangat pelan.

Di ujung sana, klinik yang luasnya dua kali lipat dari lapangan basket terlihat oleh obsidianku. Kami bergegas masuk dan di sambut oleh seorang wanita cantik berjas putih. Sepertinya wanita itu adalah Dokter jaga yang ada di klinik ini.

Namanya Mrs. Rachel.

Dan ia tampak seumuran dengan Kakakku. "Jadi siapa yang sakit?" Suaranya terdengar begitu lembut, persis seperti Anna.

"Murid baru ini, Mrs. Rachel."

Lalu Mrs. Rachel memintaku berbaring di ranjang namun aku menolaknya, "Saya duduk saja, Frau."

Seseorang langsung menyela— "Dia sudah di sini, jadi kita bisa kembali ke kelas."

Butuh waktu lima belas menit untuk bisa mendengar suara bass pemuda berambut mencolok; ash grey tersebut.

Karena semenjak tadi, hanya dia satu-satunya yang tak bersuara.

Lalu apa katanya? Kembali ke kelas?

Tsk! Padahal aku masih ingin mendengar suara beratnya yang seksi itu.

Lima detik aku menunggunya kembali bicara namun ia justru melenggang pergi. Di susul oleh temannya, si gadis brunette.

"Tapi kita harus mengantarnya ke kelas."

Pemuda itu mengabaikan ucapan temannya dan tetap berjalan keluar, membiarkan aku bersama dua temannya saling bersitatap, bingung.

Sementara gadis brunette itu menoleh sebentar, "Semoga lekas sembuh." Kalimat terakhir sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu.

Aku mendesah kecewa dalam hati.

"Sudah selesai. Jangan dibasuh air dulu ya supaya lukanya cepat kering. Jika masih sakit, kau bisa beristirahat sebentar di sini."

"Tidak, Mrs. Rachel. Ini sudah lebih baik, saya harus kembali ke kelas." Aku beranjak dan teman si mata biru tadi langsung sigap memegang lenganku, "Terimakasih. Saya permisi dulu."

Saat di luar, kedua pemuda itu menawarkan diri untuk mengantarku ke kelas. Aku tidak menolaknya karena memang aku butuh mereka agar cepat sampai di kelas.

Banyak hal yang terjadi di hari pertama masuk sekolah. Rasanya bibirku ingin mengeluh pada Ben karena dialah yang telah merekomendasikan sekolah ini padaku.

Dan lagi, aku masih pensaran dengan pemuda tadi. Mereka; ke empat murid itu, berpenampilan seperti berandalan. Sama sekali tidak mencerminkan murid disiplin yang taat pada aturan sekolah.

Aku berdoa, semoga mereka tidak berada di kelas yang sama denganku atau hari-hari yang mendebarkan akan selalu kuhadapi.

"Hey! Bagaimana bisa murid baru sepertimu diantar oleh Kekasihku dan Louis?"

Ya Tuhan! Apalagi sekarang?

...******...

-Frau(n); nyonya

-Danke(n); terimakasih

TOUCH VOTE, COMMENT AND LIKE!

Empusa

...Empusa (n); makhluk mitologi berwujud wanita cantik dan mampu berubah wujud mnjdi makhluk bergigi tajam, berambut api dan bersayap kelelawar...

...******...

Pertanyaan yang sama, yang kudengar dari bibir gadis itu. Mataku berkedip lambat, mengira ia akan marah setelah tahu bahwa Kekasihnya— Maximus, bersama pemuda Albino tadi mengantarku sampai ke dalam kelas.

"Hey! Apa kau bukan dari sini?" Gadis itu menarik tanganku, duduk di bangku yang sama dengannya, "Jangan takut! Aku tidak marah hanya saja, kenapa bisa? Max dan Louis mengantarmu—"

"Violette Moller." Gadis itu tersenyum ketika aku mengulurkan tangan, memperkenalkan diri padanya.

"Okay Violette. Jadi?"

Lalu kujelaskan padanya sejak awal pertemuanku dan empat murid berandalan itu serta bertanya tentang si mata biru sebab kupikir, ia mengetahui sesuatu tentang mereka.

Gadis itu— Khatarina El Ziegler, mengambil ponselnya lalu menunjukkan foto seseorang yang ia simpan di galeri miliknya.

"Apa ini pria yang kau maksud?"

Violetku tak bisa berkedip, menatap pria itu penuh pesona namun batinku mencibirnya.

Cih! Dasar tukang pamer!

Pasti pria itu bekerja keras membentuk tubuh atletis yang tidak umum untuk ukuran seorang pelajar tingkat Senior High sepertinya.

Kate hendak bersuara tapi guru pengajar sudah datang dan ia buru-buru menyimpan ponselnya lagi.

"Guten morgen."

^^^"Selamat pagi."^^^

Terlalu fokus menjawab sapaan Herr Sean, aku tidak menyadari Kate mengangkat tangannya lalu memintaku maju ke depan untuk memperkenalkan diri, lagi.

"Apa yang kau lakukan, Stupid?"

Gadis itu nyengir kuda, beranjak dari kursi lalu mempersilahkan aku maju ke depan. "Ayolah Violette! Teman-teman kita perlu mengenalmu juga 'kan?" guraunya.

Aku mengalah. Berjalan ke depan dan membungkuk sebentar pada Herr Sean yang berdiri di sisi kiriku.

Obsidian violetku menatap tajam Kate yang sedang asyik bermain ponselnya.

"Hallo, ich heiße Violette Empusa Moller. Ich bin ein Transfer-Student aus China und hoffe, wir können hier Freunde sein, danke."

Selesai menyapa teman-teman sekelas, aku kembali duduk di samping Kate. Menatap curiga padanya. Ia terlihat bertukar pesan dengan seseorang.

"Kita belum selesai bicara. Jadi sampai mana tadi?"

Kuabaikan saja dia dan memilih membuka buku pelajaran matematika namun tiba-tiba wajah pemuda itu muncul pada halaman buku milikku, menggantikan tulisan; set up the long divison serta deretan angka kubik dan akar kuadrat, menjadi; he's so fucking handsome boy!

Aku mendengus, menutup kasar buku itu hingga menimbulkan suara dan membuat teman-teman yang lain menoleh padaku.

"Maafkan aku."

Kate mengernyit lalu bertanya, "Ada apa Vi?"

"Bukan apa-apa. Lebih baik perhatikan papan tulisnya, Kate!"

...******...

Waktu istirahat kuhabiskan mencari beberapa novel di perpustakaan. Kate bilang, sekolah ini memiliki ribuan koleksi novel dari berbagai genre. Ini— seperti surga bagiku.

Aku tidak perlu repot pergi ke toko buku untuk mencari referensi novel baru.

Setidaknya Ben tidak akan marah apalagi sampai membuangnya seperti dulu karena Kakakku itu paling tidak suka jika melihatku menghabiskan waktu hanya untuk membaca novel daripada belajar.

Obsidian violetku melihat ke sekitar.

Sepi!

Kakiku tetap melangkah dan mendapati seorang pria duduk di balik meja bertuliskan; Mr. Smith.

Sepertinya, pria itu petugas yang berjaga.

"Entschuldigen Sie mich. Wo finde ich ein spezielles Regal zum Lesen von Romanen?"

^^^"Permisi, dimana aku bisa menemukan rak khusus untuk novel?"^^^

Pria itu tersenyum padaku, mengatakan jika buku yang kucari ada di lorong enam. Dia memberitahuku sembari telunjuknya mengarah pada lorong yang ada di sisi kananku.

"Danke, Mr. Smith."

Segaris tipisku terbentuk; aku tersenyum, setelah berhasil menemukan kumpulan novel yang kucari.

Napasku terhela, melihat buku yang ingin kuambil berada di deretan rak paling atas dan tubuhku yang mungil ini tidak bisa menjangkaunya.

Aku tidak mungkin meminta bantuan Mr. Smith karena aku masih ingin melihat koleksi yang lain dan jarak antara lorong ini ke meja Mr. Smith cukup lumayan, membuatku lelah jika harus bolak-balik.

Kemudian violetku tak sengaja menangkap sesuatu yang ada di sudut rak, tak jauh dari tempatku berdiri.

Nuansa lampu tumblr dibuat temaram, menambah kesan hening untuk seseorang penyuka ketenangan sepertiku.

Maksudnya, hanya saat aku sedang membaca novel saja karena selebihnya aku termasuk orang yang berisik, hhh.

Obsidian violetku sesekali menyipit, mempertajam penglihatanku namun dalam pantulan cahaya, aku merasa seseorang berdiri, di hadapanku sekarang.

"Kau!"

Tubuh beranjak berdiri ketika seseorang itu berjalan mendekat. Semakin dekat hingga aku memekik lagi— "Kau ... Mau apa kau ke sini?" Jari telunjukku mengarah padanya.

Itu si mata biru.

"Berhenti di sana, Blue!"

Sial! Mulutku tak bisa diajak kerjasama. Terlalu

lancang menyebut seseorang dengan julukan aneh.

"Kau tuli ya?"

Kulihat di sekitar; kosong, sepi. Hanya ada kami, demi Tuhan! Sebenarnya dia ini mau apa, huh?

Berulang kali aku bertanya, namun bibir plum yang semenjak tadi tidak berhenti kutatap itu tak bergerak, sama sekali.

Aku mengumpat.

Dan terhimpit, berdiri diantara rak buku dan pria itu yang kini mencodongkan wajah tampannya untuk mensejajarkan tingginya dengan tubuhku yang pendek, sialan!

Pemuda itu jauh lebih tampan dalam jarak sedekat ini. Aku bisa melihat iris birunya semakin menggelap. Dan hidungku mulai mencium aroma tembakau yang manis— apa dia perokok?

Seharusnya tidak mengejutkan jika pemuda itu merokok, mengingat ia dan teman-teman berandalnya sama sekali tidak mencerminkan sebagai murid teladan.

Kelopak mataku terpejam saat ia melayangkan tangannya ke udara. Menunggu hal apa yang akan ia lakukan padaku!

Jujur! Sekarang pria itu membuatku ketakutan. Menyebut nama Ben dan Anna dalam hati pun percuma. Tidak akan ada yang mendengar. Aku jadi menyesal datang ke perpustakaan sendirian.

"Open your eyes!"

Suara beratnya mengalun di telinga, memerintahku dengan tegas. Sontak kubuka lagi mataku dan kami saling beradu pandang.

Dalam sekon terakhir, aku bisa merasakan deru napas kami saling bersahutan. Sudut bibirku terangkat, aku berhasil mengunci atensi pemuda itu dengan sepasang obsidian violetku.

Layaknya sebuah magnet.

Aku bersumpah jika tidak ada satu orang pun di dunia yang mampu menolak pesona mata ungu milikku yang langka ini.

"M-mau apa kau?"

Gugup.

Tentu saja!

Pertama kalinya dalam hidupku, seorang pria menatapku sekurang ajar itu. Selain Ben, tidak ada lagi.

Aku bahkan belum pernah berciuman, tsk!

Kedua tanganku mencoba mendorongnya, sekuat tenaga. "Menyingkirlah jika tidak mau bicara!"

Pria itu menghela napas.

"Aku seperti orang bodoh! Bicara sendirian, ck!"

Sekarang dua lengannya mengungkungku di masing-masing sisi kepala.

Oh bagus!

Ini seperti adegan film romantis yang sering kutonton saat akhir pekan. Dimana pemeran pria ingin mencium si wanita, benar 'kan?

Tapi sekarang, tidak benar dengan jantungku yang terus berdebar.

Semoga pria itu tidak mendengarnya juga.

Lama kami saling bersitatap sampai telingaku kembali mendengar suara beratnya yang seksi bersuara, lagi.

"Kau mengambil sesuatu yang bukan menjadi milikmu— Empusa!"

...******...

TOUCH VOTE, COMMENT, LIKE!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!